Medang
Kerajaan Medang (bahasa Jawa Kuno: ; kaḍatwan mḍaŋ) atau sering disebut juga Mataram Kuno adalah kerajaan agraris sekaligus talasokrasi yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi, yang didirikan oleh Sanjaya. Kerajaan ini dipimpin oleh wangsa Syailendra dan wangsa Isyana. Sepanjang sejarahnya, penduduk kerajaan ini sangat mengandalkan sektor pertanian, terutama budidaya padi lahan basah (sawah). Akan tetapi, kemudian kerajaan ini juga mengembangkan sektor niaga maritim. Menurut sumber-sumber asing dan temuan arkeologis, kerajaan ini tampaknya berpenduduk cukup banyak dan memiliki ekonomi yang makmur. Kerajaan ini mengembangkan struktur masyarakat yang kompleks, memiliki budaya yang berkembang dengan baik, serta mencapai kemajuan teknologi dan tingkat peradaban yang luhur dan halus.[1] Pada periode antara akhir abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9, kerajaan ini mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan mekar berseminya seni dan arsitektur Jawa klasik. Hal ini tercermin dari pesatnya pertumbuhan budaya dan maraknya pembangunan aneka candi, yang menghiasi bentang kerajaan di tanah Mataram. Candi yang terkenal dibangun pada masa kerajaan Medang adalah Kalasan, Sewu, Borobudur dan Prambanan. Kerajaan Mataram dikenal sebagai negeri pembangun candi.[2] Kemudian wangsa yang memerintah kerajaan Medang terbagi menjadi dua kubu yang diidentifikasi sebagai Syailendra pemuja Siwa dan Syailendra penganut Buddha Mahayana. Indikasi perang saudara terjadi, hasilnya adalah wangsa Syailendra dibagi menjadi dua kerajaan yang kuat, wangsa Syailendra (pemuja Siwa) berkuasa di Jawa dipimpin oleh Rakai Pikatan dan wangsa Syailendra (penganut Buddha) berkuasa di Sumatera dipimpin oleh Balaputradewa. Perselisahan di antara mereka berakhir sampai 938 Saka, atau sekitar 1016 Masehi, ketika raja wangsa Syailendra yang berkedudukan di Sumatera menghasut Haji Wurawari, seorang raja bawahan, untuk memberontak kepada kekuasaan Dharmawangsa Teguh. Dengan dukungan Sriwijaya, Raja Wurawari dari arah Lwaram menyerbu ibu kota Wwatan di Jawa Timur. Serangan tersebut dilancarkan secara mendadak dan tak terduga. Akibatnya, kerajaan runtuh, luluh lantak tanpa menyisakan apapun, kecuali sedikit saja penyintas yang berhasil menyelamatkan diri. Seorang penyintas, bangsawan Jawa-Bali keturunan wangsa Isyana tetap bertahan, dan akhirnya berhasil merebut kembali kekuasaan di Jawa Timur. Selanjutnya, pada tahun 1019 dia mendirikan Kerajaan Kahuripan, sebagai kelanjutan dari kerajaan Medang Mataram. Tokoh ini adalah Airlangga, putra Udayana raja kedelapan dari kerajaan Bedahulu di Bali. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri dari raja Medang Makutawangsawardhana. Peristiwa tersebut disebutkan dalam prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh Airlangga pada 1041. Selanjutnya kerajaan Airlangga tersebut terbagi menjadi dua, kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala.[3] EtimologiAwalnya, kerajaan atau kedatuan ini diidentifikasi melalui lokasinya di Yawadwipa (Pulau Jawa) sebagaimana disebutkan dalam prasasti Canggal (732 M). Prasasti itu mendokumentasikan dekrit Sanjaya, di mana ia menyatakan dirinya sebagai penguasa universal Mataram. Para sejarawan sebelumnya seperti Soekmono, mengidentifikasi nama kedatuan ini sebagai Mataram, nama geografis bersejarah untuk menyebut kawasan dataran Kewu, yang kini berada dalam wilayah administratif provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini didasarkan pada lokasi di mana sebagian besar peninggalan candi ditemukan. Etimologi nama "Mātaram" berasal dari istilah bahasa Sanskerta yang memiliki arti "ibu".[4] Nama Medang muncul kemudian dalam prasasti Anjuk Ladang, prasasti Sangguran, prasasti Paradah dan beberapa prasasti yang ditemukan di Jawa Timur. Sebagai akibatnya, para sejarawan cenderung mengidentifikasi periode Jawa Timur (929–1016 M) dari kedatuan ini sebagai Medang untuk membedakannya dengan periode Jawa Tengah (732–929 M). Meninjau dari beberapa prasasti periode Jawa Timur dijumpai frasa yang tertera di dalam beberapa prasasti, antara lain dalam prasasti Anjuk Ladang, prasasti Paradah yang menyebutkan:
Terjemahan inskripsi: "... [wahai sekalian] engkau (yang mulia), yang melindungi kedaton leluhurmu di Medang, di bumi Mataram ..." Frasa ini mengungkapkan nama kerajaan. Ini menunjukkan bahwa nama "Medang" sudah digunakan pada periode Jawa Tengah sebelumnya. Ungkapan mḍaŋ i bhūmi mātaram berarti "Medang di tanah Mataram", yang berarti Medang adalah nama kedatuan dengan pusatnya di tanah Mataram. Makna kita prasiddha di sini plural, sehingga rahyaŋta boleh jadi merujuk kepada para leluhur yang meninggal di Mataram.[5] Namun, dengan memeriksa frasa dalam prasasti Mantyasih lempeng 1b: baris 7–8 yang menyebutkan:
Terjemahan inskripsi: "... leluhurmu dahulu, di medang, di poh pitu, penguasa mataram, sang ratu sanjaya ..." Frasa ini mengungkapkan bahwa Sanjaya sebagai Rakai (penguasa) di tanah Mataram. Ini menunjukkan bahwa nama "Medang" sudah digunakan pada periode Jawa Tengah. Ungkapan rahyaŋta rumuhun. ri mḍaŋ. ri poh pitu berarti "leluhur dahulu ada di Medang, di Poh Pitu", yang berarti Mataram adalah sebagai nama wilayah administratif setingkat provinsi atau daerah khusus bagi kerajaan Medang. Asal usul nama mdaŋ mungkin berasal dari nama lokal pohon "Medang", tumbuhan berbunga yang merujuk pada genus Phoebe.[6] Sanjaya mulanya mendirikan kadaton Medang di Bhumi Mataram kemudian dipindah istananya oleh Rakai Pikatan ke Mamrati. Kemudian pada era Dyah Balitung (Rakai Watukura) istana Medang dipindahkan ke Poh Pitu. Kembali lagi ke Bhumi Mataram pada era Dyah Wawa (Rakai Sumba). Kemudian Mpu Sindok yang mendirikan wangsa Isyana memindahkan pusat kedatuan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, tanpa memutus hubungan dengan leluhur terdahulu ia menyebut leluhurnya dengan kalimat rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi mātaram pada prasasti Anjuk Ladang dan prasasti Paradah.[7] Letusan Gunung Merapi yang parah mungkin telah menyebabkan pemindahan pusat kedatuan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sejarawan menyatakan bahwa, beberapa waktu pada masa pemerintahan Dyah Wawa dari Bhumi Mataram (924–929), Gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram. Letusan Gunung Merapi ini dikenal dengan sebutan "Pralaya Mataram" (bencana Mataram). Di Jawa Timur ibu kota baru Medang berada di Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh, dan terakhir ke Wwatan pada masa Dharmawangsa Teguh. Penyebutan bersejarah nama kerajaan Mataram tidak dapat disamakan dengan kota Mataram yang terletak di Pulau Lombok, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat. Dahulu di Kota Mataram pernah berdiri sebuah kerajaan bernama puri Cakranegara yang didirikan oleh bangsawan dari Kerajaan Karangasem di Bali pada awal abad ke-19. Sesungguhnya, nama Kota Mataram memang diambil berdasarkan nama kerajaan historis Mataram yamg ada di Jawa. Ini dalah praktik yang lazim bagi orang Bali untuk memberi nama pemukiman mereka yang sama dengan nama tempat di Jawa, sesuai dengan warisan budaya Majapahit mereka. SejarahBerdirinya MedangCatatan awal Kerajaan Medang ada dalam prasasti Canggal (732), ditemukan di dalam kompleks Candi Gunung Wukir di dusun Canggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti ini, ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan aksara Pallawa, menceritakan tentang pendirian Siwalingga (lambang Siwa) di bukit di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi dengan banyak beras dan emas. Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya Sanna negara berkabung, jatuh dalam perpecahan. Pengganti raja Sanna yaitu putra saudara perempuannya Sannaha bernama Sanjaya. Dia menaklukkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya, dan pemerintahannya yang bijak memberkati tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya.[8][9] Pada prasasti Taji, Prasasti Tulang Er dan prasasti Timbangan Wungkal ditemukan istilah Sanjayawarsa (Kalender Sanjaya), disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa tahun 1 Sanjaya sama dengan tahun 716 Masehi. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun 716 M ini merupakan tahun kelahiran Sanjaya, atau tahun berdirinya kedatuan.[10] Menurut prasasti Canggal, Sanjaya mendirikan kedatuan baru di tengah Pulau Jawa bagian selatan. Namun tampaknya itu merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya yang diperintah oleh Sanna. Kejayaan MedangPeriode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760–910) yang berlangsung selama 150 tahun, ditandai sebagai era puncak kejayaan peradaban Jawa kuno. Pada periode ini seni, budaya, dan arsitektur Jawa kuno tumbuh mekar bersemi. Ditandai dengan pembangunan sejumlah candi dan monumen nan megah, marak membentang menghiasi cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi yang paling terkenal adalah candi Sewu, Borobudur dan Prambanan. Wangsa Syailendra dikenal sebagai pembangun candi yang hebat.[9] Negeri pembangun candiDari abad ke-7 hingga pertengahan ke-10, Kerajaan Medang terdapat berkembangnya peradaban yang megah, terutama seni arsitektur Jawa Kuno berupa bangunan-bangunan suci Hindu-Buddha yang membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi paling awal dibangun era Medang adalah candi Gunung Wukir, berdasarkan prasasti Canggal, candi ini didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya, pada tahun 732 M (654 Saka). Prasasti Canggal memiliki banyak informasi terkait dengan awal berdirinya Medang. Berdasarkan prasasti tersebut, candi Gunung Wukir mungkin memiliki nama asli Kunjarakunja. Hampir lima puluh tahun kemudian candi Buddha tertua dibangun di wilayah dataran Kewu, candi Kalasan, terkait dengan prasasti Kalasan (778 M) dan Rakai Panangkaran. Sejak saat itu, kerajaan Medang kedapatan proyek pembangunan candi yang tersebar di dataran Kewu dan dataran Kedu, seperti candi Sari, candi Sewu, candi Lumbung, candi Ngawen, candi Mendut, candi Pawon, dan puncaknya pada era raja Samaratungga yang memprakarsai pembangunan candi Borobudur, candi monumental besar, berbentuk seperti gunung yang diselingi dengan stupa dan selesai dibangun pada 825 M. Arsitektur monumental lainnya yaitu candi Prambanan, awalnya dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (838–850), dan diperluas pembangunannya masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (850–890) ke Dyah Balitung (899–911), bangunan candi tersebut juga disebutkan dalam prasasti Siwagrha. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu yang didedikasikan untuk Trimurti, tiga dewa tertinggi (Siwa, Brahma, Wisnu). Itu adalah candi Hindu terbesar yang pernah dibangun di Indonesia, bukti kemegahan arsitektur dan pencapaian budaya Medang. Candi Hindu lainnya yang berasal dari Medang adalah: candi Sambisari, candi Gebang, candi Barong, candi Ijo, dan candi Morangan. Meskipun Siwais, umat Buddha tetap berada di bawah perlindungan kerajaan. Candi Sewu yang didedikasikan untuk Manjusri (Buddha) menurut prasasti Kelurak mungkin awalnya dibangun oleh Rakai Panangkaran, tetapi kemudian pembangunannya diperluas dan selesai pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (seorang raja beragama Hindu-Siwa), yang menikah dengan Pramodhawardhani seorang putri raja Samaratungga beragama Buddha. Sebagian besar rakyatnya mempertahankan agama lama mereka; Hindu dan Buddha, hidup berdampingan secara harmonis. Candi Buddha seperti candi Plaosan, candi Banyunibo dan candi Sojiwan juga dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani. Penakluk agungAda beberapa laporan bahwa ada serangan angkatan laut Jawa yang menyerbu Tran-nam pada tahun 767, Champa pada tahun 774, dan Champa lagi pada tahun 787.[11] Penerus Panangkaran adalah Dharanindra (memerintah 780–800) atau biasa disebut Raja Indra. Ia disebutkan dalam prasasti Kelurak (tanggal 782) dengan nama resmi pemerintahannya Sri Sanggrama Dhananjaya. Dalam prasasti ini, dia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana atau "pembunuh musuh yang berani". Judul serupa juga ditemukan pada prasasti Ligor B yang ditemukan di Semenanjung Malaya Thailand Selatan; Sarwwarimadawimathana, yang menyarankan itu merujuk pada orang yang sama. Dharanindra tampaknya menjadi karakter yang gagah berani dan suka berperang, saat ia memulai ekspedisi angkatan laut militer di luar negeri dan telah membawa kendali Syailendra di Ligor di Semenanjung Malaya.[9] Raja Indra tampaknya melanjutkan tradisi pembangun pendahulunya. Ia melanjutkan pembangunan candi Manjusrigrha (kompleks Sewu), dan menurut prasasti Karangtengah (tanggal 824) bertanggung jawab atas pembangunan candi Venuvana, yang berhubungan dengan Candi Mendut atau mungkin Candi Ngawen. Dia juga mungkin bertanggung jawab atas konsepsi dan inisiasi pembangunan candi Borobudur dan Pawon. Dharanindra naik sebagai Maharaja Sriwijaya. Sifat hubungan dekat Syailendra dengan kerajaan tetangga Sriwijaya yang berbasis di Sumatera cukup tidak pasti dan rumit. Tampaknya di masa lalu, keluarga Syailendra termasuk dalam lingkup pengaruh mandala Sriwijaya. Dan untuk jangka waktu berikutnya, raja Syailendra naik menjadi kepala mandala Sriwijaya. Pergeseran yang membuat Syailendra kembali menjadi penguasa Sriwijaya tidak jelas. Apakah dipimpin oleh kampanye militer oleh Dharanindra melawan Sriwijaya di Sumatera, atau lebih mungkin dibentuk oleh aliansi erat dan kekerabatan antara keluarga Syailendra dan Maharaja Sriwijaya. Sumber-sumber Arab menyebutkan bahwa Zabag (Jawa) memerintah Sribuza (Sriwijaya), Kalah (sebuah tempat di semenanjung Melayu, mungkin Kedah), dan Ramni (sebuah tempat di Sumatra, mungkin Lamuri).[12][13] Pada tahun 851 seorang saudagar Arab bernama Sulaimaan mencatat peristiwa tentang Sailendra Jawa yang melakukan serangan mendadak terhadap Khmer dengan mendekati ibu kota dari sungai, setelah menyeberangi laut dari Jawa. Raja muda Khmer kemudian dihukum oleh Maharaja, dan kemudian, kerajaan tersebut menjadi vasal dinasti Sailendra.[14] Pada tahun 916 M, Abu Zaid Hasan menyebut bahwa sebuah kerajaan bernama Zabag menyerbu Kerajaan Khmer, menggunakan 1000 kapal "berukuran sedang", yang menghasilkan kemenangan Zabag. Kepala raja Khmer kemudian dibawa ke Zabag.[15] Terlepas benar atau tidaknya kisah tersebut atau hanya legenda, ia bisa jadi ada kaitannya dengan kemerdekaan Kamboja dari kekuasaan Jawa pada tahun 802 M. Zabag mungkin berhubungan dengan Jawaka/Javaka, yang mungkin merujuk ke Jawa atau Sumatera Selatan.[16] Berdasarkan Prasasti Ligor, Prasasti Tembaga Laguna dan Prasasti Pucangan, pengaruh dan pengetahuan Kerajaan Medang sampai ke Bali, Thailand Selatan, Kerajaan India di Filipina, dan Khmer di Kamboja.[17][18][19] Peralihan kekuasaanTidak diketahui apakah Balaputradewa diusir dari Yawadwipa (Jawa) karena sengketa suksesi dengan Rakai Pikatan, atau apakah dia sudah memerintah di Swarnadwipa (Sumatra). Belum diketahui secara pasti, tetapi Balaputradewa dari wangsa Syailendra akhirnya berkuasa di Sumatra dan dinobatkan sebagai raja di Sriwijaya. Sejarawan berpendapat bahwa ini dikarenakan ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, menikah dengan Dewi Tara putri Dharmasetu dari Sriwijaya, ini menjadikan Balaputradewa sebagai pewaris tahta Sriwijaya. Balaputradewa raja Sriwijaya kemudian menyatakan klaimnya sebagai ahli waris yang sah wangsa Syailendra dari garis ayahnya, Samaragrawira raja keempat Medang di Jawa, sebagaimana dinyatakan dalam prasasti Nalanda (860 M).[9] Prasasti Siwagrha (856 M) menyebutkan tentang peperangan yang menantang pemerintahan Rakai Pikatan, namun prasasti itu tidak menyebutkan siapa musuh yang menantang otoritas Rakai Pikatan. Para sejarawan sebelumnya menyatakan musuh yang dimaksud Balaputradewa, namun kemudian sejarawan lain menyarankan ada musuh lain, alasan tersebut karena saat itu Balaputradewa sudah memerintah di Sriwijaya. Prasasti Siwagrha hanya menyebutkan bahwa pertempuran terjadi di sebuah benteng di atas bukit yang dilindungi oleh sebagian besar dinding batu, bukit benteng ini diidentifikasikan dengan Situs Ratu Boko. Anak tertua dari Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani adalah Rakai Gurunwangi Dyah Saladu. Akhirnya pemberontakan berhasil dikalahkan oleh putra bungsu Rakai Pikatan, Dyah Lokapala yang juga dikenal sebagai Rakai Kayuwangi. Sebagai hadiah atas tindakan heroik dan keberaniannya, orang-orang dan banyak penasihat Rakai Pikatan mendesak agar Lokapala harus dinobatkan sebagai putra mahkota bukannya Gurunwangi, meskipun merupakan saudara tertua. Hilangnya Gurunwangi dalam suksesi, telah menimbulkan pertanyaan di antara para sejarawan. Sebelumnya dianggap bahwa nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu merujuk pada karakter wanita (putri), meskipun lebih mungkin bahwa Gurunwangi adalah seorang pangeran. Pemberontakan ini tampaknya telah berhasil mengambil alih ibukota di Mataram selama periode tertentu. Setelah mengalahkan perampas, Rakai Pikatan menemukan bahwa pertumpahan darah ini telah membuat ibu kota di Mataram kacau, sehingga ia memindahkan kadaton ke Mamrati atau Amrati yang terletak di suatu tempat di Dataran Kedu (lembah sungai Progo), barat laut dari Mataram. Kemudian Rakai Pikatan memutuskan untuk turun tahta demi putra bungsunya Dyah Lokapala (memerintah 850–890). Rakai Pikatan pensiun, meninggalkan urusan duniawi dan menjadi seorang pertapa bernama Sang Prabhu Jatiningrat. Acara ini juga ditandai dengan upacara penahbisan citra Siwa di candi utama Prambanan. Boechari menyatakan bahwa musuh yang menantang Rakai Pikatan adalah Rakai Walaing pu Kumbhayoni, seorang Siwais yang kuat dan juga cabang dari dinasti yang berkuasa saat ia mengklaim sebagai keturunan raja yang memerintah Jawa.[20] Berpindah ke timurSekitar tahun 929 M, pusat kedatuan dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok,[9] yang mendirikan wangsa Isyana. Penyebab pasti dari perpindahan ini masih belum pasti. Sejarawan telah mengusulkan berbagai kemungkinan penyebab; dari bencana alam, wabah epidemi, politik dan perebutan kekuasaan, hingga motif keagamaan atau ekonomi. Menurut teori van Bemmelen, yang didukung oleh Prof. Boechari, perpindahan tersebut disebabkan letusan gunung Merapi yang parah.[21] Sejarawan berpendapat bahwa, beberapa waktu pada masa pemerintahan Dyah Wawa dari Mataram (924–929), gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram. Letusan gunung Merapi yang besar dan bersejarah ini dikenal sebagai Pralaya Mataram (bencana Mataram). Bukti letusan ini dapat dilihat di beberapa candi yang hampir terkubur di bawah abu Merapi dan puing-puing Merapi, seperti candi Sambisari, candi Morangan, candi Kedulan, candi Kadisoka, dan candi Kimpulan. Studi terbaru menunjukkan, bahwa bergerak ke arah timur bukanlah peristiwa yang tiba-tiba. Selama periode Medang di Jawa Tengah, kedatuan kemungkinan besar telah berkembang ke arah timur dan membangun pemukiman di sepanjang sungai Brantas di Jawa Timur. Lebih mungkin bahwa langkah itu dilakukan secara bertahap dalam jangka panjang. Penyebab perpindahan itu juga dimotivasi oleh berbagai faktor; baik alam, ekonomi atau politik. Prasasti Sangguran, berasal dari tahun 982 M—ditemukan di Malang, Jawa Timur pada awal abad ke-19 — menyebutkan nama raja Jawa, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa),[22] yang kemudian memerintah wilayah Malang. Ini menunjukkan bahwa bahkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, wilayah Malang di Jawa Timur sudah termasuk dalam wilayah Kerajaan Medang. Prasasti tersebut memuat unsur-unsur tentang pergeseran kekuasaan yang akibatnya terjadi ke Jawa Timur.[23] Menurut prasasti Turryan (929 M), Mpu Sindok memindahkan ibukota ke Tamwlang dan kemudian memindahkannya lagi ke Watugaluh. Sejarawan mengidentifikasi nama-nama itu dengan daerah Tambelang dan Megaluh dekat Jombang, Jawa Timur. Meskipun Mpu Sindok membangun dinasti baru atau wangsa Isyana, Mpu Sindok sangat terkait erat dengan leluhurnya di Bhumi Mataram, sehingga ia dianggap sebagai kelanjutan dari garis keturunan Raja Jawa yang membentang dari Sanjaya. Selama masa pemerintahannya Mpu Sindok menciptakan cukup banyak prasasti, sebagian besar terkait dengan pembentukan tanah Sima (tanah bebas pajak), prasasti-prasasti ini antara lain; Prasasti Linggasutan (929), Prasasti Gulung-Gulung (929), Prasasti Cunggrang (929), Prasasti Jeru-Jeru (930), Prasasti Waharu (931), Prasasti Sumbut (931), Prasasti Wulig (935), dan Prasasti Anjuk Ladang (937). Apa pun alasan sebenarnya di balik perpindahan pusat politik Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, peristiwa ini menandai akhir dari sebuah era kebesaran Syailendra di Mataram. Memang, aktivitas pembangunan candi telah turun-menurun sejak era Dyah Balitung dalam skala, kualitas dan kuantitas, namun periode Jawa Timur kerajaan Medang tidak meninggalkan jejak nyata dari struktur candi apa pun yang sebanding dengan era Syailendra di Jawa Tengah sebelumnya. Mungkin kerajaan Medang tidak lagi memiliki niat dan sumber daya untuk memulai proyek konstruksi skala besar. Hubungan dengan BaliMpu Sindok digantikan oleh putrinya Isyana Tunggawijaya.[9] Menurut prasasti Gedangan (tanggal 950), Ratu Isyana menikah dengan Sri Lokapala, seorang bangsawan dari Bali. Dia kemudian digantikan oleh putranya Makutawangsawardhana. Menurut prasasti Pucangan (tanggal 1041), Raja Makutawangsawardhana memiliki seorang putri bernama Mahendradatta, Makutawangsawardhana digantikan oleh putranya Dharmawangsa Teguh. Kemudian, Dharmawangsa memindahkan ibukota lagi ke Wwatan, diidentifikasi sebagai daerah Wotan dekat Madiun sekarang ini. Adik Dharmawangsa, Mahendradatta kemudian menikah dengan Udayana Warmadewa, raja Bedahulu di Bali. Laporan ini menunjukkan bahwa entah bagaimana Bali telah diserap ke dalam lingkup pengaruh (mandala) Kerajaan Medang. Dalam perkembangan sastra, Raja Dharmawangsa juga memerintahkan menterjemahkan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno pada tahun 996. Hubungan dengan SriwijayaKerajaan Medang memiliki hubungan yang intens dengan Sriwijaya di Sumatra. Pada periode sebelumnya, hubungan keduanya sangat dekat dan erat, karena raja-raja Syailendra di Jawa telah membentuk aliansi dengan raja-raja Sriwijaya di Sumatra dan kedua kerajaan bergabung dalam satu dinasti. Namun pada periode berikutnya, hubungan itu memburuk menjadi peperangan, ketika Dharmawangsa Teguh melancarkan upaya untuk menaklukkan Palembang, dan pembalasan yang dilakukan Sriwijaya terhadap Medang. Di daerah timur, Medang menaklukkan Bali, dan pulau itu menjadi wilayah mandala Medang. Ekspansi ke luar negeriPada tahun 767, pantai Tonkin dihantam oleh serangan Jawa (Daba) dan Kunlun,[24][25][26] di sekitar Hanoi yang sekarang adalah ibu kota Tonkin (Annam).[27][28] Di sekitar Son-tay mereka dikalahkan di tangan gubernur Chang Po-i, setelah Kunlun dan Jawa (Shepo) menyerang Tongking pada tahun 767.[29] Champa kemudian diserang oleh kapal-kapal Jawa atau Kunlun pada tahun 774 dan 787.[30][31][32] Pada tahun 774 sebuah serangan diluncurkan ke Po-Nagar di Nha-trang di mana para perompak menghancurkan kuil-kuil, sementara pada tahun 787 sebuah serangan diluncurkan ke Phang-rang.[33][34][35] Beberapa kota pesisir Champa mengalami serangan angkatan laut dan serangan dari Jawa. Armada Jawa disebut sebagai Javabala-sanghair-nāvāgataiḥ (angkatan laut dari Jawa) yang tercatat dalam prasasti Champa.[36][37] Semua serangan ini diyakini diluncurkan oleh wangsa Sailendra, penguasa Jawa dan Sriwijaya.[38][39][40] Kemungkinan penyebab penyerangan orang Jawa di Champa mungkin didorong oleh persaingan perdagangan dalam melayani pasar Cina. Prasasti 787 berada di Yang Tikuh sedangkan prasasti 774 adalah Po-nagar.[41][42] Di provinsi Kauthara pada tahun 774, kuil Siva-linga Champa di Po Nagar diserang dan dihancurkan.[43] Sumber Champa menyebutkan penyerbu mereka sebagai orang asing, pelaut, pemakan makanan rendahan, penampilan menakutkan, luar biasa hitam dan kurus.[44] Serangan 774 oleh orang Jawa terjadi di bawah kekuasaan Isvaraloka (Satyavarman).[45][46] Catatan Champa menyebutkan bahwa negara mereka dihantam oleh para perampok laut yang ganas, kejam, dan berkulit gelap, yang diyakini oleh para sejarawan modern oleh orang Jawa. Jawa memiliki hubungan komersial dan budaya dengan Champa.[47] Dan penyerangan dimulai di Kamboja. Serangan Jawa diluncurkan melalui pulau Pulo Condor. Malaya, Sumatera atau Jawa semua bisa menjadi asal mula para penyerang.[48] Kuil Kauthara Nha Trang di Po Nagar hancur ketika pria-pria ganas, kejam, berkulit gelap yang lahir di negara lain, yang makanannya lebih mengerikan daripada mayat, dan yang ganas dan ganas, datang dengan kapal. . . mengambil [lingga kuil], dan membakar kuil. Pada 774 menurut prasasti Nha Trang dalam bahasa Sansekerta oleh orang Champa. Pria yang lahir di negeri lain, hidup dengan makanan lain, menakutkan untuk dilihat, gelap dan kurus secara tidak wajar, kejam seperti maut, melewati laut dengan kapal dan menyerang pada tahun 774.[49] Pada tahun 787, para pejuang dari Jawa yang ditumpangi dengan kapal-kapal menyerang Champa. Di Phan-rang, kuil Sri Bhadradhipatlsvara dibakar oleh pasukan laut Jawa pada tahun 787,[50][51] ketika Indravarman berkuasa di tangan orang Jawa. Disebutkan bahwa tentara Jawa, yang datang dengan kapal dari penyerangan tahun 787, dan serangan sebelumnya, bahwa Satyavarman, Raja Champa mengalahkan mereka saat mereka diikuti oleh kapal-kapal bagus dan dipukuli di laut dan mereka adalah orang-orang yang hidup dari makanan yang lebih mengerikan daripada mayat, menakutkan, benar-benar hitam dan kurus, mengerikan dan jahat seperti kematian, datang dengan kapal di prasasti Nha-trang Po Nagar dalam bahasa Sansekerta, yang disebut mereka pria yang lahir di negara lain. Reruntuhan candi di Panduranga pada tahun 787 terjadi di tangan para penyerang. Champa adalah penghubung perdagangan penting antara Cina dan Sriwijaya.[52][53][54] Majapahit dan para pendahulunya Mataram Jawa memiliki hubungan dengan Champa.[55] Hubungan diplomatik Champa lebih lanjut dengan Jawa terjadi pada tahun 908 dan 911 pada masa pemerintahan Bhadravarman II (memerintah 905–917), di mana raja mengirim dua utusan ke pulau itu.[56] Prasasti Kaladi (sekitar 909 M), menyebutkan Kmir (orang Khmer dari Kerajaan Khmer) bersama dengan Campa (Champa) dan Rman (Mon) sebagai orang asing dari daratan Asia Tenggara yang sering datang ke Jawa untuk berdagang. Prasasti itu menunjukkan jaringan perdagangan maritim telah dibangun antara kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara dan Jawa.[57] Nama Medang juga disebutkan dalam Prasasti Keping Tembaga Laguna (sekitar 900 M), ditemukan di Lumban, Laguna, Filipina. Penemuan prasasti, yang ditulis dalam aksara Kawi dalam berbagai bahasa Melayu Kuno yang mengandung banyak kata pinjaman dari bahasa Sanskerta dan beberapa elemen kosakata non-Melayu yang asalnya ambigu antara Jawa Kuno dan Tagalog Kuno, menunjukkan bahwa orang atau pejabat Medang telah memulai perdagangan antar pulau dan hubungan luar negeri di daerah-daerah sejauh Filipina. Catatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-Hind (Keajaiban India) memberikan laporan invasi di Afrika oleh bangsa yang disebut Wakwak atau Waqwaq,[58] mungkin adalah orang-orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Medang,[59] pada 945–946 M. Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng Qanbaloh, meskipun akhirnya gagal. Alasan serangan itu adalah karena tempat itu memiliki barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan China, seperti gading, kulit kura-kura, kulit macan kumbang, dan ambergris, dan juga karena mereka menginginkan budak hitam dari orang Bantu (disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab, Jenggi oleh orang Jawa) yang kuat dan menjadi budak yang baik.[60] Keberadaan orang Afrika berkulit hitam masih dicatat sampai abad ke-15 pada prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno[61][62] dan orang Jawa masih dicatat mengekspor budak berkulit hitam pada era dinasti Ming.[63] Menurut Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman (1053 M),[64][65] Kerajaan Medang dan Kerajaan Kahuripan zaman Airlangga (1000–1049 M) di Jawa mengalami masa kemakmuran panjang sehingga membutuhkan banyak tenaga terutama untuk membawa hasil panen, mengemas, dan mengirimkannya ke pelabuhan. Tenaga kerja berupa orang kulit hitam diimpor dari Jenggi (Zanzibar), Pujut (Australia), dan Bondan (Papua).[59] Menurut Naerssen, mereka tiba di Jawa dengan jalan perdagangan (dibeli oleh pedagang) atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak.[66] Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Malagasi memiliki hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara, terutama dari Kalimantan bagian selatan.[67] Bagian-bagian dari bahasa Malagasi bersumber dari bahasa Ma'anyan dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu.[68] Orang Ma'anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah, sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya, sebagai buruh atau budak.[58] Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan oculi (hiasan mata) pada perahu-perahu Afrika.[69][70][71] Budaya Jawa sepertinya juga mempengaruhi strata sosial di Madagaskar, gelar Malagasi "andriana" mungkin berasal dari gelar kebangsawanan Jawa kuno "Rahadyan" (Ra-hady-an), "hady" yang berarti "pejabat tinggi" atau "tuan".[72] KeruntuhanDharmawangsa Teguh melancarkan serangan angkatan laut terhadap Sriwijaya yang berbasis di Sumatera, dalam upaya menguasai jalur perdagangan maritim yang kala itu di kuasai Sriwijaya, sekaligus untuk melumpuhkan kemampuan maritim Sriwijaya. Berita invasi Jawa ke Sriwijaya, ditulis dalam sumber-sumber Tiongkok dari periode Dinasti Song. Pada tahun 988, seorang utusan dari San-fo-tsi (Sriwijaya) dikirim ke istana Tiongkok di Guangzhou. Setelah tinggal sekitar dua tahun di Tiongkok, tersiar kabar bahwa negaranya telah diserang oleh She-po (Jawa) sehingga membuatnya tidak dapat kembali. Pada 992 utusan dari She-po (Jawa) tiba di istana Tiongkok dan menjelaskan bahwa negara mereka telah terlibat dalam perang berkelanjutan dengan Sriwijaya. Pada tahun 999 utusan Sriwijaya berlayar dari Tiongkok ke Champa dalam upaya untuk kembali, namun ia tidak menerima kabar tentang kondisi negaranya. Utusan Sriwijaya itu lalu berlayar kembali ke Tiongkok dan memohon kepada Kaisar Tiongkok untuk melindungi Sriwijaya dari ancaman Jawa. Invasi Dharmawangsa mengakibatkan raja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa untuk mencari perlindungan dari Tiongkok. Di tengah krisis yang disebabkan oleh invasi Jawa, ia mendapatkan dukungan politik Tiongkok dengan memenuhi tuntutan Kaisar Tiongkok. Pada 1003, sebuah catatan sejarah Dinasti Song melaporkan bahwa utusan San-fo-tsi yang dikirim oleh raja Shi-li-zhu-luo-wu-ni-fo-ma-tiao-hua (Sri Cudamani Warmadewa). Memberi tahu kepada Kaisar Tiongkok bahwa sebuah kuil Buddha telah didirikan di negara mereka untuk berdoa meminta umur panjang Yang Mulia Kaisar Tiongkok, dengan demikian meminta kepada Kaisar untuk memberikan nama dan sebuah lonceng untuk kuil yang dibangun untuk menghormatinya. Dengan gembira, Kaisar Tiongkok menamai kuil tersebut Ch’eng-t’en-wan-shou ('sepuluh ribu tahun menerima berkah dari surga, yaitu Tiongkok) dan sebuah lonceng segera diberikan dan dikirim ke Sriwijaya untuk dipasang di kuil Candi Bungsu, Kompleks Candi Muara Takus, Kampar, Riau. Setelah 16 tahun masa perang, Sriwijaya berhasil mengusir penjajah Medang dan membebaskan Palembang. Serangan Medang membuka mata Maharaja Sriwijaya tentang betapa berbahayanya musuhnya tersebut. Sebagai balasan ia berencana untuk membalas dan menghancurkan musuh besarnya itu, pada tahun 1016, atas dukungan Sriwijaya, Haji Wurawari memberontak pada kekuasaan Medang. Haji Wurawari adalah pemimpin wilayah bawahan pemerintahan Medang, pasukan Wurawari melancarkan invasi dari arah utara Lwaram untuk menghancurkan istana Medang yang saat itu tengah melangsungkan pesta pernikahan, serangan mendadak dan tak terduga ini terjadi selama upacara pernikahan putri Dharmawangsa dengan Airlangga, yang membuat pihak istana tidak siap dan terkejut yang berakibat pada peristiwa kematian besar raja beserta para kerabat raja di dalam istana. Bencana ini dicatat sebagai Mahapralaya dalam Prasasti Pucangan, kematian dari raja Dharmawangsa serta hancurnya ibukota Wwatan di bawah tekanan militer Sriwijaya mengakhiri kerajaan Medang dan membuatnya jatuh dalam kekacauan karena tidak adanya seorang penguasa tertinggi, para panglima perang di setiap provinsi, daerah dan pemukiman di Jawa Tengah dan Jawa Timur memberontak, dan melepaskan diri dari pemerintahan pusat Medang untuk membentuk daerah otonom atau pemerintahannya sendiri, selanjutnya perampokan merajalela, kerusuhan, kekerasan dan kejahatan lebih lanjut terjadi beberapa tahun setelah kejatuhan Medang hingga merusak situasi negara. Airlangga, adalah putra raja Udayana Warmadewa dari Kerajaan Bedahulu Bali dengan ratu Mahendradatta, Airlangga juga merupakan keponakan raja Dharmawangsa yang terbunuh di dalam istana serta sisa keluarga wangsa Isyana yang berhasil lolos bersama dengan putri Dharmawangsa dan melarikan diri ke pengasingan di hutan pegunungan Vana giri, Wonogiri di pedalaman Jawa Tengah. kemudian menuju Sendang Made, Kudu, Jombang. dalam pelarian dan pertapaannya Airlangga didatangi utusan rakyat serta mendapatkan dukungan dari kaum pendeta dan senopati yang masih setia untuk kembali membangun kejayaan Medang, pada 1019 Dia tampil dan mendirikan sebuah kerajaan baru dan dianggap sebagai kelanjutan dari Kerajaan Medang, dengan ibukotanya di Watan Mas yang terletak di sekitar dekat Gunung Penanggungan. Pemerintahan MedangDalam konsep tata negara Jawa Kuno, unsur kerajaan terdiri dari tujuh hal yang disebut Saptāṅga (Sapta Angga). Yaitu raja, wilayah kerajaan, birokrasi (sipil dan kehakiman), rakyat, perbendaharaan kerajaan, angkatan perang, dan negara-negara tetangga & sahabat yang mengakui keberadaan suatu kerajaan. Melalui berita dan tafsir berbagai prasasti, tata pemerintahan Kerajaan Medang dapat terbayang sepenuhnya. Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar 'Ratu'. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan 'Datu' yang berarti "pemimpin". Dalam bahasa Jawa, istilah 'Ratu' digunakan sebagai sinonim 'Datu', sehingga di Jawa istilah Karaton (Karatuan) digunakan sebagai sinonim Kadaton (Kadatuan). Ketika Rakai Panangkaran berkuasa, gelar 'Ratu' digantikan dengan gelar 'Sri Maharaja'. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja pada Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya saja yang bergelar Sang Ratu. Aparat BirokrasiPada periode awal di Jawa Tengah, terdapat sebuah gelar yang banyak termaktub dalam prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-10, yaitu gelar 'Raka' (kadang ditulis Rakai). Sesudah masa itu, gelar Raka cenderung tidak lagi dipakai, diganti dengan 'Rakryan' yang merupakan gabungan dari kata raka dan aryan, merujuk kepada tingkat jabatan administrasi negara yang tingkatannya sepadan dengan gelar raka. Namun gelar 'Rakai' umum digunakan oleh pejabat penguasa daerah watak, sedangkan 'Rakryan' untuk pejabat tinggi pemerintahan seperti menteri. Penggunaan gelar rakryan mulai ramai dipergunakan pada periode Jawa Timur dan berlangsung hingga zaman kerajaan Kadiri, Singasari, dan Majapahit. Raka adalah seorang pemimpin atau penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua (desa/kelurahan) dan watak (kecamatan). Wanua adalah wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang Rama (tetua desa), dan gabungan dari sejumlah wanua (desa/kelurahan) disebut watak (kecamatan) yang dipimpin para Raka. Dewan yang terdiri atas para Rama disebut Karaman (arti harfiahnya "tanah para rama"). Pada awal abad ke-8 hingga awal abad ke-10 di Jawa Tengah dikenal empat pangkat jabatan tinggi yang bergelar Rakryān Mahamantri, yaitu i Hino, i Halu, i Sirikan, dan i Wka. Walau prasasti-prasasti tidak menyebutkan secara rinci tingkat kepangkatan dari keempat jabatan tersebut. Namun kemungkinan besar Rakryān Mahamantri i Hino menduduki hierarki tertinggi, tercermin dari gambaran prasasti bahwa pejabat tersebut langsung menerima titah dari Sri Maharaja. Secara rinci berikut adalah daftar 18 pejabat tinggi di Kerajaan Medang yang disebutkan dalam prasasti, tinggi rendahnya kedudukan pejabat-pejabat ini terbayang dari jumlah pasak-pasak yang mereka terima
Selain 18 pejabat tinggi di tingkat pusat ini, berita prasasti menyebut masih ada ratusan abdi dalem raja atau Maṅilala Drawya Haji atau Maminta Drawya Haji yang dalam Prasasti Cane 1021 M disebut ada 104 jabatan. Ibu kotaKerajaan Medang diperkirakan berdiri di daerah sekitar Magelang dan Yogyakarta. Berdasarkan temuan arkeologi di daerah tersebut banyak ditemukan beberapa prasasti. Sebenarnya, pusat kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Beberapa daerah yang diperkirakan pernah menjadi lokasi ibu kota Medang berdasarkan analisis prasasti dan catatan sejarah, di antaranya:
Wangsa yang berkuasaWangsa SyailendraTeori wangsa ganda Syailendra-Sanjaya yang diajukan Bosch dan De Casparis ini ditentang oleh beberapa sejarawan Indonesia di periode selanjutnya. Sebuah teori alternatif, yang diusulkan oleh Poerbatjaraka, menunjukkan bahwa hanya ada satu kerajaan dan satu dinasti, kerajaan disebut sebagai Medang, dengan ibukota di Bhumi Mataram, dan dinasti yang berkuasa adalah Syailendra. Teori ini didukung dengan interpretasi Boechari tentang Prasasti Sojomerto dan studi Poerbatjaraka pada naskah Carita Parahyangan. Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra pada Prasasti Sojomerto adalah cikal bakal raja-raja keturunan Syailendra yang berkuasa di Jawa dan Sumatra. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Sanjaya dan semua keturunannya adalah anggota keluarga Syailendra, yang awalnya adalah pemeluk agama Hindu-Siwa. Kemudian berdasarkan Prasasti Raja Sankhara; putra Sanjaya, Rakai Panangkaran, masuk agama Buddha Mahayana. Dari rangkain peristiwa sejarah tersebut keturunan Syailendra yang kemudian memerintah Medang menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana dan menjadi pelindung agama Buddha di Jawa hingga akhir masa pemerintahan Samaratungga.[73] Hindu Siwa memperoleh kembali dukungan dari kerajaan pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, yang berlangsung sampai akhir Kerajaan Medang. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung, candi Hindu Trimurti Prambanan dibangun dan diperluas di sekitar Yogyakarta. Dengan perkataan lain, mungkin sekali pendapat Poerbatjaraka adalah benar mengenai asal usul wangsa Syailendra, yaitu mereka adalah pribumi asli Nusantara dan bahwa hanya ada satu wangsa saja, wangsa Syailendra yang anggotanya semula penganut agama Hindu-Siwa (Saiwa), tetapi sejak pemerintahan Rakai Panangkaran menjadi penganut agama Buddha Mahayana untuk kemudian kembali lagi menjadi penganut agama Saiwa sejak pemerintahan Rakai Pikatan.[74] Wangsa IsyanaKetika kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang, Jawa Timur sekarang. Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke Jawa Timur, tetapi ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana. Daftar penguasa MedangKerajaan Medang diperintah oleh wangsa atau raja-raja Syailendra dan Isyana yang berkuasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur.[9][75][76][77] Periode Jawa Tengah
Periode Jawa Timur
Warisan BudayaCandiKarya SastraSang Hyang Kamahayanikan, ditulis oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama. PrasastiSitus
PelestarianBudayaSelain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti tersebar di Jawa, Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Era ini dipandang sebagai zaman keemasan dari peradaban Jawa kuno, yang telah meninggalkan warisan abadi dalam budaya dan sejarah Indonesia. Candi Borobudur dan Prambanan yang monumental dan megah ini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (UNESCO’s World Heritage Sites), dan menjadi sumber kebanggaan nasional, tidak hanya bagi orang Jawa tetapi juga bagi bangsa Indonesia.[78] Tidak diduga bahwa dalam Sejarah Indonesia ditemukan sebuah peradaban unggul yang begitu kuat dalam membangun kontruksi bangunan dan pembangunan candi, yang menunjukkan penguasaan teknologi, tenaga kerja, manajemen sumber daya, penyempurnaan estetika dan seni, juga pencapaian arsitektur, pada era kerajaan Medang. Periode antara akhir abad ke-8 hingga akhir abad ke-9, antara masa pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung, telah meninggalkan sejumlah candi yang mengesankan; antara lain adalah candi Borobudur, candi Sewu, dan candi Prambanan. Era kerajaan Medang disanjung sebagai periode klasik peradaban Jawa; karena selama periode ini budaya, seni dan arsitektur Jawa bersemi dan berkembang lebih jauh, mengkonsolidasikan dan memperpadukan unsur kepercayaan asli orang Jawa dengan pengaruh-pengaruh dharma. Dengan memasukkan kerangka acuan dan elemen Hindu-Buddha ke dalam budaya, seni, dan arsitektur Jawa, serta Sanskertanisasi bahasa Jawa, orang Jawa telah merumuskan gaya Hindu-Buddha Jawa dan berhasil mengembangkan suatu peradaban yang luhur dan cemerlang. Gaya senirupa Syailendra Jawa ini, baik dalam seni pahat dan arsitektur, kemudia pada gilirannya turut memengaruhi corak kesenian di daerah lainnya; khususnya seni Sriwijaya di Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Thailand selatan. Seni dan arsitektur pembangunan beberapa candi pada awal periode Angkor juga dipercaya dipengaruhi oleh seni dan arsitektur Syailendra di Jawa; kesamaan yang mencolok nampak dari candi Bakong di Kamboja dengan candi Borobudur di Magelang, menunjukkan bahwa candi Bakong terinspirasi oleh desain Borobudur.[79] Selama periode Medang sejumlah kitab dharma baik dari Hindu atau Buddha, telah mempengaruhi budaya Jawa. Misalnya, kisah-kisah Jataka dan Lalitawistara, juga epos Ramayana dan Mahabharata diadopsi ke dalam versi Jawa. Kisah-kisah dan epos ini selanjutnya akan membentuk budaya Jawa dan seni pertunjukan, seperti tarian Jawa dan seni wayang. Di selatan Thailand, ada jejak seni dan arsitektur Jawa (sering secara keliru disebut sebagai "peninggalan Sriwijaya"), yang mungkin menunjukkan pengaruh Sailendra di Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaya. Contohnya adalah Phra Borom Mahathat di Chaiya yang dibangun dengan gaya Jawa yang terbuat dari batu bata dan mortar (sekitar abad ke-9–10), Pagoda Wat Kaew di Chaiya, juga berbentuk Jawa dan Pagoda Wat Long. Wat Mahathat asli di Nakhon Si Thammarat kemudian dibungkus oleh bangunan bergaya Sri Lanka yang lebih besar.[80][81] Museum
Lihat pula
Kutipan
Referensi
|