Haji (gelar)Haji adalah gelar homonim yang memiliki dua etimologi yang berbeda. Dalam budaya Islam Nusantara di Asia Tenggara, gelar haji umumnya digunakan untuk orang yang sudah melaksanakan haji. Istilah ini berasal dari bahasa Arab (حاج) yang merupakan bentuk isim fail (partisip aktif) dari kata kerja 'hajj' (Arab: حج, 'pergi haji') atau dari kata benda 'hajj' (Arab: حج, 'ibadah haji') yang diberi sufiks nisbah menjadi 'hajjiy' (Arab: حجي). Arti lainnya adalah berasal dari kebudayaan Nusantara pra-Islam era Hindu-Buddha, yaitu Haji atau Aji yang berarti "Raja". Gelar dalam IslamGelar haji umum digunakan sebagai tambahan di depan nama dan sering disingkat dengan "H". Dalam hal ini biasanya para Haji membubuhkan gelarnya dianggap oleh mayoritas masyarakat sebagai teladan maupun contoh di daerah mereka. Bisa dikatakan sebagai guru atau panutan untuk memberikan contoh sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi Islam sehari-hari. Gelar yang aslinya bahasa Arab ini telah memiliki versi sesuai bahasa lokal masing-masing negara. Dalam bahasa Farsi dan Pashto ditulis: حاجی, bahasa Yunani: Χατζής, Albania: Haxhi, Bulgaria: Хаджия, Kurdi: Hecî, Serbia/Bosnia/Kroasia: Хаџи atau Hadži, Turki: Hacı, Hausa: Alhaji dan bahasa Romania: hagiu. Di beberapa negara, gelar haji dapat diwariskan turun-temurun sehingga menjadi nama keluarga seperti Hadžiosmanović dalam bahasa Bosnia yang berarti 'Bani Haji Usman' alias 'anak Haji Usman'. Di negara-negara Arab, gelar haji awam digunakan sebagai penghormatan kepada orang yang lebih tua terlepas dari pernah haji atau belum. Gelar haji juga digunakan di negara-negara kristen Balkan yang pernah dijajah Imperium Usmani (Bulgaria, Serbia, Yunani, Montenegro, Makedonia dan Romania) bagi orang kristen yang sudah pernah berziarah ke Yerusalem dan Tanah Suci.[1] Dalam konteks historis di Hindia Belanda, penggunaan gelar haji sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, dan sempat digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk identifikasi para jemaah haji yang mencoba memberontak sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan serban”. Dilatar belakangi oleh gelombang propaganda anti-VOC pada 1670-an di Banten, ketika banyak orang meninggalkan pakaian adat Jawa kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab, serta oleh pemberontakan Pangeran Diponegoro serta Imam Bonjol yang terpengaruh pemikiran Wahabi sepulang haji,[2] pemerintah Hindia Belanda akhirnya menjalankan politik Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam di Nusantara pada masa itu.[3] Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Maka sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust, mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji. KontroversiDalam penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari ulama salafiyah. Syaikh Shalih As-Suhaimi, seorang pengajar di Masjid Nabawi, Madinah dalam fatwanya menganggap gelar haji sebagai perbuatan riya, dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para as-sabiqun al-awwalun.[4] Menurut Ustaz Hammad Abu Mu’aawiyah, ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulullah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Ali bin Abu Thalib dan seterusnya.[5] Kemudian ulama tersebut mengatakan bahwa di antara 5 rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan mengapa ketika orang mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, salat, zakat, puasa tidak diberi gelar seperti halnya ibadah haji. Pada abad ke-21, tentara Amerika mulai menggunakan kata Haji sebagai sindiran untuk orang Irak, orang Afganistan, atau orang Arab.[6][7][8][9] HajjahBentuk feminin dari kata ini, Hajjah (Hj.) adalah gelar haji yang ditujukan untuk perempuan muslim. Gelar para rajaDalam sejarah Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno, Sunda Kuno, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti. Sebagai contoh, legenda Jawa Aji Saka menjelaskan mengenai asal-usul peradaban dan aksara di tanah Jawa. Nama Aji Saka bermakna "Raja Permulaan". Kemudian pada tahun 1482 Raja Kerajaan Sunda Pajajaran Prabu Siliwangi, dalam Prasasti Batu Tulis diberitakan bahwa Prabu Siliwangi saat di nobatkan menjadi penguasa Sunda-Galuh bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pakuan adalah ibu kota Kerajaan Pajajaran. Lihat pulaReferensi
Pranala luar |