Agustinus dari Hippo
Agustinus dari Hippo (bahasa Latin: Aurelius Augustinus Hipponensis,[note 1] 13 November 354 – 28 Agustus 430), juga dikenal sebagai Santo Agustinus, atau Saint Augustine dan Saint Austin dalam bahasa Inggris,[29] Beato Agustinus,[30] dan Doktor Rahmat[31] (bahasa Latin: Doctor gratiae), adalah seorang filsuf[32] dan teolog Kristen awal yang tulisannya mempengaruhi perkembangan Kekristenan Barat dan filsafat Barat. Ia adalah uskup Hippo Regius (sekarang Annaba, Aljazair), yang terletak di Numidia (provinsi Romawi di Afrika). Ia dipandang sebagai salah seorang Bapa Gereja terpenting dalam Kekristenan Barat karena tulisan-tulisannya pada Era Patristik. Di antara karya-karyanya yang terpenting misalnya Kota Allah dan Pengakuan-Pengakuan. Menurut rekan sezamannya, Hieronimus, Agustinus telah memperbaharui "Iman kuno".[note 2] Pada awal hidupnya, ia banyak dipengaruhi oleh Manikeisme dan sesudahnya oleh Neoplatonisme dari Plotinus. Setelah dibaptis dan memeluk Kekristenan pada tahun 386, Agustinus mengembangkan pendekatannya sendiri dalam filsafat dan teologi dengan mengakomodir berbagai metode dan sudut pandang.[33] Dengan keyakinan bahwa kasih karunia atau rahmat Kristus mutlak dibutuhkan bagi kebebasan manusia, ia membantu merumuskan doktrin dosa asal dan memberikan kontribusi penting pada pengembangan teori perang yang dapat dibenarkan. Ketika Kekaisaran Romawi Barat mulai pecah, Agustinus mengembangkan konsep Gereja sebagai suatu Kota Allah yang spiritual, berbeda dengan Kota Duniawi yang materiil.[34] Pemikirannya sangat mempengaruhi cara pandang dunia abad pertengahan. Gereja yang berpegang pada konsep Trinitas, sebagaimana didefinisikan dalam Konsili Nicea dan Konsili Konstantinopel,[35] umumnya diidentifikasi sebagai Kota Allah-nya Agustinus. Dalam Gereja Katolik dan Komuni Anglikan, ia dipandang sebagai seorang santo, seorang Pujangga Gereja terkemuka, serta pelindung para biarawan dan biarawati Agustinian. Hari peringatannya dirayakan pada tanggal 28 Agustus, hari wafatnya. Ia dipandang sebagai santo pelindung para pembuat bir, penerbit dan percetakan, teolog, pengentasan penyakit mata, serta sejumlah kota dan keuskupan.[36] Banyak kalangan Protestan, terutama Calvinis, menganggapnya sebagai salah seorang bapa teologis Reformasi Protestan karena ajarannya tentang rahmat ilahi dan keselamatan.[37][38][39] Dalam Kekristenan Timur, beberapa ajarannya diperdebatkan dan secara khusus pada abad ke-20 mendapat serangan dari teolog seperti John Romanides.[40] Namun, para tokoh dan teolog lainnya dari Gereja Ortodoks Timur memperlihatkan banyak pemanfaatan dari karya-karya tulisnya, terutama Georges Florovsky.[41] Kontrovesi doktrinal terpenting yang dihubungkan dengan namanya adalah filioque,[42] yang ditolak oleh Gereja Ortodoks.[43] Ajaran-ajaran lain yang diperdebatkan mencakup pandangannya mengenai dosa asal, doktrin mengenai rahmat atau anugerah, dan predestinasi.[42] Bagaimanapun, meski dianggap keliru dalam beberapa hal, ia tetap dipandang sebagai seorang suci (santo), dan bahkan telah memberikan pengaruh pada sejumlah Bapa Gereja Timur, khususnya Gregorius Palamas.[44] Dalam Gereja Ortodoks, pesta peringatannya dirayakan pada tanggal 28 Agustus,[42][45] dan ia menyandang gelar Beato ("Yang Terberkati"). KehidupanMasa kecil dan pendidikanAgustinus dilahirkan pada tahun 354 M di municipium (kota atau kotamadya) Tagaste, Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair) di Afrika Romawi.[46][47] Ibunya, Monika, adalah seorang Kristen yang saleh; sementara ayahnya Patrisius adalah seorang Pagan yang kemudian memohon dibaptis menjelang kematiannya.[48] Para akademisi umumnya sepakat bahwa Agustinus dan keluarganya adalah orang Berber, suatu kelompok etnis asli Afrika Utara,[49][50][51][52] tetapi mereka banyak mendapat pengaruh Romanisasi, hanya berbicara bahasa Latin di rumah sebagai suatu kebanggaan dan martabat.[49] Dalam tulisan-tulisannya, Agustinus meninggalkan sejumlah informasi mengenai kesadarannya akan warisan Afrika-nya. Sebagai contoh, ia menyebut Apuleius sebagai "yang paling terkenal buruk di antara kita orang Afrika",[53] hingga Ponticianus sebagai "orang sebangsa kita, sebatas menjadi orang Afrika",[54] dan menyebut Faustus dari Milevum sebagai "seorang Pria Sejati Afrika".[55] Nama keluarga Agustinus, yaitu Aurelius, menunjukkan bahwa leluhur ayahnya adalah budak yang dimerdekakan dari gens Aurelia yang diberikan kewarganegaraan Romawi sepenuhnya melalui Maklumat Caracalla pada tahun 212. Dari sudut pandang hukum, keluarga Agustinus telah menjadi bangsa Romawi selama setidaknya satu abad pada saat ia lahir.[56] Diasumsikan bahwa ibu Agustinus, yakni Monika, memiliki asal usul Berber berdasarkan namanya,[57][58] tetapi karena keluarga Agustinus tergolong honestiores, suatu kelompok warga negara kelas atas yang dikenal sebagai orang-orang terhormat, kemungkinan besar Agustinus telah menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa pertamanya.[57] Pada usia 11 tahun ia disekolahkan di Madaurus (sekarang M'Daourouch), sebuah kota kecil di Numidia berjarak sekitar 31 km di sebelah selatan Tagaste. Di sana ia menjadi akrab dengan sastra Latin, juga keyakinan dan praktik pagan.[59] Pemahaman awalnya mengenai kodrat atau hakikat dosa adalah saat ia dan sejumlah temannya mencuri buah-buahan, yang sebenarnya tidak mereka inginkan, dari sebuah kebun di lingkungan sekitarnya. Ia menceritakan kisah ini dalam otobiografinya, Pengakuan-Pengakuan (bahasa Inggris: The Confessions). Ia mengingatnya bahwa dulu ia tidak mencuri buah pir tersebut karena rasa lapar, tetapi karena "hal itu tidak diperbolehkan".[60] Kodrat dasarnya cacat, katanya. "Buruk kenakalan itu, tetapi aku menyukainya waktu itu; aku menyukai kehancuranku, aku menyukai kesalahanku. Bukan apa yang kukejar dalam kesalahanku itu, melainkan kesalahan itu sendiri yang kusukai."[60] Dari kejadian ini ia menyimpulkan bahwa pribadi manusia secara kodrati cenderung untuk berbuat dosa, dan membutuhkan kasih karunia Kristus. Karena kemurahan hati sesama warga kotanya, Romanianus,[61] pada umur 17 tahun Agustinus melanjutkan pendidikan dalam bidang retorika di Kartago. Saat ia belajar di sanalah ia membaca dialog karya Cicero yang berjudul Hortensius (sekarang telah hilang), yang ia sebut meninggkalkan suatu kesan mendalam dan memicu minatnya dalam filsafat.[62] Meskipun dididik sebagai seorang Kristiani, Agustinus meninggalkan Gereja untuk mengikuti agama Manikean, sehingga menyebabkan ibunya sangat berputus asa.[63] Sebagai seorang pemuda, Agustinus menjalani kehidupan yang hedonis dalam suatu kurun waktu, bergaul dengan orang muda lainnya yang membanggakan eksploitasi seksual mereka. Kebutuhan akan penerimaan dari sesama memaksa pemuda-pemuda tanpa pengalaman seperti Agustinus untuk mencari ataupun mengarang cerita mengenai pengalaman-pengalaman seksual.[64] Pada masa inilah ia mengucapkan doanya yang terkenal: "Berikanlah aku kemurnian dan kemampuan untuk mengendalikan nafsu, tetapi jangan sekarang" (da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo).[65] Pada usia sekitar 19 tahun, Agustinus mulai menjalin hubungan di luar perkawinan dengan seorang wanita muda di Kartago. Meskipun sang ibu mengharapkan agar ia menikahi orang yang sekelas dengannya, wanita tersebut tetap menjadi kekasihnya[66] selama lebih dari 15 tahun[67] dan melahirkan seorang putra baginya, Adeodatus,[68] yang dipandang sangat cerdas oleh orang-orang pada masanya. Pada tahun 385, Agustinus mengakhiri hubungan dengan kekasihnya demi mempersiapkan diri untuk menikahi seorang wanita berumur 10 tahun yang akan menjadi pewarisnya. (Ia harus menunggu selama dua tahun karena usia yang sah secara hukum untuk menikah adalah 12 tahun. Namun, pada saat ia dapat menikahinya, ia malah memutuskan untuk menjadi seorang imam selibat.)[67][69] Sejak awal Agustinus menunjukkan dirinya sebagai seorang murid yang brilian, dengan keingintahuan intelektual yang besar, namun ia tidak pernah benar-benar menguasai bahasa Yunani.[70] —ia menyampaikan bahwa guru bahasa Yunani pertamanya adalah seorang pria brutal yang terus-menerus memukuli murid-muridnya, dan Agustinus memberontak serta menolak untuk belajar. Pada saat ia menyadari bahwa ia perlu mengetahui bahasa Yunani, hal itu sudah terlambat; dan walaupun ia sedikit menguasai bahasa itu, ia tidak pernah fasih dengannya. Namun, penguasaannya atas bahasa Latin merupakan hal lain. Ia menjadi seorang ahli yang fasih dalam penggunaan bahasa tersebut maupun dalam penggunaan argumen-argumen cerdas untuk menyampaikan maksud-maksudnya. Mengajar retorikaAgustinus mengajar tata bahasa di Tagaste selama tahun 373-374. Tahun berikutnya ia pindah ke Kartago untuk membuka sekolah retorika, dan tetap di sana selama 9 tahun berkutnya.[61] Pada tahun 383, karena merasa terganggu oleh murid-murid yang sulit diatur di Kartago, ia pindah ke Roma untuk mendirikan sekolah di sana, di mana ia meyakini bahwa Roma adalah tempatnya para ahli retorika cemerlang dan terbaik. Namun, Agustinus kecewa dengan penerimaan apatis yang dialaminya. Merupakan suatu kebiasaan di Roma saat itu bahwa para murid membayar biaya sekolah pada hari terakhir masa studi, dan banyak murid mengikuti seluruh masa studi dengan tekun sampai akhir, namun tidak membayar biaya sekolah. Teman-temannya sesama penganut Manikean memperkenalkannya dengan prefek Kota Roma, Symmachus, yang telah diminta oleh istana kekaisaran di Milan[71] untuk menyediakan seorang guru besar ilmu retorika. Agustinus kemudian mendapatkan pekerjaan tersebut dan berangkat ke utara untuk menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Di usianya yang ke-30, Agustinus telah mendapatkan posisi akademik yang paling menonjol di dunia Latin saat itu, jabatan yang memberikan akses ke karier politik. Kendati Agustinus memperlihatkan sejumlah kegairahan pada Manikeisme, ia tidak pernah menjadi seorang "inisiasi" atau "terpilih", namun hanya menjadi seorang "auditor", tingkatan terendah dalam hierarki sekte itu.[71] Saat masih di Kartago, Agustinus pernah mengalami suatu pertemuan yang mengecewakan dengan Uskup Manikean Faustus dari Milevum, seorang eksponen utama teologi Manikean; sejak saat itu Agustinus mulai bersikap skeptis terhadap Manikeisme.[71] Di Roma, ia dikabarkan berpaling dari Manikeisme dan menganut skeptisisme dari gerakan Akademi Baru. Karena pendidikannya, Agustinus memiliki kecakapan retorikal yang luar biasa dan berpengetahuan luas dalam filsafat berbagai keimanan atau agama.[72] Saat Agustinus pindah ke Milan, kesalehan ibunya, studinya dalam Neoplatonisme, dan Simplicianus (yang kelak menjadi uskup Milan, dan juga akhirnya digelari Santo) temannya, kesemuanya itu mendorong dia untuk beralih ke Kekristenan.[61] Awalnya Agustinus tidak begitu terpengaruh oleh Kekristenan dan ideologi-ideologinya, tetapi setelah menjalin hubungan dengan Ambrosius (uskup Milan pada saat itu, dan kelak digelari sebagai salah seorang Pujangga Agung dalam Gereja Katolik), ia mulai mengevaluasi kembali dirinya dan mengalami perubahan untuk seterusnya. Sama seperti Agustinus, Ambrosius juga seorang ahli retorika (berarti juga ahli pidato), tetapi lebih tua dan lebih berpengalaman.[73] Agustinus menerima banyak pengaruh dari Ambrosius, terutama melalui khotbah-khotbah Ambrosius, bahkan lebih dari pengaruh ibunya sendiri dan orang-orang lain yang ia kagumi. Sejak ia tiba di Milan, ia langsung berada di bawah pengaruh Ambrosius. Dalam Pengakuan-Pengakuan Bab X-XIII, Agustinus menulis, "Abdi Allah itu menerimaku dengan sikap kebapakan, dan sebagai seorang uskup sejati dinyatakannya kesenangannya akan pemindahan saya."[74] Hubungan mereka segera berkembang, sebagaimana Agustinus menuliskannya, "Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai seorang guru kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku."[74] Agustinus rutin mengunjungi Ambrosius untuk melihat apakah Ambrosius merupakan salah seorang ahli retorika dan pembicara terbaik di dunia. Walau lebih tertarik pada ketrampilannya berbicara daripada topiknya, Agustinus segera menyadari bahwa Ambrosius adalah seorang orator yang menakjubkan. Pada akhirnya, Agustinus mengatakan bahwa melalui alam bawah sadarnya ia dibawa ke dalam iman Kekristenan.[74] Sang ibu, Monika, telah menyusulnya sampai ke Milan dan mengatur suatu pernikahan, yang menyebabkan hubungan Agustinus dengan kekasihnya (di luar pernikahan) berakhir —yaitu pada tahun 385. Meskipun Agustinus menerima rencana pernikahan itu, Agustinus sangatlah terluka karena kehilangan kekasihnya. Ia mengatakan, "Wanita teman tetapku seranjang direnggut dari sisiku ... hatiku yang melekat padanya tercabik-cabik dan terluka dan mengalirkan darah." Agustinus mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang gandrung pada ikatan perkawinan, tetapi lebih sebagai seorang budak nafsu birahi, sehingga ia mencari kekasih lain untuk melayani nafsunya sepeninggal kekasih pertamanya karena ia harus menunggu 2 tahun lagi hingga tunangannya cukup umur. Namun, ia mengungkapkan bahwa lukanya tidak kunjung sembuh juga, malah mulai "bernanah".[75] Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Agustinus mungkin menganggap hubungan sebelumnya itu setara dengan pernikahan.[76] Dalam Pengakuan-Pengakuan karyanya, ia mengakui bahwa pengalaman tersebut akhirnya menghasilkan suatu penurunan kepekaan terhadap rasa sakit. Di kemudian hari, Agustinus memutuskan pertunangan dengan tunangannya yang berumur 11 tahun itu, tanpa pernah memperbarui hubungannya dengan salah seorang pun kekasihnya. Seorang teman Agustinus, Alypius (yang kemudian menjadi uskup Tagaste, dan juga kelak digelari Santo), yang mengarahkan Agustinus untuk menjauhi pernikahan, mengatakan bahwa mereka tidak dapat menjalani suatu kehidupan bersama dalam cinta akan hikmat jika ia menikah. Agustinus mengenang kembali tahun-tahun berikutnya dalam kehidupannya saat tinggal di Cassiciacum, sebuah villa di luar Milan tempat ia berkumpul dengan para pengikutnya sebelum ia memutuskan untuk dibaptis, dan menggambarkan saat itu sebagai "waktu senggang kehidupan Kristiani" (Christianae vitae otium).[77] Memeluk KekristenanPada musim panas tahun 386, dalam usianya yang ke-31, setelah mendengar dan terinspirasi serta tersentuh oleh kisah dari Ponticianus (seorang Kristen kenalannya di istana kaisar) mengenai pengalamannya bersama teman-temannya yang membaca kisah kehidupan Santo Antonius Agung, Agustinus melakukan konversi ke Kekristenan. Sebagaimana diceritakan Agustinus kemudian, keputusan bulat untuk menjadi seorang Kristen adalah setelah ia didorong oleh suatu suara seperti anak kecil yang ia dengar menyuruhnya agar "Ambillah, bacalah!" (bahasa Latin: tolle, lege), yang dianggapnya sebagai perintah ilahi untuk membuka Alkitab dan membaca hal pertama yang dilihatnya. Agustinus membaca dari Surat Paulus kepada Jemaat di Roma – bagian "Transformasi Umat Beriman", yang meliputi bab 12 sampai 15 – di mana Paulus menguraikan bagaimana Injil mengubah umat beriman dan perilaku yang dihasilkannya. Bagian spesifik yang dilihat Agustinus saat ia membuka Alkitab adalah Roma 13:13-14, yaitu:[78]
Ia kemudian menuliskan sebuah laporan mengenai konversinya – transformasinya yang sesungguhnya, sebagaimana dideskripsikan oleh Paulus – dalam Pengakuan-Pengakuan (bahasa Latin: Confessiones) karyanya, yang kelak menjadi sebuah karya klasik teologi Kristen dan sebuah teks penting dalam sejarah otobiografi. Dalam karya tersebut, Agustinus menyampaikan bahwa sejak peristiwa itu, yang menghantarnya pada konversinya dan membahagiakan Monika ibunya, ia tidak lagi ingin mempunyai istri, dan ia merasa mantap melepaskan jabatannya di istana. Kendati karya tersebut ditulis sebagai suatu laporan tentang kehidupannya, Pengakuan-Pengakuan juga berbicara mengenai hakikat waktu, kausalitas, kehendak bebas, dan topik-topik filosofis penting lainnya.[79] Suatu doa, yang terkenal dengan judul berfrasa "Terlambat aku mencintai-Mu Tuhan" dan menggungkapkan perubahan radikal dalam dirinya, dapat ditemukan pada karya tersebut:[80]
Uskup Ambrosius membaptis Agustinus, dan Adeodatus putranya yang saat itu berumur 15 tahun, serta sejumlah temannya pada Malam Paskah tahun 387 di Milan. Setahun kemudian, tahun 388, Agustinus menyelesaikan apologi karyanya yang berjudul Tentang Kekudusan Gereja Katolik.[71] Pada tahun yang sama, Agustinus beserta seluruh kerabatnya, termasuk Adeodatus anaknya dan juga Monika ibunya, pulang ke kampung halaman mereka di Afrika.[61] Namun sang ibu meninggal dunia di Ostia, Italia, saat mereka sedang dalam persiapan untuk berlabuh ke Afrika.[81] Setelah tiba di tujuan, mereka menjalani suatu kehidupan senggang aristokratis di properti keluarga Agustinus.[82][83] Dan tidak lama kemudian Adeodatus juga meninggal dunia, di usianya yang ke-16.[84] Agustinus lalu menjual semua harta warisannya dan memberikan uang yang diperolehnya kepada orang-orang miskin. Satu-satunya yang dipertahankan adalah rumah keluarganya di Tagaste, yang ia ubah menjadi sebuah biara monastik bagi dirinya sendiri dan sejumlah temannya.[61] Menjadi imam dan uskupPada tahun 391, ia ditahbiskan menjadi seorang imam di Hippo Regius (kini Annaba, di Aljazair). Ia menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 catatan khotbahnya yang masih terlestarikan diyakini otentik), dan ia juga dikenal karena perlawanannya terhadap agama Manikeisme, yang pernah dianutnya.[71] Pada tahun 395, ia diangkat menjadi uskup koajutor (seorang uskup dengan hak untuk menggantikan apabila uskup diosesan yang menjabat meninggal dunia) Hippo, dan tidak lama kemudian menjadi uskup sepenuhnya,[69] sehingga ia dikenal dengan nama "Agustinus dari Hippo"; dan ia memberikan harta miliknya kepada Gereja di Tagaste.[85] Agustinus tetap menjabat sebagai uskup di sana hingga wafatnya tahun 430. Ia menuliskan otobiografinya yang berjudul Pengakuan-Pengakuan pada tahun 397-398. Kota Allah karyanya ditulis untuk menghibur sesamanya umat Kristiani tidak lama setelah suku bangsa Visigoth menjarah Roma pada tahun 410. Agustinus bekerja tanpa lelah dalam upayanya meyakinkan penduduk Hippo untuk memeluk Kekristenan. Meskipun ia telah meninggalkan biaranya, ia tetap menjalani kehidupan monastik di wisma episkopal (tempat kediamannya sebagai uskup). Ia mewariskan sebuah buku peraturan (bahasa Latin: regula) bagi biaranya yang kemudian membuatnya dijadikan sebagai santo pelindung klerus regular (para anggota tarekat religius).[86] Kebanyakan kisah kehidupan selanjutnya Agustinus dibukukan oleh Possidius, yang adalah temannya dan uskup Calama (kini Guelma, Aljazair), dalam Sancti Augustini Vita karyanya. Possidius mengagumi Agustinus sebagai seseorang yang sangat cerdas dan seorang pembicara handal yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk membela Kekristenan dari para pencelanya. Possidius juga mendeskripsikan karakter pribadi Agustinus secara rinci, misalnya: seseorang yang hanya makan sedikit, bekerja tanpa lelah, membenci gosip, menjauhi godaan-godaan kedagingan, dan menerapkan kehatian-hatian dalam pengelolaan keuangan keuskupannya.[87] Wafatnya dan penghormatan atasnyaSesaat menjelang kematian Agustinus, kaum Vandal (suatu suku bangsa Jermanik yang telah menjadi penganut Arianisme) menyerbu Afrika Romawi. Kaum Vandal mengepung Hippo pada musim semi tahun 430, saat Agustinus menderita penyakit terakhirnya sebelum wafatnya. Menurut Possidius, salah satu dari beberapa mukjizat dikaitkan dengan Agustinus, yaitu kesembuhan seorang sakit, pada saat pengepungan berlangsung.[87] Possidius mencatat bahwa Agustinus menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam doa dan penyesalan, serta meminta agar Mazmur Penitensial digantung di dinding kamarnya sehingga ia dapat membacanya. Ia juga memberi instruksi agar perpustakaan gereja di Hippo dan semua buku di dalamnya supaya dijaga dengan baik. Ia meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 430.[87] Tak lama setelah wafatnya, kaum Vandal melepaskan pengepungan Hippo; tetapi mereka kembali tidak lama setelah itu dan membakar kota tersebut. Mereka menghancurkan semuanya selain perpustakaan dan katedral Agustinus, yang mereka tinggalkan begitu saja tanpa menyentuhnya.[88] Agustinus dikanonisasi melalui pengakuan populer, dan kemudian diakui sebagai seorang Pujangga Gereja pada tahun 1298 oleh Paus Bonifasius VIII.[89] Pesta perayaannya adalah tanggal 28 Agustus, tanggal ia wafat. Ia dipandang sebagai santo pelindung para pembuat bir, penerbit dan percetakan, teolog, penderita penyakit mata, serta sejumlah kota dan keuskupan.[36] RelikuiMenurut Martirologi Sejati karya Beda, jenazah Agustinus kemudian dipindahkan ke Cagliari, Sardinia, oleh para uskup Katolik yang diusir oleh Huneric dari Afrika Utara. Sekitar tahun 720, jenazahnya dibawa kembali oleh Petrus, uskup Pavia dan paman Raja Langobardi Liutprand, ke Gereja San Pietro in Ciel d'Oro di Pavia, demi menyelamatkannya dari seringnya serangan pesisir oleh kaum Saracen. Pada bulan Januari 1327, Paus Yohanes XXII mengeluarkan bulla kepausan Veneranda Santorum Patrum, yang berisi penunjukan para Agustinian sebagai penjaga makam Agustinus (disebut Arca), yang dibuat kembali pada tahun 1362 dan berhiaskan ukiran kompleks dengan relief-rendah seputar adegan-adegan kehidupan Agustinus. Pada bulan Oktober 1695, sejumlah pekerja dalam Gereja San Pietro in Ciel d'Oro di Pavia menemukan sebuah kotak marmer berisi beberapa tulang manusia (termasuk bagian dari sebuah tengkorak). Timbul perbedaan pendapat antara para pertapa Agustinian (Ordo Santo Agustinus, OSA) dan para kanonik regular (Kanonik Regular Santo Agustinus) apakah temuan itu merupakan tulang-tulang Agustinus. Para pertapa tidak memercayainya; para kanonik menegaskan sebaliknya. Akhirnya Paus Benediktus XIII (1724–1730) memerintahkan uskup Pavia, Monsinyur Pertusati, untuk membuat suatu keputusan. Sang uskup menyatakan bahwa, menurut pendapatnya, tulang-tulang itu adalah tulang-tulang Santo Agustinus.[90] Para Agustinian diusir dari Pavia pada tahun 1700, mengungsi ke Milan dengan membawa relikui Agustinus, dan membongkar Arca, yang dipindahkan ke katedral di sana. San Pietro mengalami kerusakan, tetapi kemudian dibangun kembali pada tahun 1870-an, atas desakan Agostino Gaetano Riboldi, serta dikonsekrasi ulang pada tahun 1896 saat penempatan kembali relikui Agustinus dan tempat ziarahnya.[91][92] Pandangan dan pemikirannya
Antropologi KristenAgustinus adalah salah seorang penulis Latin kuno pertama, di kalangan Kristen, dengan suatu visi yang sangat jelas mengenai antropologi teologis.[93] Ia memandang manusia sebagai satu kesatuan sempurna dari dua substansi: tubuh dan jiwa. Dalam risalah terakhirnya yang berjudul Tentang Kepedulian yang Diperlukan bagi Orang Meninggal (De cura pro mortuis gerenda) bab 5, yang ditulisnya pada tahun 420, ia mendesak untuk menghormati jenazah karena tubuh adalah bagian dari kodrat dasar pribadi manusia.[94] Figur favorit Agustinus untuk mendeskripsikan kesatuan tubuh-jiwa adalah perkawinan: "tubuhmu adalah istrimu" (caro tua, coniunx tua).[95][96][97] Pada awal mula, kedua elemen tersebut berada dalam keselarasan yang sempurna. Setelah jatuhnya umat manusia, tubuh dan jiwa mengalami pertempuran dramatis antara satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan 2 hal yang berbeda secara kategoris. Tubuh adalah sebuah objek 3 dimensi yang terdiri dari 4 elemen, sedangkan jiwa tidak memiliki dimensi spasial (ruang).[98] Jiwa adalah suatu jenis substansi, turut serta dalam akal atau daya pikir, dan layak untuk berkuasa atas tubuh.[99] Berbeda dengan Plato dan Descartes, Agustinus tidak disibukkan dengan penelusuran rincian mendetail yang terlalu banyak dalam upaya untuk menjelaskan metafisika persatuan tubuh-jiwa. Baginya cukup untuk mengakui bahwa ada perbedaan metafisik di antara keduanya: menjadi seorang manusia berarti menjadi satu gabungan tubuh dan jiwa, dan jiwa lebih unggul daripada tubuh. Pernyataan yang terakhir itu didasarkan pada klasifikasi hierarkisnya akan segala hal ke dalam: yang sekadar ada, yang ada dan hidup, serta yang ada, hidup, dan memiliki akal.[100][101] Sebagaimana para Bapa Gereja lainnya seperti Athenagoras,[102] Tertulianus,[103] Klemens dari Aleksandria dan Basilius Agung,[104] Agustinus dengan gigih mengutuk praktik aborsi langsung, dan meskipun ia tidak menyetujui aborsi dalam tahap kehamilan manapun, ia membedakan antara aborsi tahap awal dan yang kemudian.[105] Ia mengakui perbedaan antara janin "berbentuk" dan "belum berbentuk" yang disebutkan dalam Keluaran 21:22-23 terjemahan Septuaginta, yang dipandang sebagai terjemahan yang salah atas kata "bahaya" atau "kerugian" (Alkitab TB LAI menyebutnya "kecelakaan") dari teks asli Ibrani menjadi "bentuk" di dalam Septuaginta Yunani dan berakar pada pembedaan Aristotelian atas janin sebelum dan setelah momen yang diduga sebagai "pemerolehan" kehidupannya, serta tidak mengklasifikasikan aborsi janin "belum berbentuk" sebagai pembunuhan karena ia berpikir bahwa belum dapat dikatakan secara pasti apakah sang janin telah menerima jiwanya.[105][106] Agustinus menyatakan bahwa waktu "pemasukan" jiwa merupakan suatu misteri yang hanya diketahui oleh Allah saja.[107] Bagaimanapun, ia memandang prokreasi sebagai salah satu produk dari perkawinan; aborsi dibayangkan sebagai suatu cara, bersama dengan obat-obatan yang menyebabkan sterilitas, yang merusak kebenaran ini. Aborsi terhampar di sepanjang rangkaian yang mencakup infantisida sebagai suatu contoh 'kekejaman yang penuh nafsu' ataupun 'hawa nafsu yang kejam'. Agustinus menyebut penggunaan segala sarana untuk menghindari kelahiran seorang anak sebagai suatu 'perbuatan jahat': suatu acuan pada aborsi ataupun kontrasepsi atau juga keduanya.[108] Karena "ilmu pengetahuan yang cacat pada zamannya", Uskup Robert F. Vasa mengklaim bahwa Agustinus akan yakin kalau suatu janin yang "belum berbentuk" telah menerima jiwanya "apabila Agustinus telah memiliki akses ke gambar-gambar USG atau apabila ia telah melihat film The Silent Scream."[108] PerbudakanAgustinus menyebabkan banyak klerus di bawah kepemimpinannya di Hippo membebaskan budak mereka "sebagai suatu tindakan kesalehan".[109] Ia dengan berani menulis surat kepada kaisar yang berisi desakan untuk menetapkan suatu hukum baru menentang para pedagang budak dan ia menyampaikan keprihatinan yang besar terkait perdagangan anak-anak. Para kaisar Kristen pada zamannya, selama kurun waktu 25 tahun, mengizinkan perdagangan anak-anak sebagai salah satu cara untuk mencegah infantisida oleh orang tua yang tidak mampu merawat anaknya, bukan karena mereka menyetujui praktik itu. Agustinus mengetahui bahwa para petani penyewa, khususnya, terpaksa menyewakan atau menjual anak-anak mereka sebagai suatu cara untuk bertahan hidup.[110] Dalam Kota Allah, salah satu bukunya yang terkenal, ia menguraikan berkembanganya perbudakan sebagai suatu produk dari dosa dan bertentangan dengan rencana ilahi Allah. Ia menuliskan bahwa Allah "tidak menghendaki makhluk rasional ini, yang diciptakan menurut citra-Nya, untuk berkuasa atas segala sesuatu selain ciptaan irasional – bukan manusia atas manusia, tetapi manusia atas binatang." Dengan demikian ia menuliskan bahwa orang-orang yang dibenarkan pada zaman primitif dijadikan sebagai para gembala ternak, bukan para raja atas manusia. "Keadaan perbudakan merupakan akibat dari dosa," katanya.[111] AstrologiOrang-orang sezaman Agustinus sering kali meyakini astrologi sebagai suatu ilmu pasti dan orisinal. Para praktisinya dianggap sebagai orang-orang terpelajar sejati dan disebut mathemathici. Astrologi memegang suatu peranan utama dalam doktrin Manikean, dan, pada masa mudanya, Agustinus sendiri sempat tertarik dengan buku-buku mereka serta sempat sangat terpesona oleh mereka yang mengklaim mampu meramalkan masa depan. Kelak, sebagai seorang uskup, ia sering memperingatkan agar orang menghindari para astrolog yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan horoskop. (Istilah "mathematici" yang dicetuskan Agustinus, yang berarti "astrolog-astrolog", terkadang diterjemahkan secara salah menjadi "matematikawan-matematikawan".) Menurut Agustinus, mereka bukan murid-murid sebenarnya dari Hipparkhos ataupun Eratosthenes, tetapi "penipu-penipu biasa".[112][113][114][115] PenciptaanDalam Kota Allah, Agustinus menolak gagasan mengenai keabadian umat manusia yang diajukan oleh kaum pagan maupun pemikiran kontemporer mengenai zaman (seperti yang dikemukakan oleh beberapa orang Yunani dan Mesir) yang berbeda dengan tulisan-tulisan suci Gereja.[116] Dalam Interpretasi Literal Kitab Kejadian (De Genesi ad litteram), Agustinus berpandangan bahwa segala sesuatu di alam semesta diciptakan secara bersamaan oleh Allah, dan bukan dalam 7 hari kalender sebagaimana penafsiran secara literal atau harfiah atas Kitab Kejadian. Ia berpendapat bahwa struktur enam-hari penciptaan dalam Kitab Kejadian menggambarkan suatu kerangka logis, bukan suatu perjalanan waktu secara fisik; maksudnya adalah peristiwa itu mengandung suatu makna spiritual, bukan fisik, yang berarti bukan literal. Salah satu alasan yang menjadi dasar interpretasi ini adalah kutipan dalam Sirakh 18:1 bahwa "Dia ... menciptakan segala-galanya bersama-sama" (creavit omnia simul), yang digunakan oleh Agustinus sebagai bukti bahwa hari-hari dalam Kejadian 1 bukan untuk diartikan secara harfiah.[117] Agustinus juga tidak membayangkan kalau dosa asal menyebabkan perubahan struktural di alam semesta, bahkan mengemukakan bahwa tubuh Adam dan Hawa telah tercipta fana sebelum kejatuhan mereka.[118] Terlepas dari pandangan-pandangan spesifiknya, Agustinus mengakui bahwa penafsiran kisah penciptaan adalah sulit, dan menyatakan bahwa setiap orang seharusnya bersedia untuk mengubah pandangannya mengenai hal tersebut seandainya ada informasi-informasi baru.[119] EklesiologiAgustinus secara khusus mengembangkan ajarannya mengenai Gereja sebagai reaksi terhadap sekte Donatis. Ia mengajarkan bahwa hanya terdapat satu Gereja, tetapi di dalam Gereja ini terdapat dua realitas, yaitu aspek yang kelihatan atau terlihat (hierarki institusional, sakramen-sakramen Katolik, dan umat awam) dan aspek yang tak terlihat (jiwa-jiwa dari orang-orang dalam Gereja, baik yang telah meninggal dunia, umat yang berdosa, ataupun yang terpilih untuk memasuki Surga). Yang pertama disebutkan adalah tubuh institusional yang didirikan oleh Kristus di bumi untuk mewartakan keselamatan dan menyelenggarakan pelayanan sakramen, sementara yang terakhir disebutkan adalah tubuh yang tak terlihat dari umat pilihan, terdiri dari orang-orang percaya sejati dari segala zaman, dan hanya diketahui oleh Allah saja. Gereja, yang terlihat dan bermasyarakat, terdiri dari "gandum" dan "lalang", yaitu orang-orang baik dan jahat (berdasarkan Matius 13:30), hingga berakhirnya dunia ini. Konsep tersebut digunakan untuk menentang klaim Donatis yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang berada dalam keadaan rahmat yang adalah Gereja "sejati" atau "murni" di bumi, dan bahwa para imam serta uskup yang tidak berada dalam keadaan rahmat tidak memiliki kewenangan atau kemampuan untuk melayankan sakramen-sakramen.[38] Eklesiologi Agustinus lebih jauh lagi dibahas dalam Kota Allah karyanya. Di dalam karyanya itu ia menyampaikan pemahamannya bahwa Gereja adalah suatu kerajaan atau kota surgawi, yang diperintah oleh kasih, yang pada akhirnya akan berjaya di atas semua kerajaan duniawi yang mengejar kepuasan diri dan diperintah oleh kebanggaan. Agustinus mengikuti pandangan Siprianus dengan mengajarkan bahwa para uskup dan imam Gereja adalah penerus-penerus Para Rasul,[38] dan bahwa otoritas mereka di dalam Gereja adalah pemberian Allah. EskatologiAwalnya Agustinus meyakini paham premilenialisme, yaitu bahwa Kristus akan mendirikan suatu kerajaan 1.000 tahun (secara harfiah) sebelum kebangkitan universal, tetapi belakangan menolak keyakinan tersebut, memandangnya duniawi. Ia adalah teolog pertama yang menguraikan suatu doktrin sistematis amilenialisme, kendati beberapa teolog dan sejarawan Kristen meyakini bahwa posisinya lebih mendekati paham yang dianut oleh kaum postmilenialis modern. Gereja Katolik pada abad pertengahan membangun sistem eskatologinya berdasarkan paham amilenialisme Agustinian, di mana Kristus memerintah dunia ini secara rohani melalui Gereja-Nya yang berjaya.[120] Pada saat Reformasi Protestan, para teolog seperti Yohanes Calvin juga menerima paham amilenialisme. Agustinus mengajarkan bahwa nasib kekal jiwa ditentukan pada saat kematian jasmaniahnya,[121][122] dan bahwa api purgatorial dalam keadaan peralihan hanya memurnikan atau menyucikan mereka yang wafat dalam persekutuan dengan Gereja. Ajarannya itu menjadi bekal bagi teologi belakangan.[121] EpistemologiKepedulian epistemologis membentuk perkembangan intelektual Agustinus. Dialog-dialog awal karyanya, yaitu Contra academicos (386) dan De Magistro (389), keduanya ditulis tidak lama setelah konversinya ke Kekristenan, merefleksikan penerimaannya atas argumen-argumen skeptis dan memperlihatkan perkembangan ajarannya mengenai iluminasi batin. Ajaran mengenai iluminasi ("penerangan") menyatakan bahwa Allah memainkan suatu peranan aktif dan teratur dalam persepsi (bukannya Allah merancang budi manusia agar dapat tetap diandalkan, misalnya seperti yang terkandung dalam gagasan Descartes mengenai persepsi-persepsi yang jelas dan berbeda) dan pemahaman manusia dengan cara menerangi budi sehingga manusia dapat mengenali realitas yang dapat dimengerti bahwa Allah ada. Menurut Agustinus, iluminasi dapat diperoleh pada semua budi rasional, dan berbeda dengan bentuk-bentuk lain persepsi indra. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan tentang kondisi-kondisi yang dibutuhkan budi agar terhubung dengan entitas-entitas yang dapat dimengerti.[32] Agustinus juga mengajukan masalah budi lain pada berbagai karyanya, yang paling terkenal mungkin dalam Tentang Trinitas (De Trinitate, VIII.6.9), dan ia mengembangkan apa yang telah menjadi suatu solusi baku: argumen dari analogi menuju budi lainnya.[123] Berbeda dengan Plato dan para filsuf lain sebelumnya, Agustinus mengakui sentralitas kesaksian ("testimoni") pada pengetahuan manusia dan berpendapat bahwa apa yang dikatakan orang-orang lain kepada kita dapat memberikan pengetahuan sekalipun kita tidak memiliki alasan yang independen untuk meyakini laporan-laporan kesaksian mereka.[124] Perang yang dapat dibenarkanAgustinus menegaskan bahwa orang Kristen harus bersikap pasifis sebagai suatu pendirian pribadi dan filosofis.[125] Namun, sikap berdamai dalam menghadapi suatu kesalahan berat dan serius, yang hanya dapat dihentikan melalui kekerasan, adalah suatu dosa. Pertahanan atas diri sendiri atau orang lain dapat menjadi suatu keharusan, terutama ketika diizinkan oleh otoritas yang resmi dan sah. Meskipun tidak merinci kondisi-kondisi yang diperlukan agar suatu peperangan dapat dibenarkan, yang biasa disebut dengan istilah just war (perang yang dapat dibenarkan), Agustinus mencetuskan istilah ini dalam Kota Allah karyanya.[126] Pada dasarnya, pencarian akan perdamaian tetap menyertakan pilihan untuk berjuang demi terpeliharanya kedamaian jangka panjang.[127] Perang semacam ini tidak diperkenankan bersifat preemptif (melumpuhkan sebagai tindakan antisipasi), tetapi harus defensif (untuk bertahan), untuk memulihkan perdamaian.[128] Berabad-abad kemudian, Thomas Aquinas menggunakan argumentasi Agustinus dalam upayanya menentukan kondisi-kondisi untuk membenarkan atau menjustifikasi dilangsungkannya suatu peperangan.[129][130] MariologiWalaupun Agustinus tidak mengembangkan suatu teologi khusus mengenai Mariologi, namun pernyataan-pernyataannya mengenai Maria mengungguli para penulis awal yang lain dalam hal kedalamannya dan banyaknya.[131] Bahkan sebelum Konsili Efesus diselenggarakan ia telah membela Maria yang tetap perawan sebagai Bunda Allah, yang adalah "penuh rahmat" (full of grace, Alkitab TB LAI menulisnya "yang dikaruniai") karena keperawanannya.[132] Dan ia juga menegaskan bahwa Perawan Maria "mengandung sebagai perawan, melahirkan sebagai perawan, dan tetap perawan selamanya".[133] Pengetahuan kodrati dan penafsiran AlkitabKetika berbicara mengenai penafsiran alegoris Kitab Kejadian dalam De Genesi ad literam, Agustinus berpandangan bahwa teks Alkitab seharusnya ditafsirkan secara metaforis atau sebagai kiasan apabila suatu penafsiran literal (harfiah) bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan akal pemberian Allah. Walau setiap bagian Kitab Suci memiliki suatu makna harfiah, "makna harfiah" itu tidak selalu berarti bahwa Kitab Suci adalah sekadar sejarah belaka; terkadang ayat-ayat tersebut lebih merupakan suatu perluasan metafora.[134] Dosa asalAgustinus mengajarkan bahwa dosa asal dari Adam dan Hawa merupakan suatu tindakan kebodohan (insipientia) yang diikuti oleh kesombongan dan ketidaktaatan kepada Allah, atau mungkin juga sebenarnya berawal dari kesombongan.[note 3] Pasangan pertama tersebut tidak mematuhi Allah, yang telah mengatakan kepada mereka untuk tidak makan dari Pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kejadian 2:17).[135] Pohon itu merupakan sebuah simbol dari keteraturan penciptaan.[136] Sikap mementingkan diri sendiri menyebabkan Adam dan Hawa memakan buah pohon itu, karenanya mereka gagal memahami dan menghormati dunia yang telah diciptakan Allah, beserta tatanan ciptaan dan nilai-nilainya.[note 4] Mereka jatuh ke dalam kesombongan dan ketiadaan hikmat karena Setan menabur "akar kejahatan" (radix Mali) ke dalam indra-indra mereka.[137] Kodrat mereka terluka oleh konkupisensi atau libido, yang mempengaruhi kehendak dan inteligensi manusia, serta afeksi dan hasrat (atau nafsu), termasuk hasrat seksual.[note 5] Dari segi metafisika, konkupisensi bukanlah suatu keberadaan tetapi merupakan suatu kualitas buruk, kurangnya kebaikan, atau suatu luka.[138] Pemahaman Agustinus mengenai konsekuensi-konsekuensi dari dosa asal dan perlunya rahmat penebusan dikembangkan dalam perjuangan dia melawan Pelagius dan murid-muridnya penganut Pelagianisme, yaitu Selestius dan Yulianus dari Eklanum, yang telah terinspirasi oleh Rufinus dari Siria, salah seorang murid Theodorus dari Mopsuestia.[139] Mereka menolak untuk sependapat bahwa dosa asal telah melukai budi dan kehendak manusia, bersikeras bahwa kodrat manusia telah diberi kuasa untuk bertindak, berbicara, dan berpikir, saat Allah menciptakannya. Kodrat manusia tidak dapat kehilangan kemampuan moralnya untuk berbuat baik, tetapi setiap orang bebas untuk bertindak ataupun tidak bertindak dengan suatu cara yang benar. Pelagius mencontohkan mata: keduanya memiliki kemampuan untuk melihat, tetapi setiap orang dapat mempergunakannya untuk tujuan yang baik ataupun buruk.[113][140] Sama seperti Jovinianus, kaum Pelagian bersikeras bahwa hasrat maupun afeksi manusia tidak terpengaruh oleh kejatuhan manusia pertama. Imoralitas, misalnya percabulan, adalah semata-mata suatu persoalan kehendak, yaitu seseorang tidak menggunakan hasrat alami dengan cara yang tepat. Berlawanan dengan paham tersebut, Agustinus menekankan ketidaktaatan nyata tubuh kepada jiwa, dan menjelaskan hal itu sebagai salah satu akibat dosa asal, hukuman atas ketidaktaan Adam dan Hawa kepada Allah.[141] Agustinus pernah berperan sebagai seorang "Pendengar" kaum Manikean selama sekitar 9 tahun,[142] yang mengajarkan bahwa dosa asal adalah persetubuhan.[143] Tetapi pergulatannya untuk memahami penyebab kejahatan di dunia ini telah dimulai sebelum itu, pada usia 19 tahun.[144] Melalui malum (kejahatan) ia memahami sebagian besar dari seluruh konkupisensi, yang ia tafsirkan sebagai suatu tindakan atau kebiasaan buruk (bahasa Inggris: vice, bahasa Latin: vitium) yang menguasai manusia dan menyebabkan gangguan moral pada pria maupun wanita. Agostino Trapè menegaskan bahwa pengalaman pribadi Agustinus tidak dapat dikaitkan dengan ajarannya tentang konkupisensi. Di luar konteks perkawinan Kristen, ia menganggap pengalaman Agustinus dalam hal perkawinan adalah sangat normal dan tidak menyedihkan.[145] Sebagaimana ditunjukkan oleh J. Brachtendorf, Agustinus menggunakan konsep Stoikisme dari Cicero mengenai penderitaan, untuk menafsirkan ajaran Paulus mengenai dosa dan penebusan universal.[146] Pandangan bahwa tidak hanya jiwa manusia, tetapi juga semua indra, yang terkena dampak kejatuhan Adam dan Hawa adalah sesuatu yang lazim pada zaman Agustinus —dan para Bapa Gereja.[147] Jelas bahwa alasan Agustinus menjaga jarak dengan hal-hal kedagingan berbeda dengan Plotinus, seorang Neoplatonis,[note 6] yang mengajarkan bahwa manusia dapat mencapai tingkatan tertingginya hanya dengan memandang rendah hasrat kedagingan.[148] Agustinus mengajarkan bahwa penebusan, yaitu transformasi dan pemurnian, pada tubuh adalah pada saat kebangkitan.[149] Beberapa penulis menganggap ajaran Agustinus diarahkan untuk melawan seksualitas manusia, serta menghubungkan desakannya untuk melakukan abstinensi seksual atau mengendalikan nafsu dan berdevosi kepada Allah berasal dari kebutuhan Agustinus untuk menolak kodrat sensualnya sendiri yang besar sebagaimana ia ceritakan dalam Pengakuan-Pengakuan. Tetapi jika melihat semua tulisannya, tampaknya ada kesalahpahaman.[113][note 7] Agustinus mengajarkan bahwa seksualitas manusia telah terluka, bersamaan dengan seluruh kodratnya, dan membutuhkan penebusan oleh Kristus. Penyembuhannya merupakan suatu proses yang diwujudkan dalam tindakan perkawinan (conjugal acts). Kebajikan atau keutamaan abstinensi seksual diperoleh berkat rahmat dari Sakramen Perkawinan, yang karenanya menjadi suatu obat atas konkupisensi (remedium concupiscentiae).[150][151] Namun, penebusan atas seksualitas manusia hanya akan tercapai sepenuhnya dalam kebangkitan badan.[152] Dosa Adam diwariskan kepada semua manusia. Sejak tulisan-tulisan awal Agustinus sebelum perlawanannya terhadap Pelagianisme, ia telah mengajarkan bahwa dosa asal ditularkan kepada semua keturunannya melalui konkupisensi,[153] yang dipandangnya sebagai penderitaan dari jiwa maupun raga,[note 8] menjadikan umat manusia suatu massa damnata (massa/kumpulan yang dikutuk atau ditentukan untuk binasa) dan banyak melemahkan kehendak bebas, kendati tidak menghancurkannya.[121] Rumusan Agustinus tentang doktrin dosa asal diteguhkan dalam berbagai konsili, misalnya Kartago (418), Efesus (431), Orange (529), dan Trente (1546), serta oleh para paus, misalnya Paus Innosensius I (401–417) dan Paus Zosimus (417–418). Anselmus dari Canterbury menyatakan dalam Cur Deus Homo karyanya suatu definisi yang kemudian diikuti oleh para terpelajar terkemuka pada abad ke-13, yaitu bahwa dosa asal adalah "ketiadaan kebenaran yang seharusnya dimiliki setiap orang", sehingga membedakannya dengan konkupisensi, sedangkan beberapa pengikut Agustinus menyamakannya[113][154] sebagaimana juga kelak Luther dan Calvin.[121] Pada tahun 1567, Paus Pius V mengutuk pandangan yang menyamakan dosa asal dengan konkupisensi.[121] PredestinasiAgustinus mengajarkan bahwa Allah mengatur segala sesuatunya namun tetap mempertahankan kebebasan manusia.[155] Sebelum tahun 396, ia meyakini bahwa predestinasi didasarkan pada prapengetahuan (foreknowledge) Allah mengenai siapa individu yang akan percaya kepada-Nya, bahwa rahmat atau kasih karunia Allah adalah "suatu ganjaran atas persetujuan manusia".[155] Belakangan, dalam tanggapannya terhadap Pelagius, Agustinus mengatakan bahwa dosa kesombongan terkandung dalam anggapan bahwa "kita adalah orang-orang yang memilih Allah atau juga Allah yang memilih kita (dalam prapengetahuan-Nya) karena sesuatu yang layak dalam diri kita", dan berpendapat bahwa rahmat Allah menyebabkan tindakan keimanan seseorang.[155] Para akademisi berbeda pendapat dalam hal apakah ajaran Agustinus menyiratkan predestinasi ganda, yaitu keyakinan bahwa Allah telah memilih sejumlah orang untuk menerima kebinasaan sementara yang lainnya menerima keselamatan. Para akademisi Katolik cenderung membantah kalau ia memegang pandangan seperti itu, sedangkan beberapa akademisi Protestan dan sekuler menyatakan bahwa Agustinus percaya akan predestinasi ganda.[156] Beberapa teolog Protestan, misalnya Justo L. González[38] dan Bengt Hägglund,[157] menafsirkan kalau ajaran Agustinus mengimplikasikan bahwa kasih karunia atau anugerah adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh mereka yang ditentukan untuk menerima keselamatan, menyebabkan konversi atau pertobatan mereka, dan menimbulkan ketekunan. Dalam Tentang Teguran dan Rahmat (De correptione et gratia), Agustinus menulis: "Dan apa yang tertulis, bahwa 'Ia menghendaki supaya semua orang diselamatkan', sementara tidak semua orang terselamatkan, dapat dipahami dalam banyak cara, beberapa di antaranya telah saya sebutkan dalam tulisan-tulisan saya yang lain; tetapi di sini saya akan mengatakan satu hal: Ia menghendaki semua orang untuk diselamatkan, dikatakan demikian bahwa semua yang telah ditentukan [untuk selamat] dapat dipahami dengan hal itu, karena segala jenis orang termasuk di antara mereka."[158] Kehendak bebasPernyataan bahwa Allah menciptakan manusia dan malaikat sebagai makhluk-makhluk rasional yang memiliki kehendak bebas dapat ditemukan dalam teodisi Agustinus. Kehendak bebas tidak dimaksudkan untuk berbuat dosa, berarti bahwa kehendak bebas tidak memiliki predisposisi yang sama pada kebaikan dan kejahatan. Suatu kehendak yang telah dikotori oleh dosa tidak lagi dianggap "bebas" seperti sebelumnya karena kehendak tersebut telah terikat dengan hal-hal duniawi, yang dapat saja hilang atau sulit dilepaskan, sehingga menyebabkan ketidakbahagiaan. Dosa merusak kehendak bebas, kendati tidak sampai menghancurkannya, sementara anugerah atau rahmat memulihkannya. Hanya suatu kehendak yang dulunya bebas yang dapat terkorupsi oleh dosa.[159] Dengan kata lain, kehendak bebas memungkinkan manusia dapat berbuat dosa sehingga kehendak bebasnya rusak, namun rahmat memulihkan kembali kehendak bebasnya. Gereja Katolik memandang ajaran Agustinus konsisten dengan kehendak bebas.[160] Ia sering mengatakan bahwa setiap orang dapat diselamatkan jika mereka menginginkannya.[160] Walaupun Allah mengetahui siapa yang akan dan tidak akan terselamatkan, dengan tidak adanya kemungkinan bagi yang tidak ingin diselamatkan untuk dapat diselamatkan dalam kehidupan mereka, hal ini menggambarkan pengetahuan sempurna Allah mengenai bagaimana setiap manusia akan memilih sendiri nasib mereka dengan bebas.[160] Teologi sakramentalDalam perlawanannya terhadap Donatisme, Agustinus juga mengembangkan suatu pembedaan antara "kelayakan" dan "validitas" sakramen-sakramen. Menurutnya suatu sakramen dikatakan layak apabila dilayankan oleh klerus dari Gereja Katolik, sementara sakramen yang dilayankan oleh kaum skismatik dipandang tidak layak (irregular). Namun demikian, validitas atau keabsahan sakramen tidak bergantung pada kesucian pastor atau imam yang melayankannya (ex opere operato); oleh karena itu, sakramen yang tidak layak masih dapat diterima secara valid apabila dilayankan dalam nama Kristus dan sesuai prosedur yang telah ditetapkan oleh Gereja. Dalam hal ini Agustinus berbeda dengan ajaran sebelumnya dari Siprianus, yang mengajarkan bahwa para konver dari gerakan skismatik harus dibaptis ulang.[38] Agustinus mengukuhkan pemahaman Kristen awal tentang kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi (yang disebut transubstansiasi di dalam Gereja Katolik) dengan mengatakan bahwa pernyataan Kristus, "Inilah tubuh-Ku", mengacu pada roti yang dipegang-Nya,[161][162] dan orang-orang Kristen harus mengimani bahwa roti dan anggur tersebut pada kenyataannya adalah Tubuh dan Darah Kristus, terlepas dari apa yang mereka lihat melalui mata jasmani mereka.[163] Menentang Pelagianisme, Agustinus sangat menekankan pentingnya baptisan bayi. Bagaimanapun, mengenai pertanyaan apakah baptisan adalah syarat mutlak bagi keselamatan, tampaknya Agustinus mengembangkan keyakinannya seiring perjalanan hidupnya, sehingga menyebabkan beberapa kebingungan di antara para teolog setelahnya mengenai posisinya dalam hal ini. Ia mengatakan dalam salah satu khotbahnya bahwa hanya orang yang telah dibaptis yang diselamatkan.[164] Keyakinan ini dianut oleh banyak kalangan Kristen awal. Namun, suatu bagian dari Kota Allah, yang membahas tentang Apokalips, mungkin mengindikasikan bahwa Agustinus meyakininya dalam pengecualian bagi anak-anak yang lahir dari orang tua Kristen.[165] Orang YahudiUntuk menentang gerakan Kekristenan tertentu, yang beberapa di antaranya menolak penggunaan Alkitab Ibrani, Agustinus menjawab bahwa Allah telah memilih kaum Yahudi sebagai suatu bangsa pilihan,[166] dan ia menganggap tindakan Kekaisaran Romawi menceraiberaikan orang-orang Yahudi sebagai suatu penggenapan nubuat.[167] Ia menolak perilaku membunuh, dengan mengutip bagian dari nubuat yang sama, yaitu "Jangan bunuh mereka, supaya mereka tidak lupa akan hukum-Mu" (Mazmur 59:11). Agustinus, yang meyakini bahwa orang-orang Yahudi akan memeluk Kristen pada "akhir zaman", berpendapat bahwa Allah telah memungkinkan mereka bertahan hidup dalam dispersi mereka sebagai suatu peringatan kepada orang-orang Kristen; karena itu ia berpendapat bahwa mereka seharusnya diizinkan untuk tinggal di tanah orang-orang Kristen.[168] Sentimen yang terkadang dikaitkan dengan Agustinus yang menyebutkan bahwa orang-orang Kristen seharusnya membiarkan orang-orang Yahudi "untuk bertahan hidup tetapi tidak untuk berkembang" (contohnya, hal ini diulang oleh penulis James Carroll dalam bukunya Constantine's Sword)[169][170] adalah apokrif dan tidak ditemukan dalam satu pun tulisannya.[171] Karya-karyaAgustinus adalah salah seorang penulis Latin yang paling produktif dari segi karya-karya yang masih terlestarikan hingga saat ini, dan daftar karyanya mencakup lebih dari 1.000 judul berbeda.[172] Karya Agustinus misalnya karya-karya apologetik dalam perlawanannya terhadap bidah Arianisme, Donatisme, Manikeisme, dan Pelagianisme; teks-teks mengenai doktrin Kristen, khususnya De Doctrina Christiana (Tentang Doktrin Kristen); karya-karya eksegesis seperti komentar mengenai Kitab Kejadian, Mazmur, dan Surat Roma karya Paulus; banyak khotbah dan surat; serta Retractationes, suatu tinjauan yang ia tulis menjelang wafatnya atas karya-karya sebelumnya. Selain itu, Agustinus mungkin paling dikenal karena Pengakuan-Pengakuan karyanya, yang adalah suatu laporan pribadi kehidupannya dahulu, dan De civitate Dei (Kota Allah, meliputi 22 buku), yang ia tulis untuk memulihkan rasa percaya diri sesamanya umat Kristen, yang sangat terguncang oleh peristiwa penjarahan Roma yang dilakukan suku bangsa Visigoth pada tahun 410. Tentang Trinitas karyanya, yang di dalamnya ia mengembangkan apa yang dikenal sebagai 'analogi psikologis' Tritunggal, juga termasuk di antara adikarya Agustinus, dan dapat dikatakan sebagai salah satu karya teologis terbesar hingga zaman sekarang. Ia juga menulis Tentang Pilihan Bebas Kehendak (De libero arbitrio), membahas alasan mengapa Allah memberikan manusia kehendak bebas yang dapat digunakan untuk berbuat jahat.[173] PengaruhDalam pemikiran filosofis maupun teologisnya, Agustinus banyak dipengaruhi oleh Stoikisme, Platonisme, dan Neoplatonisme, terutama oleh karya Plotinus (penulis Enneades), kemungkinan melalui perantaraan Porfirius dan Victorinus (sebagaimana didalilkan oleh Pierre Hadot). Meskipun ia kemudian meninggalkan Neoplatonisme, beberapa gagasan terkait masih terlihat dalam tulisan-tulisan awalnya.[174] Tulisan awalnya yang berpengaruh mengenai kehendak manusia, suatu topik sentral dalam etika, kelak menjadi fokus para filsuf seperti Schopenhauer, Kierkegaard, dan Nietzsche. Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya Virgil atau Vergilius (dikenal karena ajarannya mengenai bahasa) dan Cicero (dikenal karena ajarannya mengenai argumen).[32] Dalam filsafatFilsuf Bertrand Russell terkesan dengan permenungan Agustinus mengenai hakikat dari waktu yang tertulis di dalam Pengakuan-Pengakuan, memandangnya lebih baik daripada versi Immanuel Kant yang menganggap waktu adalah subjektif.[175] Para teolog Katolik umumnya mengikuti keyakinan Agustinus bahwa Allah hadir di luar waktu dalam "masa kini yang kekal"; bahwa waktu hanya terdapat di dalam alam ciptaan karena waktu hanya dapat dirasakan dalam dimensi ruang, yaitu melalui gerak dan perubahan.[176] Permenungan Agustinus tentang hakikat waktu terkait erat dengan pertimbangannya mengenai kemampuan ingatan manusia. Frances Yates dalam studinya pada tahun 1966, The Art of Memory (Seni Daya Ingat), berpendapat bahwa suatu paragraf singkat dari Pengakuan-Pengakuan, X-VIII.12, di mana Agustinus menuliskan tentang perjalanan menaiki suatu tangga dan memasuki bidang ingatan yang sangat luas,[177] jelas menunjukkan bahwa orang-orang Romawi kuno memahami bagaimana menggunakan metafora spasial dan arsitektural sebagai suatu teknik mnemonik untuk mengelola sejumlah besar informasi. Metode filosofis Agustinus, terutama yang ditunjukkannya dalam Pengakuan-Pengakuan, telah menunjukkan pengaruh yang berkesinambungan dalam filsafat Eropa sepanjang abad ke-20. Pendekatan deskriptifnya atas niat atau intensionalitas, daya ingat, dan bahasa, saat fenomena-fenomena ini dialami di dalam alam kesadaran serta waktu, menginspirasi cara pandang hermeneutika dan fenomenologi modern.[178] Edmund Husserl menuliskan: "Analisis kesadaran akan waktu adalah suatu intisari purba dari psikologi deskriptif dan teori pengetahuan. Pemikir pertama yang memiliki kepekaan mendalam pada kesulitan luar biasa yang dapat ditemukan di sini tersebut adalah Agustinus, yang telah bekerja keras hampir-hampir tanpa harapan dalam mengatasi masalah ini."[179] Martin Heidegger merujuk pada filsafat deskriptif Agustinus di beberapa bagian dalam karyanya yang berpengaruh, Wujud dan Waktu.[note 9] Hannah Arendt memulai tulisannya mengenai filsafat dengan suatu disertasi mengenai konsep cinta menurut Agustinus, Der Liebesbegriff bei Augustin (1929): "Arendt muda berupaya untuk menunjukkan bahwa dasar filosofis untuk vita socialis (kehidupan sosial) pada Agustinus dapat dipahami sebagai berdiam dalam cinta yang bersahabat, berakar dalam pemahamannya mengenai asal mula kemanusiaan."[180] Jean Bethke Elshtain dalam Augustine and the Limits of Politics berusaha untuk mengaitkan Agustinus dengan Arendt dalam konsep mereka mengenai kejahatan: "Agustinus tidak melihat kejahatan sebagai kedurjanaan yang mengagumkan tetapi lebih sebagai ketiadaan kebaikan, sesuatu yang secara paradoks benar-benar tidak ada. Arendt ... bahkan membayangkan kejahatan ekstrem yang menghasilkan Holokaus benar-benar banal [dalam Eichmann in Jerusalem]."[181] Peninggalan filosofis Agustinus terus mempengaruhi teori kritis kontemporer melalui kontribusi-kontribusi dan para figur pewarisnya dari abad ke-20. Dilihat dari suatu perspektif historis, terdapat tiga perspektif utama dalam pemikiran politik Agustinus: pertama, Agustinianisme politik; kedua, teologi politik Agustinian; dan ketiga, teori politik Agustinian.[182] Dalam teologiThomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh Agustinus. Tentang topik dosa asal, Aquinas mengajukan suatu pandangan yang lebih optimis mengenai manusia daripada Agustinus; menurut Aquinas, akal, kehendak, dan penderitaan manusia pertama yang telah jatuh dalam dosa, dan semua keturunannya, hanya bergantung pada daya-daya alamiahnya saja, tanpa "karunia-karunia supranatural".[121] Dalam tulisan-tulisan awal sebelum perlawanannya terhadap Pelagianisme, Agustinus mengajarkan bahwa rasa bersalah Adam yang diteruskan ke semua keturunannya memperlemah kebebasan kehendak mereka, kendati tidak menghancurkannya, sedangkan para reformator Protestan seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin menyatakan bahwa dosa asal sepenuhnya menghancurkan kebebasan (lih. kerusakan total).[121] Menurut Leo Ruickbie, argumen-argumen Agustinus dalam melawan sihir, membedakannya dengan mukjizat, sangat penting dalam perjuangan Gereja perdana melawan paganisme serta menjadi suatu tesis sentral dalam penolakan terhadap para penyihir dan praktik sihir. Menurut Profesor Deepak Lal, visi Agustinus mengenai kota surgawi telah mempengaruhi berbagai tradisi serta proyek sekuler Abad Pencerahan, Marxisme, Freudianisme, dan eko-fundamentalisme.[183] Hannah Arendt, seorang ahli teoretikus politik abad ke-20, menulis disertasi doktoralnya dalam filsafat dengan subjek Agustinus, dan tetap mengandalkan pemikiran Agustinus di sepanjang kariernya. Ludwig Wittgenstein banyak mengutip Agustinus dalam Investigasi-Investigasi Filosofis untuk pendekatannya dalam hal bahasa, dan dengan penuh kekaguman menjadikan Agustinus seorang 'rekan kerja' dalam mengembangkan gagasan-gagasannya sendiri, termasuk suatu bagian pembukaan yang ekstensif dari Pengakuan-Pengakuan. Para ahli bahasa kontemporer juga berpendapat bahwa Agustinus telah secara signifikan mempengaruhi pemikiran Ferdinand de Saussure, yang tidak 'menciptakan' disiplin modern semiotika, melainkan membangunnya di atas dasar pengetahuan Aristotelian dan Neoplatonis dari Abad Pertengahan, melalui perantaraan Agustinus: "Adapun untuk konstitusi teori semiotika Saussure, pentingnya kontribusi pemikiran Agustinus (yang dikorelasikan dengan Stoik) juga telah diakui. Saussure tidak melakukan apa-apa selain mereformasi suatu teori kuno di Eropa, berdasarkan urgensi-urgensi konseptual modern."[184] TuduhanBeberapa kalangan, misalnya dari Gereja Ortodoks Timur, memandang beberapa ajaran Agustinus (terutama mengenai dosa dan anugerah) tidak tepat, salah dimengerti dan kontroversial (sehingga menimbulkan perpecahan dalam Kekristenan Barat), bahkan ada pula yang menjulukinya "bidat terbesar". Namun tidak sedikit juga yang membelanya, bahkan dari kalangan Gereja Ortodoks sendiri. Uskup Agung Chrysostomos dalam sebuah resensi buku karya Pastor Seraphim Rose, The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church, menuliskan bahwa, "Walau ide-ide Agustinus mungkin telah digunakan dan terdistorsi di Barat untuk menghasilkan teori-teori lebih modern (seperti predestinasinya Calvinisme, sola gratia, atau bahkan Deisme), sang Santo sendiri tidaklah bersalah atas beragam jenis teologi inovatif ... ."[185] Sebuah artikel dalam Orthodox Tradition (Vol.XIV, No.4, p. 33-35) menuliskan, " ... berbagai distorsi dan pernyataan berlebihan tertentu dalam ajaran-ajaran teologisnya oleh para pemikir Abad Pertengahan dan Reformasi telah dikaitkan dengan tidak adil kepada sang Santo sendiri."[185] Uskup Agung Mark dari Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia mengatakan bahwa, "Kita dapat menemukan titik-titik lemah yang serupa dalam tulisan-tulisan hampir semua bapa Suci (Bapa Gereja) ... ."[185] Lihat pula
ReferensiCatatan
Sumber
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikisumber memiliki karya asli dari atau mengenai:
Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Wikimedia Commons memiliki media mengenai Augustinus. Umum
Bibliografi
Karya-karya Agustinus
Biografi dan kritik
|