Hukum acara pidana IndonesiaHukum acara pidana Indonesia adalah serangkaian kaidah, prosedur, dan peraturan hukum yang mengatur pelaksanaan hukum pidana pada tata hukum positif yang berlaku di Indonesia. TerminologiIstilah "hukum acara pidana" merupakan terjemahan bebas dari istilah strafvordering ("hukum tuntutan pidana") di dalam bahasa Belanda. Andi Hamzah mencatat bahwa terdapat padanan Belanda yang sebenarnya lebih sesuai, yaitu stafprocesrecht. Dalam kaitannya dengan hukum pidana, hukum acara pidana adalah hukum pidana formal yang berfungsi menjalankan hukum pidana substansif.[1]
SejarahMasa Hindia BelandaPelaksanaan pidana di Indonesia sebelum masa penjajahan bangsa Eropa sebagian besar dipengaruhi oleh hukum adat yang tidak tertulis dan tidak terkodifikasi. Setelah datangnya bangsa Belanda, diperkenalkan asas konkordansi (concordantie-beginsel), yaitu pemberlakuan undang-undang Kerajaan Belanda terhadap bangsa Indonesia di Hindia Belanda, diatur oleh pasal 131 ayat (2) huruf a Indische Staatsregeling (IS). Pekerjaan memperkenalkan dan menerapkan peraturan perundang-undangan Belanda di Hindia Belanda dilakukan secara berangsur-angsur, dimulai dengan panitia yang dipimpin oleh Scholten van Oud-Haarlem (1837-1838), J.F.W. Van Nes (1839-1845), dan H.L. Wichers (1845-1846).[4]. Pada Staatsblad No. 23 Tahun 1847, diumumkan bahwa peraturan-peraturan perundang-undangan baru akan mulai berlaku di Hindia. Pada pasal 4, diumumkan bahwa akan berlaku sebuah reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke recthspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Oosterlingen of Java en Madoera ("peraturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara pidana mengenai golongan Bumiputera dan orang-orang yang dipersamakan di Jawa dan Madura".)[5] Pasal ini menjadi cikal bakal dari hukum acara pidana yang tertulis pertama di Indonesia. Pada tanggal 1 Mei 1838, sesuai dengan Staatsblad No. 57 Tahun 1847, Inlandsche Reglement dinyatakan mulai berlaku di Jawa dan Madura. IR merupakan penerapan dari pasal 4 Stbld 23/1947 dan mengatur tentang hukum acara perdata dan pidana. Panitia Wichers mengambil sebagian besar materi acra pidana dari peraturan yang berlaku pada saat itu di Mahkamah Agung Belanda.[6] IR mengalami beberapa kali perubahan, namun yang paling signifikan adalah keluarnya Staatsblad No. 44 Tahun 1941 yang mengubahnya menjadi Herziene Inlandsche Reglement (HIR). Salah satu perbedaan utama IR dan HIR adalah munculnya lembaga penuntut umum openbaar ministerie yang independen dan tidak lagi berada di bawah birokrasi pemerintah. Upaya untuk menerapkan IR/HIR di luar Jawa dan Madura mengalami masalah karena acara pidana di wilayah tersebut sangat beragam, sehingga pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk menerapkan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) melalui Staatsblad No. 227 Tahun 1927 mulai tanggal 1 Juli 1927.[6] Selain itu, ada beberapa hukum acara lain yang mengatur lembaga-lembaga peradilan Hindia, seperti:
Masa IndonesiaPasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 menegaskan pemberlakuan HIR sebagai undang-undang acara pidana pada tata hukum Republik Indonesia yang merdeka. Perubahan baru dilakukan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, yang menjelaskan kewenangan Jaksa Agung dalam melakukan pengawasan terhadap jaksa dan polisi serta mengusut tindak pidana.[7] Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil mengadakan penyatuan tata hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum yang baru.
Inisiatif untuk membentuk sebuah kitab undang-undang acara pidana nasional dimulai oleh Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji yang menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional mengenai hukum acara pidana dan hak-hak asasi manusia di Semarang pada tahun 1968. Inisiatif ini dilanjutkan oleh penerusnya, Mochtar Kusumaatmadja dan Meodjono. Penyempurnaan rancangan awal melibatkan organisasi profesi hukum seperti Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), dan lain-lain.[8] Pada bulan September 1979, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diajukan ke hadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Dipimpin Ketua Komisi III Andi Mochtar, proses persidangan berlangsung dari bulan November 1979 hingga Mei 1980. RUU tersebut kemudian disahkan oleH DPR menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.[8] TahapanSecara umum, ada tujuh tahap dalam hukum acara pidana Indonesia: penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, pengggeledahan, penyitaan, dan penuntutan. Hal ini didasarkan pada teori pencarian kebenaran yang dikemukakan oleh van Bemmelen.[9] Penyelidikan
Penyelidikan adalah tahap pertama dalam pelaksanaan acara pidana. Yang berwenang untuk melakukan penyelidikan adalah pejabat Kepolisian,[10] yang berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; mencari keterangan dan barang bukti; menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab. Penyelidik juga dapat melaksanakan perintah dari penyidik, yaitu untuk menangkap seseorang; melarang seseorang meninggalkan tempat; menggeledah dan menahan; memeriksa dan menyita surat; mengambil sidik jari dan memotret seseorang; dan/atau membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.[11] Penyidikan
Setelah sebuah perkara diselidik dan ditemukan terjadinya suatu delik pidana, maka proses acara pidana dilanjutkan ke tahap penyidikan. Sebuah delik dapat ditentukan terjadi oleh karena empat kemungkinan: tertangkap tangan; dari sebuah laporan; daru sebuah aduan; atau diketahui sendiri melalui suatu cara, seperti diketahui melalui media massa atau ceirtera seseorang.[12] Rujukan
Bibliografi
|