PaganismePaganisme adalah sebuah istilah yang pertama kali muncul di antara komunitas Kristen di Eropa bagian selatan selama Abad Kuno Akhir.[1] Terdapat banyak perdebatan keilmuan mengenai asal-usul istilah paganisme, terutama karena tidak ada seorang pun sebelum abad ke-20 yang mengidentifikasi diri sebagai seorang pagan.[2] Saat agama Kristen mulai menjadi lebih banyak diadopsi secara luas (dalam proses-proses yang dikenal sebagai Kristenisasi, mulai berkembang berbagai nama untuk mendeskripsikan mereka yang tidak menganutnya; beberapa di antaranya termasuk Hellene, pagan, serta heathen (sering kali diterjemahkan sebagai "kafir"), dan terkadang nama-nama tersebut digunakan sebagai penghinaan.[3] Pada abad ke-19, paganisme diadopsi kembali sebagai suatu deskriptor diri oleh para anggota beragam kelompok seni yang terinspirasi oleh dunia kuno. Pada abad ke-20, paganisme digunakan sebagai suatu deskripsi diri oleh para praktisi gerakan keagamaan neopagan atau pagan kontemporer. Pengetahuan kontemporer seputar agama-agama pagan lama berasal dari beberapa sumber, termasuk catatan-catatan penelitian lapangan antropologis, bukti-bukti artefak arkeologis, dan laporan-laporan sejarah dari para penulis kuno mengenai budaya-budaya yang dikenal dalam dunia klasik. Rupa-rupa agama-agama itu, yang dipengaruhi oleh berbagai keyakinan historis pagan dari Eropa pra-modern, masih ada hingga sekarang dan dikenal sebagai paganisme modern atau kontemporer, juga disebut sebagai Neo-paganisme.[4][5] Kendati kebanyakan agama pagan mengekspresikan suatu pandangan dunia yang adalah panteistik, politeistik, ataupun animistik, terdapat juga sejumlah pagan monoteistik.[6] Nomenklatur dan etimologiPagan
Istilah pagan berasal dari kata Latin Akhir paganus, dimunculkan kembali selama era Renaisans. Kata itu sendiri berasal dari kata Latin Klasik pagus yang awalnya berarti 'wilayah yang dibatasi oleh penanda-penanda', paganus pada saat itu juga berarti 'dari atau berkaitan dengan daerah pedesaan', 'penghuni negeri', 'penduduk desa'; dengan perluasan, 'rustic', 'tidak terpelajar', 'yokel', 'bumpkin'; dalam jargon militer Romawi, 'non-kombatan', 'penduduk sipil', 'tentara tak terlatih'. Kata tersebut berhubungan dengan pangere ('mengencangkan', 'memperbaiki atau membubuhkan') dan bagaimanapun berasal dari imbuhan Proto-Indo-Eropa *pag- ('memperbaiki' dalam pengertian yang sama).[8]
Sering diasumsikannya paganus sebagai sebuah istilah keagamaan oleh penulis-penulis abad pertengahan merupakan salah satu hasil dari pola konversi selama Kristenisasi Eropa, tempat masyarakat di kota-kota lebih mudah diyakinkan untuk berpindah keyakinan daripada mereka yang berada di daerah terpencil, tempat kebiasaan-kebiasaan lama bertahan. Bagaimanapun, gagasan itu memiliki sejumlah masalah. Pertama, penggunaan kata tersebut sebagai sebutan bagi kaum non-Kristen telah ada sebelum periode itu dalam sejarah. Kedua, paganisme di dalam Kekaisaran Romawi berpusat pada kota-kota. Konsep mengenai suatu Kekristenan perkotaan sebagai lawan dari suatu paganisme pedesaan tidak pernah terjadi pada masyarakat Romawi selama Kekristenan Awal. Ketiga, berbeda dengan kata seperti rusticitas, paganus pada waktu itu belum sepenuhnya memperoleh makna (keterbelakangan tak beradab) yang digunakan untuk menjelaskan mengapa kata tersebut telah diterapkan pada kaum pagan.[9] Paganus lebih mungkin memperoleh maknanya dalam nomenklatur Kristen melalui jargon militer Romawi (lihat di atas). Kaum Kristen Awal mengadopsi motif-motif militer dan memandang diri mereka sebagai "Milites Christi" ("para prajurit Kristus").[8][9] Salah satu contoh bagus mengenai kaum Kristen yang masih menggunakan paganus dalam konteks militer, bukan keagamaan, terdapat dalam karya Tertulianus yang berjudul De Corona Militis XI.V, yang menyebut umat Kristen sebagai "paganus" (penduduk sipil):[9]
Paganus memperoleh konotasinya dalam hal keagamaan pada pertengahan abad ke-4.[9] Pada awal abad ke-5, paganos digunakan sebagai kiasan untuk menunjukkan orang-orang di luar batas-batas komunitas Kristen. Menyusul peristiwa penjarahan Roma oleh bangsa Visigoth pagan hanya dalam waktu 15 tahun setelah penganiayaan Kristen terhadap paganisme di bawah Teodosius I,[12] mulai menyebar desas-desus bahwa dewa-dewi lama dahulu memberikan perhatian yang jauh lebih besar atas kota itu daripada Allah Kristen. Sebagai tanggapan atas hal itu, Agustinus dari Hippo menulis De Civitate Dei Contra Paganos (Kota Allah Melawan Kaum Pagan). Di dalamnya, ia membedakan "kota Manusia" yang telah jatuh dengan "kota Allah" tempat semua orang Kristen kelak menjadi warga kota. Oleh karena itu, bangsa asing yang menyerbu bukan berasal dari "kota" itu atau "pinggiran kota".[13][14][15] Istilah pagan belum terlihat dalam bahasa Inggris hingga abad ke-17.[16] Selain infidel dan heretic (bidah/sesat), istilah tersebut digunakan juga oleh rekan-rekan Kristen sebagai salah satu dari beberapa peyoratif untuk istilah gentile (גוי / נכרי; orang non-Yahudi) sebagaimana digunakan dalam Yudaisme, serta untuk istilah kafir (كافر, 'orang yang tidak percaya') dan syirik (مشرك, 'penyembah berhala') sebagaimana dalam Islam.[17] HelleneDalam Kekaisaran Romawi Barat berbahasa Latin dari Kekaisaran Romawi yang baru saja mengadopsi Kekristenan, bahasa Yunani Koine lalu diasosiasikan dengan agama politeistik tradisional Yunani Kuno, dan dipandang sebagai bahasa asing (lingua peregrina) di Barat.[18] Pada paruh kedua abad ke-4, di Kekaisaran Romawi Timur berbahasa Yunani, kaum pagan—secara paradoksal—umumnya disebut Hellenes (Ἕλληνες, secara harfiah berarti 'orang Yunani'). Kata tersebut hampir-hampir tidak pernah lagi digunakan dalam arti budaya.[19][20] Maknanya dipertahankan hanya selama sekitar milenium pertama Kekristenan. Hal ini dipengaruhi oleh keanggotaan awal Kekristenan, yang adalah kaum Yahudi. Pada waktu itu kaum Yahudi membedakan diri dari orang-orang asing berdasarkan agama, bukan standar-standar etno-kultural, dan kaum Kristen Yahudi awal juga melakukan hal serupa. Karena budaya Helenik merupakan budaya pagan yang dominan di bagian timur Romawi, mereka menyebut kaum pagan dengan istilah Hellene. Kekristenan mewarisi terminologi Yahudi untuk kaum non-Yahudi dan mengadaptasinya untuk menyebut kaum non-Kristen yang berhubungan dengan mereka. Penggunaan semacam ini tercatat dalam Perjanjian Baru. Dalam Surat-surat Paulus, Hellene hampir selalu disandingkan dengan Ibrani, mengabaikan etnis yang sebenarnya.[20] Penggunaan Hellene sebagai suatu istilah keagamaan pada mulanya merupakan bagian dari nomenklatur khusus Kristen, namun beberapa kaum Pagan mulai bersikap menantang dengan menyebut diri mereka sendiri Hellenes. Kaum pagan lainnya bahkan lebih memilih mempersempit arti kata itu—dari lingkup kultural yang luas menjadi pengelompokan religius yang lebih spesifik. Namun, terdapat banyak kalangan Kristen dan juga pagan yang sangat keberatan dengan evolusi terminologi tersebut. Sebagai contoh, Uskup Agung Konstantinopel yang berpengaruh bernama Gregorius dari Nazianzus merasa tersinggung dengan upaya-upaya kekaisaran yang menindas budaya Hellenis (terutama terkait bahasa Yunani lisan dan tulisan) dan secara terbuka mengkritik kaisar.[19] Stigmatisasi keagamaan yang meningkat atas Helenisme memiliki suatu dampak buruk pada budaya Helenik pada akhir abad ke-4.[19] Bagaimanapun, pada Abad Kuno Akhir, dimungkinkan untuk berbicara bahasa Yunani sebagai suatu bahasa utama tanpa memikirkan bahwa seseorang adalah "Hellene".[21] Penggunaan bahasa Yunani yang telah lama di dalam dan di sekitar Kekaisaran Romawi bagian timur sebagai suatu lingua franca secara ironis justru menjadikannya memiliki arti penting dalam penyebaran Kekristenan—sebagaimana ditunjukkan antara lain oleh penggunaan bahasa Yunani dalam Surat-surat Paulus.[22] Pada paruh pertama abad ke-5, bahasa Yunani merupakan bahasa standar yang digunakan para uskup untuk berkomunikasi,[23] dan Acta Conciliorum ("Akta Konsili-Konsili Gereja") aslinya tercatat dalam bahasa Yunani dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain.[24] HeathenHeathen berasal dari kata Inggris Lama hæðen ("bukan Kristen atau Yahudi"); lihat pula kata Nordik Lama heiðinn. Pengertian ini atas istilah tersebut berasal dari kata Goth haiþno ("perempuan non-Yahudi") yang digunakan untuk menerjemahkan "Hellene" (lihat pula Markus 7:26) dalam Alkitab Wulfila, terjemahan pertama dari Alkitab ke dalam salah satu rumpun bahasa Jermanik. Hal ini mungkin terpengaruh oleh terminologi Yunani dan Latin pada masa itu yang digunakan untuk menyebut kaum pagan. Jika demikian, kata tersebut mungkin berasal dari kata Goth haiþi ("tinggal di padang gersang"). Bagaimanapun, hal ini belum terbukti kebenarannya. Bahkan dapat saja kata tersebut merupakan turunan dari kata Yunani ἔθνος (ethnos) melalui kata Armenia hethanos.[25] Istilah tersebut baru-baru ini telah dihidupkan kembali dalam bentuk "Heathenry" dan "Heathenism" (sering namun tidak selalu dikapitalisasi), nama-nama alternatif untuk gerakan neopaganisme Jermanik, yang para penganutnya dapat mengidentifikasi diri sebagai Heathens. Definisi
Mendefinisikan paganisme dianggap sebagai hal yang sulit. Memahami konteks dari terminologi yang berhubungan dengannya dirasa penting.[27] Kalangan Kristen Awal menyebut beragam model kultus di sekitar mereka sebagai satu kelompok tunggal dengan alasan kenyamanan dan retorika.[28] Kendati paganisme pada umumnya mengimplikasikan politeisme, perbedaan utama antara kaum pagan klasik dengan kaum Kristen tidak seperti politeisme dengan monoteisme. Tidak semua kaum pagan benar-benar politeis. Sepanjang sejarah, banyak dari mereka yang percaya pada dewata tertinggi. (Namun, kebanyakan kaum pagan percaya pada segolongan dewata/daimon yang lebih rendah—lihat henoteisme—atau emanasi ilahi.)[6] Bagi kaum Kristen, perbedaan yang paling penting adalah apakah seseorang menyembah satu BerhalaTheo yang benar menurut versi kristen sendiri atau tidak. Mereka yang tidak (politeis, monoteis, ataupun ateis) dipandang sebagai pihak di luar Gereja dan karenanya pagan.[29] Demikian pula, kaum pagan klasik merasa aneh jika membedakan kelompok-kelompok berdasarkan jumlah dewa/dewi yang dihormati para pengikutnya. Mereka menganggap kolegium-kolegium keimaman (seperti Collegium Pontificum atau Epulones) dan praktik-praktik kultus sebagai pembeda-pembeda yang lebih bermakna.[30] Menyebut paganisme sebagai "agama-agama asli pra-Kristen" dipandang sama sekali tak dapat dipertahankan. Tidak semua tradisi pagan dalam sejarah merupakan pra-Kristen atau asli dari tempat-tempat ibadahnya.[27] Karena sejarah nomenklaturnya, paganisme secara tradisi mencakup budaya-budaya kolektif pra- dan non-Kristen di dalam dan di sekitar dunia klasik; termasuk budaya-budaya suku Yunani-Romawi, Keltik, Jermanik, dan Slavik.[31] Namun, pembahasaan modern para akademisi folkloristika dan kalangan pagan kontemporer pada khususnya telah memperluas ruang lingkup aslinya selama empat milenium yang digunakan oleh kalangan Kristen awal dengan memasukkan tradisi-tradisi keagamaan serupa yang terbentang jauh hingga zaman prasejarah.[32] PersepsiPaganisme menjadi dipersamakan oleh kalangan Kristen dengan suatu pengertian hedonisme, merepresentasikan segala hal sensual, materialistis, pemuasan diri sendiri, ketidakpedulian pada masa depan, dan ketidaktertarikan pada agama yang kompleks. Kaum pagan biasanya dideskripsikan dengan stereotipe duniawi tersebut, terutama oleh mereka yang menaruh perhatian pada apa yang dipandang sebagai keterbatasan paganisme.[33] Karena itu G. K. Chesterton menulis: "Penganut pagan berpikiran, dengan pengertian yang sangat baik, untuk mencari kenikmatan bagi diri sendiri. Pada akhir peradabannya ia telah menemukan bahwa seorang manusia tidak dapat mencari kenikmatan bagi dirinya sendiri dan tetap menikmati apapun." Dalam kontras yang tajam, Swinburne sang penyair berkomentar tentang tema yang sama itu: "Engkau telah menaklukkan, ya orang Galilea pucat; dunia telah tumbuh kelabu dari nafas-Mu; Kami telah mabuk hal-hal Lethean, dan menghidupi kepenuhan kematian."[34] SejarahZaman Perunggu sampai Zaman Besi AwalAntikuitas klasikLudwig Feuerbach mendefinisikan paganisme dari zaman antikuitas klasik (Era Klasik), yang ia sebut Heidentum ('heathenry'), sebagai "kesatuan agama dan politik, dari roh dan alam, dari tuhan dan manusia",[35] dikualifikasikan oleh pengamatan bahwa manusia dalam pandangan pagan selalu didefinisikan berdasarkan kelompok etnik, yaitu Yunani, Romawi, Mesir, Yahudi, dll., sehingga setiap tradisi pagan adalah juga suatu tradisi kebangsaan. Sebaliknya, sejarawan-sejarawan modern mendefinisikan paganisme sebagai gabungan kegiatan-kegiatan kultus, yang diatur di dalam suatu masyarakat, bukan suatu konteks "kebangsaan", tanpa sebuah keyakinan tertulis atau pengertian ortodoksi.[36] Antikuitas Akhir dan KristenisasiPerkembangan dalam pemikiran keagamaan di Kekaisaran Romawi yang sangat luas terbentang selama Zaman Antikuitas Akhir perlu dibahas secara terpisah, karena hal ini merupakan konteks yang di dalamnya Kekristenan Awal sendiri berkembang sebagai salah satu dari kultus monoteistik, dan dalam periode ini juga konsep pagan berkembang. Karena timbul dari Yudaisme Bait Kedua (atau Yudaisme Helenistik), Kekristenan berada dalam persaingan dengan agama-agama lain yang menyokong monoteisme pagan, termasuk kultus Dionisos,[37] Neoplatonisme, Mithraisme, Gnostisisme, dan Manikeisme.[butuh rujukan] Secara khusus Dionisos dianggap memperlihatkan paralel-paralel yang signifikan dengan Kristus, sehingga banyak akademisi menyimpulkan bahwa pembentukan kembali Yesus sang rabi pengelana ke dalam citra Kristus Logos, sang juruselamat ilahi, secara langsung merefleksikan kultus Dionisos. Mereka menunjuk pada simbolisme anggur dan arti pentingnya dalam mitologi yang melingkupi Dionisos maupun Yesus Kristus.[38][39] Wick berpendapat bahwa penggunaan simbolisme anggur dalam Injil Yohanes, termasuk peristiwa Perkawinan di Kana yang di dalamnya dikisahkan bahwa Yesus mengubah air menjadi anggur, dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Yesus lebih unggul daripada Dionisos.[40] Adegan dalam Bakkhai yang mengisahkan kemunculan Dionisos di hadapan Raja Pentheus karena tuduhan mengklaim keilahian diperbandingkan dengan adegan dalam Perjanjian Baru yang menceritakan Yesus diinterogasi oleh Pontius Pilatus.[40][41][42] Muhammad dan Islamisasi di Jazirah ArabKebanyakan kaum pagan Arab menjadi hampir punah selama zaman Muhammad melalui proses Islamisasi.[43][44][44] Bulan-bulan suci kaum pagan Arab yaitu bulan ke-1, ke-7, ke-11, dan ke-12 dalam kalender Islam.[45] Setelah Muhammad menaklukkan Mekkah, ia mulai mengonversi kaum pagan.[46][47][48] Salah satu kampanye militer yang diperintahkan Muhammad terhadap kaum pagan Arab yaitu Penghancuran Dzul Khalashah. Peristiwa itu terjadi pada bulan April dan Mei 632 M, pada tahun 10 H dalam Kalender Islam. Dzul Khalashah disebut sebagai sebuah berhala maupun kuil, dan dikenal beberapa kalangan sebagai Ka'bah Yaman, yang dibangun dan dipuja oleh suku-suku pagan.[49][50][51][52][53][54][55][56][57] Periode Modern AwalKetertarikan akan tradisi-tradisi pagan timbul kembali dalam Abad Renaisans, pada mulanya dalam magi Renaisans sebagai suatu kebangkitan magi Yunani-Romawi. Pada abad ke-17, deskripsi paganisme berpaling dari aspek teologis ke etnologis, dan agama mulai dipahami sebagai bagian dari identitas etnis suatu bangsa, kemudian studi tentang agama-agama dari bangsa-bangsa "primitif" memicu berbagai pertanyaan seperti sejarah pasti asal mula agama. Oleh karenanya, Nicolas-Claude Fabri de Peiresc melihat agama-agama pagan Afrika pada zamannya sebagai peninggalan yang pada dasarnya dapat menjelaskan mengenai paganisme historis pada Era Klasik.[58] RomantisismePaganisme tampil kembali sebagai sebuah topik berdaya tarik pada Romantisisme abad ke-18 sampai ke-19, khususnya dalam konteks kebangunan sastra Viking dan Keltik, yang menggambarkan penganut-penganut politeis Keltik dan Jermanik sebagai "noble savages" ("manusia primitif yang luhur"). Pada abad ke-19 juga terjadi banyak ketertarikan keilmuan dalam rekonstruksi mitologi pagan dari folklor atau dongeng. Hal ini terutama diupayakan oleh Grimm Bersaudara, khususnya Jacob Grimm dalam Mitologi Teutonik karyanya, dan Kalevala yang dikompilasi oleh Elias Lönnrot. Karya Grimm Bersaudara mempengaruhi para kolektor lainnya, menginspirasi mereka untuk mengumpulkan cerita-cerita dan membawa mereka untuk dengan cara yang sama meyakini bahwa dongeng-dongeng dari suatu bangsa secara khusus merepresentasikannya, dengan mengabaikan pengaruh lintas budaya. Di antara mereka yang terbawa pengaruhnya yaitu Alexander Afanasyev dari Rusia, Peter Christen Asbjørnsen dan Jørgen Moe dari Norwegia, serta Joseph Jacobs dari Inggris.[59] Ketertarikan Romantisis dalam antikuitas non-klasik terjadi bersamaan dengan bangkitnya nasionalisme romantis dan bangkitnya negara kebangsaan dalam konteks Revolusi 1848, yang mengarah pada terciptanya berbagai epik kebangsaan dan mitos kebangsaan bagi beragam negara yang baru terbentuk. Topik pagan atau cerita rakyat juga umum dalam nasionalisme musikal pada periode tersebut. Paganisme Modern
Paganisme Modern, atau Neopaganisme, dapat meliputi agama-agama yang direkonstruksi seperti Cultus Deorum Romanorum, politeisme Helenik, neopaganisme Slavik (Rodnovery), paganisme rekonstruksionis Keltik, atau neopaganisme Jermanik, serta tradisi-tradisi eklektik modern seperti Wicca dan banyak cabang-cabangnya, dan juga Diskordianisme. Namun, sering terdapat perbedaan atau pemisahan antara beberapa penganut Rekonstruksionis politeistik seperti kalangan Rekonstruksionis Politeistik Helenik atau Yunani dari agama Hellenismos dan kalangan Neopagan revivalis seperti kaum Wicca. Pembagian dilakukan karena banyaknya isu seperti arti penting ortopraksi yang akurat berdasarkan ketersediaan sumber-sumber kuno, penggunaan dan konsep magi (atau sihir), kalender mana yang digunakan dan hari raya apa saja yang perlu dirayakan, serta penggunaan istilah pagan itu sendiri.[60][61][62] Banyak dari "kebangunan" tersebut, Wicca dan Neo-Druidisme khususnya, berakar dalam Romantisisme abad ke-19 dan mempertahankan elemen-elemen yang terlihat dari okultisme atau teosofi yang umum pada saat itu, memisahkannya dari agama rakyat pedesaan (paganus) yang bermakna historis. Sebagian besar kaum pagan modern, bagaimanapun, percaya pada karakter ilahi dunia alamiah dan paganisme sering kali dideskripsikan sebagai suatu "agama Bumi".[63] Terdapat sejumlah penulis neopagan yang meneliti hubungan antara gerakan-gerakan kebangunan politeistik abad ke-20 dengan politeisme historis pada satu sisi dan tradisi-tradisi kontemporer agama rakyat pada sisi lain. Isaac Bonewits memperkenalkan sebuah terminologi untuk pembedaan itu.[64]
Prudence Jones dan Nigel Pennick dalam Suatu Sejarah Eropa Pagan (1995) karya mereka mengklasifikasikan agama-agama pagan berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut:
Pada zaman modern, "Heathen" dan "Heathenry" semakin banyak digunakan untuk menyebut cabang-cabang neopaganisme tersebut yang terilhami oleh agama-agama pra-Kristen dari bangsa Jermanik, Skandinavia, dan Anglo-Sachsen.[66] Di Islandia, penganut Ásatrúarfélagið yang jumlahnya hanya lebih dari seribu orang mewakili 0.4% dari populasi total.[67] Di Lituania, banyak orang mempraktikkan Romuva, suatu versi agama pra-Kristen dari negara itu yang dihidupkan kembali. Lituania termasuk salah satu daerah terakhir di Eropa yang mengalami Kristenisasi. Odinisme telah dibentuk secara resmi di Australia setidaknya sejak tahun 1930-an.[68] Paganisme di Jazirah ArabKendati Muhammad telah menghancurkan kuil dan berhala pagan Dzul Khalashah selama ekspedisi militer Penghancuran Dzul Khalashah,[53][56][57] kultus Dzul Khalashah bangkit kembali dan dipuja di wilayah tersebut sampai tahun 1815, saat para anggota gerakan Wahhabi Sunni mengorganisir kampanye-kampanye militer untuk menekan sisa-sisa ibadah pagan. Berhala yang direkonstruksi tersebut kemudian dihancurkan oleh tembakan.[50] Kekristenan sebagai PaganKekristenan adalah salah satu agama Abrahamik dan monoteistik.[69][70] Kaum Yahudi terkadang memersepsikannya sebagai salah satu bentuk politeisme[71] karena doktrin Kristen tentang Tritunggal (yang secara sekilas tampak seperti Triteisme)[72] atau perayaan sejumlah hari keagamaan yang awalnya dianggap berkaitan dengan agama-agama pagan[73] dan praktik-praktik lainnya – melalui suatu proses yang dideskripsikan sebagai "membaptis"[74] atau "Kristenisasi". Bahkan di antara kalangan Kristen, terdapat tuduhan-tuduhan serupa sehubungan dengan penyembahan berhala, khususnya oleh kalangan Protestan,[75][76] terhadap Gereja Katolik Roma dan Gereja-Gereja Timur atas venerasi ("penghormatan") yang mereka lakukan pada orang-orang kudus dan gambar-gambar. Arthur Weigall, seorang ahli Mesir kuno dari Inggris, berpendapat bahwa doktrin-doktrin penting Kekristenan telah dipengaruhi oleh paganisme atau okultisme Eropa.[77] Agama etnik bangsa Eropa pra-KristenLihat pulaReferensiCatatan
Bibliografi
Pranala luar |