Kerajaan Janggala
Kerajaan Janggala atau Jenggala (bahasa Jawa: ꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦗꦁꦒꦭ, translit. jaṅgala) adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, Indonesia, antara tahun 1042 dan berakhir disekitar tahun 1135-an. Wilayah Jenggala membentang dari Mojokerto hingga Banyuwangi, yang saat ini menjadi pusat wilayah kebudayaan wetanan. Janggala Merupakan salah satu kerajaan hasil pembelahan yang juga didirikan oleh Airlangga. Kerajaan ini diperintah oleh wangsa Isyana. Lokasi pusat kerajaan diperkirakan sekarang berada di wilayah Porong, Sidoarjo.[1] EtimologiPada isi kalimat dalam prasasti Mula Malurung terdapat frasa yang tertulis pada lempeng VI-B :
Kata jenggala berasal dari bahasa Sanskerta jaṅgala (Sanskerta: जङ्गल ) yang berarti kasar dan gersang.[2][3][butuh rujukan] Meskipun kata Sanskerta itu merujuk pada tanah kering, telah dikemukakan bahwa penafsiran Inggris-India menyebabkan konotasinya menjadi "sekumpulan belukar berbelit-belit" yang lebat.[4] Nama Janggala juga diperkirakan berasal kata "Hujung Galuh", atau disebut "Jung-ya-lu" berdasarkan catatan China tahun 1225, buku Zhu fan zhi yang ditulis oleh Zhao Rugua.[5] Pada masa Kerajaan Medang, dan Kahuripan, Hujung Galuh dikenal sebagai pelabuhan, kemungkinan terletak di daerah Canggu, Jetis, Mojokerto. Sumber otentik yang dapat dipakai sebagai dasar acuan. Yakni Prasasti Kamalagyan. Prasasti Kamalagyan adalah sebuah prasasti yang dibuat Airlangga pada tahun 959 Saka atau 1037 M. Dengan berjalannya waktu, hingga Raja Airlangga membagi dua kerajaannya, sebutan daerah Hujung Galuh yang terletak di daerah aliran Sungai Brantas meluas, mencakup wilayah Mojokerto, Lamongan, Surabaya, Sidoarjo hingga Pasuruan, hingga bagian timur kerajaan Kahuripan, yang kemudian disebut wilayah "Jenggala", dengan menjadikan Kali Mas dan Kali Porong sebagai pintu gerbang Kerajaan pada saat itu. Pada masa kerajaan Kadiri, Singhasari dan Majapahit, daerah kali porong, Sidoarjo, kembali disebut Kahuripan dan pelabuhan yang berada di Kali Mas, Surabaya, tetap bernama Hujung Galuh. Pelabuhan di daerah Surabaya ini akhirnya menjadi pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Singhasari, Majapahit hingga Hindia Belanda. Berdirinya kerajaan JanggalaPusat pemerintahan Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan (kahuripan i bhumi janggala) didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena pada satu tahun sebelumnya 1031, ibu kota lama yaitu "Watan Mas" (Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto) dihancurkan seorang musuh wanita, yaitu Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur). Pembagian kerajaan oleh AirlanggaPada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya untuk putranya. Sri Samarawijaya menjadi Raja wilayah Panjalu, di sebelah barat, yang berpusat di ibukota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan menjadi Raja wilayah Janggala di sebelah timur, yang berpusat di ibukota lama, yaitu Kahuripan. Dalam Nagarakretagama, disebutkan sebelum dibelah menjadi dua (kerajaan Janggala dan Panjalu), Airlangga telah berpindah ibukota ke Daha di wilayah Panjalu. Sebelum pembelahan kerajaan, kerajaan pimpinan Airlangga bernama Medang Kahuripan atau disebut juga Kerajaan Kahuripan.[6]
Menurut prasasti Turun Hyang (1044 M). Di akhir masa pemerintahannya tahun 1042 Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya, raja yang sebenarnya merupakan putri Airlangga. Nama asli dari putri tersebut dimuat dalam prasasti Cane (1021 M) sampai dengan prasasti Pasar Legi (1043 M) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi yang menjadi putri mahkota sekaligus pewaris takhta istana Kahuripan. Namun ia memilih untuk mengundurkan diri dan menjalani kehidupan suci sebagai pertapa biksuni atau pendeta wanita Buddha, di dalam cerita rakyat ia kemudian dikenal bergelar Dewi Kili Suci. Sedangkan dalam prasasti Pucangan (1041 M) memuat nama baru dan memunculkan Sri Samarawijaya sebagai putra mahkota atau rakryan mahamantri i hino dan diduga adalah putra Airlangga dan merupakan adik dari Sanggramawijaya Tunggadewi, berselang tahun kemudian berdasarkan berita pada prasasti Pamwatan (1042 M) dan Serat Calon Arang, Airlangga telah memindahkan ibu kotanya dan mendirikan kota Dahana.[6] Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih penggantinya mengingat dirinya juga putra dari raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali untuk mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata Pangkaja sebagai raja Bali, dan Marakata selanjutnya digantikan adiknya yaitu Anak Wungsu. Sebelum turun takhta, pada akhir November 1042, atas saran penasihat kerajaan sekaligus gurunya Mpu Bharada, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, bagian barat yaitu wilayah Panjalu beribukota di Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya, kemudian wilayah bagian timur yaitu Janggala beribukota di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan. Batas pemisah wilayah antara keduanya dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas.
(Nagarakertagama, Pupuh 68) Prasasti Wurare yang dipahatkan di alas sandar Arca Mahaksobhya pada masa Singhasari, menceritakan tentang dua wilayah baru yang telah terbagi yang dilakukan oleh pendeta Aryya Bharad.
(Prasasti Wurare) Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042 M) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Menurut prasasti Pasar Legi, baik Airlangga maupun Sanggramawijaya masih aktif menjalankan pemerintahan, mengikuti penyebutan gelar kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji yang juga berarti sebagai pendeta raja. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-duniawi. Perkembangan kerajaanPerkembangan kerajaan Janggala sepeninggal raja Airlangga dipenuhi oleh perang saudara, antara Janggala melawan Panjalu. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala. Pada tahun 1044, berdasarkan Prasasti Turun Hyang, Mapanji Garasakan memenangkan pertempuran melawan Panjalu, karena para pemuka desa Turun Hyang setia membantu Janggala melawan Panjalu. Pada tahun 1050, berdasarkan Prasasti Kambang Putih, Raja Sri Mapanji Garasakan mempertahankan istana dari pasukan Kambang Putih yang menyerang istana kerajaan Janggala. Kambang Putih (sekarang daerah Tuban) merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Panjalu. Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Malenga, Mapanji Garasakan telah mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Aji Linggajaya ini merupakan raja bawahan Panjalu. Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Banjaran, Janggala di serang oleh musuh dari Kadiri yang berhasil menyingkirkan Mapanji Garasakan dan keluarganya keluar dari ibukota Janggala. Raja Janggala kedua, Alanjung Ahyes melarikan diri ke hutan "Marsma" untuk menyusun kekuatan, ia kemudian berhasil merebut kembali ibukota Janggala berkat bantuan para pemuka desa Banjaran.[7] Pada tahun 1053, berdasarkan Prasasti Garaman, Mapanji Garasakan mengalahkan Aji Panjalu dari Kadiri dibantu oleh pasukan dari desa Garaman.[8] Pada tahun 1059, berdasarkan Prasasti Sumengka, Raja ketiga Janggala, Samarotsaha, dibantu para pemuka desa Sumengka, memperbaiki saluran air peninggalan Airlangga yang dimakamkan di tirtha atau pemandian (Petirtaan Belahan). Daftar penguasaPada awal berdirinya, kerajaan Janggala merupakan pecahan dari kerajaan Medang Kahuripan yang dipimpin Airlangga raja-raja yang diketahui pernah memerintah Janggala yaitu: Raja-raja di Bhumi Janggala
Akhir kerajaan JanggalaPada tahun 1135, menurut prasasti Ngantang, Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak saat itu wilayah Janggala dipersatukan dengan Panjalu oleh Jayabhaya, dan menjadi wilayah Kerajaan Kadiri. Janggala sebagai bawahan MajapahitSetelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun 1222, dan selanjutnya diteruskan oleh Majapahit tahun 1293, secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai Majapahit. Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih populer daripada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih populer daripada Panjalu. Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana Dyah Ranawijaya raja Majapahit saat itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatiktapura Janggala Kaḍiri. Dalam sistem pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat istilah Bhre yang merupakan perwujudan penguasa suatu wilayah bawahan dari kerajaan Majapahit yang biasanya dijabat oleh kerabat atau saudara dari raja. Contoh wilayah-wilayah bawahan kekuasaan Bhre pada masa Kerajaan Majapahit ialah Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Pandansalas, Bhre Wengker, Bhre Kertabhumi dan lain sebagainya. Bhre Kahuripan
Situs budaya Janggala
Peninggalan kerajaan Jenggala memang sangat terbatas, malah hampir tidak dikenali. Dengan terbatasnya peninggalan dari kerajaan jenggala, informasi mengenai kerajaan ini pun masih belum bisa menyeluruh. Janggala dalam karya sastraMenurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri yang bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri seorang putri dari Janggala bernama Sri Kirana. Adanya Kerajaan Janggala juga muncul dalam Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365. Kemudian muncul pula dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman kesultanan Islam di Jawa, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya. Dalam naskah-naskah tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa. Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kadiri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam Smaradahana yang menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan Kirana adalah putri Janggala. Selanjutnya, Panji Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar Prabu Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam oleh bencana banjir. Surya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan Kerajaan Pajajaran. Tokoh Surya Amiluhur inilah yang kemudian menurunkan Jaka Sesuruh, pendiri Majapahit versi dongeng. Itulah sedikit kisah tentang Kerajaan Janggala versi babad dan serat yang kebenarannya sulit dibuktikan dengan fakta sejarah. Daftar pustaka
Referensi
|