Cicero
Cicero atau Marcus Tullius Cicero (pengucapan Latin: [ˈmaːrkʊs ˈtʊlːijʊs ˈkɪkɛroː]) (lahir 3 Januari 106 SM - meninggal 7 Desember 43 SM) adalah filsuf, orator yang memiliki keterampilan andal dalam retorika, pengacara, penulis, dan negarawan Romawi kuno yang umumnya dianggap sebagai ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa.[1][2][3][4] Cicero merupakan tokoh besar mazhab filsafat Stoa yang populer pada abad 4 SM (Sebelum Masehi) sampai abad 2 M (Masehi), dan ia merupakan salah satu tokoh pada periode akhir yang lebih terkenal dengan sebutan Stoa Romawi.[5] Selain itu, ia dan pemikirannya juga dianggap dekat dengan aliran Platonisme dan Epikureanisme.[2] Pemikirannya banyak dirujuk dalam pemikiran hukum dan tata negara, serta pemikiran filsafat lainnya.[5] Salah satunya adalah David Hume pada abad 18.[5] Karya dan pemikiran Cicero juga dikagumi oleh beberapa Bapa Gereja Latin yang berpengaruh seperti Santo Agustinus dari Hippo, yang mengatakan bahwa karyanya Hortensius adalah salah satu pendorong beralihnya ia kepada Kekristenan,[6] dan St. Hieronimus yang mengalami kegelisahan karena mendapat penglihatan bahwa ia dituduh sebagai "pengikut Cicero dan bukannya Kristus" pada saat penghakiman khusus.[7] Cicero dikenal sebagai negarawan yang berusaha menegakkan prinsip-prinsip republik dalam perang sipil, kegagalannya menyebabkan perang sipil yang menghancurkan Republik Romawi.[3] Tulisan-tulisannya meliputi retorika, pidato, risalah filsafat dan politik, dan surat-surat.[3] Hidup dan karya CiceroNama dan keluargaNama "Cicero" diambil dari bahasa Latin "cicer" yaitu nama tanaman sejenis kacang polong yang kaya nutrisi.[8] Nama tersebut dikenakan pada Cicero karena terdapat semacam penyok di ujung hidungnya yang menyerupai buah kacang polong yang disebut cicer.[9] Nama Cicero dianggap lebih terkenal daripada kota Scauri dan Catuli sekalipun.[9] Ketika ia menjadi kuestor (pejabat publik pada zaman Romawi Kuno yang mengurusi keuangan)[10] di Sisilia, ia membuat sebuah piring perak untuk dipersembahkan kepada para dewa, yang berukirkan dua namanya, "Marcus" dan Tullius".[9] Pada hari lahirnya, tanggal 3 bulan pertama (Januari), para hakim di Roma melakukan doa bersama untuk mengenangnya.[9] Ketika Cicero tinggal di Arpinum, dekat Napoli, ia memperistri seorang gadis bernama Terentia.[9] Karena kekayaan warisan Terentia banyak sekali, Cicero dapat menjalani hidupnya dengan baik.[9] Bahkan ia membangun rumah di Bukit Palatium, tempat yang strategis untuk bepergian.[9] Latar belakang dan pendidikanCicero lahir di Arpinum (sekarang bernama Arpino), sebuah kota yang berjarak ± 70 mil sebelah tenggara Roma, Italia.[2][11] Ayah Cicero adalah seorang tuan tanah dan pejabat publik Romawi.[2] Oleh karena itu, Cicero dapat mengakses pendidikan di Roma, yaitu di bawah bimbingan Marcus Licinius Crassus (seorang anggota senat atau disebut Konsul tahun 95 SM), salah satu orator terbaik kala itu.[2] Sebagai seorang muda, Cicero langsung mendekatkan diri dengan aliran filsafat besar yang berkembang waktu itu: Stoa, Epikureanisme, dan para filsuf dari Akademi.[12] Dia belajar filsafat di bawah Epikurean Phaedrus (140-70 SM); belajar Stoa dari Diodotus tokoh Stoa yang buta di Roma († 60 SM) dan dari Phillo dari Larissa (160-80 SM yang merupakan ketua Akademi.[2] Mulai tahun 79-77 SM, ia mengunjungi Yunani untuk belajar retorika dan filsafat kepada Posidonius di Rhodes, juga belajar di Akademi di bawah Antiochus dari Ascalon di Athena.[4] Jadi, Cicero belajar dari empat aliran filsafat yang ada pada waktu itu.[4] Cicero mampu mengkombinasikan ambisi filsafat retorika gaya Romawi dengan gaya Yunani.[12] Cicero kemudian belajar sembari melakukan banyak sekali aktivitas politik, hingga pada tahun 45 SM pada usianya yang ke-60, filsafatnya benar-benar mencapai keluasan dan puncak kematangan.[5][12] Dengan pendampingan sepupunya, Quintus Mucius Ascaevola, sang pontifex (imam) yang pernah menjadi konsul tahun 117 SM, Cicero bertumbuh menjadi seorang yang menaruh hormat kepada konservatisme nilai-nilai moderat dalam politik.[2] Karier politikCicero remaja pertama kali bekerja sebagai auditor Phillo di Akademi.[9] Karena bakat dan karakter Cicero yang baik, ia kemudian diminati oleh sekolah Mucii, sebuah tempat yang melahirkan banyak negarawan dan pemimpin yang duduk di senat.[9] Di sana ia belajar hukum.[9] Kemudian ia menjadi tentara di bawah Sulla dalam Perang Marsi.[9] Pada tahun 89-82 SM, Cicero menjadi tentara di bawah Pompeius Strabo (ayah dari Pompeius) dan menunjukkan kemampuannya di pengadilan dalam pembelaannya untuk Quintius (81 SM).[4] Disusul dengan kesuksesannya dalam pembelaannya kepada Sextus Roscius yang terkait tuduhan pembunuhan keluarga (80 atau awal 79 SM), kemampuan Cicero semakin dipercaya oleh publik, terutama dalam bidang hukum.[4] Ia kemudian bekerja sebagai petugas pemerintahan (kuestor) yang berkantor di Sisilia Barat.[4] Kemudian Cicero berganti tugas menjadi pretor.[4] Sebagai pretor (satu tingkat di bawah konsul), Cicero menyuarakan pidato politiknya pertama kali pada tahun 66 SM dalam rangka melawan Catullus dan kepemimpinan Optimates yang merupakan orang konservatif di dewan senat Romawi, ia berunding dengan perintah Pompeius dalam rangka melawan Mithradates, raja Pontus.[4] Kedekatan Cicero dengan Pompeius menimbulkan kebencian Marcus Licinius Crassus, namun justru menjadikannya semakin populer sehingga pada tahun 63 SM ia diangkat sebagai konsul.[4] Sebagai konsul, prestasi Cicero semakin melejit karena prestasinya menggagalkan komplotan Lucius Sergius Catilina yang melakukan konspirasi menggulingkan Republik Romawi dengan maksud menggantinya dengan sistem aristokrasi.[1][13] Setelah Julius Caesar meninggal pada tahun 44 SM, Cicero memihak Octavianus melawan Antonius dengan pidato-pidatonya yang tajam, antara lain "Phillipacea".[1] Setelah terbentuk sebuah pemerintahan dengan tiga orang kuat (Julius Caesar, Pompeius, dan Crassus) di dalamnya yang dijuluki triumvirs,[14] pemerintahan Romawi cenderung mengarah pada perebutan kekuasaan antar-pribadi.[2] Cicero sendiri lebih dekat kepada Pompeius karena persahabatan dan kesamaan prinsip dalam menegakkan gagasan sistem republik. Meski demikian, Cicero mencoba menengahi perseteruan antara ketiga orang tersebut, terutama antara pihak Pompeius dan Caesar yang sering berselisih dengan Crassus. Kemudian, setelah Pompeius meninggal pada tahun 48 SM, Cicero kemudian menentang cara pemerintahan Caesar yang cenderung tirani.[2] Cicero pergi ke Roma Italia dengan pengampunan Caesar karena tindakan perlawanannya.[2] Cicero tetap berpegang pada prinsip moral untuk tidak mendukung tirani.[2] Oleh karena itu Cicero memilih jalan menulis secara dialogis terhadap diri sendiri yang gelisah untuk menunjukkan keteguhan sikapnya.[2] Secara sistem, Cicero tidak dapat menyumbangkan ide-idenya kepada Romawi karena Caesar menduduki tahta 10 tahun berikutnya.[2] Walau demikian Cicero terus menulis dan berorasi dalam rangka mengecam pemerintah.[2] Setelah terbunuhnya Caesar pada tanggal 17 Maret 44 SM dalam sebuah konspirasi yang tidak melibatkan Cicero, Cicero kembali aktif dalam politik.[4] Hingga pada tahun 43, ketika Cicero berselisih dengan koalisi antara Markus Aemilius Lepidus dan Antonius, Cicero akhirnya dituntut untuk dibunuh dengan cara dipenggal.[1] Walapun Cicero melarikan diri, namun tetap berhasil dibunuh dalam pelariannya.[1][4] Menjadi tradisi, yang salah satunya diceritakan oleh Plutarkos, Cicero meninggal secara heroik.[2] Karya-karya CiceroCicero merupakan pembaru bahasa Latin terbesar di zamannya.[1] Karya filsafatnya sangat terkenal dan berpengaruh, di antaranya adalah yang tertuang dalam pidato-pidatonya yang berjumlah 57 tulisan, selain 17 fragmen lain.[1] Kemudian karya-karya filsafat, retorika, dan surat-surat tercatat berjumlah ± 800 buah dan tersimpan baik hingga saat ini.[1][15] Pada sumber lain tercatat bahwa pada Juli 43 SM, lebih dari 900 tulisan diselamatkan, 835 ditulis oleh Cicero sendiri, 416 dialamatkan kepada sahabatnya, seorang ksatria bernama Pomponius Atticus, dan 419 kepada 94 orang lain, baik kerabat maupun kenalannya.[4] Beberapa surat tidak dapat dilacak, salah satunya suratnya kepada Pompeius yang disebutkan dalam Pro Sulla dan Pro Plancio yang merupakan surat berisi konspirasi Lucius Sergius Catilina.[4] Kemudian, terdapat juga empat koleksi surat-surat Cicero yang dialamatkan kepada Atticus dalam 16 buku, kepada kenalan dan saudaranya yang berjumlah 16 buku, kepada Brutus yang berjumlah 3 buku, dan kepada saudaranya berjudul Ad Quintum Fratem.[4] Selain karya-karya tentang filsafat dan tulisan yang terkait politik, sebagai penyair, Cicero diketahui menerbitkan puisi-puisi berbahasa Latin, di antaranya adalah: epos berjudul de Consulatu Suo (Inggris: On His Consulship) dan de Temproribus Suis (Inggris: On His Life and Times), yang merupakan tulisan yang dipakainya untuk mengkritik kekunoan tradisi penyembahan masyarakat Romawi pada zamannya.[4] Cicero sendiri menolak untuk disebut sebagai salah satu tokoh dari salah satu aliran-aliran seni kala itu, entah sebagai seniman dalam kelompok orang-orang Asia yang rata-rata kaya dan tampil secara berlebihan, atau kelompok yang diwakili oleh Quintus Hortensius, maupun mereka yang menyebut diri sebagai Atticist, misalnya Julius Caesar dan Brutus.[4] Adapun karya bergenre humor yang ditulis Cicero yang memuat prinsip-prinsip Stoanya berjudul Pro Murena, yang merupakan sebuah karya yang mendiskreditkan Cato yang berpihak kepada para pengacara yang menyerang Clodia.[4] Karya tersebut termuat dalam pidato berjudul Pro Caelio yang dibawakan Cicero pada 4 April 56 SM.[4][16] Pemikiran CiceroCicero sebagai filsufCicero menyebut dirinya seorang filsuf dari Akademi (Platonis).[4] Namun hal tersebut diragukan oleh banyak pihak terkait karya-karyanya yang kontradiktif dan tidak murni.[4] Dalam hal etika, Cicero cenderung memakai prinsip dogmatis Stoa yang sangat dipengaruhi Socrates.[4] Dalam beragama, Cicero dapat dikatakan nyaris agnostik, walaupun dia memiliki pengalaman religius mendalam, yaitu ketika ia berkunjung ke Eleusis, pada saat kematian saudarinya, Tullia pada tahun 45 SM.[4] Sebagai penulis, ia memosisikan diri sebagai seorang ateis, kecuali dalam karyanya yang berjudul Somnium Scipionis (mimpi-mimpi Scipio) berisi luapan perasaan religius, tepatnya terdapat pada bagian akhir de Republica.[4] Sebagai seorang filsuf, Cicero mulai serius menulis karya-karya filsafatnya pada tahun 54 SM.[4] Karya awalnya berjudul de Republica dan diikuti de Legibus pada tahun 52 SM.[4] Tulisan tersebut berisi tafsiran tentang sejarah Romawi yang diteropong dengan sudut pandang teori politik Yunani.[4] Dalam kondisi politik yang carut-marut dan yang membuat setiap orang menderita, yaitu ketika perang sipil terjadi, perang yang juga merenggut nyawa saudari tercintanya[4]), Cicero mencurahkan seluruh energinya demi menghibur diri atas duka dengan aktivitas menulis secara radikal.[12] Banyak karya yang ia selesaikan selama dua tahun masa kehilangan tersebut, di antaranya ialah:[12]
Kecuali karyanya yang berjudul de Officiis, Cicero tidak pernah mengklaim bahwa tulisan-tulisannya merupakan tulisan autentik dari dirinya, dalam suratnya kepada Atticus, ia mengatakan, "Karya-karyaku merupakan transkrip, aku secara sederhana hanya menyumbang kata-kata, dan aku mencukupkan diri dengan hal itu".[4] Tujuan Cicero adalah menyediakan ensiklopedi filsafat bagi Romawi, negara yang ia cintai.[4] Bentuk yang ia pakai merupakan dialog dengan gaya yang lebih dekat kepada Aristoteles daripada Plato.[4] Secara personal, Cicero adalah orang yang sangat cerdas dalam bernalar, bahkan mampu memakai peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sebagai pemacu karya-karya filsafatnya.[12] Bukan hanya alasan personal yang membuat ia merampungkan sejumlah karya, namun kutipan dari de Natura berikut memperlihatkan keprihatinannya yang lain,[12]
Di akhir masa hidupnya, Cicero dalam bidang etika mengkritik tradisi doktrin Epikuros, Stoa, dan Peripatetik (pengikut Aristoteles) dalam karya Ons Ends, yang bicara tentang pandangan mereka terhadap kematian, penderitaan, dan emosi yang tidak masuk akal.[5] Kemudian dalam pandangan tentang kebahagiaan, Cicero menulisnya dalam karya Tusculan Disputations.[5] Pada masa akhir hidupnya dalam karya Ons Duties, Cicero berpijak pada prinsip Stoa.[5] Pada akhirnya, Cicero berseberangan dengan pandangan filsafat Epikureanisme.[15] Cicero sebagai negarawanPemikiran Cicero tentang bagaimana menjadi seorang negarawan yang baik tercermin dalam orasi-orasinya yang tidak berpusat pada sekadar pengetahuan berpidato, melainkan tentang bagaimana menjadi seorang orator terbaik, yang mampu memberikan rasa aman kepada rakyat, dan melalui orasinya ia dapat menyatukan rakyat.[2] Oleh karena itu, karya orasi de Oratore yang mementingkan karakter seorang pejabat kemudian menjadi landasan gagasan de Re Publica, dan de Legibus yang berbicara banyak tentang tugas seorang negarawan yang sejati.[2] Dialog yang ada dalam karya itu merepresentasikan Phillipus sebagai pencemooh otoritas senat dan tanggung jawab atas apa yang terjadi selama perang sipil puluhan tahun yang terjadi kemudian.[2] Bagi Cicero, pidato harus didedikasikan sebagai alat untuk pelayanan publik.[2] Cicero memang negarawan yang sangat berbakti, dalam de Re Publica, kata Cicero kepada saudaranya, adalah "tentang kondisi terbaik dari sebuah kota dan warga negara yang paling baik".[2] Cicero banyak sekali bicara tentang demokrasi, keadilan rakyat, hukum alam sebagai acuan perilaku kepentingan manusia.[2] Bagi Cicero etika warga negara sama pentingnya dengan sistem politik.[2] Kelangsungan sistem politik akan tergantung pada etika politik: negarawan memelihara kota dengan keputusan yang bijaksana dan contoh moral.[2] Bagi Cicero, menjadi negarawan yang patriotis adalah segala-galanya, bahkan ganjarannya adalah surga.[2] Tugas politik bagi Cicero adalah suci, yang dibebankan Tuhan kepada manusia, seperti ditulis Cicero dalam dialog kepada Scipo Africanus, kakeknya,[2]
Di sini, Cicero sebagai filsuf tampak mengeksploitasi doktrin Plato tentang keabadian jiwa untuk memperkuat cita-citanya akan pengabdian patriotis, tidak perlu risau jika seseorang mati demi kepentingan negara, sebab yang mati hanya tubuh, sedangkan jiwanya tetap abadi.[2] Cicero dan etika StoaKarya Cicero yang membawa pengaruh terlama dan terpenting adalah Tentang Kewajiban (de Officiis), yaitu tulisan dengan semangat Stoa, yang banyak membahas tentang perhatiannya sepanjang periode krisis personal manusia dan krisis politik.[2] Menurut Cicero, bahaya bagi masyarakat adalah jika ambisi pribadi sangat mendominasi kehidupan mereka.[2] Dalam hal ini, manusia perlu menyadari bahwa sebuah pelayanan publik akan terlaksana dengan baik jika kepentingan pribadi ditekan sedemikian rupa sehingga kepentingan publik menjadi yang utama.[2] Tulisan terkenal Cicero berjudul de Officiis memuat semangat Stoa tentang etika katekontik, yaitu tindakan yang tepat dan terbaik didasari kesadaran terdalam manusia akan tugas kebaikan yang melekat padanya dalam menunaikan tanggung jawab diri demi kebaikan masyarakat.[2] Terdapat tugas sosial yang melekat dalam setiap warga negara.[2] Dalam peristiwa konflik, Cicero menetapkan sebuah prosedur,
Selanjutnya, menyikapi warisan dari keberanian tradisi Romawi dalam kemiliteran, dan warisan Yunani yang mengatakan bahwa doxa (kejayaan dan opini) adalah berbahaya dan tidak berharga, Cicero mengakomodasi keduanya dengan berkata,[2]
Di dalam diri manusia terdapat emosi yang baik, yang disebut eupatheia (bebas dari hasrat personal), Cicero menyebut constatiae (bahasa lain dari konstitusi) yang mengatakan bahwa negara yang kukuh tidak boleh dikendalikan perilaku manusia yang berhasrat berlebih-lebihan.[17] Sepanjang ada nafsu, selalu ada keinginan yang berlebihan; sejauh ada ketakutan selalu ada alasan untuk menghindar; dan sejauh ada kesenangan, selalu ada kegembiraan.[17] Namun kumpulan perasaan itu hanya dapat dimengerti oleh para sophis (orang yang berlaku bijaksana), yang hanya punya nalar yang lurus.[17] Menurut orang bijasana, tidak ada dorongan yang dapat dibenarkan benar dari penderitaan mental, misalnya orang yang menderita sekalipun tidak dibenarkan mencuri.[17] Seorang bijak harus menerima segala peristiwa tak terelakkan pada dirinya, dan tidak ada yang buruk secara moral dalam menyediakan sebuah sebab bagi tekanan yang ada dalam diri manusia.[17] Jadi persoalan manusia terhadap segala dorongan atau impuls bukan padahal di luar diri, melainkan dalam dirinya sendiri.[17] Itu mengapa, ajaran tentang moral dalam Stoa yang dianut oleh Cicero menduduki posisi paling penting dan merupakan tindakan yang luhur.[17] Referensi
Pranala luarWikisource Latin memiliki teks asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|