Hindia Belanda
Hindia Belanda atau Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Nederlands(ch)-Indië) (bahasa Inggris: Dutch East Indies) adalah sebuah daerah pendudukan Belanda yang wilayahnya saat ini dikenal dengan nama Republik Indonesia dan juga mencakup negara bagian Melaka di Malaysia. Berdasarkan Perjanjian Inggris-Belanda 1824, Belanda telah menyerahkan Melaka Belanda kepada Inggris, yang dulunya merupakan kegubernuran di Hindia Belanda. Hal ini telah mengkonsolidasikan pemerintahan modern ke negara bagian Melaka di Malaysia. Hindia Belanda dibentuk sebagai hasil dari penasionalan tanah-tanah koloni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang berada di bawah pemerintahan Belanda pada tahun 1800. Selama abad ke-19, daerah jajahan dan pengaruh Belanda diperluas, mencapai batas wilayah kekuasaan terbesar mereka pada awal abad ke-20. Hindia Belanda adalah salah satu jajahan Eropa yang paling berharga di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda,[6] dan menyumbang pada keunggulan Belanda di dunia dalam perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.[7] Tatanan masyarakat kolonial didasarkan pada struktur rasial dan sosial yang kaku dengan para elite Belanda yang tinggal terpisah tetapi tetap berhubungan dengan penduduk pribumi yang dijajah mereka.[8] Istilah "Indonesia" mulai digunakan untuk tempat geografis setelah tahun 1880. Pada awal abad 20, para cendekiawan lokal mulai mengembangkan gagasan Indonesia sebagai negara dan bangsa, dan menetapkan panggung untuk gerakan kemerdekaan.[9] Pendudukan Jepang pada Perang Dunia II melemahkan sebagian besar negara jajahan dan ekonomi Belanda. Setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, kaum nasionalis Indonesia menyatakan kemerdekaan yang mereka perjuangkan selama Revolusi Nasional Indonesia yang terjadi pada bulan-bulan berikutnya. Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949 dan menyerahkan seluruh wilayah bekas jajahannya, dengan pengecualian wilayah Papua (Nugini Belanda), yang diserahkan ke Indonesia 14 tahun kemudian pada tahun 1963 berdasarkan ketentuan Persetujuan New York di Markas Besar PBB. EtimologiKata Hindia berasal dari bahasa bahasa Latin: Indus. Nama asli Dutch Indies (bahasa Belanda: Nederlandsch-Indië) diterjemahkan oleh orang Inggris sebagai "Hindia Timur Belanda", untuk membedakannya dengan Hindia Barat Belanda. Nama "Hindia Belanda" tercatat dalam dokumen Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada awal tahun 1620-an.[10] Para sejarawan yang menulis dalam bahasa Inggris menggunakan istilah Indië, Hindia, Hindia Timur Belanda, Hindia Belanda, dan kolonial Indonesia secara bergantian.[11] SejarahKekuasaan VOCBerabad-abad sebelum orang-orang Eropa tiba, wilayah kepulauan Indonesia dihuni berbagai entitas, termasuk kerajaan-kerajaan perdagangan pesisir yang berorientasi komersial dan kerajaan agraris pedalaman (yang paling penting adalah Sriwijaya dan Majapahit).[12] Bangsa Eropa pertama yang tiba adalah Portugis pada tahun 1512. Setelah menemui gangguan terhadap akses rempah-rempah di Eropa,[13] Belanda melakukan ekspedisi pelayaran pertama ke Hindia Timur pada tahun 1595 untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari Asia. Ketika mereka menghasilkan keuntungan hingga 400%, ekspedisi Belanda lainnya segera menyusul. Menyadari potensi perdagangan Hindia Timur, pemerintah Belanda menggabungkan para perusahaan pesaing ke Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC).[13] VOC diberikan hak istimewa untuk berperang, membangun benteng, dan membuat perjanjian di seluruh Asia.[13] Ibu kota didirikan di Batavia (sekarang Jakarta), yang menjadi pusat jaringan perdagangan VOC di Asia.[14] Untuk monopoli asli mereka seperti pala, paprika, cengkih dan kayu manis, VOC dan kemudian pemerintah kolonial memperkenalkan tanaman asing untuk non-pribumi seperti kopi, teh, kakao, tembakau, karet, gula dan opium, dan menjaga kepentingan komersial mereka dengan mengambil alih wilayah sekitarnya.[14] Penyelundupan, biaya perang, korupsi, dan kesalahan manajemen yang terus berlanjut menyebabkan kebangkrutan pada akhir abad ke-18. VOC secara resmi dibubarkan pada tahun 1800 dan barang-barangnya di kepulauan Indonesia (termasuk sebagian besar Jawa, sebagian Sumatra, sebagian besar Maluku, dan daerah pedalaman pelabuhan seperti Makassar, Manado, dan Kupang) dinasionalisasi di bawah Republik Belanda sebagai Hindia Belanda.[15] Penaklukan BelandaSejak kedatangan kapal-kapal Belanda yang pertama pada akhir abad ke-16, hingga deklarasi kemerdekaan pada tahun 1945, kontrol Belanda atas kepulauan Indonesia tergolong lemah. Meskipun Jawa didominasi oleh Belanda,[16] banyak daerah yang tetap independen dan berdiri sendiri selama periode ini, termasuk Aceh, Bali, Lombok dan Kalimantan.[17] Ada banyak perang dan gangguan di seluruh wilayah nusantara karena berbagai kelompok pribumi menolak upaya untuk membangun hegemoni Belanda, yang melemahkan kontrol Belanda dan mengikat pasukan militernya.[18] Perompakan tetap menjadi masalah hingga pertengahan abad ke-19.[17] Akhirnya pada awal abad ke-20, dominasi Belanda diperluas di seluruh area yang nantinya akan menjadi wilayah Indonesia modern. Pada tahun 1806, dengan Belanda di bawah dominasi Kekaisaran Prancis, Kaisar Napoleon I menunjuk saudaranya Louis Bonaparte untuk menduduki takhta Belanda, yang menyebabkan penobatan Marsekal Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808.[19] Pada tahun 1811, Daendels digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens, tetapi tidak lama setelah kedatangannya, pasukan Inggris menduduki beberapa pelabuhan Hindia Belanda termasuk Jawa, dan Thomas Stamford Raffles menjadi Wakil Gubernur. Setelah kekalahan Napoleon pada Pertempuran Waterloo tahun 1815 dan Kongres Wina, kontrol Belanda atas wilayah ini dipulihkan pada tahun 1816.[20] Di bawah Perjanjian Inggris-Belanda 1824, Belanda mengamankan permukiman Inggris seperti Bengkulu di Sumatra, sebagai imbalan untuk menyerahkan kendali atas daerah jajahan mereka di Melaka, Semenanjung Malaya (Malaya) dan India Belanda. Perbatasan antara bekas daerah jajahan milik Inggris dan Belanda pada hari ini merupakan batas modern antara Malaysia dan Indonesia. Sejak berdirinya VOC pada abad ke-17, perluasan wilayah Belanda telah menjadi masalah bisnis. Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch (1830–1835) menegaskan profitabilitas sebagai fondasi kebijakan resmi, membatasi perhatiannya hanya untuk Pulau Jawa, Sumatra dan Bangka.[21] Namun, sejak sekitar tahun 1840, ekspansi nasional Belanda membuat mereka mengobarkan serangkaian perang untuk memperbesar dan mengkonsolidasikan daerah jajahan mereka di pulau-pulau terluar.[22] Motivasi mereka termasuk: perlindungan daerah yang sudah dimiliki; intervensi pejabat Belanda yang ambisius untuk kehormatan atau promosi jabatan; dan untuk membangun klaim Belanda di seluruh wilayah nusantara dalam rangka mencegah intervensi dari kekuatan Barat lainnya selama era upaya kolonialisme bangsa Eropa.[21] Karena eksploitasi sumber daya Indonesia meluas di luar Jawa, sebagian besar pulau terluar berada di bawah kendali atau pengaruh langsung pemerintah Belanda. Belanda menaklukkan wilayah Minangkabau di Sumatra dalam Perang Padri (1821–1838),[23] dan Perang Jawa (1825–1830) juga mengakhiri perlawanan masyarakat Jawa yang signifikan.[24] Perang Banjarmasin (1859–1863) di tenggara pulau Kalimantan berakhir dengan kekalahan Sultan.[25] Setelah ekspedisi yang gagal untuk menaklukkan Bali pada tahun 1846 dan 1848, peperangan tahun 1849 membawa wilayah Bali bagian utara berada di bawah kendali Belanda. Ekspedisi militer yang paling berkepanjangan adalah Perang Aceh, di mana invasi Belanda pada tahun 1873 dihadapi dengan perlawanan gerilya kaum pribumi dan berakhir dengan menyerahnya Aceh pada tahun 1912.[24] Gangguan terus terjadi di Pulau Jawa dan Sumatra selama sisa abad ke-19.[17] Namun, Pulau Lombok berada di bawah kendali Belanda pada tahun 1894,[26] dan perlawanan suku Batak di Sumatera Utara ditaklukan pada tahun 1895.[24] Menjelang akhir abad ke-19, keseimbangan kekuatan militer bergeser ke arah negara Belanda dengan industri yang sedang berkembang melawan negara pribumi Indonesia dengan pra-industrinya, dan kesenjangan teknologi semakin melebar.[21] Para pemimpin militer dan politikus Belanda percaya bahwa mereka memiliki kewajiban moral untuk membebaskan penduduk asli Indonesia dari para penguasa pribumi yang dianggap menindas, terbelakang, atau tidak menghormati hukum internasional.[27] Meskipun pemberontakan di Indonesia pecah, kekuasaan pemerintah kolonial diperluas ke seluruh wilayah nusantara dari tahun 1901 hingga 1910 dan kontrol atas wilayah tersebut juga diambil dari para penguasa lokal yang tersisa.[28] Sulawesi barat daya dan tengah diduduki pada tahun 1905 hingga 1906, Pulau Bali ditaklukkan dengan kampanye militer pada tahun 1906 dan 1908, begitu pula kerajaan-kerajaan lain yang tersisa di Maluku, Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.[24][29] Para penguasa lain termasuk Sultan Tidore di Maluku, Pontianak (Kalimantan), dan Palembang di Sumatra, meminta perlindungan Belanda dari kerajaan-kerajaan tetangga sehingga membuat mereka menghindari penaklukan militer oleh Belanda dan mampu menegosiasikan kondisi yang lebih baik di bawah pemerintahan kolonial.[29] Semenanjung Kepala Burung (Nugini Barat), sudah berada di bawah pemerintahan Belanda pada tahun 1920. Wilayah terakhir ini di kemudian hari akan menjadi wilayah Republik Indonesia. Sistem Tanam Paksa dan Tata Cara KuliKarena biaya moneter yang tinggi dari beberapa penaklukan Belanda pada abad ke-19, Sistem Tanam Paksa ("Cultuurstelsel") diterapkan pada tahun 1830. Di bawah sistem ini ditetapkan bahwa petani Indonesia harus menggunakan 20% lahan pertanian mereka untuk tanam paksa komoditi komersil seperti nila, kopi dan gula.[30] Melalui sistem ini banyak keuntungan yang diperoleh; laba bersih perbendaharaan Belanda diperkirakan sekitar 4% dari PDB Belanda pada saat itu dan sekitar 50% dari total pendapatan negara. Sistem tersebut terbukti membawa malapetaka bagi penduduk setempat; pada puncaknya, lebih dari 1 juta petani bekerja di bawah Cultuurstelsel dengan insentif yang ekstrem demi keuntungan mengakibatkan pelanggaran yang meluas. Petani sering dipaksa untuk menggunakan lebih dari 20% tanah pertanian mereka, atau tanah yang paling subur, untuk bercocok tanam tanaman komersial.[31] Sistem tersebut menyebabkan peningkatan kelaparan dan penyakit di kalangan petani Jawa pada tahun 1840-an.[17] Menurut sebuah perkiraan, angka kematian meningkat sebanyak 30% selama periode ini.[31] Karena kritik yang meluas terhadap sistem tersebut, sistem ini dihapuskan pada tahun 1870. Menurut sebuah penelitian, angka kematian di Jawa akan menjadi 10–20% lebih tinggi pada akhir tahun 1870-an jika sistem Tanam Paksa tidak dihapuskan.[31] Pengenalan truk, kereta api, sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih terkoordinasi semuanya berkontribusi terhadap penghapusan kelaparan di Jawa yang secara historis merupakan hal biasa. Jawa mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat selama abad ke-19 dan tidak ada kelaparan yang signifikan di Jawa setelah tahun 1840-an.[32] Sumber keuntungan lainnya adalah kuli, sebutan untuk buruh kontrak berupah rendah. Setelah penghapusan Sistem Tanam Paksa pada tahun 1870, ekonomi beralih ke perusahaan swasta seperti Deli Company, yang didirikan di Sumatera pada tahun 1869. Perkebunan skala besar dibangun untuk menanam tanaman komersial dan orang-orang Jawa, Cina, Melayu, Batak, dan India dikirim ke perkebunan di Sumatra dan Jawa untuk melakukan kerja kasar. Diperkirakan lebih dari 500.000 kuli diangkut ke Sumatera selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[33][34] Tingkat kematian yang tepat di antara buruh kuli tidak diketahui karena catatan yang langka atau tidak dapat diandalkan tetapi diperkirakan mencapai 25%. Meskipun kuli sering kali disebut buruh bayaran yang bekerja atas kehendak bebas, dalam praktiknya keadaan mereka sering melibatkan kerja paksa dan lebih mirip perbudakan. Mereka sering disesatkan saat menandatangani kontrak kerja atau bahkan dipaksa menandatangani kontrak. Contoh lainnya mereka sering diculik atau dipaksa bekerja karena hutang. Tata Cara Kuli ("Poenale sanctie") tahun 1880, yang mengizinkan pemilik perkebunan untuk bertindak sebagai hakim, juri, dan algojo mengakibatkan kekejaman yang meluas. Kekejaman itu termasuk sanksi pidana yang memungkinkan pemilik untuk secara fisik menghukum kuli mereka sesuai keinginan mereka. Hukuman yang digunakan terhadap kuli adalah cambukan atau pemukulan, setelah itu ditambahkan garam ke dalam luka untuk menambah penderitaan. Hukuman lain yang digunakan adalah disetrum, disalib dan digantung pada jari kaki atau ibu jari kuli sampai putus. Perawatan medis untuk kuli jarang dan sering ditujukan untuk menyembuhkan kuli yang dihukum agar mereka dapat kembali bekerja atau disiksa lebih lama lagi. Pemerkosaan kuli perempuan dewasa serta anak-anak mereka juga sering terjadi.[35] Sistem kuli dikritik habis-habisan, terutama setelah tahun 1900 dengan munculnya apa yang disebut "Politik Etis". Sebuah pamflet kritis bernama "De miljoenen uit Deli" diterbitkan oleh J. van den Brand. Dokumen tersebut menggambarkan pelanggaran yang dilakukan terhadap kuli termasuk penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap seorang kuli perempuan berusia 15 tahun yang menolak ajakan berhubungan seksual seorang pengawas perkebunan Belanda. Sanksi pidana akhirnya dihapuskan pada tahun 1931 dan Ordonansi Kuli berakhir pada awal tahun 1940-an.[36][37] Sistem NjaiPada tahap awal kolonisasi, budak seks perempuan pribumi dibeli oleh kolonial Belanda, tetapi praktik ini dihentikan setelah tahun 1860 dengan penghapusan perbudakan. Pada akhir abad ke-19, semakin banyak imigran Belanda yang tiba di kolonial Indonesia, yang menyebabkan mereka kekurangan perempuan, karena sebagian besar imigran adalah laki-laki. Belanda kemudian membeli "Njai", yaitu perempuan pribumi yang resmi menjadi pembantu tetapi sering juga dijadikan sebagai selir. Meskipun secara resmi menjadi pekerja kontrak, para perempuan ini hanya mendapatkan hak-hak yang sedikit. Mereka dapat dibeli dan dijual bersama dengan rumah tempat mereka bekerja sebagai apa yang disebut "Perabotan Adat" (Inlands Meubel). Njai juga tidak diperbolehkan mengasuh anak-anak yang mereka miliki hasil dari hubungan dengan majikan mereka, dan saat mereka dipecat maka anak-anak mereka akan dibawa pergi.[38] Pada tahun 1910-an jumlah Njai menurun, meskipun prostitusi semakin merajalela. Namun, praktik tersebut belum mati pada saat Kekaisaran Jepang menyerang dan menduduki Hindia. Selama pendudukan Jepang, Njai dan anak-anak ras campuran mereka dipisahkan secara paksa dari pria Eropa yang ditempatkan di kamp-kamp pengasingan. Setelah Sukarno memproklamasikan Indonesia merdeka, para Njai terpaksa harus memilih antara pergi bersama pasangannya ke Eropa, atau tetap tinggal di Indonesia. Perang Dunia II dan kemerdekaanBelanda menyerahkan wilayah mereka di Eropa ke Jerman pada tanggal 14 Mei 1940. Keluarga kerajaan melarikan diri dalam pengasingan di Inggris. Jerman dan Jepang adalah sekutu Poros. Pada tanggal 27 September 1940, Jerman, Hungaria, Italia, dan Jepang menandatangani sebuah perjanjian yang mencakup "lingkup pengaruh". Hindia Belanda sendiri dimasukkan ke wilayah lingkup pengaruh Jepang. Belanda, Inggris dan Amerika Serikat mencoba mempertahankan koloni ini dari pasukan Jepang ketika mereka bergerak ke selatan pada akhir 1941 untuk mencari minyak yang dikuasai Belanda.[39][40] Pada tanggal 10 Januari 1942, selama Kampanye Hindia Belanda, pasukan Jepang menyerbu Hindia Belanda sebagai bagian dari Perang Pasifik.[41] Perkebunan karet dan ladang minyak Hindia Belanda dianggap penting untuk kepentingan perang Jepang. Pasukan sekutu dengan cepat ditundukkan oleh Jepang dan pada tanggal 8 Maret 1942, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) menyerah di Jawa.[42][43] Dipicu oleh propaganda perang Jepang Cahaya Asia[44] dan Kebangkitan Nasional Indonesia, sebagian besar penduduk pribumi Hindia Belanda pertama-tama menyambut Jepang sebagai pahlawan pembebasan mereka dari pemerintah kolonial Belanda, tetapi sentimen ini dengan cepat berubah karena pendudukan Jepang ternyata jauh lebih opresif dan menghancurkan daripada pemerintah kolonial Belanda.[45][46] Pendudukan Jepang selama Perang Dunia II mengakibatkan jatuhnya negara kolonial di Indonesia,[47] karena Jepang menyingkirkan sebanyak mungkin struktur pemerintah Belanda, dan menggantinya dengan rezim mereka sendiri.[48] Meskipun posisi teratas di pemerintahan dipegang oleh Jepang, pengasingan semua warga Belanda menandakan bahwa banyak posisi kepemimpinan dan administrasi yang diduduki oleh orang Indonesia. Berbeda dengan penindasan Belanda terhadap nasionalisme Indonesia, Jepang mengizinkan para pemimpin pribumi untuk menjalin hubungan di antara massa, dan mereka melatih dan mempersenjatai generasi yang lebih muda.[49] Menurut laporan PBB, empat juta orang meninggal di Indonesia sebagai akibat dari pendudukan Jepang.[50] Setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, pemimpin nasionalis Soekarno dan Mohammad Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Perang empat setengah tahun menyusul peristiwa ini ketika Belanda mencoba membangun kembali koloni mereka; Meskipun pasukan Belanda menduduki kembali sebagian besar wilayah Indonesia, perang gerilya terjadi, dan mayoritas orang Indonesia—serta opini internasional, lebih menyukai kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia dengan pengecualian wilayah Nugini Belanda (Nugini Barat). Pemerintahan Soekarno mengklaim kendali Indonesia atas wilayah itu, dan dengan tekanan dari Amerika Serikat, Belanda menyetujui Perjanjian New York yang hasilnya meminta Belanda untuk menyerahkan wilayah tersebut kepada pemerintahan Indonesia pada bulan Mei 1963. Sejarah sosialPada tahun 1898, jumlah penduduk di Jawa telah mencapai angka 28 juta, sedangkan 7 juta jiwa lainnya menduduki pulau-pulau terluar Indonesia.[51] Pada paruh pertama abad ke-20, imigrasi besar-besaran mulai dilakukan oleh orang Belanda dan Eropa lainnya menuju koloni, tempat mereka bekerja di sektor pemerintah atau swasta. Pada tahun 1930, ada lebih dari 240.000 orang dengan status hukum Eropa di koloni tersebut, sekitar 0.5% dari jumlah total populasi.[52] Sekitar 75% dari orang-orang Eropa ini pada faktanya orang asli Eurasia yang dikenal dengan sebutan Indo-Eropa.[53]
Pihak penjajah Belanda membentuk kelas sosial atas istimewa yang terdiri dari prajurit, pegawai pemerintah, manajer, guru dan para pelopor. Mereka hidup bersama dengan para "pribumi", namun berada di puncak sistem kasta sosial dan rasial yang kaku.[55][56] Hindia Belanda memiliki dua kelas hukum untuk seorang warga negara; Eropa dan pribumi. Kelas ketiga, orang Timur asing, ditambahkan pada tahun 1920.[57] Pada tahun 1901, Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut sebagai Politik Etis, di mana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Langkah-langkah baru lainnya di bawah kebijakan tersebut mencakup program irigasi, transmigrasi, komunikasi, mitigasi banjir, industrialisasi, dan perlindungan industri pribumi.[17] Industrialisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap mayoritas penduduk Indonesia, dan Indonesia tetap saja merupakan koloni yang bergantung pada pertanian. Pada tahun 1930, ada 17 kota dengan populasi lebih dari 50.000 dan populasi gabungan mereka berjumlah 1,87 juta dari total 60 juta.[28] PemerintahHukum dan administrasiSejak zaman VOC, otoritas tertinggi Belanda di Hindia Belanda berada di "Kantor Gubernur Jenderal". Selama era Hindia Belanda, Gubernur Jenderal berperan sebagai presiden eksekutif utama dari pemerintah kolonial dan menjabat sebagai panglima tertinggi tentara kolonial (KNIL). Hingga tahun 1903, semua pejabat dan organisasi pemerintah adalah agen resmi Gubernur Jenderal dan sepenuhnya bergantung pada administrasi pusat dari "Kantor Gubernur Jenderal" untuk anggaran mereka.[58] Hingga tahun 1815, Gubernur Jenderal memiliki hak mutlak untuk melarang, menyensor atau membatasi publikasi apa pun di wilayah koloni. Kekuasaan Gubernur Jenderal yang terlalu besar memungkinkannya untuk mengasingkan siapa pun yang dianggap sebagai pihak subversif dan berbahaya bagi perdamaian dan ketertiban, tanpa melibatkan Pengadilan Hukum.[59] Hingga tahun 1848, gubernur jenderal diangkat langsung oleh raja Belanda, dan pada tahun-tahun berikutnya melalui Kerajaan dan atas saran kabinet metropolitan Belanda. Selama dua periode (1815–1835 dan 1854–1925) gubernur jenderal memerintah bersama dengan dewan penasehat yang disebut Raad van Indie (Dewan Hindia). Kebijakan dan strategi kolonial menjadi tanggung jawab Kementerian Koloni yang berbasis di Den Haag. Dari tahun 1815 sampai 1848 kementerian berada di bawah kekuasaan langsung raja Belanda. Pada abad ke-20, koloni ini secara bertahap berkembang menjadi negara yang berbeda dari metropolis Belanda dengan perbendaharaannya dipisahkan pada tahun 1903, pinjaman publik dikontrak oleh koloni sejak tahun 1913, dan hubungan kuasi-diplomatik dibangun dengan Arabia untuk mengelola ibadah Haji dari Hindia Belanda. Pada tahun 1922 Hindia Belanda berdiri sejajar dengan Belanda dalam konstitusi Belanda, walaupun tetap berada di bawah Kementerian Koloni.[60] Gubernur jenderal memimpin hirarki pejabat Belanda; lalu diikuti oleh residen, asisten residen, dan pejabat distrik atau yang sering disebut controllers. Penguasa tradisional yang selamat dari penaklukan Belanda dilantik sebagai bupati dan aristokrat pribumi menjadi pegawai negeri pribumi. Meskipun secara de facto mereka kehilangan kekuasaan, kekayaan dan kemegahan mereka di bawah pemerintahan Belanda semakin bertambah.[28] Pemerintahan tidak langsung bagi pribumi ini tidak mengganggu kaum tani dan hemat biaya bagi Belanda; pada tahun 1900, hanya 250 pegawai negeri Eropa dan 1.500 pegawai negeri pribumi, serta 16.000 perwira dan prajurit Belanda serta 26.000 tentara bayaran pribumi, yang diwajibkan untuk memerintah 35 juta warga kolonial.[61] Sejak tahun 1910, Belanda menciptakan kekuasaan negara yang paling trsentralisasi di Asia Tenggara.[24] Secara politis, struktur kekuasaan yang sangat terpusat yang dibentuk oleh pemerintahan Belanda, termasuk kekuasaan pengasingan dan penyensoran yang sangat tinggi,[62] dibawa ke dalam republik Indonesia yang baru.[24] Dewan Rakyat yang disebut Volksraad untuk Hindia Belanda dimulai pada tahun 1918. Volksraad terbatas pada peran penasihat dan hanya sebagian kecil penduduk pribumi yang dapat memilih anggotanya. Dewan tersebut terdiri dari 30 anggota pribumi, 25 orang Eropa dan lima orang Tionghoa dan penduduk lainnya, dan dipilih kembali setiap empat tahun. Pada tahun 1925 Volksraad dijadikan badan semi-legislatif; meskipun keputusan masih dibuat oleh pemerintah Belanda, gubernur jenderal diharapkan untuk berkonsultasi dengan Volksraad mengenai masalah-masalah besar. Volksraad dibubarkan pada tahun 1942 selama pendudukan Jepang.[63] Sistem hukum dibagi oleh tiga kelompok etnis utama yang diklasifikasikan di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Orang Eropa, Orang Asing Timur (Arab dan China) dan pribumi; ketiga kelompok ini tunduk pada sistem hukum mereka sendiri, yang semuanya berlaku secara bersamaan.[64] Pemerintah Belanda mengadaptasi kitab undang-undang Belanda di daerah jajahannya. Pengadilan hukum tertinggi, Mahkamah Agung di Batavia, menangani banding dan memantau hakim dan pengadilan di seluruh koloni. Enam dewan keadilan (Raad van Justitie) sebagian besar menangani kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dari kelas hukum Eropa dan hanya secara tidak langsung menangani penduduk pribumi. Dewan pertanahan (Landraden) berurusan dengan masalah perdata dan pelanggaran ringan seperti perceraian harta benda, dan perselisihan pernikahan. Penduduk asli tunduk pada hukum adat masing-masing dan tunduk pada bupati dan pengadilan negeri adat, kecuali jika kasusnya dibawa ke hadapan hakim Belanda.[65][note 1] Setelah kemerdekaan Indonesia, sistem hukum Belanda diadopsi dan secara bertahap sistem hukum nasional yang didasarkan pada ajaran hukum dan keadilan Indonesia didirikan.[66] Pada tahun 1920 Belanda telah mendirikan 350 penjara di seluruh koloni. Penjara Meester Cornelis di Batavia memenjarakan narapidana yang paling sulit diatur. Di penjara Sawahlunto di Sumatera para tahanan harus melakukan kerja kasar di tambang batu bara. Penjara terpisah dibangun untuk remaja (Jawa Barat) dan untuk wanita. Di Lapas Wanita Bulu di Semarang, para napi mendapat kesempatan belajar profesi selama di tahanan, seperti menjahit, menenun, dan membatik. Pelatihan ini dijunjung tinggi dan membantu mensosialisasikan kembali perempuan setelah mereka berada di luar lembaga pemasyarakatan.[65][note 2] Menanggapi pemberontakan komunis tahun 1926, kamp penjara Boven-Digoel didirikan di New Guinea. Sejak tahun 1927, para tahanan politik, termasuk penduduk asli Indonesia yang mendukung kemerdekaan Indonesia, 'diasingkan' ke pulau-pulau terluar.[67] Pembagian administratifHindia Belanda dibagi menjadi tiga gouvernementen—Groot Oost, Borneo dan Sumatra—dan tiga provincies di Jawa. Provincies dan Gouvernment dibagi lagi menjadi Keresidenan—untuk Keresidenan di bawah Provincies langsung dibagi menjadi Regentschappen, sedangkan Keresidenan di bawah Gouvernment dibagi menjadi Afdeling[68]
Pada 1818–1825, Melaka Belanda merupakan bagian administratif dari Hindia Belanda. Pada tahun 1825 akhirnya Melaka diserahkan kepada Britania Raya berdasarkan Perjanjian Inggris-Belanda 1824.
PendidikanSistem sekolah Belanda diperluas dan mengizinkan kaum muda Indonesia menempuh pendidikan, dan sekolah-sekolah paling bergengsi menerima anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia dari kelas atas. Pendidikan tingkat kedua didasarkan pada etnis dengan sekolah terpisah untuk orang Indonesia, Arab, dan Cina serta diajarkan dalam bahasa Belanda dan dengan kurikulum Belanda. Orang Indonesia biasa dididik dengan bahasa Melayu dalam alfabet Romawi, sekaligus menjadi sekolah "penghubung" yang mempersiapkan siswa-siswa Indonesia yang cerdas untuk masuk ke sekolah-sekolah berbahasa Belanda.[69] Sekolah-sekolah kejuruan dan program-program didirikan oleh pemerintah kolonial dalam rangka melatih penduduk pribumi Indonesia untuk peran khusus dalam ekonomi kolonial. Orang Tionghoa dan Arab, yang secara resmi disebut "timur asing", tidak bisa mendaftar di sekolah kejuruan atau sekolah dasar.[70] Lulusan sekolah Belanda membuka sekolah mereka sendiri dengan meniru sistem sekolah Belanda, begitu pula misionaris Kristen, Perhimpunan Teosofis, dan asosiasi budaya Indonesia. Perkembangan sekolah-sekolah ini semakin didorong oleh sekolah-sekolah Muslim baru bergaya Barat yang juga menawarkan mata pelajaran sekuler.[69]Menurut sensus tahun 1930, 6% penduduk Indonesia melek huruf; namun, angka ini hanya mencatat lulusan sekolah Barat dan mereka yang bisa membaca dan menulis dalam bahasa alfabet Romawi. Sensus itu tidak menambahkan lulusan sekolah non-Barat atau mereka yang bisa membaca tetapi tidak bisa menulis Arab, Melayu atau Belanda, atau mereka yang bisa menulis dalam huruf non-Romawi seperti Batak, Jawa, Cina atau Arab.[69] Beberapa lembaga pendidikan tinggi juga didirikan. Pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah untuk melatih para dokter yang diberi nama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Banyak lulusan STOVIA yang kemudian berperan penting dalam pergerakan nasional Indonesia menuju kemerdekaan serta dalam mengembangkan pendidikan kedokteran di Indonesia, seperti Dr. Wahidin Soedirohoesodo yang mendirikan perkumpulan politik Budi Utomo. De Technische Hoogeschool te Bandung didirikan pada tahun 1920 oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk memenuhi kebutuhan sumber daya teknik atau insinyur di daerah jajahannya. Salah satu lulusan Technische Hogeschool adalah Soekarno yang nantinya akan memimpin Revolusi Nasional Indonesia. Pada tahun 1924, pemerintah kolonial kembali memutuskan untuk membuka fasilitas pendidikan tingkat tinggi yang baru, Rechts Hogeschool (RHS), untuk melatih para perwira dan pegawai sipil. Pada tahun 1927, status STOVIA diubah menjadi perguruan tinggi penuh dan namanya diubah menjadi Geneeskundige Hogeschool (GHS). GHS menempati gedung utama yang sama dan menggunakan rumah sakit pendidikan yang sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat ini. Hubungan lama antara Belanda dan Indonesia masih terlihat jelas di bidang teknologi seperti desain irigasi. Hingga hari ini, gagasan para insinyur irigasi kolonial Belanda terus memberikan pengaruh yang kuat terhadap praktik desain Indonesia.[71] Selain itu, dua universitas Indonesia dengan peringkat internasional tertinggi, Universitas Indonesia yang didirikan tahun 1898 dan Institut Teknologi Bandung yang didirikan pada tahun 1920, merupakan universitas yang didirikan selama era kolonial.[72][note 3] Reformasi pendidikan dan reformasi politik sederhana, menghasilkan segelintir elit pribumi Indonesia yang berpendidikan tinggi, yang mempromosikan gagasan "Indonesia" yang merdeka dan bersatu yang akan mempersatukan kelompok-kelompok pribumi yang berbeda di Hindia Belanda. Periode ini sering disebut Kebangkitan Nasional Indonesia, paruh pertama abad ke-20 menyaksikan gerakan nasionalis berkembang dengan kuat, tetapi juga menghadapi penindasan Belanda.[17] EkonomiSejarah ekonomi koloni berkaitan erat dengan kesehatan ekonomi Belanda.[73] Meskipun keuntungan yang meningkat dari sistem pajak tanah Belanda, keuangan Belanda sangat terpengaruh oleh biaya Perang Jawa dan Perang Padri, serta kekalahan Belanda atas Belgia pada tahun 1830 yang membawa Belanda ke jurang kebangkrutan. Pada tahun 1830, seorang gubernur jenderal baru, Johannes van den Bosch, ditunjuk untuk membuat Hindia membayar melalui eksploitasi Belanda atas sumber dayanya. Dengan dominasi politik Belanda di seluruh Jawa untuk pertama kalinya pada tahun 1830,[74] mereka memperkenalkan kebijakan pertanian tanam paksa yang dikendalikan pemerintah. Kebijakan itu disebut cultuurstelsel (sistem tanam) dalam bahasa Belanda atau "tanam paksa" dalam bahasa Indonesia. Para petani diwajibkan untuk menyerahkan, sebagai bentuk pajak, hasil panen tertentu dalam jumlah tetap, seperti gula atau kopi.[75] Sebagian besar Jawa menjadi perkebunan Belanda dan pendapatan terus meningkat selama abad ke-19 yang diinvestasikan kembali ke Belanda untuk menyelamatkan negara dari kebangkrutan.[17][75] Antara tahun 1830 dan 1870, 840 juta gulden (setara €8 miliar pada tahun 2018[76]) diambil dari Hindia Timur, rata-rata menghasilkan sepertiga dari anggaran tahunan pemerintah Belanda.[77][78] Akan tetapi, Sistem Tanam Paksa membawa banyak kesulitan ekonomi bagi para petani Jawa, yang menderita kelaparan dan wabah penyakit pada tahun 1840-an.[17] Pendapat publik yang kritis di Belanda menyebabkan banyak ekses Sistem Tanam Paksa dihilangkan di bawah reformasi agraria dari "Periode Liberal". Menurut sebuah penelitian, angka kematian di Jawa akan menjadi 10–20% lebih tinggi pada akhir tahun 1870-an jika sistem kerja paksa tidak dihapuskan.[79] Modal swasta Belanda mengalir masuk setelah tahun 1850, terutama di bidang pertambangan timah dan perkebunan. Tambang timah Martavious Company di lepas pantai timur Sumatera dibiayai oleh sindikat pengusaha Belanda, termasuk adik Raja William III. Penambangan dimulai pada tahun 1860. Pada tahun 1863 Jacob Nienhuys memperoleh konsesi dari Kesultanan Deli (Sumatera Timur) untuk perkebunan tembakau besar (Perusahaan Deli).[80] Sejak tahun 1870, Hindia dibuka untuk perusahaan swasta dan para pengusaha Belanda mendirikan perkebunan besar yang menguntungkan. Produksi gula berlipat ganda antara tahun 1870 dan 1885; tanaman baru seperti teh dan kina tumbuh subur, karet juga diperkenalkan, yang menyebabkan peningkatan keuntungan Belanda secara dramatis. Perubahan tidak terbatas hanya pada pulau Jawa di pertanian; minyak dari Sumatera dan Kalimantan menjadi sumber daya berharga bagi industrialisasi Eropa. Kepentingan komersial Belanda meluas dari Jawa ke pulau-pulau terluar dengan semakin banyak wilayah yang berada di bawah kendali atau dominasi langsung Belanda pada paruh kedua abad ke-19.[81] Namun, kelangkaan lahan untuk produksi padi, ditambah dengan peningkatan jumlah penduduk secara drastis, terutama di Pulau Jawa, menyebabkan kesulitan yang lebih besar.[17] Eksploitasi kekayaan Indonesia secara kolonial berkontribusi pada industrialisasi Belanda, sekaligus meletakkan dasar bagi industrialisasi Indonesia. Belanda memperkenalkan kopi, teh, kakao, tembakau dan karet, dan hamparan luas pulau Jawa menjadi perkebunan yang dibudidayakan oleh petani Jawa, dikumpulkan oleh perantara Cina, dan dijual di pasar luar negeri oleh pedagang Eropa.[17] Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan ekonomi didasarkan pada permintaan dunia yang tinggi akan teh, kopi, dan kina. Pemerintah banyak berinvestasi dalam jaringan kereta api (panjang 240 km atau 150 mil pada tahun 1873, 1.900 km atau 1.200 mil pada tahun 1900), serta jalur telegraf, dan pengusaha membuka bank, toko, dan surat kabar. Hindia Belanda menghasilkan sebagian besar pasokan kina dan lada dunia, lebih dari sepertiga karetnya, seperempat produk kelapanya, dan seperlima teh, gula, kopi, dan minyaknya. Keuntungan dari Hindia Belanda menjadikan Belanda salah satu kekuatan kolonial paling signifikan di dunia.[17] Jalur pelayaran Koninklijke Paketvaart-Maatschappij mendukung penyatuan ekonomi kolonial dan membawa pelayaran antar pulau ke Batavia, bukan melalui Singapura, sehingga lebih memfokuskan kegiatan ekonomi di Jawa.[82] Resesi di seluruh dunia pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an menyebabkan harga komoditas yang menjadi sandaran koloni runtuh. Wartawan dan pegawai negeri mengamati bahwa mayoritas penduduk Hindia tidak lebih baik daripada di bawah ekonomi Sistem Tanam Paksa yang diatur sebelumnya dan puluhan ribu orang kelaparan.[83] Harga komoditas pulih dari resesi, menyebabkan peningkatan investasi di koloni. Perdagangan gula, timah, kopra, dan kopi yang menjadi basis koloni ini berkembang pesat, dan karet, tembakau, teh, dan minyak juga menjadi ekspor utama.[84] Reformasi politik meningkatkan otonomi pemerintahan kolonial lokal, menjauhi kendali pusat dari Belanda, sementara kekuasaan juga dialihkan dari pemerintah pusat Batavia ke unit pemerintahan yang lebih lokal. Ekonomi dunia pulih pada akhir 1890-an dan kemakmuran kembali. Investasi asing, terutama oleh Inggris, semakin didorong. Pada tahun 1900, aset asing di Hindia Belanda berjumlah sekitar 750 juta gulden ($300 juta), sebagian besar di Jawa.[85] Setelah tahun 1900, peningkatan infrastruktur pelabuhan dan jalan menjadi prioritas utama Belanda, dengan tujuan memodernisasi ekonomi, memfasilitasi perdagangan, dan mempercepat pergerakan militer. Pada tahun 1950, para insinyur Belanda telah membangun dan meningkatkan jaringan jalan dengan 12.000 km permukaan beraspal, 41.000 km jalan berlapis logam, dan 16.000 km permukaan kerikil.[86] Selain itu, Belanda membangun rel kereta api sepanjang 7.500 kilometer (4.700 mil), jembatan, sistem irigasi seluas 1,4 juta hektar (5.400 mil persegi) sawah, beberapa pelabuhan, dan 140 sistem air minum umum. Wim Ravesteijn mengatakan bahwa, "Dengan pekerjaan umum ini, para insinyur Belanda membangun bahan dasar negara Indonesia kolonial dan pascakolonial."[87] Angkatan bersenjataTentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (ML-KNIL) didirikan pada tahun 1830 dan 1915 secara berturut-turut. Pasukan Angkatan Laut dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda bermarkas di Surabaya, tetapi tidak pernah menjadi bagian dari KNIL. KNIL adalah cabang terpisah dari Tentara Kerajaan Belanda, dipimpin oleh Gubernur Jenderal dan didanai oleh anggaran kolonial. KNIL tidak diizinkan merekrut orang Belanda yang sedang wajib militer dan memiliki sifat "Legiun Asing" dan memiliki kebiasaan merekrut bukan hanya orang Belanda, tetapi juga dari banyak negara Eropa lainnya (terutama tentara bayaran Jerman, Belgia, dan Swiss).[88] Sementara sebagian besar perwira adalah orang Eropa, mayoritas prajurit adalah orang Indonesia asli, dan kontingen terbesar adalah orang Jawa dan Sunda.[89] Sebelum tahun 1870-an, kebijakan Belanda adalah mengambil tanggung jawab penuh atas titik-titik strategis dan menyusun perjanjian dengan para pemimpin lokal di tempat lain sehingga pihak pemerintah akan tetap memegang kendali dan bekerja sama dengan penguasa lokal. Kebijakan ini gagal di Aceh, di mana sultan membiarkan para bajak laut yang menyerbu perdagangan di Selat Melaka. Britania Raya sebagai pelindung Aceh, memberi Belanda izin untuk membasmi para perompak tersebut. Kampanye militer ini dengan cepat mengusir Sultan, tetapi banyak pemimpin Muslim lokal memobilisasi dan memerangi Belanda di seluruh wilayah Aceh selama empat dekade dalam perang gerilya yang sangat menguras biaya, dengan tingkat korban yang tinggi di kedua belah pihak.[90] Otoritas militer kolonial berusaha mencegah perang terhadap penduduk dengan menggunakan 'strategi kekaguman'. Ketika perang gerilya terjadi, Belanda menggunakan skema pendudukan yang lemah dan kejam atau kampanye penghancuran.[91] Pada tahun 1900, kepulauan nusantara dianggap telah "distabilkan" dan KNIL pada umumnya terlibat dengan tugas-tugas polisi militer. Hakikat KNIL berubah pada tahun 1917 ketika pemerintah kolonial memperkenalkan wajib militer untuk semua laki-laki Eropa yang memenuhi syarat dan pada tahun 1922,[92] pengesahan hukum tambahan memperkenalkan penciptaan "Garda nasional" (bahasa Belanda: Landstorm) untuk laki-laki Eropa yang usianya melebihi 32 tahun.[93] Petisi oleh kaum nasionalis Indonesia untuk mendirikan dinas militer yang terdiri dari masyarakat pribumi ditolak. Pada bulan Juli 1941, Volksraad mengesahkan undang-undang yang menciptakan milisi pribumi yang terdiri dari 18.000 orang setelah memenangkan suara mayoritas 43 berbanding 4, dan hanya Partai Indonesia Raya yang moderat yang keberatan. Setelah deklarasi perang dengan Jepang, lebih dari 100.000 penduduk pribumi secara sukarela bergabung.[94] KNIL dengan tergesa-gesa tidak mampu untuk bertransformasi menjadi kekuatan militer modern yang mampu melindungi Hindia Belanda dari invasi Kekaisaran Jepang. Pada malam invasi Jepang pada bulan Desember 1941, pasukan reguler Belanda di Hindia Belanda terdiri atas sekitar 1.000 perwira dan 34.000 prajurit, dan 28.000 orang di antaranya adalah pribumi. Selama kampanye Hindia Belanda pada tahun 1941 hingga 1942, KNIL dan pasukan Sekutu dengan cepat dikalahkan.[95] Semua prajurit Eropa, yang pada dasarnya mencakup semua pria Indo-Eropa yang berbadan sehat, ditawan oleh Jepang sebagai tahanan perang. Sekitar 25% dari para tahanan perang tersebut tidak mampu bertahan dan gugur dalam masa penawanan mereka. Setelah Perang Dunia II, KNIL yang dibentuk kembali bergabung dengan pasukan Tentara Belanda untuk mengembalikan "hukum dan ketertiban" kolonial. Meskipun ada dua kampanye militer yang berhasil pada tahun 1947 dan 1948, upaya Belanda untuk membangun kembali koloni mereka gagal dan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada bulan Desember 1949.[96] KNIL dibubarkan pada tanggal 26 Juli 1950, dan prajurit pribumi diberikan pilihan untuk didemobilisasi atau bergabung dengan militer Indonesia.[97] Pada saat pembubaran, KNIL berjumlah 65.000 orang, dan 26.000 orang di antaranya dimasukkan ke dalam Angkatan Darat Indonesia yang baru dibentuk. Sisanya didemobilisasi atau dipindahkan ke Angkatan Darat Belanda.[98] Perwira kunci di Tentara Nasional Indonesia yang merupakan mantan tentara KNIL meliputi: Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto, Panglima ABRI Abdul Haris Nasution, dan Alexander Evert Kawilarang—pendiri pasukan khusus elit, Kopassus. BudayaBahasa dan sastraDi seluruh nusantara, ratusan bahasa asli digunakan. Bahasa Melayu atau Portugis, dan bahasa perdagangan juga diadopsi. Sebelum tahun 1870, ketika pengaruh kolonial Belanda sebagian besar terbatas di Jawa, bahasa Melayu digunakan di sekolah-sekolah negeri dan program pelatihan sehingga lulusannya dapat berkomunikasi dengan kelompok-kelompok dari daerah lain yang berimigrasi ke Jawa.[99] Pemerintah kolonial berusaha untuk membakukan bahasa Melayu berdasarkan versi dari Riau dan Malaka, dan kamus digunakan untuk komunikasi pemerintah dan sekolah untuk masyarakat adat.[100] Pada awal abad ke-20, para pemimpin kemerdekaan Indonesia mengadopsi bentuk bahasa Melayu dari Riau, dan menyebutnya bahasa Indonesia. Pada paruh kedua abad ke-19, wilayah nusantara lainnya, tempat ratusan kelompok bahasa digunakan, berada di bawah kendali Belanda. Dalam memperluas program pendidikan pribumi ke wilayah-wilayah ini, pemerintah menetapkan "bahasa Melayu baku" ini sebagai bahasa koloni.[101] Bahasa Belanda tidak dijadikan bahasa resmi koloni dan tidak digunakan secara luas oleh penduduk pribumi Indonesia.[102] Mayoritas orang Belanda yang diakui secara hukum adalah orang Indo-Eurasia dwibahasa.[103] Bahasa Belanda hanya digunakan oleh segelintir elit terpelajar, dan pada tahun 1942, sekitar dua persen dari total populasi di Hindia Belanda berbicara bahasa Belanda, termasuk lebih dari 1 juta penduduk asli Indonesia.[104] Sejumlah kata serapan Belanda digunakan dalam bahasa Indonesia masa kini, khususnya istilah teknis. Kata-kata ini umumnya tidak memiliki alternatif dalam bahasa Melayu dan diadopsi ke dalam kosakata bahasa Indonesia sehingga memberikan wawasan linguistik tentang konsep mana yang merupakan bagian dari warisan kolonial Belanda. Hendrik Maier dari University of California mengatakan bahwa sekitar seperlima dari bahasa Indonesia kontemporer dapat ditelusuri ke bahasa Belanda.[105] Sastra berbahasa Belanda terinspirasi oleh Hindia kolonial dan pascakolonial sejak Zaman Keemasan Belanda hingga saat ini. Hasil kesusastraan ini termasuk karya penulis Belanda, Indo-Eropa, dan Indonesia. Pokok bahasannya secara tematis berkisar pada era kolonial Belanda, tetapi juga mencakup wacana pascakolonial. Mahakarya dari genre ini antara lain Max Havelaar: Or The Coffee Auctions of the Dutch Trading Company karya Multatuli, Hidden Force karya Louis Couperus, Country of Origin karya E. du Perron, dan The Ten Thousand Things karya Maria Dermoût.[106][note 4] Sebagian besar sastra Belanda ditulis oleh penulis Belanda dan Indo-Eropa. Namun, pada paruh pertama abad ke-20 di bawah kebijakan Politik Etis, banyak penulis dan cendekiawan pribumi Indonesia datang ke Belanda untuk belajar dan bekerja. Mereka menulis karya sastra berbahasa Belanda dan menerbitkan karya sastra mereka dalam tinjauan sastra seperti Het Getij, De Gemeenschap, Links Richten, dan Forum. Dengan menjelajahi tema-tema sastra baru dan memusatkan perhatian pada protagonis pribumi, mereka menarik perhatian pada budaya dan penderitaan pribumi. Contohnya antara lain pangeran dan penyair Jawa Noto Soeroto, seorang penulis dan jurnalis, serta penulis berbahasa Belanda Soewarsih Djojopoespito, Chairil Anwar, Kartini, Sutan Sjahrir dan Sukarno.[107] Sebagian besar wacana pascakolonial dalam kesusastraan Hindia Belanda ditulis oleh pengarang Indo-Eropa yang dipimpin oleh "avant garde visioner" Tjalie Robinson, yang merupakan penulis Belanda yang paling banyak dibaca di Indonesia kontemporer,[108] dan generasi kedua imigran Indo-Eropa seperti Marion Bloem. Seni VisualKeindahan alam Hindia Timur telah mengilhami karya-karya seniman dan pelukis yang sebagian besar mengabadikan pemandangan romantis Hindia kolonial. Istilah Mooi Indië (Bahasa Belanda untuk "Hindia Indah") awalnya diciptakan sebagai judul dari 11 reproduksi lukisan cat air Du Chattel yang menggambarkan pemandangan Hindia Timur yang diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1930. Istilah ini menjadi terkenal pada tahun 1939 setelah S. Sudjojono menggunakan itu untuk mengolok-olok para pelukis yang hanya melukiskan semua hal indah tentang Hindia.[109] Mooi Indië kemudian diidentifikasi sebagai genre lukisan yang terjadi pada masa kolonial Hindia Timur yang menangkap penggambaran romantisme Hindia Belanda sebagai tema utama; sebagian besar pemandangan alam pegunungan, gunung berapi, sawah, lembah sungai, desa, dengan pemandangan abdi dalem, bangsawan, dan terkadang wanita pribumi bertelanjang dada. Beberapa pelukis Mooi Indië terkemuka adalah seniman Eropa: F. J. du Chattel, Manus Bauer, Nieuwkamp, Isaac Israel, PAJ Moojen, Carel Dake, dan Romualdo Locatelli; Pelukis Belanda kelahiran Hindia Timur: Henry van Velthuijzen, Charles Sayers, Ernest Dezentje, Leonard Eland dan Jan Frank; Pelukis pribumi: Raden Saleh, Mas Pirngadie, Abdullah Surisubroto, Wakidi, Basuki Abdullah, Mas Soeryo Soebanto dan Henk Ngantung; dan juga pelukis Tionghoa: Lee Man Fong, Oei Tiang Oen, dan Siauw Tik Kwie. Para pelukis ini biasanya memamerkan karyanya di galeri seni seperti Bataviasche Kuntkringgebouw, Theosofie Vereeniging, Kunstzaal Kolff & Co dan Hotel Des Indes. Teater dan filmSebanyak 112 film fiksi diketahui telah diproduksi di Hindia Belanda antara tahun 1926 dan pembubaran koloni pada tahun 1949. Film paling awal, yang diimpor dari luar negeri, ditayangkan pada akhir tahun 1900,[110] dan pada awal tahun 1920-an serial impor dan film fiksi mulai ditayangkan, sering kali dengan nama lokal.[127] Perusahaan Belanda juga memproduksi film dokumenter tentang Hindia Belanda untuk ditayangkan di Belanda.[111] Film produksi lokal pertama, Loetoeng Kasaroeng, disutradarai oleh L. Heuveldorp dan dirilis pada 31 Desember 1926.[112] Antara 1926 dan 1933 banyak produksi lokal lainnya yang dirilis. Selama pertengahan tahun 1930-an, produksi turun sebagai akibat dari Depresi Besar.[113] Tingkat produksi menurun lagi setelah pendudukan Jepang dimulai pada awal 1942, menutup semua kecuali satu studio film.[114] Sebagian besar film yang diproduksi selama pendudukan adalah film pendek propaganda Jepang.[115] Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dan selama revolusi berikutnya, beberapa film dibuat, baik oleh pendukung pro-Belanda maupun pro-Indonesia.[116][117] Umumnya film-film yang diproduksi di Hindia Belanda mengangkat kisah-kisah tradisional atau diadaptasi dari karya-karya yang sudah ada.[118] Film-film awal adalah film bisu, dengan Karnadi Anemer Bangkong umumnya dianggap sebagai film bicara pertama; film-film selanjutnya akan menggunakan bahasa Belanda, Melayu, atau bahasa pribumi. Semua film berwaarna hitam-putih. Antropolog visual Amerika Karl G. Heider menulis bahwa semua film sebelum tahun 1950 hilang.[119] Namun, catatan Katalog Film Indonesia dari JB Kristanto mencatat beberapa di antaranya bertahan di arsip Sinematek Indonesia, dan Biran menulis bahwa beberapa film propaganda Jepang bertahan di Dinas Penerangan Pemerintah Belanda.[120] Drama teater karya penulis drama seperti Victor Ido (1869–1948) dipentaskan di Schouwburg Weltevreden, sekarang dikenal sebagai Gedung Kesenian Jakarta. Bentuk teater yang kurang elit, yang populer di kalangan orang Eropa dan pribumi, adalah pertunjukan teater keliling Indo yang dikenal sebagai Komedie Stamboel, yang dipopulerkan oleh Auguste Mahieu (1865–1903). SainsKekayaan alam dan budaya Hindia Belanda menarik para intelektual, ilmuwan, dan peneliti Eropa. Beberapa ilmuwan terkemuka yang melakukan sebagian besar penelitian penting mereka di kepulauan Hindia Timur adalah Teijsmann, Junghuhn, Eijkman, Dubois, dan Wallace. Banyak lembaga seni, budaya, dan ilmu pengetahuan penting didirikan di Hindia Belanda. Misalnya, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pendahulu Museum Nasional Indonesia, didirikan pada 1778 dengan tujuan untuk mempromosikan penelitian dan mempublikasikan temuan di bidang seni dan sains khususnya sejarah, arkeologi, etnografi, dan fisika. Kebun Raya Bogor dengan Herbarium Bogoriense dan Museum Zoologicum Bogoriense merupakan pusat utama penelitian botani yang didirikan pada tahun 1817 dengan tujuan mempelajari flora dan fauna Nusantara. Fosil Manusia Jawa ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891. Komodo pertama kali dideskripsikan oleh Peter Ouwens pada tahun 1912 setelah kecelakaan pesawat pada tahun 1911 dan rumor tentang dinosaurus yang hidup di Pulau Komodo pada tahun 1910. Vitamin B-1 dan hubungannya dengan penyakit beri-beri ditemukan oleh Eijkman selama bekerja di Hindia Belanda. Dengan meningkatnya minat dalam penelitian ilmiah, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Natuurwetenschappelijke Raad voor Nederlandsch-Indië (Dewan Ilmu Pengetahuan Hindia Belanda) pada tahun 1928.[121] Badan ini beroperasi sebagai organisasi penelitian utama negara sampai pecahnya Perang Dunia II di Asia Pasifik pada tahun 1942. Pada tahun 1948 lembaga ini berganti nama menjadi Organisatie voor Natuurwetenschappelijk Onderzoek (Organisasi untuk Penelitian Ilmiah). Organisasi ini adalah cikal bakal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia saat ini.[122] MasakanKeluarga kolonial Belanda melalui pembantu rumah tangga dan juru masak mereka mengenal masakan Indonesia, alhasil mereka mengembangkan cita rasa rempah-rempah dan hidangan asli tropis. Hidangan kolonial Hindia Belanda yang terkenal adalah rijsttafel, meja makan yang terdiri dari tujuh hingga 40 hidangan populer dari seluruh koloni. Rijsttafel lebih merupakan perjamuan mewah daripada hidangan, masyarakat kolonial Belanda memperkenalkan meja nasi tidak hanya agar mereka dapat menikmati beragam hidangan dalam satu meja, tetapi juga untuk mengesankan pengunjung dengan kelimpahan eksotik koloni mereka.[123] Melalui kolonialisme, Belanda memperkenalkan hidangan Eropa seperti roti, keju, steak panggang, dan pancake. Sebagai penghasil tanaman komersial; kopi dan teh juga populer di kolonial Hindia Timur. Roti, mentega dan margarin, sandwich isi ham, keju atau selai buah, poffertjes, pannekoek, dan keju Belanda biasa dikonsumsi oleh kolonial Belanda dan Indo pada masa kolonial. Beberapa ningrat (bangsawan) pribumi kelas atas dan beberapa pribumi terpelajar mengenal masakan Eropa, dan dijunjung tinggi sebagai masakan elit kelas atas masyarakat Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan adopsi dan asimilasi masakan Eropa ke dalam masakan Indonesia, beberapa hidangan yang diciptakan pada masa kolonial dipengaruhi oleh Belanda: antara lain selat solo (salad solo), bistik jawa (steak daging sapi Jawa), semur (dari smoor Belanda), sayur kacang merah (dari brenebon) dan sop buntut. Kue dan biskuit juga dapat ditelusuri asal-usulnya dari pengaruh Belanda; seperti kue bolu (dari tart), kue pandan, lapis legit (dari spekkoek), lapis surabaya (dari spiku), klappertaart (tar kelapa) dan kaasstengels (kue keju). Kue cubit yang biasa dijumpai di depan sekolah dan pasar diyakini berasal dari poffertjes.[124] ArsitekturKedatangan kekuatan Eropa pada abad ke-16 dan ke-17 di Indonesia memperkenalkan konstruksi batu ke Indonesia di mana sebelumnya kayu dan produk sampingannya hampir secara eksklusif digunakan. Pada abad ke-17 dan ke-18, Batavia adalah kota bata dan batu dibentengi.[125] Selama hampir dua abad, para kolonialis tidak banyak menyesuaikan kebiasaan arsitektur Eropa mereka dengan iklim tropis.[126] Mereka membangun rumah petak yang berventilasi buruk dengan jendela kecil, yang dianggap sebagai perlindungan terhadap penyakit tropis yang berasal dari udara tropis..[126] Bertahun-tahun kemudian Belanda belajar menyesuaikan gaya arsitektur mereka dengan fitur bangunan lokal (atap panjang, beranda, serambi, jendela besar, dan bukaan ventilasi),[127] dan rumah pedesaan Hindia Belanda abad ke-18 salah satu bangunan kolonial pertama yang memadukan unsur arsitektur Indonesia dan beradaptasi dengan iklim, yang kemudian dikenal dengan Indies Style.[128] Sejak akhir abad ke-19, kemajuan teknologi, komunikasi, dan transportasi yang signifikan membawa kekayaan baru ke Jawa. Bangunan modern, termasuk stasiun kereta api, bisnis hotel, pabrik dan blok perkantoran, rumah sakit dan institusi pendidikan, dipengaruhi oleh gaya internasional. Tren awal abad ke-20 adalah pengaruh modernis —seperti art-deco—yang pada dasarnya diekspresikan pada bangunan Eropa dengan trim Indonesia. Respons praktis terhadap lingkungan yang dibawa dari Gaya Hindia sebelumnya, termasuk atap yang menjorok, jendela yang lebih besar, dan ventilasi di dinding, yang melahirkan Gaya Hindia Baru.[129] Stok bangunan era kolonial masih banyak terdapat di kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Arsitek dan perencana terkemuka antara lain Albert Aalbers, Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, J. Gerber dan C.P.W. Schoemaker.[130] Dalam tiga dekade pertama abad ke-20, Departemen Pekerjaan Umum mendanai gedung-gedung publik utama dan memperkenalkan program perencanaan kota di mana kota-kota utama di Jawa dan Sumatra dibangun kembali dan diperluas.[131] Kurangnya pembangunan selama Depresi Besar, gejolak Perang Dunia Kedua dan perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940-an, dan stagnasi ekonomi selama pergolakan politik tahun 1950-an dan 1960-an, menyebabkan banyak arsitektur kolonial masih bertahan hingga beberapa dekade terakhir.[132] Rumah-rumah kolonial hampir selalu menjadi milik para elit Belanda, Indonesia, dan Cina yang kaya; Namun, gaya yang ada sering kali merupakan kombinasi yang kaya dan kreatif dari dua budaya, sedemikian rupa sehingga rumah tersebut tetap dicari hingga abad ke-21.[128] Bisa dibilang arsitektur pribumi lebih dipengaruhi oleh ide-ide baru Eropa daripada arsitektur kolonial yang dipengaruhi oleh gaya Indonesia; dan unsur-unsur Barat ini terus menjadi pengaruh dominan pada lingkungan binaan Indonesia saat ini. ModeDi wilayah jajahan Hindia Belanda, fashion memainkan peran penting dalam menentukan status dan kelas sosial seseorang. Masyarakat kolonial Eropa mengenakan pakaian Eropa langsung dari Belanda, atau bahkan Paris, sedangkan penduduk asli mengenakan pakaian tradisional mereka yang berbeda di setiap daerah. Seiring berjalannya waktu dan pengaruh Belanda semakin kuat, banyak penduduk asli mulai memadukan gaya Eropa dalam pakaian tradisional mereka. Pribumi berpangkat tinggi di koloni serta bangsawan, akan mengenakan setelan gaya Eropa dengan sarung batik mereka untuk acara-acara khusus dan bahkan untuk penggunaan sehari-hari. Semakin banyak penduduk asli Indonesia mulai berpakaian lebih Eropa. Hal ini muncul dengan gagasan bahwa mereka yang mengenakan pakaian Eropa lebih progresif dan terbuka terhadap masyarakat Eropa dan etiket yang menyertainya. Semakin banyak pengaruh Eropa yang lebih diutamakan di kalangan pribumi Indonesia. Penyebabnya mungkin berasal dari fakta bahwa banyak penduduk asli diperlakukan lebih baik jika mereka mengenakan pakaian Eropa. Rekan-rekan Eropa mereka mengakuinya, dan hal itu pada gilirannya kemungkinan besar menjadi katalis untuk adopsi pakaian barat menjadi pakaian tradisional Indonesia.[133] Pengaruh mode antara kolonial dan pribumi adalah fenomena timbal balik. Sama seperti orang Eropa mempengaruhi penduduk asli, penduduk asli juga mempengaruhi kolonial Eropa. Misalnya, kain Eropa yang tebal dianggap terlalu panas untuk dipakai di iklim tropis. Dengan demikian, busana ringan dari kain kebaya yang tipis serta sarung batik yang nyaman dan mudah dikenakan dinilai cukup cocok untuk busana sehari-hari di iklim Hindia Timur yang panas dan lembab. Kemudian dalam sejarah Hindia Belanda, ketika gelombang baru orang Eropa dibawa ke koloni, banyak yang mengadopsi gaya Indonesia, bahkan banyak yang memakai kebaya tradisional Jawa di rumah.[134] Batik juga berpengaruh besar bagi Belanda. Teknik ini sangat menarik bagi mereka sehingga mereka membawa teknik tersebut ke koloni mereka di Afrika di mana teknik tersebut diadopsi dengan pola Afrika. Sebagian besar, orang Eropa di Hindia Belanda, berpegang teguh pada gaya berpakaian tradisional Eropa. Tren mode dari Paris masih sangat dihargai dan dianggap sebagai lambang gaya. Wanita mengenakan gaun dan rok dan pria mengenakan celana dan kemeja. OlahragaPerkembangan olahraga Hindia Belanda yang paling dominan adalah di bidang sepak bola, pada awal 1900-an berdiri klub-klub seperti Persija Jakarta dan Persib Bandung. Dan juga bond-bond Hindia Belanda seperti Voetbalbond Batavia en Omstreken dan Voetbal Bond Bandoeng en Omstreken milik NIVB, saingan asosiasi sepak bola pribumi PSSI. Momen yang paling fenomenal adalah ketika Tim nasional sepak bola Hindia Belanda menjadi kontestan di Piala Dunia 1938 di Prancis. Mereka merupakan kontestan pertama dari Asia. Sayangnya, mereka tersingkir di babak pertama setelah dikalahkan oleh Tim nasional sepak bola Hungaria 0-6 di Stadion Vélodrome Municipal, Reims, Prancis Warisan kolonial di BelandaKetika Keluarga Kerajaan Belanda berdiri pada tahun 1815, sebagian besar kekayaannya berasal dari perdagangan kolonial.[135] Universitas dan perguruan tinggi seperti Universitas Leiden yang didirikan pada abad ke-16 telah berkembang menjadi pusat pengetahuan terkemuka tentang studi Asia Tenggara dan Indonesia.[136] Universitas Leiden telah menghasilkan akademisi seperti penasehat kolonial Christiaan Snouck Hurgronje yang mengkhususkan diri dalam urusan pribumi asli (Indonesia), dan masih memiliki akademisi yang berspesialisasi dalam bahasa dan budaya Indonesia. Universitas Leiden dan khususnya KITLV adalah lembaga pendidikan dan ilmiah yang hingga hari ini berbagi minat intelektual dan historis dalam studi Indonesia. Lembaga ilmiah lainnya di Belanda termasuk Tropenmuseum Amsterdam, sebuah museum antropologi dengan koleksi seni, budaya, etnografi dan antropologi Indonesia yang besar.[71] Tradisi KNIL dijaga oleh Resimen Van Heutsz dari Angkatan Darat Kerajaan Belanda yang modern dan Museum Bronbeek yang berdedikasi, bekas rumah bagi tentara KNIL yang sudah pensiun, ada di Arnhem hingga hari ini. Banyak keluarga kolonial yang masih hidup dan keturunan mereka yang pindah kembali ke Belanda setelah kemerdekaan cenderung untuk mengenang kembali era kolonial dengan perasaan kekuatan dan prestise yang mereka miliki di koloni, dengan barang-barang seperti buku tahun 1970 Tempo Doeloe oleh penulis Rob Nieuwenhuys, serta buku-buku dan materi lain yang menjadi sangat umum ditemui pada 1970-an dan 1980-an.[138] Selain itu, sejak abad ke-18 dunia sastra Belanda memiliki sejumlah besar penulis mapan, seperti Louis Couperus, penulis "The Hidden Force", mengambil era kolonial sebagai sumber inspirasi penting.[139] Bahkan salah satu karya agung sastra Belanda adalah buku "Max Havelaar" yang ditulis oleh Multatuli pada tahun 1860.[140] Mayoritas orang Belanda yang dipulangkan ke Belanda setelah dan selama revolusi Indonesia adalah orang Indo (Eurasia) asli dari pulau-pulau di Hindia Belanda. Populasi Eurasia yang relatif besar ini telah berkembang selama 400 tahun dan diklasifikasikan oleh hukum kolonial sebagai komunitas hukum Eropa.[141] Di Belanda mereka disebut sebagai orang Indo (kependekan dari Indo-Eropa). Dari 296.200 orang yang dikategorikan sebagai 'repatriat Belanda', hanya 92.200 orang Belanda yang lahir di Belanda.[142] Orang Indo saat ini—termasuk keturunan generasi ke-2 mereka, merupakan kelompok kelahiran asing terbesar di Belanda. Pada tahun 2008, Biro Sensus Belanda untuk Statistik (CBS)[143] mendaftarkan 387.000 orang Indo generasi pertama dan kedua yang tinggal di Belanda.[144] Meskipun sepenuhnya dianggap berasimilasi ke dalam masyarakat Belanda, sebagai etnis minoritas utama di Belanda, para 'Repatriat' ini telah memainkan peran penting dalam memperkenalkan unsur-unsur budaya Indonesia ke dalam budaya umum di Belanda. Hampir setiap kota di Belanda akan memiliki 'Toko' (Toko Indonesia Belanda) atau restoran Indonesia[145] dan banyak pameran 'Pasar Malam' (Pasar Malam di Melayu/Indonesia) diselenggarakan sepanjang tahun. Banyak masakan dan makanan Indonesia sudah menjadi hal yang biasa dalam masakan Belanda. Rijsttafel, sebuah konsep kuliner kolonial, dan hidangan seperti Nasi goreng dan sate masih sangat populer di Belanda.[124] Lihat pulaCatatan
ReferensiRujukan
Sumber
Bacaan lebih lanjut
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Dutch East Indies.
|