Hukum acara Mahkamah Konstitusi

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya, yaitu bagian dari hukum konstitusi yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam rangka menegakkan hukum materiil, mengawal dan menegakkan supremasi konstitusi, demokrasi, keadilan dan hakhak konstitusional warga negara, Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi untuk:

  1. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
  2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
  3. memutus pembubaran partai politik;
  4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
  5. memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau perbuatan tercela dan/ atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Atas dasar kewenangan viii Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan kewajiban konstitusional inilah, hukum acara (procedural law) diperlukan untuk mengatur mekanisme atau prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. Walaupun terdapat ahli yang mencoba menarik sejarah judicial review hingga masa yunani kuno dan pemikiran sebelum abad ke-19, tetapi momentum utama munculnya judicial review adalah pada keputusan MA Amerika Serikat dalam kasus Marbury vs. Madison pada 1803. Dalam kasus tersebut, MA Amerika Serikat membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Pada saat itu tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS maupun undang - undang yang memberikan wewenang judicial review kepada MA, namun para hakim agung MA AS yang diketuai oleh John Marshal berpendapat hal itu adalah kewajiban konstitusional mereka yang telah bersumpah untuk menjunjung tinggi dan menjaga konstitusi. Berdasarkan sumpah tersebut, MA memiliki kewajiban untuk menjaga supremasi konstitusi, termasuk dari aturan hukum yang melanggar konstitusi. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang bertentangan dengan konstitusi harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal itu bukan saja merupakan kewajiban konstitusional pengadilan, melainkan juga lembaga negara lain.

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada awalnya adalah untuk menjalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.[1]

Rujukan

  1. ^ Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (2010). Hukum Acara mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. hlm. 486. ISBN 978-602-8308-26-7.  line feed character di |publisher= pada posisi 38 (bantuan)
Kembali kehalaman sebelumnya