Imperium Portugal di Nusantara
Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara.[1] Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan pada awal abad ke-16 dan usaha penyebaran Katolik Roma mereka yang berbarengan menyaksikan pendirian pos dan benteng perdagangan, serta unsur budaya Portugis yang kuat yang masih tetap penting di Indonesia. Secara geografis seluruh wilayah Eropa mengalami musim dingin yang akan membuat cara mengelola makanan mereka berbeda. Hampir semua persediaan daging yang mereka miliki didapat dari hewan ternak yang tidak mungkin dipelihara pada musim dingin dan disembelih untuk kemudian disimpan menjadi daging beku. Agar daging tersebut dapat bertahan lama mereka menggunakan garam dan rempah-rempah selama masa penyimpanan. Indonesia merupakan wilayah yang menghasilkan lada, pala, dan cengkeh yang menjadi komoditas utama dalam perdagangan rempah-rempah dan beberapa tanaman yang hanya tumbuh di hutan Maluku. Pala memiliki khasiat tidak hanya sebagai penyedap rasa tetapi juga sebagai afrodisiak dan bahan pengawet. Cengkeh dan lada juga merupakan komoditas langka dan berharga. Bangsa Portugis selama ini membeli rempah-rempah dari pedagang Arab dengan harga yang sangat tinggi. Oleh karena itulah tujuan bangsa Portugis ke Indonesia selain untuk memanfaatkan sumber dari semua rempah-rempah tersebut juga untuk menguasai perdagangannya meskipun pada awalnya mereka tidak terlalu banyak mengetahui secara rinci letak wilayah Indonesia dan cara menuju kesana.[2] Awal penjelajahanBangsa Eropa memajukan teknologi di awal abad ke-16 terutama dalam bidang pelayaran. keahlian baru bangsa Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal, dan persenjataan tidak terlepas dari kekuatan besar pengetahuan Bangsa Arab yang sedang berkembang pesat di kawasan Mediterania pada abad ke-15. Mereka mempelajari berbagai ilmu mengenai geografi dan astronomi yang memungkinkan mereka berani mengadakan ekspedisi penjelajahan dan ekspansi.[2][3] Ketika jalur Laut Tengah terputus akibat jatuhnya Konstatinopel 1453 oleh penguasa Muslim, bangsa Barat mencari jalur alternatif lain untuk mendapatkan komuditas yang diperlukan.[4] Rempah-rempah menjadi komuditas penting ketika itu, khususnya cengkeh dan pala. Maluku tengah dengan palanya dan Maluku utara dengan cengkehnya. Pada akhirnya bangsa Barat yang diprakarsai Portugis melakukan ekspedisi ke timur. Mereka bertujuan mencari Kepulauan Rempah-Rempah. Setelah menguasai kota Goa di India, Portugis menyadari India bukanlah tempat yang dicari-cari. Akhirnya, Portugis mendengar kota Malaka yang ramai perdagangan. Malaka terletak di wilayah Semenanjung Malaya. Selat Malaka menjadi salah satu trayek paling menentukan dalam sistem perdagangan internasional yang membentang dari China dan Maluku sampai Afrika Timur dan Malaka di Laut Tengah.[5] Malaka menjadi pusat transit perdagangan pala, cengkeh, dan bunga pala dari Maluku ke India.[6] Strategisnya Malaka sebagai pusat perdagangan diincar Portugis. Ketika itu Portugis, yang dipimpin Alfonso de Albuquerque (1509-1515), setelah menaklukkan Goa, langsung mengincar Malaka.[7] Albuquerque memutuskan Malaka harus menjadi pijakan selanjutnya dan pada 1511 dimulailah perjalannya.[8] Dalam dua kali serang, Malaka takluk. Sejak saat ini, Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Penaklukan Malaka memberi pijakan bagi Portugis untuk lebih melangkah lagi ke timur Nusantara. Tujuannya adalah wilayah Kepulauan Maluku di mana cengkeh dan pala tumbuh. Kedua komoditas tersebut dikuasai oleh dua kerajaan Islam, yaitu Ternate dan Tidore. Selain itu, Maluku juga ini menyediakan barang berharga yang menguntungkan jika dijual ke Eropa.[6] [6] M.C. Rifcles, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1993). hal. 28 [7] DGE.Hall, Sejarah Asia Tenggara, (Surabaya: Usaha Nasional, 1998), hal. 191 [8] Bernard H.M Vlekke. Nusantara, (Jakarta: KPG, 2017), hal. 83. [9] M.C.Ricklefs, op. cit., hal. 63-64 [10] George Miller, Indonesia Timur Tempo Doeloe, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hal. xxv. Bermula dengan ekspedisi penjelajahan pertama yang dikirim dari Malaka yang baru ditaklukkan pada tahun 1512, bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusantara, dan mencoba mendominasi sumber-sumber rempah-rempah berharga serta berusaha menyebarkan Katolik Roma.[9] Meski begitu, mereka memiliki sedikit pengaruh budaya di kepulauan barat tersebut. Terlebih lagi percobaan awal bangsa Portugis mendirikan koalisi dan perjanjian damai pada tahun 1512 dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan,[10] gagal akibat sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh sejumlah pemerintahan Islam di Jawa, seperti Demak dan Banten. Sebaliknya, dampak budaya Portugis yang bertahan lama berada di wilayah Indonesia Timur. Ekspedisi ke Indonesia TimurSalah satu lokasi rempah-rempah di Indonesia Timur yang terkenal adalah Maluku. Setelah sentral perdagangan rempah-rempah di Melaka berhasil dikuasai, bangsa Portugis segera mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang terdiri atas berbagai kumpulan kerajaan (merujuk pada istilah pemberian para pedagang Arab, Jazirah Al-Muluk atau "tanah para raja") yang awalnya berperang satu sama lain namun memelihara perdagangan antarpulau dan internasional.[11] Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan penguasa setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia Timur, termasuk Pulau Ternate, Ambon, dan Solor. Mereka juga telah menyebarkan ajaran katolik hingga ke pulau-pulau paling timur Indonesia. Di abad ke-19 bahasa Portugis sudah menjadi salah satu Bahasa penting di nusantara, bahkan beberapa kata baku dalam bahasa Indonesia saat ini merupakan hasil serapan dari bahasa Portugis.[12] Namun, puncak kegiatan misi Portugis dimulai pada paruh terakhir abad ke-16, setelah langkah penaklukan militernya di kepulauan tersebut gagal dan kepentingan Asia Timur mereka berpindah ke Jepang, Makau, dan Tiongkok; serta pada gilirannya gula di Brasil dan perdagangan budak Atlantik mengalihkan perhatian mereka dari Nusantara. Di samping itu, bangsa Eropa pertama yang tiba di Sulawesi Utara adalah Portugis. Upaya Penyebaran AgamaFrancisco Xavier terlibat dalam misi Portugis di Tolo, Halmahera. Ia merupakan seorang pionir misionaris Kristen di Maluku. Misi tersebut dimulai pada 1534, tetapi akhirnya menjadi sumber konflik antara Spanyol, Portugis, dan Ternate.[13][14] Kemunduran dan peninggalanKeberadaan Portugis berkurang hanya di Solor, Flores dan Timor (lihat Timor Portugis) di Nusa Tenggara Timur sekarang, menyusul kekalahan pada tahun 1575 di tangan penduduk Ternate, penaklukan Belanda di Ambon, Maluku Utara, dan Banda, serta kegagalan umum untuk menopang kendali perdagangan di kawasan ini.[15] Dibandingkan dengan ambisi awalnya mendominasi perdagangan Asia, pengaruh mereka pada budaya Indonesia amat kecil: gitar balada keroncong; sejumlah kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Portugis yang pernah menjadi lingua franca di samping Melayu; dan banyak nama keluarga di Indonesia Timur seperti Da Silva, Da Lopez, Da Cunha, Henriquez, Carvallo, Da Costa, Diaz, de Fretes, Gonsalves, dll.[16] Dampak terpenting kedatangan bangsa Portugis adalah gangguan dan kekacauan jaringan perdagangan yang sebagian besar terjadi akibat penaklukan Malaka, dan penyebaran Kristen awal di Indonesia. Hingga kini, penduduk Kristen banyak ditemui di Indonesia Timur.[17] Di Dusun Baluk Kec. Bola, Kab. Sikka, St. Fransiskus Xaverius, misionaris Katholik yang mengikuti perjalanan orang Portugal, menancapkan sebuah Salib setinggi 3 meter di atas sebuah Batu Karang, yang oleh orang setempat diberi nama "Watu Krus" hal ini terjadi ± pada tahun 1630. Di Manado, pelaut Portugis berhasil berlabuh disana dan mendirikan gereja putih diantara perkebunan sawit penduduk setempat.[18] Di Kampung Tugu, Koja, Jakarta Utara, terdapat permukiman keturunan Portugis. Mereka adalah keturunan dari bangsa Portugis yang dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) sebagai tawanan perang setelah VOC Belanda menaklukkan Malaka pada tahun 1641.[19] Adapun keturunan Bangsa Portugis yang beragama Islam dapat ditemukan di Lamno, Aceh.[20] Lihat jugaRujukan
Daftar Pustaka
|