Masa kolonial Belanda atas Indonesia, selain memengaruhi roda pemerintahan, juga sangat besar pengaruhnya terhadap peradilan di Indonesia. Baik sejak masa kolonial Belanda (Herman Willem Daendels – Tahun 1807), kemudian oleh Inggris (Thomas Stamford Raffles – Tahun 1811 Letnan Jenderal), dan masa kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1842).[3]
Pada masa kolonial Belanda, Hooggerechtshof merupakan pengadilan tertinggi yang berkedudukan di Jakarta/Batavia dengan wilayah hukum meliputi seluruh Hindia Belanda pada waktu itu. Hooggerechtshof beranggotakan seorang Ketua, 2 orang anggota, seorang Pokrol Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan seorang Panitera yang dibantu oleh seorang Panitera Muda atau lebih. Jika perlu, Gubernur Jenderal dapat menambah susunan Hooggerechtshof dengan seorang wakil serta seorang atau lebih anggota.[3]
Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Presiden Soekarno melantik/mengangkat Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama. Hari pengangkatan itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung melalui Surat Keputusan KMA/043/SK/VIII/1999 tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 juga merupakan tanggal disahkannya UUD 1945 beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet Presidentil. Mahkamah Agung terus mengalami dinamika sesuai dinamika ketatanegaraan. Antara tahun 1946 sampai dengan 1950 Mahkamah Agung pindah ke Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Pada saat itu terdapat dua lembaga peradilan tertinggi di Indonesia yaitu:[3]
Hooggerechtshof di Jakarta dengan:
Ketua: Dr. Mr. Wirjers
Anggota Indonesia:
Mr. Notosubagio,
Koesnoen
Anggota Belanda:
Mr. Peter,
Mr. Bruins
Procureur-Generaal: Mr. Urip Kartodirdjo
Mahkamah Agung Republik Indonesia di Yogyakarta dengan:
Kemudian terjadi kapitulasi Jepang, yang merupakan Badan Tertinggi disebut Saikoo Hooin (最高法院, saikō-hōin) yang kemudian dihapus dengan Osamu Seirei (Undang-Undang No. 2 Tahun 1944). Pada tanggal 1 Januari 1950 Mahkamah Agung kembali ke Jakarta dan mengambil alih (mengoper) gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtschof. Dengan demikian, para anggota Hooggerechtschof dan Procureur-Generaal meletakkan jabatan masing-masing dan pekerjaannya diteruskan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat (MA-RIS) dengan susunan:[3]
Dapat dikatakan sejak diangkatnya Mr. Dr. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung, secara operasional pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di bidang Pengadilan Negara Tertinggi adalah sejak disahkannya Kekuasaan dan Hukum Acara Mahkamah Agung yang ditetapkan tanggal 9 Mei 1950 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.[3]
Dalam kurun waktu tersebut Mahkamah Agung telah dua kali melantik dan mengambil sumpah Presiden Soekarno, yaitu tanggal 19 Agustus 1945 sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia dan tanggal 27 Desember 1949 sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).[3]
Waktu terus berjalan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 sudah harus diganti, maka pada tanggal 17 Desember 1970 lahirlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan Kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan di bawahnya, yaitu Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding yang meliputi 4 (empat) Lingkungan Peradilan:[3]
Peradilan Umum
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Peradilan TUN
Sejak Tahun 1970 tersebut kedudukan Mahkamah Agung mulai kuat dan terlebih dengan keluarnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka kedudukan Mahkamah Agung sudah mulai mapan, dalam menjalankan tugastugasnya yang mempunyai 5 fungsi, yaitu:[3]
Fungsi Peradilan
Fungsi Pengawasan
Fungsi Pengaturan
Fungsi Memberi Nasihat
Fungsi Administrasi
Situasi semakin berkembang dan kebutuhan baik teknis maupun nonteknis semakin meningkat, Mahkamah Agung harus bisa mengatur organisasi, administrasi dan keuangan sendiri tidak bergabung dengan Departemen Kehakiman (sekarang
Kementerian Hukum dan HAM). Waktu terus berjalan, gagasan agar badan Kehakiman sepenuhnya ditempatkan di bawah pengorganisasian Mahkamah Agung terpisah dari Kementerian Kehakiman.[3]
Pada Mei 1998 di Indonesia terjadi perubahan politik yang radikal dikenal dengan lahirnya Era Reformasi. Konsep Peradilan Satu Atap dapat diterima yang ditandai dengan lahirnya TAP MPR No. X/MPR/1998 yang menentukan Kekuasaan Kehakiman bebas dan terpisah dari Kekuasaan Eksekutif. Ketetapan ini kemudian dilanjutkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang tersebut memberi batas waktu lima tahun untuk pengalihannya sebagaimana tertuang dalam Pasal II ayat (1) yang berbunyi:
Pengalihan Organisasi, administrasi dan Finansial dilaksanakan secara bertahap paling lama 5 Tahun sejak Undang-Undang ini berlaku
Berawal dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian konsep Satu Atap dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.[3]
Pada tanggal 23 Maret 2004 lahirlah Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dan lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung, yang ditindaklanjuti dengan:
Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari Departemen Kehakiman dan HAM ke Mahkamah Agung pada tanggal 31 Maret 2004.[3]
Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial lingkungan Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung yang dilaksanakan tanggal 30 Juni 2004.[3]
Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.
Struktur
Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Kepaniteraan, dan Sekretariat. Pimpinan dan Hakim Anggota adalah Hakim Agung. Jumlah hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) orang.
Pimpinan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. Wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.[5] Dengan adanya penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung, pada tahun 2013 nomenklatur unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI berubah berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 50A/KMA/SK/IV/2013.[6]
Hakim anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Pada Mahkamah Agung terdapat Hakim Agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karier atau sistem non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Tugas Hakim Agung adalah Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi.
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung memenuhi syarat:
berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan
tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.[7]
nonkarier:
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5 (syarat hakim karier);
berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.[7]
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75, tahun 2000, berikut gaji pokok hakim agung per bulan berdasarkan jabatan:
Selain itu gaji pokok, hakim agung juga memperoleh tunjangan jabatan setiap bulan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55, tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi yakni:
Kewenangan Mahkamah Agung RI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi: pertama, kewenangan memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; kedua, kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; ketiga, memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi. Selain itu, Mahkamah Agung RI dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.[21] Berikut daftar keadaan perkara kasasi, peninjauan kembali, grasi, dan hak uji materil di Mahkamah Agung Republik Indonesia:
Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 142/KMA/SK/IX/2011, Mahkamah Agung telah memberlakukan sistem kamar. Dengan sistem ini hakim agung dikelompokkan ke dalam lima kamar, yaitu perdata, pidana, agama, tata usaha negara, dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar.[24] Konsep Sistem Kamar ini diadopsi dari Sistem Kamar yang selama ini diterapkan di Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda.[25]
Penerapan sistem kamar sangat mempengaruhi produktivitas penanganan perkara di Mahkamah Agung. Berdasarkan data sisa tunggakan perkara sejak enam tahun terakhir, tercatat terus mengalami penurunan. Terlebih jika dibandingkan dengan sisa tunggakan pada tahun 2012 yang mencapai 10.112 perkara sehingga dalam kurun waktu enam tahun Mahkamah Agung telah mengurangi lebih dari 86 persen sisa perkara. Bahkan sisa perkara pada 2017 menjadi yang terendah sepanjang sejarah, yakni sebanyak 1.388 perkara.[26]
Galeri
Gedung Mahkamah Agung (masa Hindia Belanda) dan Istana Daendels ("Het Grote Huis") di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), Batavia
Gedung Mahkamah Agung pada tahun 1980 (sekarang menjadi milik Kementerian Keuangan)