Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia ([baˈhasa indoˈnesija]) merupakan bahasa resmi sekaligus bahasa nasional di Indonesia.[16] Bahasa Indonesia merupakan varietas yang dibakukan dari bahasa Melayu,[17] sebuah bahasa rumpun Austronesia yang digolongkan ke dalam rumpun Melayik yang sendirinya merupakan cabang turunan dari cabang Melayu-Polinesia. Bahasa Indonesia telah sejak lama digunakan sebagai basantara di wilayah kepulauan Indonesia yang rata-rata memiliki kemajemukan linguistika. Dengan jumlah penutur bahasa yang lumayan besar ditambah dengan populasi diaspora yang tinggal di luar negeri, bahasa Indonesia masuk sebagai salah satu bahasa yang paling banyak digunakan atau dituturkan di seluruh dunia.[18] Kosakata bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh beberapa bahasa lokal di wilayah kepulauan Indonesia (misalnya: bahasa Jawa, Minangkabau, Bugis, Makasar, dan lain sebagainya),[19] serta dari bahasa asing yang disebabkan oleh kontak sejarah dan keterikatan sejarah dengan bahasa lain dari wilayah lainnya.[20] Bahasa Indonesia memiliki banyak kata serapan yang berasal dari bahasa-bahasa Eropa, terutama dari bahasa Belanda, Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahasa Indonesia juga memiliki kata serapan yang berasal dari bahasa Sanskerta, Tionghoa, dan Arab yang membaur menjadi elemen dalam bahasa Indonesia yang terpengaruh karena adanya faktor-faktor seperti aktivitas perdagangan maupun religius yang telah berlangsung sejak zaman kuno di wilayah kepulauan Indonesia. Akar bahasa Indonesia baku adalah bahasa Melayu Riau (sekarang Kepulauan Riau), sedangkan akar bahasa Indonesia gaul Jakarta adalah bahasa Betawi.[5][7][21][22][23][24] Dalam perkembangannya, bahasa ini mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[25] Proses ini menyebabkan berbedanya bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau dan kepulauan maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Pada tahun 1953, setidaknya terdapat 23 ribu jumlah kosakata dalam kamus bahasa Indonesia yang sebagian besar diadopsi dari bahasa Melayu. Hingga sekarang jumlah kosakata dalam kamus bahasa Indonesia terus bertambah.[26] Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[27] Istilah "bahasa Indonesia" paling umum dikaitkan dengan bentuk baku yang digunakan dalam situasi resmi.[23] Ragam bahasa baku tersebut berhubungan diglosik dengan bentuk-bentuk bahasa Melayu vernakular yang digunakan sebagai peranti komunikasi sehari-hari.[23] Artinya, penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan ragam sehari-hari dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[28] sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Selain dalam skala nasional, bahasa Indonesia juga diakui sebagai salah satu bahasa resmi di negara lain seperti Timor Leste.[29][30][31] Bahasa Indonesia juga secara resmi diajarkan dan digunakan di sekolah, universitas maupun institusi di seluruh dunia, terutama di Australia, Belanda, Jepang, Korea Selatan, Timor Leste, Vietnam, Taiwan, Amerika Serikat, Inggris, dll.[32][33][34][35][36][37][38][39][40][41] Fonologi dan tata bahasa bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[42] Menurut sebagian peneliti, dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[43] Istilah bahasa Indonesia juga terkadang digunakan dalam bahasa Inggris dan bahasa lain untuk menyebut bahasa nasional Indonesia. Bahasa Indonesia terkadang disingkat menjadi Bahasa oleh orang asing yang menganggap bahwa itu adalah nama bahasanya. Namun, kata "bahasa" hanya berarti bahasa (language). Misalnya, Korean language diterjemahkan menjadi bahasa Korea. Orang Indonesia pada umumnya tidak menggunakan kata Bahasa saja untuk menyebut bahasa nasionalnya.[44] KlasifikasiBerdasarkan kesepakatan mayoritas pakar linguistik dalam pernyataan dari K. Alexander Adelaar, mereka setuju bahwa kemungkinan besar bahwa asal muasal Bahasa Melayu berasal dari wilayah barat Pulau Kalimantan.[45] Bentuk awal dari Bahasa Proto-Melayu mulai digunakan minimal pada tahun 1.000 SM dan sering diperdebatkan sebagai bahasa moyang dari Rumpun bahasa Melayik. Sedangkan, moyang dari Rumpun bahasa Melayik, yaitu Bahasa Proto-Melayu-Polinesia yang merupakan turunan dari Bahasa Proto-Austronesia mulai berpisah dari bahasa moyangnya dimulai dari minimal pada tahun 2.000 SM sebagai dampak ekspansi ke arah selatan yang dilakukan oleh Suku bangsa Austronesia ke Asia Tenggara Maritim dari Pulau Taiwan.[46] Bahasa Melayu yang merupakan bahasa turunan Melayu merupakan bagian dari Rumpun Bahasa Austronesia yang termasuk di antaranya dari Asia Tenggara, Samudra Pasifik, dan sebagian kecil bahasa yang ada di Benua Asia. Bahasa ini memiliki tingkat kesalingpahaman dengan Bahasa Melayu standar yang digunakan di Malaysia yang secara resmi dikenal dengan nama Bahasa Malaysia. Meskipun memiliki perbedaan leksikal yang cukup besar sehingga keduanya dianggap sebagai dialek dari Bahasa Melayu.[47] Meskipun demikian, variasi vernakular dari Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia memiliki kesalingpahaman. Namun, kedua bahasa kesalingpahaman yang terbatas yang dibuktikan dengan fakta bahwa orang Malaysia sulit memahami sinetron Indonesia yang ditayangkan di saluran televisi yang ada di Malaysia dan begitu juga sebaliknya.[48] Di bawah ini merupakan kemiripan bahasa yang ada di Austronesia dalam penyebutan bilangan untuk bahasa mereka masing-masing:
Indonesia memiliki lebih dari 726 bahasa daerah yang dipergunakan.[50] Mayoritas warga Indonesia menggunakan minimal dua bahasa dalam kehidupannya sehari-hari dengan salah satunya Bahasa Indonesia serta bahasa daerah sesuai dengan lokasi tempat tinggalnya. Karena pengunaan dua bahasa inilah, bahasa daerah sering memengaruhi kosakata dalam bahasa Indonesia seperti dari bahasa Jawa.[51] Selain bahasa daerah, Bahasa Belanda memberikan kontribusi tertinggi kedalam kosakata Bahasa Indonesia sebagai dampak kolonisasi oleh Belanda.[51][52] Bahasa Indonesia juga mendapatkan pengaruh dari Bahasa-bahasa Asia, seperti Bahasa Tionghoa yang berkembang pada abad ke-15 dan 16 karena perdagangan rempah serta Bahasa-Bahasa Asia Selatan, seperti Bahasa Sanskerta, Bahasa Tamil, Bahasa Hindi, dan Bahasa Prakerta yang menyebar dan berkontribusi kosakata pada masa perkembangan kerajaan Hindu dan kerajaan Buddha yang pesat pada masa abad kedua dan ke-14. Bahasa Arab juga ikut berkontribusi kosakata saat penyebaran Islam pada abad ke-13.[53] Tidak hanya Bahasa Belanda, tetapi juga Bahasa Eropa seperti Bahasa Portugis dan Bahasa Inggris memberikan kontribusi dalam kosakata bahasa Indonesia karena pernah menjadi penjajah di beberapa daerah di Indonesia. Dari Bahasa Portugis, kata seperti palsu yang dari kata falso serta kata prangko dari kata pranco yang diserap dari Bahasa Portugis.[54] Selain sebagai bekas penjajah, Inggris juga memengaruhi kosakata melalui jalur modernisasi dan globalisasi, terutama sejak dekade 1990-an karena kemunculan internet dan perkembangannya.[55] Karena Bahasa Indonesia merupakan turunan Bahasa Melayu, beberapa kata yang merupakan kata serapan dari Bahasa Melayu juga diserap dalam Bahasa Inggris seperti kata orangutan, gong, bamboo, rattan, sarong dan kata yang jarang digunakan seperti paddy, sago, dan kapok.[56][57] Frasa kata running amok juga diserap dari kata amuk.[58][59][60] Bahasa Indonesia tidak dapat digolongkan sebagai sebuah bahasa pijin ataupun bahasa kreol karena Bahasa Indonesia tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi kedua kelompok bahasa tersebut. Hal ini dipercaya karena Bahasa Indonesia merupakan salah satu cara untuk mencapai kemerdekaan. Namun, di sisi lain bahasa ini tetap menerima kosakata dari bahasa lain, seperti Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab yang menyebabkan kata serapannya terus meningkat setiap tahunnya.[61] SejarahZaman kerajaan Hindu-Buddha
Sejumlah prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Sriwijaya ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatra. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah yang strategis untuk pelayaran dan perdagangan. Bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada saat itu menunjukkan penggunaan awalan ni- dan mer-, bukan di- dan ber-. Contohnya merwuat "berbuat", "melakukan" dan nimakan "dimakan". Ini menunjukkan kemiripan dan relasi dengan bahasa Proto-Melayu-Polinesia dan Proto-Austronesia. Kedua awalan ini muncul di prasasti-prasasti tersebut. Huruf "h" di awal kata masih dijaga, mencerminkan asalnya utamanya dari bahasa Proto-Austronesia *q. Contohnya pada kata hujung "ujung" dan mahu "mau", "bermaksud". Di beberapa dialek dan bahasa Melayu modern, "h" di awal kata masih dijaga, sementara pada yang lain hilang atau dianggap tidak baku. Misalnya, item "hitam" dan hutang "utang". Namun, beberapa kata seperti hati tidak berubah menjadi *ati dalam bahasa Indonesia. Hilangnya huruf "h" ini dapat didorong oleh pengucapan "r" yang cenderung uvular ([ʀ], [ʁ]), lokasi yang hampir sama dengan "h". Sementara itu, istilah Melayu adalah sebutan untuk Kerajaan Melayu, sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang bertempat di hulu sungai Batang Hari. Pada awalnya, istilah tersebut merujuk pada wilayah kerajaan Melayu yang yang merupakan bagian wilayah pulau Sumatra. Namun, seiring berkembangnya zaman, istilah Melayu mencakup wilayah geografis tidak hanya merujuk pada Kerajaan Melayu, melainkan negeri-negeri di pulau Sumatra. Bahasa Melayu Kuno yang berkembang di Sumatra memiliki logat "o", yang digunakan pada Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang, dan Bengkulu. Dalam perkembangannya, bangsa Melayu melakukan migrasi besar-besaran ke Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) dan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka pada masa perkembangannya. Istilah Melayu kemudian bergeser kepada Semenanjung Malaka (Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Semenanjung Tanah Melayu. Akan tetapi, kenyataannya adalah istilah Melayu itu berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e". Pada tahun 1512, Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, yang membuat kemungkinan bahwa pemakai bahasa Melayu pertama bukanlah penduduk Sumatra, melainkan Kalimantan. Suku Dayak diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu Kuno di Sumatra, misalnya: Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban. Aksen Melayu pada saat itu berlogat "a" seperti bahasa Melayu baku. Penduduk Sumatra menuturkan bahasa Melayu setelah kedatangan leluhur suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya, istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara. Secara sudut pandang historis, istilah Melayu juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, terutama dalam konsep Proto Melayu dan Deutero-Melayu, migrasi bangsa Melayu yang dibagi dalam dua gelombang. Saat ini konsep dua gelombang migrasi tersebut sudah dianggap usang, karena sekarang dipahami bahwa nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara dikenal sebagai rumpun Melayu-Polinesia, salah satu dari dua cabang utama suku bangsa Austronesia (lainnya adalah Formosa). Selanjutnya setelah sampai pada kedatangan dan perkembangan agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya di dalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnik. M. Muhar Omtatok, seorang seniman, budayawan, dan sejarawan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnik, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling, dan lainnya". Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa komunitas berdarah Batak yang mengaku sebagai Orang Kampong–Puak Melayu". Diketahui, kerajaan Sriwijaya menuturkan bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan sejak abad ke-7 M. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan juga dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[62] dan Pulau Luzon.[63] Sejak itu, kata-kata seperti istri, raja, putra, kawin, dan lain-lain masuk pada periode tersebut hingga abad ke-15 M. Melayu sebagai basantaraPada abad ke-15, berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[butuh rujukan] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatra dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang. Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini. Bahasa yang dipakai pendatang dari Tiongkok juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong. Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu atau Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".[64] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian tempatan (lokal) dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pemijinan di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pijin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[65] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa. Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas. Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang colloquial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya, tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Era kolonial BelandaPemerintah kolonial Hindia Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan), sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam pembakuan bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor. Pada awal abad ke-20, perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[64] Ejaan Van Ophuijsen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Makmoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat"–KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Pustaka. Pada tahun 1910, komisi ini di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[66] Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. Bahasa Melayu yang disebarkan oleh Balai Pustaka sesungguhnya merupakan bahasa Melayu Tinggi yang bersumber dari bahasa Melayu Riau-Lingga, sedangkan bahasa Melayu yang lebih populer dituturkan kala itu di Hindia Belanda adalah bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar. Kwee Tek Hoay, sastrawan Melayu Tionghoa mengkritik bahasa tinggi ini sebagai bahasa yang tidak alamiah, seperti barang bikinan, tidak mampu melukiskan tabiat dan tingkah laku sesungguhnya, seperti pembicaraan dalam pertunjukan wayang yang tidak ditemukan dalam pembicaraan sehari-hari."[67] Pada tanggal 16 Juni 1927, Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[68] Kelahiran Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional berdasarkan usulan Muhammad Yamin. Dalam pidatonya pada kongres tersebut, Yamin mengatakan,
Penggantian nama dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia mengikut usulan dari Mohammad Tabrani pada Kongres Pemuda I yang beranggapan bahwa jika tumpah darah dan bangsa tersebut dinamakan Indonesia, maka bahasanya pun harus disebut bahasa Indonesia. Kata "bahasa Indonesia" sendiri telah muncul dalam tulisan-tulisan Tabrani sebelum Sumpah Pemuda diselenggarakan. Kata "bahasa Indonesia" pertama kali muncul dalam harian Hindia Baroe pada tanggal 10 Januari 1926. Pada 11 Februari 1926 di koran yang sama, tulisan Tabrani muncul dengan judul "Bahasa Indonesia" yang membahas tentang pentingnya nama bahasa Indonesia dalam konteks perjuangan bangsa. Tabrani menutup tulisan tersebut dengan:[70]
Selanjutnya, perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[71] Pada tahun 1933, berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Pada tahun 1936, Sutan Takdir Alisjahbana menyusun Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Meskipun Pujangga Baru membawa pembaruan bagi bahasa dan sastra Indonesia, tetapi bahasa yang dipakai masihlah bahasa Melayu Tinggi yang "murni". Perbedaan bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Rendah baru mulai pudar setelah munculnya Chairil Anwar.[72] Pada tanggal 25-28 Juni 1938, dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu, dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Kongres Bahasa Indonesia kemudian rutin digelar lima tahunan untuk membahasa perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia masa kiniMeskipun menyandang nama bahasa persatuan, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa ibu hanya oleh sebagian kecil saja dari penduduk Indonesia (terutama orang-orang yang tinggal di sekitar Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang sebagian besar berbahasa Indonesia seperti Medan dan Balikpapan), sedangkan lebih dari 200 juta orang lainnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, dengan berbagai tingkat kemahiran. Sensus tahun 2010 menunjukkan hanya 19,94% orang berusia di atas lima tahun yang menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Di negara yang memiliki lebih dari 700 bahasa daerah dan beragam kelompok suku, bahasa Indonesia memainkan peran penting dalam mempersatukan keberagaman budaya di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa utama di media, badan pemerintah, sekolah, universitas, tempat kerja, dll.[73] Bahasa Indonesia baku digunakan untuk keperluan penulisan buku dan surat kabar, serta untuk siaran berita televisi/radio. Bahasa Indonesia baku jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, sebagian besar terbatas pada keperluan formal saja. Meskipun hal ini merupakan gejala yang umum terjadi pada kebanyakan bahasa di dunia (misalnya, bahasa Inggris lisan tidak selalu sesuai dengan standar bahasa tulis), bahasa Indonesia lisan cukup berbeda/jauh dari bahasa Indonesia baku, baik dalam hal tata bahasa maupun kosakata. Hal itu utamanya disebabkan karena orang Indonesia cenderung menggabungkan aspek bahasa daerahnya sendiri (misalnya, Jawa, Sunda, dan Bali) dengan bahasa Indonesia. Hal ini menghasilkan berbagai dialek bahasa Indonesia yang kedaerahan, jenis inilah yang paling mungkin didengar oleh orang asing saat tiba di sebuah kota di Indonesia.[74] Fenomena ini diperkuat dengan penggunaan bahasa gaul Indonesia, khususnya di perkotaan. Tidak seperti varietas baku yang relatif seragam, Bahasa Indonesia daerah menunjukkan tingkat variasi geografis yang tinggi, meskipun bahasa Indonesia gaul ala Jakarta berfungsi sebagai norma de facto bahasa informal dan merupakan sumber pengaruh yang populer di seluruh Indonesia.[23] Pemisahan bahasa Indonesia baku dan bahasa gaul Jakarta ini, oleh Benedict Anderson, disebut sebagai gejala kramanisasi.[75] Persebaran geografisBahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di kawasan perkotaan, seperti di Jabodetabek dengan dialek Betawi serta logat Betawi. Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan sering kali terselip dialek dan logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah, kadang-kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia. Kedudukan resmiBahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:
Dari kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
FonologiBahasa Indonesia mempunyai 26 fonem. Jumlahnya berubah menjadi 31 apabila alofon dan konsonan pinjaman juga dihitung. Vokal
Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai̯/, /au̯/, /oi̯/, dan /ei̯/ yang ada pada perkataan bersuku kata terbuka, seperti damai /da.mai̯/. Namun, di dalam suku kata tertutup seperti air /a.ir/, kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong. Konsonan
Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu awalnya tidak mengenal adanya gugus konsonan, tetapi karena pengaruh dari bahasa asing dan daerah ke dalam bahasa Indonesia ditemukan cukup banyak gugus konsonan. Gugus konsonan dalam bahasa Indonesia adalah /pl/, /bl/, /kl/, /fl/, /sl/, /pr/, /br/, /tr/, /dr/, /kr/, /gr/, /fr/, /sr/, /ps/, /sw/, /sp/, /sk/, /st/, /str/, /spr/, /skr/, dan /skl/.
Sistem penulisan
Selain huruf-huruf di atas, bahasa Indonesia juga menggunakan beberapa digraf, yaitu:
Sejarah ortografiEjaan-ejaan untuk bahasa Melayu atau Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut: Ejaan van OphuijsenEjaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Malmoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
Ejaan RepublikEjaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
Ejaan PembaharuanEjaan Pembaharuan dirancang oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Prijono dan Elvianus Katoppo pada tahun 1957 sebagai hasil keputusan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Namun, sistem ejaan ini tidak pernah dilaksanakan. Ejaan MelindoKonsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini. Ejaan yang DisempurnakanSebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK) untuk menggantikan ejaan Melindo. Kemudian, diresmikan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, dibakukan. Perubahan:
Ejaan Bahasa IndonesiaEjaan Bahasa Indonesia (EBI) adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Ejaan ini menggantikan Ejaan yang Disempurnakan. Tidak terdapat banyak perbedaan antara EYD dan EBI. Pada EBI, terdapat penambahan satu huruf diftong, yaitu huruf ei sehingga huruf diftong dalam Bahasa Indonesia menjadi empat huruf, yakni ai, ei, au, dan oi. Selain itu terdapat juga penambahan aturan pada penggunaan huruf tebal dan huruf kapital. Kembali ke istilah Ejaan yang DisempurnakanMulai 26 November 2022 dengan dirilisnya Ejaan yang Disempurnakan edisi V, terkukuhkanlah istilah-istilah kedaerahan yang mengandung diksi monoftong """EU""". Monoftong ini umumnya sering didapati dari berbagai istilah suku bangsa Aceh dan Sunda. Yang tentu kebutuhan sub suku dari suku bangsa tersebut juga masih banyak lagi dan masih dalam penelitian lebih lanjut, seperti klaster sub suku Baduy dari suku bangsa Sunda. Beberapa istilah yang dimaksud ialah: Teuku, Meulaboh, Cireundeu, Meureun, dsb. Yang total diperkirakan sebanyak 1200an kosakata. Dengan mayoritas nama tempat dan istilah yang belum pernah di jumpai di Bahasa Indonesia sendiri. Tata bahasaDibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata benda bergender. Tidak ada deklinasi tertentu yang menentukan gender dari suatu kata. Di luar konteks gender secara linguistik, kata-kata dalam bahasa Indonesia sebagian besar tidak menyatakan jenis kelamin. Sebagai contoh, kata ganti seperti dia tidak secara spesifik menunjukkan bahwa orang yang disebut adalah lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti adik dan pacar. Untuk memerinci jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, seperti pada kata adik laki-laki. Ada juga kata yang secara gamblang menyatakan jenis kelamin, seperti putri dan putra. Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain, seperti bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak, digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh, penggunaan seribu orang-orang tidak benar, karena jumlah telah disebutkan dalam kata seribu. Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu kami dan kita. Kami adalah kata ganti eksklusif, yang berarti tidak mengikutsertakan sang kawan bicara. Sementara itu, kita adalah kata ganti inklusif, yang berarti mengikutsertakan kawan bicara. Susunan kata dalam bahasa Indonesia adalah Subjek–Predikat–Objek (SPO) walaupun susunan kata lain juga mungkin digunakan. Tidak ada infleksi pada kata kerja, baik menurut subjek maupun objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense) secara gramatikal. Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu seperti kemarin dan besok, atau petunjuk lain seperti sudah dan belum. Meskipun memiliki tata bahasa yang cukup sederhana, bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu penggunaan imbuhan yang mungkin cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa Indonesia. Awalan, akhiran, dan sisipanBahasa Indonesia mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.
Dialek dan ragam bahasaPada keadaannya, bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa. Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:
Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara. Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku. Kata serapan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terbuka bagi pengayaan kosakata dengan menyerap kata-kata dari bahasa-bahasa lain, baik dari dalam maupun luar Indonesia. Penyerapan kata ini melalui serangkaian peristiwa baik melalui sejarah maupun tahapan penelitian yang dilakukan oleh pakar bahasa di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia termasuk juga melibatkan para pakar dalam bidang lain seperti pakar agama, politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, kedokteran, dan lain-lain.[76]
Sumber: Buku berjudul "Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan). Adapun jumlah kata yang diserap dari bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia dalam KBBI Edisi Keempat ditunjukkan di dalam daftar berikut:[77]
Metode pembelajaranMetode pembelajaran bahasa Indonesia adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan pada pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Prosedur yang digunakan sudah disesuaikan dengan sifat pembelajaran bahasa Indonesia yang spesifik. Dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia, guru harus memiliki tingkat penyesuaian yang cocok dengan siswa. Penyesuaian tersebut dirancang secara terpadu dengan tujuan belajar bahasa Indonesia. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, antara lain:[78]
Lihat pula
Rujukan
Pranala luar
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Kamus Indonesia–asing
|