Kerajaan Kalinyamat
Kerajaan Kalinyamat (juga dikenal sebagai Kerajaan Jepara) adalah sebuah kerajaan Jawa pada abad ke-16 yang berpusat di Jepara. Baik Kalinyamat maupun Jepara awalnya adalah dua kadipaten terpisah yang tunduk pada Kerajaan Demak. Sepeninggal Pangeran Trenggana, Kalinyamat mendapatkan Jepara, Pati, Juwana, dan Rembang.[1] Puncak kejayaannya terjadi di pertengahan abad ke-16 ketika Kalinyamat dipimpin oleh Ratu Kalinyamat. Pada tahun 1551 dan 1574, Kalinyamat melakukan ekspedisi ke Melaka Portugis untuk mengusir Portugal dari Hindia Timur sementara meluaskan kekuasaannya ke luar Jawa, seperti Kalimantan Barat dan Pulau Bawean.[2][3] SejarahAwal Berdiri KalinyamatWilayah Kalinyamat terletak kira-kira 18 km ke arah pedalaman dari Jepara. Pada abad keenambelas wilayah tersebut menjadi lokasi pemerintahan kota pelabuhan Jepara. Menurut salah satu catatan naskah, Kalinyamat didirikan oleh seorang nahkoda asal Tiongkok bernama (sesudah dijawakan) Wintang yang kapalnya kandas di tepi pantai Jepara. Sesampainya di Jepara (Jung Mara) dalam keadaan melarat, ia lalu dibantu dalam belajar bahasa setempat oleh orang sebangsanya yang telah lebih dulu masuk islam. Kemudian ia diislamkan oleh Sunan Kudus dan mengganti namnya menjadi Rakit. Beberapa waktu setelahnya, ia mendirikan pendukuhan di tepi jalan antara Kudus dan Jepara yang secara bertahap menjadi tempat yang maju dan berkembang pesat. Ia kemudian mengabdi kepada Sultan Trenggana dari Demak, dan mendapat salah seorang putri Sultan Trenggana sebagai istrinya. Menurut silsilah Kerajaan Demak, putri tersebut tercatat sebagai Ratu Aria Jepara atau yang dalam Babad Tanah Jawi ia disebut sebagai Ratu Kalinyamat.[4] Kematian Sultan HadlirinPada tahun 1549, keluarga Sunan Prawata, sultan keempat Demak, dibunuh oleh Rangkut dan Gopta, suruhan Arya Penangsang, bupati Jipang Panolan. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat ke Kudus minta penjelasan. Menurut Babad Tanah Jawi, Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya, tetapi Sunan Kudus mendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta sepeninggal Sultan Trenggana. Ia menjelaskan bahwa semasa muda, Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Sekar Seda ing Lepen, ayah Arya Penangsang. Jadi, Sunan Kudus melihatnya sebagai balasan yang setimpal. Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka disergap anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan. Selanjutnya, dengan membawa jenazah Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan perjalanan sampai pada sebuah sungai dan darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna ungu, dan kemudian dikenal daerah tersebut dengan nama Kaliwungu. Semakin ke barat, dan dalam kondisi lelah, kemudian melewati Pringtulis. Dan karena lelahnya dengan berjalan sempoyongan (moyang-moyong) di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Mayong. Sesampainya di Pelang karena hatinya melang-melang. Sesampainya di Purwogondo, disebut demikian karena di tempat inilah awal keluarnya bau dari jenazah yang dibawa Ratu Kalinyamat, dan kemudian melewati Pecangaan dan sampai di Mantingan. Ratu Kalinyamat berhasil meloloskan diri dari peristiwa pembunuhan itu. Ia kemudian melakukan tapa "telanjang"[note 1] di Gunung Danaraja, dengan sumpah tidak akan "berpakaian" sebelum berkeset kepala Arya Penangsang. Harapan terbesarnya adalah adik iparnya, yaitu Hadiwijaya, bupati Pajang, karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan bupati Jipang. Hadiwijaya segan menghadapi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Ia pun mengadakan sayembara yang berhadiah tanah Mataram dan Pati. Sayembara itu dimenangi oleh Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi. Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan, berkat siasat dari Ki Juru Martani. Setelah Arya PenangsangRatu Kalinyamat kembali naik tahta setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549. Kemudian, Kalinyamat, Demak, dan Jipang menjadi bawahan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya. Meskipun demikian, Hadiwijaya tetap memperlakukan Ratu Kalinyamat sebagai tokoh senior yang dihormati, bahkan Hadiwijaya tidak berniat membawahi Kalinyamat. Begitu juga dengan Ratu Kalinyamat yang tidak memandang Pajang sebagai halangan. Tercatat pedagang-pedagang Aceh, Melaka, Banten, Demak, Semarang, Tegal, Bali, Makassar, Banjarmasin, Tuban dan Gresik turut meramaikan Jepara. Dapat dikatakan Pelabuhan Jepara menjadi tempat transaksi perdagangan berskala internasional. Ratu Kalinyamat pun memungut cukai bagi setiap kapal yang bertransaksi di Pelabuhan Jepara. Hasil perdagangan beras dan cukai tersebut menjadikan Jepara sebagai Kerajaan yang makmur, kaya raya. Dengan kekayaannya, Ratu Kalinyamat membangun armada Laut yang sangat kuat untuk melindungi kerajaannya yang bercorak maritim. Sebagai Kerajaan Maritim yang bercorak Islam, Kerajaan Jepara sangat dihormati dan disegani oleh kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Kekuatan armada laut Kerajaan Jepara sudah tersohor di seluruh Nusantara. Banyak kerajaan-kerajaan lain yang meminta bantuan armada laut Jepara untuk melindungi negerinya. Saat itu Ratu Kalinyamat sangat berpengaruh di Pulau Jawa. Ia adalah Ratu yang memiliki posisi politik yang kuat dan kondisi ekonomi yang kaya raya. Ia menjalin hubungan diplomatik yang sangat baik dengan Kerajaan-kerajaan Maritim Islam lainnya. Jepara menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Johor, Kesultanan Aceh, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Ambon dan Kesultanan Demak. Ekspedisi untuk mengusir PortugalRatu Kalinyamat sebagaimana bupati Jepara sebelumnya (Pati Unus), bersikap anti terhadap Portugis. Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan sultan Johor untuk membebaskan Melaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu. Pasukan Jepara itu kemudian bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Melaka. Namun Portugis berhasil membalasnya. Pasukan Persekutuan Melayu dapat dipukul mundur, sementara pasukan Jepara masih bertahan. Baru setelah pemimpinnya gugur, pasukan Jepara ditarik mundur. Pertempuran selanjutnya masih terjadi di pantai dan laut yang menewaskan 2.000 prajurit Jepara. Badai datang menerjang sehingga dua buah kapal Jepara terdampar kembali ke pantai Melaka, dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang berhasil kembali ke Jawa tidak lebih dari setengah dari yang berhasil meninggalkan Melaka. Pada tahun 1564, Sultan Ali Riayat Syah dari Kesultanan Aceh meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di Melaka. Saat itu Demak dipimpin seorang bupati yang mudah curiga, bernama Arya Pangiri, putra Sunan Prawata. Utusan Aceh dibunuhnya. Akhirnya, Aceh tetap menyerang Melaka tahun 1567 meskipun tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal. Pada tahun 1573, Sultan Ali Riayat Syah meminta bantuan lagi kepada Ratu Kalinyamat untuk menyerang Melaka kembali. Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana itu baru tiba di Melaka bulan Oktober 1574. Padahal saat itu pasukan Aceh sudah dipukul mundur oleh Portugis. Pasukan Jepara yang terlambat datang itu langsung menembaki Melaka dari Selat Melaka. Esoknya, mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi akhirnya, pertahanan itu dapat ditembus pihak Portugis. Sebanyak 30 buah kapal Jepara terbakar. Pihak Jepara mulai terdesak, namun tetap menolak perundingan damai karena terlalu menguntungkan Portugis. Sementara itu, sebanyak enam kapal perbekalan yang dikirim Ratu Kalinyamat direbut Portugis. Pihak Jepara semakin lemah dan memutuskan pulang. Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya sekitar sepertiga saja yang tiba di Jawa. Kebesaran dan keberanian Ratu Kalinyamat diakui oleh sejarawan Portugis Diogo do Couto dalam Da Asia de João de Barros dengan sebuah ungkapan Rainha de Japara, senhora poderosa, e rica (yang artinya "ratu Jepara, seorang wanita yang berkuasa dan kaya").[7][8] Hubungan dengan MalukuSumber Portugal melaporkan bahwa Kerajaan Tanah Hitu berkali-kali meminta bantuan Kalinyamat untuk melawan orang Portugis dan suku lain yang masih seketurunannya, yaitu Suku Hative. Bantuan pertama kali dikirim pada tahun 1565. Perlawanan ini menghasilkan efek pada Portugis 10 tahun kemudian yang perlahan-lahan meninggalkan Maluku.[9] KemunduranSetelah meninggal pada tahun 1579, Ratu Kalinyamat digantikan oleh anak angkatnya, Pangeran Arya Jepara. Meskipun tidak sekuat bibinya, kekuasannya di laut masih dihormati.[10] Pada 1580, Maulana Yusuf, Raja Banten dan pahlawan yang merebut Pajajaran, meninggal dunia. Ia hanya meninggalkan seorang anak laki-laki yang masih kecil. Menurut para penulis sejarah di Banten, pangeran Jepara yang masih saudara Maulana Yusuf, menuntut haknya atas takhta Kesultanan Banten. Ia bersama panglima armada Demang Laksamana, pergi dari Jepara ke Banten. Tetapi sesampainya disana, Demang Laksamana terbunuh dalam pertempuran melawan Perdana Menteri Banten, sehingga Pangean Jepara terpaksa pulang. Sejak peristiwa tersebut berakhirlah pengaruh pemerintahan Jepara di Jawa Barat.[11] Di masa pemerintahan Pangeran Arya Jepara, Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya beberapa kali mencoba menaklukkan Kalinyamat, tetapi gagal karena Kota Jepara dilindungi oleh benteng melingkar yang menghadap ke pedalaman dan dijaga ketat oleh pasukannya. Menurut pelaut-pelaut asal Belanda (Eerste Schipvaert I: 103), pada abad keenam belas kebanyakan kota pelabuhan di Jawa dikelilingi tembok batu atau kayu pada sisi yang menghadap ke daerah pedalaman.[12] Baru pada tahun 1599, Mataram berhasil menaklukkan Kalinyamat dengan serbuan yang menghancurkan Kota Jepara, baik secara fisik, politik, maupun ekonomi.[10][13] Dalam suatu surat berbahasa Belanda pada 1615 (Colenbrander, Coen VII: 45), terdapat kata-kata tentang destructie (penghancuran) Kota Jepara. Serangan Kesultanan Mataram dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan pesisir mengakibatkan kerusakan yang berat, dan kemungkinan termasuk Kerajaan kalinyamat menjadi salah satu bagian dari korban serangan tersebut.[12] Sebuah sumber tradisional menyebut peristiwa ini sebagai bedhahe Kalinyamat, yang artinya "jatuhnya Kalinyamat".[14] PeninggalanBeberapa peninggalan Kalinyamat yang masih ada yaitu Kawasan Siti Inggil Kalinyamat di Kriyan, Pertapaan Sonder di Tulakan, dan Benteng Kalinyamat di Robayan. Catatan
ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|