Kerajaan Soya
Kerajaan Soya, atau disebut juga Zoja,[7] adalah sebuah kerajaan di Pulau Ambon. Kerajaan Soya didirikan pada abad ke-13 dan dipimpin oleh seorang raja bernama Latu Selemau dengan permaisurinya Pera Ina yang beretnis Jawa.[8] Kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di Jazirah Leitimur. Kerajaan Soya terletak di Negeri Soya saat ini, atau disekitar Gunung Sirimau yang juga dikenal sebagai ikon utama dan merupakan cikal bakal berdirinya Kota Ambon.[9] SejarahPendirian Kerajaan SoyaBerdasarkan penuturan dan cerita-cerita para tetua, leluhur yang mendiami negeri Soya berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram), yang antara lain dari Seram Utara kurang lebih tepatnya dekat Sawai, suatu wilayah yang bernama "Soya", serta dari Seram Barat, sekitar daerah Tala.[1] Selama berabad-abad, pulau Ambon telah terlibat secara intensif dalam periode kolonialisme, pertama oleh Portugis dan kemudian oleh Belanda. Artinya relatif banyak yang ditulis tentang Ambon pada periode ini. Di beberapa buku, wilayah itu disebut Soya. Ketika melihat apa yang telah ditulis tentang Soya, perlu diingat bahwa informasi tersebut mungkin 'diwarnai' karena dilihat dari sudut pandang Barat (Eropa). Juga, referensi dari periode kekuasaan Portugis dan Belanda tidak sesuai dengan posisi dominan Soya di wilayah tersebut pada periode sebelum kedatangan orang Barat.[10][11] Terdapat dua versi cerita yang diwariskan, yakni negeri Soya dan Batu Merah. Versi masyarakat Batu Merah, Latu Selemau memerintah di tahun 1500an, kala itu Soya masih berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam berdaulat.[5] Dari sumber cerita yang ada, para leluhur orang Soya datang secara bergelombang yang kemudian menetap di negeri Soya. Mereka membentuk klan baru yang kemudian menjadi nama pada tempat kediamannya yang baru. Nama ini sama dengan nama di tempat asalnya. Hal itu dimaksudkan sebagai 'kenang-kenangan atau peringatan'. Negeri Soya kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan sembilan negeri kecil yang dikuasai oleh Raja Soya. kesembilan negeri kecil tersebut antara lain;[1]
Perlu juga dicatat bahwa Soya dibagi menjadi dua wilayah; Soya Atas (terletak di atas pegunungan) adalah bagian dari Soya yang ditinggalkan di negeri perbukitan tua, dipimpin oleh seorang patih. Soya Bawah adalah bagian dari Soya dekat Kota Ambon yang dipimpin oleh seorang raja. Ini juga termasuk Amatelo (Amatelu), Ahusu (Ahuseng), dan Uritetu. Perpecahan itu mungkin terjadi antara tahun 1576, ketika Benteng Victoria kemudian didirikan oleh Portugis, pada 1625, ketika situasi di sekitar benteng kurang lebih terbentuk.[12][11] Masa penyebaran HinduKedatangan agama Hindu ke kepulauan Maluku khususnya Maluku Tengah belum dapat dipastikan kapan terjadi. Orang yang paling berkemungkinan membawa Hindu (gaya Jawa) untuk pertama kalinya ke masyarakat Ambon adalah ketiga bangsawan bersaudara dari Tuban, yakni Patturi, Pattikawa, dan Nyai Mas. Namun yang pasti, Hindu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Ambon setidaknya pada masa Majapahit menguasai Maluku. Para pengiring ketiga bangsawan bersaudara tersebut adalah yang paling berkemungkinan besar memperkenalkan sistem pemerintahan kerajaan Hindu Jawa kepada Kerajaan Tanah Hitu. Hal itulah yang menyebabkan raja Hitu hanya menjadi lambang persatuan, sementara pemerintahannya dijalankan oleh keempat perdana (patih). Di Hitu sendiri, Patturi dan Pattikawa menurunkan garis perdana Tanahitumessen, sedangkan Nyai Mas menikah dengan Latu Lopulalang (Raja Selaksa Pedang), raja Nusaniwe.[13] Hal tersebut menyebabkan timbulnya hubungan pertalian darah antara Hitulama dengan Nusaniwe yang nantinya akan disebut sebagai pela gandong.[14] Seiring dengan banyaknya peninggalan Majapahit pada suku Ambon, Jazirah Leitimur dikatakan sebagai pusat Hindu suku Ambon.[15] Pada kemudian hari, ditemukan bukti-bukti pernikahan politik antara putri-putri Jawa dengan penguasa Ambon, seperti di Soya yang kala itu sudah menjadi kerajaan Hindu. Penguasanya, Latu Selemau (Sri Mahu) memperistri seorang putri Majapahit bernama Pera Ina dan karenanya mendapatkan gelar berbau Jawa yang masih digunakan oleh raja Soya hingga saat ini.[6] Sistem hubungan antarnegeri yang dikenal dengan uli (persekutuan) mulai muncul pada zaman Hindu seiring dengan dikenalnya paruh masyarakat.[16] Masa kolonial PortugisPada tahun 1512, Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Ambon, tepatnya disisi barat laut Hitu. Antara Hitu dan Portugis, hubungan yang awalnya baik dengan cepat memburuk. Akan tetapi, orang Leitimur yang terus-menerus berperang dengan Muslim Hitu senang dengan bantuan orang Portugis yang sekarang telah menetap di sisi selatan Hitu, dekat Rumahtiga.[11] Sekitar tahun 1536, orang kaya Hatiwi (Hative; juga disebut Hatiwe atau Hatiwé) – yang saat itu terletak di pantai selatan Hitu dan telah memeluk agama Katolik. Tahun-tahun berikutnya, warga Amantelo (Amantelu) dan Nusaniwe mengikuti Leitimur.[11] Pada tahun 1546, seorang misionaris Basque bernama Franciscus Xaverius (Rasul Hindia) mengunjungi tujuh negeri Kristen di Ambon. Tidak diketahui apakah Soya adalah salah satunya. Dapat diasumsikan bahwa penduduk Soya telah mengenal Portugis selama periode ini.[17][18] Soya disebutkan oleh Rumphius (Ambonsche Landbeschrijving, hlm. 214) sebagai salah satu dari 31 daerah di Leitimur dimana terdapat sekolah-sekolah Kristen pada tahun 1561, setelah Kristenisasi di Kepulauan Lease dimulai sekitar tahun 1540 dengan konversi Hatiwe. Dengan masuknya agama Katolik, banyak orang Ambon mengadopsi nama Portugis. Oleh karena itu, bukan berarti orang Ambon yang bernama Portugis adalah keturunan Portugis.[19][12][11] Namun perkembangan Katolik tidak berlangsung lama, karena kehadiran kolonial Belanda yang menggantikan kekuasaan Portugis di Ambon, mulai berlangsung semenjak tahun 1602. Dan ketika Belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan Portugis, tercatat bahwa jumlah orang Kristen hanya sekitar 16.000 orang. Kemerosotan kuantitas maupun kualitas hidup orang Kristen pada masa itu, digambarkan oleh G.P.H. Locher dengan kata-kata, "Veel meer dan naam-christenen waren aij niet" (dalam bahasa Indonesia; "Mereka tidak lebih daripada orang-orang Kristen nama").[20] Tulisan-tulisan Portugis menyebut Soya untuk pertama kalinya sebagai 'tempat di mana sagu tersedia dalam jumlah besar'. Sekitar tahun 1571, ketika pembangunan benteng baru (menurut Wessels dekat Nusaniwe) dimulai dan keberadaan bahan makanan di sekitarnya merupakan syarat.[18][11] Pada tahun 1569, koloni Portugis dibawah Gonçalo Pereira Marramaque mendirikan sebuah benteng kayu di pantai utara pulau Ambon. Hingga pada tahun 1572, benteng kemudian dipindahkan ke sisi selatan teluk.[21] Benteng sementara yang didirikan kemungkinan terletak di antara Galala dan Hatiwi-kecil, di muara Wai Tua, di seberang desa Rumaata. Ini adalah benteng Portugis kedua, benteng ketiga kemudian dibangun pada tahun yang sama di bekas Uritetu, yang terletak di Batu Merah (kemudian disebut Rodenberg oleh orang Belanda), dekat dengan kota Ambon saat ini. Daerah ini, bersama dengan desa terdekat Amantelo (Amantelu) dan Ahusen, berada di bawah uli Soya pada saat itu.[17][11] Ketika benteng kayu ini (mungkin salah terletak di dekat Nusaniwe menurut Wessels) tidak lagi mencukupi, dan Portugis ingin membangun benteng batu, beberapa kepala negeri memberontak. Mereka takut akan dominasi permanen Portugis yang begitu dekat dengan negeri mereka dan mereka merencanakan penyerangan terhadap Portugis. Patih Soya mencoba memenangkan saudara iparnya yang merupakan patih dari Halong untuk rencana ini. Namun, ia memperingatkan Portugis, agar rencana itu tidak terlaksana. Portugis mencurigai patih Nusaniwe, Ruy de Sousa, merencanakan penyerangan dan memenjarakannya. Dia berhasil melarikan diri dan sebagai balas dendam, bersama dengan negeri tetangga, melakukan serangan yang mengejutkan di Halong.[18][11] Kapten kapal Sancho da Vasconcelos memegang peranan penting ketika Portugis berencana meninggalkan Ambon sekitar tahun 1572. Dia dengan keras menentang ini, dan jika perlu bersiap untuk tinggal dengan hanya tiga puluh orang untuk membela orang Kristen lokal melawan 'Moor' (Muslim Hitu). Pada akhirnya, Portugis memutuskan untuk pindah dari Hitu yang sekarang bermusuhan ke Leitimur di Teluk Ambon. Kepala negeri yang memiliki ketergantungan pada Leitimur, termasuk Soya, menawarkan bantuan dalam membangun benteng. Mereka senang dengan dukungan Portugis melawan Muslim Hitu.[11] Jacobs (1975) juga menyebutkan perlawanan beberapa negeri terhadap benteng baru Portugis. Selain ketakutan akan kekuatan Portugis yang semakin besar, ancaman dari Ternate yang berpengaruh juga bisa menjadi alasannya. Terlepas dari kenyataan bahwa desa Nusaniwe, Kilang, Soya, Hutumuri, Puta, dan Halong telah memberikan izin sebelumnya untuk pembangunan benteng, Ahusen, Soya, dan Puta bersekongkol melawan kapten Portugis Vasconcelos.[11] Terlepas dari segalanya, benteng batu itu tetap dibangun, di lokasi kota Ambon saat ini. Batu pertama diletakkan pada tanggal 25 Maret 1576 dan benteng tersebut diberi nama "Nossa Senhora da Anunciada". Kemudian pada Juli 1576, benteng baru diresmikan. Didalam bangunan berukuran persegi yang dimahkotai dengan empat menara, satu di setiap sudut, terdapat kediaman kapten, ruang pertemuan, beberapa gudang, dan tempat tinggal para pejabat militer.[21] Banyak orang dari Hatiwi, Tawiri, Halong, dan desa lainnya pindah bersamanya. Rumah-rumah sedang dibangun di sekitar benteng, mengawali pembangunan kota Ambon.[17][11] Hingga kemudian, perlawanan Soya terhadap Portugis dilancarkan. Perlawanan masyarakat Soya tersebut dipimpin oleh tujuh anak Latu Selemau yang menguasai Soa Ahuseng, Soa Amangtelu, Soa Uritetu, Soa Labuhan Honipopu, dan Soa Atas. Perlawanan ini ternyata tidak membuahkan hasil. Kerajaan Soya takluk kepada Portugis. Kekalahan ini berhasil merubah keadaan dan status Kerajaan Soya dari sebuah kerajaan yang berdaulat menjadi bagian dari daerah yang dikuasai Portugis. Rakyatnya kemudian diinjili dan dibaptis oleh Fransiscus Xaverius dan menjadikan orang Soya beragama Katolik.[1] Dusun Amantelu menjadi pemukiman pertama yang secara sukarela dikonversi ke Katolik oleh Portugis, diikuti oleh Ahusen, dan kemudian Uritetu.[11] Orang Soya yang tidak mau menyerah kemudian terus bertahan di puncak Gunung Sirimau.[1] Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa Ambon sebagian dikuasai oleh Portugis selama hampir seratus tahun, dari tahun 1512 sampai 1605. Selama periode itu, banyak desa di Leitimur, termasuk Soya, masuk Katolik seluruhnya atau sebagian.[11] Masa kolonial BelandaPada tahun 1605, armada VOC di bawah Pimpinan Steven van der Hagen memasuki Dataran Honipopu dan menyerang benteng Portugis dari arah laut serta mengambil alih benteng Portugis dan diberi nama Victoria.[1] Penduduk desa Katolik di dekat benteng merasa terancam dengan hilangnya dukungan dari Portugis. Mereka takut Muslim Hitu akan memanfaatkan situasi ini, dan mundur dalam jumlah besar ke lanskap pegunungan yang tidak dapat diakses. Portugis yang masih ada menjadi penengah antara pengungsi Ambon dan Belanda. Disepakati bahwa warga yang mengungsi dapat dengan aman kembali ke rumah mereka dan kebebasan beragama dijamin. Pada akhir Februari, kepala negeri Kristen yang paling penting bergabung dengan Steven Van der Hagen. Diantaranya, "twe Coningen, as van Quylan (Kilang) ende Soya", menurut Cort van Verhael, apa yang dilakukan oleh Laksamana Steven van der Hagen sampai ke Ambon bersama Portugis dan Jesuit. Mereka menyerah kepada Belanda Protestan dan sebagai gantinya mendapat perlindungan dan kebebasan untuk menjalankan agama Katolik mereka. Benteng Portugis kemudian diberi nama "Fort Victoria" (Benteng Victoria) oleh Belanda.[18][11] Kemenangan VOC atas Portugis membuka peluang bagi penyebaran paham agama Kristen Protestan oleh pendeta-pendeta VOC. Hasilnya, banyak orang yang awalnya menganut Katolik beralih menjadi Protestan. Tindakan penginjilan ini dikaitkan dengan kepentingan VOC dalam menegakkan hukum-hukum kolonial di Pulau Ambon. Dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki dari Kerajaan Belanda, mereka gunakan untuk mengangkat pegawai pribumi termasuk juga mendidik dan mentahbiskan pendeta pribumi baru untuk kepentingan penginjilan, diantaranya Lazarus Hitijahubessy yang diutus ke negeri Soya untuk menyebarkan Injil pada tahun 1817. Melalui penginjilannya, negeri Soya menjadi Kristen. Pengkristenan ini ternyata berpengaruh terhadap adat-istiadat masyarakat Soya. Secara adaptif nilai-nilai Kekristenan dimasukan ke dalam adat maupun upacara adat seperti rapat negeri, kain gandong, naik baileo, cuci air, cuci negeri, naik ke puncak Gunung Sirimau, dan pesta bulan Desember sebagai tanda persiapan atau penyambutan Natal Kristus.[1] Rumphius memberikan gambaran tentang Soya pada akhir abad ke-17. Dalam bukunya yang berjudul Ambonsche Landbeschrijving, ia juga membedakan Soya menjadi dua negeri. Soija Tua (Soya Tua atau Soya Atas) mengarah jauh di pegunungan benteng sebelah timur, rumah-rumah sebagian besar berdiri diatas dan diantara tebing, diatas satu sama lain seperti penghubung yang di tengahnya ada bukit sempit kecil, sulit untuk didaki, seperti bentang alam tak terjamah. Menurut penulis, Soya yang lebih tua ini berada di bawah kepemimpinan patih bernama Ussen, kemudian dibawah Andries Tehi. Soya yang lebih muda, terletak lebih dekat ke kota Ambon, terdiri dari negeri semacam itu dibawah Soija (Soya) dan penduduknya "tinggal bersama raja di kasta...", pertama di bawah raja Thomas da Silva, kemudian di bawah Bernhard da Silva. Jumlah penduduknya 901 jiwa, yang terdiri dari 261 pria. Desa ini memiliki 83 "datij" (dati; tanah adat) dan dibagi menjadi empat soa, Heriaim di bawah raja, Ririmassapait (dua soa pertama secara kolektif disebut Eriaim), Rihata, dan 4 soa dibawah patih (yang terakhir). Dua terakhir secara kolektif disebut Sopele.[11] Pada abad ke-17, Soya adalah negeri Kristen ketiga di Leitimur dengan delegasi di Landraad. Dua negeri yang paling awal adalah Nusaniwe dan Kilang. Tepatnya pada 1617, Grote Landraad (Dewan Tanah Besar) didirikan. Terdiri dari 14 kepala negeri, termasuk raja Soya, Duarte da Silva, juga dikenal sebagai Latoe Consina (Latuconsina). Mereka kemudian disebut orang kaya, yang berfungsi sebagai kepala negeri. Grote Landraad bertemu kira-kira sekali setiap dua minggu. Hal-hal seperti kerja rodi, pertanian cengkih, dan urusan peradilan dibahas. Orang kaya menerima kompensasi atas pekerjaan mereka di Landraad. Misalnya, mereka menerima 'uang mantel' untuk tampil berpakaian rapi di pertemuan itu. Pada prinsipnya, para kepala desa itu memiliki kursi di Landraad, yang memimpin kora-kora mereka sendiri di hongi.[12][22][11] Pada Agustus 1620, beberapa anak kepala negeri dikirim ke Belanda untuk mempelajari bahasa Belanda. Diantaranya adalah Andrea da Silva, putra raja Soya. Mereka kembali pada tahun 1631.[22][11] Pada tahun 1625, Gubernur H. Speult meminjamkan sebagian tanah di sekitar Benteng Victoria, dan 'lembah-lembah' di dekatnya, kepada penduduk Soya dan Nusaniwe. Namun pada tahun 1683, surat-surat pinjaman ini ditarik kembali karena tanahnya telah menjadi terlantar dan liar.[22][11] Pada tahun 1627, Laurenso da Silva diangkat ke Landraad menggantikan almarhum Latoe Consina. Setahun kemudian Don Lorenso (Laurenso da Silva), raja Soya, pergi ke Batavia bersama kapitan Hitoe Tepil dan tiga orang kaya Leitimur lainnya. kemudian pada tahun 1629, sebagian dari kelompok itu kembali. Di antara mereka tidak ada raja Soya.[23][11] Pada periode antara tahun 1633 hingga 1637, terjadi perbedaan pendapat karena adanya larangan babi dan sapi liar di kota Ambon, beberapa sapi Raja Soya ditembak.[12][11] Pada tahun 1635, timbul masalah antara Soya dan pemerintah Belanda. Hal ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa pengkhotbah Jacobus Vertregt memulai dengan otoritasnya sendiri untuk menuliskan nama semua pria, wanita dan anak-anak di Leitimur. Dia mengatakan untuk dapat menentukan ukuran sekolah. Namun orang Ambon menduga bahwa penghitungan itu dimaksudkan untuk memperkirakan kekuatan perlawanan apapun. Tidak lama kemudian orang Ambon 'menyiapkan semua ransel dan karung mereka dan melarikan diri tanpa diketahui ke pegunungan, tanpa izin kami dapat menyadarinya', menurut Rumphius.[11] Pada Februari 1637, Perang Ambon ketiga pecah dan hanya lima belas orang kaya yang tersisa bersama Belanda. Diantara mereka juga ada saudara laki-laki raja Soya, Jordan da Silva. Butuh waktu hingga Februari 1637 sebelum orang kaya yang melarikan diri kembali ke Benteng Victoria untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Mereka menjelaskan apa yang menyebabkan mereka melarikan diri ke pegunungan, dan mereka juga menyampaikan beberapa keluhan lebih lanjut, yang dicatat oleh Rumphius sebagai berikut.[11] Poin-poin perhatian yang ditanamkan oleh orang Leijtimore (Leitimur).[11]
Pada tahun yang sama, orang kaya Leitimur bertemu lagi di benteng dan mengajukan 'permintaan' lain yang terdiri dari tujuh poin. Sebagai tanggapan, 'mereka disingkirkan dengan tajam, mengambil catatan jenderal sebagai d'Comp ini ingin menetapkan hukum'. Namun demikian, orang Ambon bertemu di sejumlah titik. Misalnya, sumpah pejabat VOC di kora-kora dilarang dan mereka dijanjikan pengaduan tentang kecurangan oleh pedagang cengkeh ditindak serius.[25][11] Pada akhir tahun 1638, seorang dukun yang disewa oleh masyarakat Soya menunjuk pada 'Pattij van Zoija' (Patih Soya) sebagai penyebab penyakit serius yang dialami oleh raja Soya, Lourenso da Silva. Baik patih maupun dukun dipenjara, yang pertama untuk melindunginya dari rakyat. Pada tanggal 24 Desember 1638, 'setelah menahan banyak rasa sakit' raja Soya meninggal. Saudaranya, Thomas da Silva menggantikannya. Tidak jelas apakah ini merupakan konflik berkepanjangan antara raja Soya Bawah dan patih Soya Atas.[26][11] Pada tanggal 19 Februari 1650, banyak orang berkumpul di benteng. Termasuk raja Soya dalam sebuah komite. Namun tidak jelas tentang apa sebenarnya ini.[27][11] Tentang kontak antara dewan VOC dan kepala negeri, Knaap menulis bahwa sejak tahun 1662 kepala negeri secara teratur diundang ke apa yang disebut 'festival orang kaya', dimana makanan yang sangat banyak disajikan. Selain itu, ada lebih banyak kontak rutin dengan anggota Groot Landraad. Pada tahun 1666, gubernur dan anggota pemerintah Ambon lainnya pergi ke pesta untuk menghormati pernikahan raja Soya dan putri orang kaya Latuhalat.[12][11] Pada tahun 1667, raja Soya mengadu kepada Inspektur Speelman tentang pencurian dan pelanggaran petak tanam warga Soya di Kota Ambon. Kota Ambon sendiri didirikan di wilayah Soya. Penduduk non-Ambon di Kota Ambon terlibat dalam pertanian skala kecil di dalam dan sekitar kota. Dengan atau tanpa izin, tanah gersang milik orang Ambon itu kemudian direklamasi.[12][11] Soya Bawah adalah salah satu wilayah yang mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat pada paruh kedua abad ke-17. Akibatnya, sebagian penduduk harus pindah ke daerah lain untuk bercocok tanam. Misalnya, untuk persediaan makanan sendiri, mereka melakukan perjalanan jauh-jauh ke daerah tenggara Hitu.[12][11] Masyarakat Soya secara tradisional terbiasa memancing di sungai dengan mencampurkan racun pembunuh ikan. Karena hampir semua sungai di wilayah Soya mengalir ke laut dekat Kota Ambon dan penduduk kota ini bergantung pada pasokan air minum mereka, VOC kemudian melarang bentuk penangkapan ikan ini.[12][11] Di distrik Victoria, pada tahun 1679, Kilang, Nusaniwe, dan Soya termasuk di antara kora-kora besar. Sedang yang berukuran kecil, Hatiwe, Halong, dan Latuhalat.[12][11] Pada tahun 1686, keluarga raja Soya memelihara 28 ekor sapi yang digembalakan di belakang Kota Ambon.[12][11] Masa kolonial InggrisPada abad ke-19, ketika Ambon untuk sementara berada di bawah kekuasaan Inggris, Nusaniwe, Kilang, dan Soya masih menjadi tiga negeri utama. Oleh karena itu, para raja di negeri-negeri ini memiliki keistimewaan tertentu. Misalnya, mereka dapat diikuti oleh anggota keluarganya sendiri, mereka dapat membawa pedang, mereka memiliki payung besar dan kanopi di kora-kora mereka, mereka dikawal oleh penjaga benteng saat mereka lewat, dan mereka dapat duduk dihadapan para penjaga dan gubernur.[11] Berlawanan dengan hak-hak yang diberikan, juga terdapat kewajiban-kewajiban yang mengikat para raja. Kewajiban-kewajiban ini dirinci dalam instruksi yang memandu tindakan semua raja, patih, dan orang kaya. Ada sanksi bagi yang melanggar peraturan ini. Salah satu hukuman terberat bagi kepala negeri adalah dicabut kekuasaannya dan diusir dari wilayahnya.[19][28][11] Sistem pemerintahanRaja Soya yang pertama adalah Latu Selemau dan seorang permaisuri bernama Pera Ina. Dibawah pemerintahan Latu Selemau, Kerajaan Soya dan sembilan negeri kecil yang berada di bawah kekuasaannya merupakan suatu kesatuan besar. Dalam masa kejayaannya, Latu Selemau dianugerahi beberapa gelar, antara lain "Nusa Piring Pahlawan" atau "Piring Pekanussa". Salah satu gelar yang lebih agung merupakan bukti kebesarannya, yakni "Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit". Gelar ini berkenaan dengan hubungan politik dan hubungan dagang, bahkan perkawinan antara Kerajaan Soya dengan orang-orang dari Kemaharajaan Majapahit.[8][1] Adapun sistem pemerintahan negeri Soya pada mulanya merupakan sistem Saniri Latupatih, yakni sebuah sistem yang terdiri dari upulatu sebutan untuk raja, kapitan, kepala-kepala soa disebut jou, patih, dan orang kaya, kepala adat disebut maueng, dan kepala kewang. Saniri Latupatih dilengkapi dengan marinyo yang biasanya bertindak sehari-hari sebagai yang menjalankan fungsi hubungan masyarakat dan pembantu bagi badan tersebut. Saniri Latupatih dapat dianggap sebagai badan eksekutif.[1] Kemudian Saniri Besar, yaitu persidangan besar yang biasanya diadakan sekali setahun atau jika diperlukan. Persidangan Saniri Besar dihadiri oleh Saniri Latupatih dan semua laki-laki yang telah dewasa dan orang-orang tua yang berada dan berdiam dalam negeri. Persidangan Saniri Besar merupakan suatu bentuk implementasi sistem demokrasi langsung atau direct democraties. Dalam perkembangannya, kemudian dibentuk pula Saniri Negeri yang terdiri dari Saniri Latupatih ditambah dengan unsur-unsur yang ada dalam negeri, misalnya pemuda dan organisasi-organisasi dari anak negeri yang ada. Persidangan Saniri Negeri dapat dianggap sebagai persidangan legislatif.[8][1] Penguasa kerajaanDaftar penguasaBerikut ini daftar penguasa Kerajaan Soya yang digelari raja.
Hingga kemudian kepemimpinan Kerajaan Soya dipindahkan ke keluarga Rehatta.[11]
Silsilah Latoe ConsinaRaja Kristen pertama Soya adalah Latoe Consina, ia dibaptis oleh Portugis di Hunuth dan disebut Duarte da Silva, Rumphius (dalam buku Ambonsche Landbeschrijving) memulai garis keturunan raja-raja Soya. Duarte da Silva menggantikan kapten Duarte da Meneses. Latoe Consina (tinggal dibawah Herman Speult) memiliki lima orang putra dan seorang putri. Berikut ini daftar silsilah Latoe Consina; hanya anak laki-laki yang terdaftar.[11]
KependudukanMigrasi orang AlifuruTak dapat dipungkiri bahwa sejarah terbentuknya negeri Soya sekarang ini, memiliki korelasi yang sangat historis dengan kehadiran Soya di masa prasejarah, yang berawal dari cerita migrasi sekelompok orang Alifuru dari pulau Seram. Khususnya bagi kelompok "Soya awal" atau "Soya mula-mula", menurut penuturan lisan para leluhur dan diwariskan dari generasi ke generasi, dituturkan bahwa Soya itu berasal dari sebuah negeri di kawasan Sawai, Seram Utara yang bernama "Soya" juga. Sementara penuturan lainnya juga mengakui, bahwa selain dari Seram Utara, ada juga yang datang dari sekitar daerah Tala di Seram Barat.[20] Dalam sejarah migrasi dan penyebaran penduduk yang keluar dari pulau Seram ke beberapa tempat, termasuk ke wilayah Kepulauan Lease, dikonstatir bahwa para penduduk tersebut keluar menyeberangi lautan dengan menggunakan peralatan perahu dalam bentuk teknologi yang masih sangat sederhana, yang disebut gosepa atau rakit. Menurut tradisi sejarah lisan, manusia Soya awal, yang termasuk dalam salah satu kelompok migran "manusia perahu" tersebut, datang dari pulau Seram ke negeri Soya sekarang ini melalui tiga gelombang, lalu menetap di negeri Soya, membentuk klan baru, dan kemudian memilih nama tempat kediamannya yang baru tersebut sama dengan nama tempat asalnya. Hal mana dimaksudkan sebagai 'tanda dan peringatan, tentang siapakah mereka dan dari mana sebelumnya mereka datang'.[20] Melalui data risetnya tentang tempat-tempat suci di Soya dan sekaligus pula gambaran mengenai posisi dari perahu soa sebagai artefak pengakuan sejarah leluhur mengenai kedatangan kelompok marga yang datang dan mendiami negeri Soya dalam urutan pertama, kedua, dan ketiga, Bartels membuat ilustrasi dalam disertasinya tersebut. Pada ilustrasi tersebut, dikemukakan tentang posisi tiga perahu yang direkonstruksi kemudian dari batu megalit dan ditempatkan di puncak bukit yang rata, yang bernama Samurele.[20] Bartels menguraikan lebih lanjut, ketika terjadi migrasi manusia Soya awal dari Seram ke lokasi negeri Soya saat ini (usai peristiwa pica Nunusaku), antara lain sebagai berikut.[20]
Setiap rumah tau (matarumah) yang ada memilih salah satu batu yang dianggap sebagai batu peringatan kedatangan mereka pada pertama kalinya di Negeri Soya. Batu-batu ini dianggap sebagai perahu-perahu yang membawa mereka ke tempat dimana mereka akhirnya berdiam dan disebut sebagai "batu teung". Saat ini di Soya dapat ditemukan beberapa teung.[1]
Teung-teung ini seharusnya berjumlah 14 buah, dua diantaranya masih perlu diselidiki. Diantara teung-teung yang ada, ada dua tempat yang mempunyai arti tersendiri bagi anggota-anggota klan tersebut yakni Baileo Samasuru, yaitu tempat mengadakan rapat dan berbicara, serta Tonisou, yaitu suatu perkampungan khusus bagi rumah tau Rehatta yang di dalamnya disebut sebuah teung.[1] Beberapa diantara rumah tau tersebut tidak lagi menetap di negeri Soya, begitu pula negeri kecil yang pernah ada telah hilang disebabkan beberapa faktor dan perkembangan yang terjadi didalam masyarakatnya.[1] Jumlah pendudukDari segi kependudukan, Soya mengalami 'pasang-surut' populasi, sesuai dengan dinamika sejarah dan perkembangan konteks sosial politik, ekonomi, budaya, dan demografis yang dialami oleh negeri Soya.[20] Berdasarkan beberapa data dokumenter tentang sensus penduduk Soya, dapat terlihat perbandingan laju perkembangan demografis Soya semenjak abad ke-17 hingga 2017. Pendataan inipun terbatas pada beberapa sumber dokumenter yang tersimpan, yang diperoleh oleh Cooley, ketika melakukan riset disertasinya.[20]
Fenomena 'pasang-surut' populasi negeri Soya tersebut di atas, dapat dimengerti dari beberapa faktor yang turut melatarinya, antara lain, kehadiran kolonialisme yang signifikan turut memengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Bahkan, menurut pencermatan Cooley, justru pada era kolonial itulah terjadi kemerosotan jumlah penduduk, perubahan batas wilayah petuanan negeri yang diakibatkan dengan hadirnya beberapa kawasan yang terpisah atau "mekar" menjadi negeri baru secara administratif, dampak konflik sektarian Maluku tahun 1999, yang menyebabkan cukup banyak warga memilih untuk mengungsi ke tempat lainnya. Hal ini patut dimengerti, karena semenjak tahun 1999 hingga memuncak pada tanggal 28 April tahun 2002 (momentum terbakarnya gedung Gereja Tua Soya), fakta-fakta historis tersebut sesungguhnya sangat memengaruhi psikotraumatik masyarakat Soya sendiri, bahkan berdampak pada beberapa tahun kemudian, situasi pasca-konflik yang semakin kondusif dan relatif aman-damai, diikuti dengan geliat pembangunan dan perkembangan sosial politik dan ekonomi yang kian membaik, turut berdampak pada kehadiran penduduk yang meningkat. Paling sedikit ada dua sebab, yakni kembalinya orang Soya dari pengungsian sementara, dan kesediaan Soya dalam merespon permintaan pemerintah Provinsi Maluku dan Kota Ambon, untuk mengalokasikan beberapa kawasan di wilayah petuanan negeri Soya sebagai tempat penampungan permanen bagi para pengungsi jemaat-jemaat Kristen dari lokasi lainnya di kota Ambon, yang menjadi korban konflik.[20] Dari hasil riset yang dilakukan, diakui bahwa dalam situasi kontemporer saat ini disinyalir bahwa konfigurasi penduduk asli dan pendatang di Soya saat ini cukup berimbang (hampir 50÷50). Suatu jumlah persentasi konfigurasi yang berubah cukup signifikan dalam 8 dekade ke belakang. Apabila merujuk pada data yang dikonstatir oleh Cooley, terungkap bahwa angka sensus di tahun 1930 menunjukkan bahwa di beberapa wilayah subbagian kota Ambon (menurut penulis, tentunya termasuk wilayah petuanan negeri Soya), terdapat hampir 90% terdiri dari penduduk asli dan 10% terdiri dari pendatang.[20] Berdasarkan dokumen RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) pemerintah negeri Soya untuk tahun 2015 – tahun 2020, disebutkan bahwa jumlah penduduk Negeri Soya (rujukan data tahun 2015) sebanyak 8.679 jiwa, dengan komposisi laki-laki sebanyak 4.302 jiwa dan perempuan sebanyak 4.377 jiwa. Penduduk Soya tersebut tersebar pada 4 lokasi, yakni pada negeri induk (pusat pemerintahan) sebanyak 823 jiwa/174 KK, dusun Kayu Putih sebanyak 3.257 jiwa/674 KK, dusun Tabea Jou sebanyak 679 jiwa/354 KK, dusun Air Besar sebanyak 1.477 jiwa/376 KK.[20] PeninggalanBaileo SamasuruBaileo Samasuru adalah rumah adat negeri Soya yang telah ada sebelum kedatangan bangsa Portugis dan Belanda ke pulau Ambon. Tidak seperti baileo lainnya di Kepulauan Maluku, Baileo Samasuru tidak berbentuk bangunan permanen, melainkan sebuah tanah lapang yang terdapat batu-batu bersusun dan tidak memiliki atap maupun dinding.[31] Tempayan SoyaTempayan Soya adalah sebuah tempayan yang dianggap sakral oleh masyarakat Soya. Letaknya tidak jauh dari Gereja Tua Soya, kira-kira sekitar 500 meter, terdapat tempayan atau wadah air berbahan tanah liat berdiameter sekitar 50-60 sentimeter. Diceritakan bahwa air di dalam Tempayan Soya tidak pernah habis dan selalu ada, bahkan ketika musim kemarau. Tempayan Soya dalam bahasa tanah setempat dipanggil dengan sebutan "Tampayang Sirimau", "Tampayang Soya", atau "Tampayang Tua".[32] Menurut kisah legenda masyarakat Soya mengenai tempayan ini, konon air yang ditampungnya sakti dan dianggap mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Kisah mengenai air di Tempayan Soya diceritakan secara generasi ke generasi. Dikisahkan ada seorang putri raja Soya yang bernama Luhu, ia dikisahkan menyukai seorang perwira militer Belanda, sayangnya sang raja tidak merestui hubungan keduanya. Luhu pun bunuh diri, arwahnya yang tidak tenang kerap menculik para pria sebagai suami atau juga anak-anak yang dulu pernah didambakannya semasa hidupnya. Bila ditemukan, korbannya sudah dalam keadaan meninggal atau bila masih hidup, sang korban dikuasai oleh alam bawah sadarnya.[32] Demi menyadarkan korban yang masih hidup, raja Soya memberinya air untuk diminum. Namun setelah sembuh, sang korban tak akan lagi pernah ingat akan kejadian yang pernah menimpanya. Air ini berada di dalam sebuah tempayan yang berlokasi di gunung Sirimau, tempayan inilah yang kemudian disebut sebagai Tempayan Soya.[32] Dalam versi lain, disebutkan bahwa tempayan tersebut merupakan kenang-kenangan untuk raja Soya yang diberikan oleh Kemaharajaan Majapahit, atas pengakuannya terhadap kerajaan terbesar di Nusantara tersebut. Bahkan, raja Soya pada saat itu diberikan gelar oleh raja Majapahit dengan sebutan "Upulatu Sirimau Mas Raden Labu Inang Mojopahit" yang bila diterjemahkan berarti 'penguasa Sirimau putra raja Majapahit', beberapa sumber lain menuliskan "Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit" yang diartikan sebagai 'penguasa Selemau tuan emas yang jantan, putra bungsu raja Majapahit'.[32] Gereja Tua SoyaGereja Tua Soya adalah sebuah gereja tua peninggalan Portugis yang diperkirakan dibangun pada tahun 1546.[32] Walaupun bentuknya sederhana, namun gereja ini telah memberikan andil bagi sejarah pekabaran Injil di Maluku, khususnya di negeri Soya. Kekristenan di negeri Soya harus diakui tidak dapat dilepaskan dari hadirnya Joseph Kham yang bertemu dengan orang-orang Kristen di negeri Soya pada tahun 1821. Jika digambarkan dalam angka, maka perkembangan Kekristenan pada saat itu dengan anggota sidi 22 orang, anggota baptis dewasa 21 orang, anak sekolah 10 orang, anak di luar sekolah 7 orang, dan anak yang dibaptis 1 orang. Dari angka tersebut, dapat dikatakan bahwa proses pekabaran Injil di negeri Soya ternyata berjalan lambat. Hal ini disebabkan karena kondisi masyarakat Soya yang masih terisolir dan karenanya tidak mudah menyerahkan diri untuk dibaptis sebagai akibat peperangan dengan Portugis.[1] Perkembangan gedung Gereja Tua Soya pada awalnya tidak diketahui. Untuk menampung kebutuhan kegiatan ibadah, pada tahun 1876, raja Stephanus Jacob Rehatta memimpin orang Soya untuk memperbaiki serta memperluas bangunan gereja secara semi permanen dan dipergunakan sampai tahun 1927. Pada masa kepemerintahan Leonard Lodiwijk Rehatta, gedung Gereja Tua Soya kembali diperbaharui tahun 1927.[1] Pada tahun 1996, gedung gereja ini kembali dipugar dan direstorasi dibawah panduan bidang Museum Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Hasil ini hanya bertahan hingga 28 April 2002, pada saat terjadi konflik sektarian Maluku. Saat itu, negeri Soya diserang oleh perusuh yang mengakibatkan korban jiwa meninggal 11 orang, 12 orang luka berat, dan sejumlah lain luka ringan. Disamping itu, 22 buah rumah hangus terbakar rata dengan tanah. Gereja Tua Soya kemudian berhasil dibangun kembali dan diresmikan oleh ketua Sinode GPM J. Ruhulessin, dan Gubernur Maluku saat itu, Karel Albert Ralahalu.[1] Gereja Tua Soya saat ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Letak gereja ini berada di tengah-tengah negeri Soya, merupakan tempat yang sangat strategis karena berdampingan dengan sekolah dan balai pertemuan serta rumah raja Soya.[1] Benteng VictoriaBenteng Victoria adalah salah satu benteng peninggalan Portugis di Nusantara. Benteng ini juga dikenal dengan nama Benteng Kota Laha. Benteng Victoria terletak di kecamatan Sirimau, pusat Kota Ambon.[33] Benteng Victoria juga merupakan benteng tertua di Kota Ambon.[34] Benteng Victoria dibangun oleh Portugis pada tahun 1575, tetapi kemudian diambil alih oleh Belanda.[33] Benteng ini merupakan salah satu objek wisata yang ada di pulau Ambon dan saat ini menjadi markas Kodam XV/Pattimura.[35] Pada masa kolonial Belanda, Benteng Kota Laha diambil alih oleh Belanda dari Portugis diubah namanya menjadi Benteng Victoria.[34] Sebelumnya, oleh Portugis benteng ini diberi nama Nossa Senhora Annucida, baru kemudian direbut oleh Belanda pada 1605 dan dinamai "Victoria" yang berarti 'kemenangan'. Benteng ini mengalami kerusakan cukup parah akibat gempa besar yang mengguncang Ambon pada sekitar tahun 1754. Setelah direnovasi, benteng itu berganti nama menjadi "Nieuw Victoria" yang artinya 'kemenangan baru'. Belanda menggunakan tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan, pertahanan, dan pembentukan kekuatan tentara.[36] Di benteng ini, Pattimura digantung oleh Belanda pada 6 Desember 1817.[37] Lihat juga
Catatan
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
|