Hubungan Indonesia dengan Uni Eropa
Hubungan diplomatik antara negara-negara Eropa dan Indonesia mulai kembali ke tahun 1949. Pada awalnya, hubungan Uni Eropa (Uni Eropa) -Indonesia difasilitasi melalui kerja sama Uni Eropa-Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Sejak saat itu, hubungan Indonesia dengan Uni Eropa mengalami perkembangan yang signifikan. Hubungan tersebut mencakup kerja sama di bidang politik dan keamanan, kerja sama ekonomi dan perdagangan, kerja sama sosial budaya dan lainnya. SejarahSejak hubungan Indonesia dan Uni Eropa dimulai, kerja sama bilateral terus diperluas dan akhirnya Delegasi Uni Eropa ke Indonesia dibuka pada tahun 1988. Dialog ekonomi dan politik antara Indonesia dan Uni Eropa berbentuk Rapat Pejabat Tinggi reguler. Pada tahun 2000 hubungan selanjutnya diperkuat dengan dikeluarkannya komunikasi Komisi Eropa "Mengembangkan Hubungan yang Lebih Dekat antara Indonesia dan UE".[1] Pada bulan November 2013, perwakilan tinggi Uni Eropa untuk kebijakan luar negeri dan keamanan Catherine Ashton melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Indonesia yang dipuji sebagai terobosan yang telah lama ditunggu dalam hubungan UE dengan Indonesia.[2] Indonesia merupakan negara ASEAN pertama yang menandatangani Kemitraan Komprehensif (Partnership and Cooperation Agreement - PCA) dengan Uni Eropa pada tahun 2009. Kesepakatan itu merupakan payung hukum dan politik bagi hubungan bilateral Indonesia dan Uni Eropa. PCA sendiri mulai berlaku di bulan Mei 2014 dan menyediakan kerja sama luas di bidang keamanan dan dialog politik, perdagangan, investasi dan kerja sama ekonomi juga usaha penguatan hubungan peope-to-people melalui mobilitas, program pendidikan dan pertukaran budaya.[3] Hubungan Indonesia dan Uni Eropa mengalami titik baru ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Brussels pada 21 April 2016. Presiden Jokowi menemui tiga presiden dari tiga institusi utama Uni Eropa yakni Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk, Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Jucker dan Presiden Parlemen Eropa, Martin Schulz.[4] Kunjungan tersebut kemudian menjadi tonggak sejarah untuk kerja sama masa depan antara Indonesia dan Uni Eropa dengan dihasilkannya Pernyataan Bersama antara Presiden RI, Presiden Dewan Eropa, Presiden Komisi Eropa yang berisi komitmen politik untuk memulai negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Menyeluruh Indonesia-Uni Eropa, komitmen politik pemberlakukan Lisensi FLEGT, mendorong penghapusan hambatan minyak sawit, pembebasan visa Schengen, dan pencabutan larangan terbang serta kerja sama memberantas terorisme, promosi perdamaian dan toleransi, juga pendidikan.[4] Pertemuan pertama Komisi Bersama (Joint Commitee/JC) dibawah Kemitraan Komprehensif (PCA) kemudian dilaksanakan di Brussels, Belgia pada 28 - 29 November 2016. Pertemuan tersebut dibuka oleh Federica Mogherini selaku Perwakilan Tinggi Uni Europa Urusan Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan dan Wakil Presiden Komisi Eropa, serta oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi.[4] Dalam pertemuan ini, kedua pihak membahas pelaksanaan Kelompok Kerja dan Dialog yang baru dan lama, menindaklanjuti kerja sama keamanan dan HAM, penjajakan kerja sama riset dan teknologi, dan pembahasan kerja sama penanganan lahan gambut.[4] Kerja Sama Politik dan KeamananIndonesia dan Uni Eropa setiap tahun menyelenggarakan dialog politik dan dialog khusus mengenai hak asasi manusia. Dialog Keamanan sendiri diluncurkan pada bulan Mei 2016 dalam rangka memperkuat kerja sama di bidang tersebut, termasuk di dalamnya pemberantasan ekstremisme dan terorisme. Peningkatan kapasitas dan pelatihan pemberantasan terorisme merupakan salah satu bagian dari kerja sama ini juga termasuk proyek masyarakat sipil dalam pencegahan dan pemberantasan radikalisasi. Sebagai contoh, pada tahun 2005, Uni Eropa mendirikan Aceh Monitoring Mission (AMM) yang berada dibawah European Security and Defence Policy dan terus berkontribusi dalam proses perdamaian melalui peningkatan kapasitas masyarakat jangka panjang, reintegrasi dan program pelatihan polisi.[3] Menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia sendiri, ada sejumlah isu yang menjadi prioritas Indonesia dalam menjalin hubungan dengan Uni Eropa:[5]
Kerja Sama Ekonomi dan PerdaganganIndonesia dan Uni Eropa memiliki hubungan ekonomi yang dekat. Hal ini terbukti dari tingginya minat perusahaan-perusahaan Eropa untuk melakukan ekspor ke Indonesia. Perusahaan tersebut juga memiliki minat berinvestasi yang besar dikarenakan besarnya pertumbuhan pasar Indonesia. Saat ini, perusahaan-perusahaan Eropa yang beroperasi di Indonesia telah mempekerjakan lebih dari 1,1 juta orang.[3] PerdaganganPerdagangan bilateral antara Uni Eropa dan Indonesia dalam komoditas non-migas mencapai € 25,1 milliar pada tahun 2016. Dari jumlah tersebut, € 14,6 milliar merupakan hasil dari ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Pada tahun 2016, Uni Eropa merupakan tujuan terbesar ketiga dari ekspor non-migas Indonesia setelah Amerika Serikat dan Tiongkok. Ekspor utama Indonesia ke Uni Eropa adalah lemak dan minyak hewani atau nabati, mesin dan peralatan, tekstil, alas kaki serta produk plastik dan karet. Minyak kelapa sawit dari Indonesia merupakan komoditas yang paling banyak diekspor ke Uni Eropa. Jumlahnya mencapai 49% dari total impor Minyak kelapa sawit di Uni Eropa. Sedangkan, ekspor Uni Eropa ke Indonesia kebanyakan merupakan peralatan teknologi tinggi, perlengkapan bidang transportasi, produk manufaktur dan bahan kimia. Nilai perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa di bidang jasa berjumlah € 6,1 milliar.[3]
InvestasiUni Eropa merupakan sumber Foreign Direct Investment (FDI) terbesar keempat untuk Indonesia. Dari jumlah FDI yang masuk ke Indonesia, Uni Eropa menyumbang sebesar 9% atau € 2,3 miliar dibelakang Singapura (31,7%), Jepang (18,6%) dan Tiongkok (9,3%).[3] Perjanjian Kemitraan Ekonomi Menyeluruh Indonesia - Uni EropaPerjanjian Kemitraan Ekonomi Menyeluruh Indonesia - Uni Eropa (Indonesia - European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement - IEU CEPA) merupakan perjanjian ekonomi antara Indonesia dengan Uni Eropa dalam hal perdagangan bebas. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk memfasilitasi dan membuka akses pasar yang baru, meningkatkan perdagangan di antara Uni Eropa dan Indonesia serta menambah investasi. Kesepakatan untuk merundingkan perjanjian ini didasarkan pada hasil kajian bersama yang dilakukan pada 2010.[8] Pada 4 Mei 2011, hasil kajian bersama yang berjudul Invigorating the Indonesia-European Union Partnership Towards a Comprehensive Economic Partnership Agreement disampaikan kepada pihak Indonesia dan pihak Uni Eropa. Kajian ini dibuat oleh tim yang terdiri atas berbagai latar belakang seperti dari kalangan pemerintahan, akademisi dan kelompok bisnis dari kedua pihak.[9] Pada 2012, Indonesia dan Uni Eropa melakukan pembahasan scoping paper untuk menentukan cakupan dan kedalaman komitmen yang nantinya dirundingkan. Karena adanya transisi pemerintah, pembahasan scoping paper sampai mengalami vakum dan baru dapat diselesaikan pada April 2016 ketika Presiden Joko Widodo mengunjungi Brussels, Belgia.[9] Akhirnya, negosiasi antara Indonesia dan Uni Eropa pertama kali diluncurkan pada 18 Juli 2016 dan putaran pertama atau kick-off meeting dilaksanakan di Brussels pada 20-21 September 2016.[9] Kemudian, putaran kedua dilaksanakan pada 24-27 Januari 2017 di Bali.[10] Putaran ketiga kembali dilaksanakan di Brussels pada 11-15 September 2017.[11] Sedangkan putaran keempat dilaksanakan pada 19-23 Februari 2018 di Solo, Jawa Tengah.[12] Putaran kelima dilaksanakan pada 9-13 Juli 2018 di Brussels, Belgia.[13] Perjanjian Kemitraan Sukarela - Penegakkan Hukum Tata Kelola Perdagangan di bidang KehutananPerjanjian Kemitraan Sukarela - Penegakkan Hukum Tata Kelola Perdagangan di bidang Kehutanan (Forest Law Enforcement, Governance and Trade - Voluntary Partnership Agreement /FLEGT- VPA) merupakan perjanjian kerja sama penanggulangan perdagangan kayu ilegal dan tata kelola hutan yang berkesinambungan.[5] Uni Eropa dan Indonesia menandatangani perjanjian ini pada 30 September 2013 dan berlaku sejak 1 Mei 2014. Indonesia meratifikasi FLEGT VPA dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 dan melalui Parlemen Uni Eropa pada bulan Maret 2014. Kesepakatan ini sendiri diperoleh setelah melalui proses perundingan yang panjang sejak tahun 2007.[14] Setelah hampir 10 tahun melakukan negosiasi, pada 15 November 2016, perjanjian ini sudah bisa terlaksana secara penuh dengan adanya pengakuan terhadap Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sudah sesuai dengan legalitas standar Uni Eropa. SLVK sendiri merupakan sistem perdagangan kayu dengan mengutamakan perhatian terhadap prinsip legalitas, pelacakan jejak kayu (traceability) dan keberlanjutan (sustainability) yang dalam penyusunannya melibatkan banyak pemangku. Pada hari yang sama, kapal pengiriman yang membawa kayu Indonesia yang bersertifikasi dikirim ke Belgia dan Inggris melalui Pelabuhan Tanjung Priok.[14] Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara tropis pertama yang mampu mendapat lisensi produk kayu dibawah FLEGT.[3] Dalam hubungan perdagangan produk kayu, Indonesia merupakan eksportir terbesar ke Uni Eropa. Total perdagangan produk kayu antara Indonesia dengan Uni Eropa mencapai € 485 juta pada tahun 2015.[15] Kerja Sama PembangunanDalam kerja sama bidang pembangunan, Uni Eropa telah memberikan bantuan pembangunan sebesar € 500 juta dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Bantuan pembangunan tersebut utamanya digunakan untuk mempromosikan pendidikan dasar bagi semua kalangan dan tata kelola pemerintah (terutama dalam penegakkan hukum dan pengelolaan finansial), bantuan dalam rangka upaya melawan perubahan iklim dan laju deforestasi serta bantuan pembangunan di bidang perdagangan. Kerja sama dengan Uni Eropa dirancang sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan Indonesia yang tercantum dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Indonesia sendiri sudah tidak lagi dimasukkan menjadi negara penerima bantuan pembangunan Uni Eropa dalam periode program 2014-2022. Namun, sebagian besar program bantuan yang berada dalam periode anggaran 2007-2013 dengan alokasi dana bantuan sebesar € 356 juta, masih dalam proses impelementasi dan berjalan hingga 2019.[3] Dalam program Kerja Sama Tematik dan Regional Uni Eropa (EU Thematic and Regional Cooperation), Uni Eropa membantu Indonesia dalam mendukung sektor-sektor yang menjadi prioritas kebijakan, antara lain:[3]
Sejak 1995, Uni Eropa melalui Komisi Eropa juga telah menyediakan bantuan kemanusiaan yang diberikan kapada Indonesia. Contohnya dalam rangka tanggap darurat bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias, juga gempa bumi Yogyakarta. Uni Eropa memberikan bantuan kemanusiaan sebesar € 246 juta.[16] Kerja Sama Sosial BudayaDalam bidang sosial budaya, Indonesia dan Uni Eropa melakukan pendekatan people-to-people dalam melakukan kerja sama. Uni Eropa menawarkan sejumlah beasiswa dan bantuan dana untuk para pelajar Indonesia, peneliti dan staf universitas. Sebanyak 9.600 pelajar Indonesia kini belajar di Eropa. Dari jumlah tersebut 1.600 pelajar mendapatkan beasiswa dari Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, serta 225 diantaranya merupakan penerima beasiswa Erasmus+ mundus. Sebagai timbal balik, lebih dari 100 pelajar Eropa dan akademisi kini menempuh pendidikan dan mengajar di Indonesia berkat adanya beasiswa Erasmus+.[3] Dari sisi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, selain kerja sama di bidang pendidikan, ada sejumlah kerja sama lain yang menjadi prioritas. Dalam kerja sama di bidang mobilitas, Indonesia mendorong pembebasan visa Schengen bagi penduduk Indonesia yang ingin pergi ke Eropa. Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan masyarakat dan hubungan ekonomi kedua pihak. Indonesia juga mendorong peningkatan kerja sama dalam mempromosikan kerukunan antar-agama dan toleransi/moderasi. Di bidang riset dan teknologi, Indonesia mendorong realisasi kerja sama konkret di bidang lingkungan hidup dan perubahan iklim, oseanografi serta satelit/keantariksaan.[5] Isu TerkiniPencabutan Larangan Terbang Uni Eropa Pada 14 Juni 2018, Komisi Eropa mengeluarkan Daftar Keselamatan Udara Uni Eropa yang salah satunya berisi penghapusan larangan terbang ke Uni Eropa bagi seluruh maskapai Indonesia. Berdasarkan daftar terbaru tersebut, 55 maskapai penerbangan Indonesia yang masih berada dalam daftar lama kini sudah dapat beroperasi di wilayah Uni Eropa. Pencabutan larangan terbang ini, merupakan hasil dari proses panjang yang terdiri dari diplomasi, perbaikan regulasi standar keselamatan penerbangan Indonesia sejak 2007.[17] Sebelumnya, Uni Eropa mengeluarkan daftar larangan terbang seluruh maskapai Indonesia sejak 2007. Sejak periode 2009-2011, secara bertahap maskapai penerbangan Indonesia dikeluarkan dari daftar larangan terbang Uni Eropa yaitu Garuda Indonesia, Indonesia AirAsia, Airfast Indonesia, dan Ekspres Transportasi Antarbenua. Kemudian pada 2016, menyusul tiga maskapai penerbangan Indonesia yang dikeluarkan dari daftar larangan terbang Uni Eropa yaitu Lion Air, Batik Air dan Citilink.[17] Penghentian Penggunaan Biodiesel dari Kelapa Sawit Pada Januari 2018, Parlemen Eropa mengeluarkan persetujuan penghentian penggunaan biodiesel berbaham dasar kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan pada tahun 2021 yang tercermin dalam pemungutan suara terhadap "proposal Direktif tentang Promosi Penggunaan Energi dari Sumber Terbarukan.[18] Kebijakan ini kemudian direspon oleh Pemerintah Indonesia dengan mengemukakan kekecewaannya dan menganggap tindakan tersebut sebagai kebijakan diskriminatif.[18] Indonesia juga merespon kebijakan tersebut dengan diplomasi dengan sejumlah pihak di Eropa. Utusan Khusus Presiden yang dipimpin Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengunjungi Paus Fransiskus guna mencari dukungan dari Vatikan soal kelapa sawit. Menteri Luhut juga mencari dukungan dengan melakukan kunjungan diplomatis ke Belanda.[19] Perbandingan Indonesia dengan Uni Eropa
Lihat pulaReferensi
|