Kesultanan Kanoman

Kesultanan Kanoman
ᮊᮞᮥᮜ᮪ᮒᮔᮔ᮪ ᮊᮔᮧᮙᮔ᮪

1679–1815
Bendera Kesultanan Kanoman
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Ibu kotaKota Cirebon
Bahasa yang umum digunakanBahasa Cirebon 1679-sekarang, Belanda 1679-1811, Inggris 1811-1815
Agama
Islam
PemerintahanKepangeranan
Sultan Anom 
• 1679 (Deklarasi Pakungwati - didirikannya Kanoman)
Sultan Anom I Muhammad Badrudin Kartawijaya
• 1815 (dipensiunkan oleh Raffles)
Sultan Anom VI Muhammad Kamaroedin I
• 2003 - sekarang
Sultan Anom XII Mochamad Saladin
Pangeran Patih 
• 2003 - sekarang
Pangeran Patih Amaluddin
Sejarah 
• Pembagian kesultanan Cirebon menjadi tiga tahun 1679.
1679
• Letnan Jendral Thomas Stamford Raffles mempensiunkan para sultan di Cirebon.
1815
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Cirebon
Kaprabonan
kslKesultanan
Kacirebonan
Sekarang bagian dariKota Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
---
Status Politik:
  • De facto dibentuk (1679)
  • De jure monopoli dagang VOC (7 Januari 1861)
  • De jure negara dependen dari Republik Bataav/Franco Nederland (1809-1811)
  • De jure negara dependen dari EIC (Inggris) (1811-1815)
  • Hymne Sultan :
  • Pangeran Raja Kaprabon (putera mahkota Sultan Anom I) mendirikan Kaprabonan pada 1696
  • Sebagian wilayah didirikan kesultanan Kacirebonan pada 1808
  • Pangeran Mochamad Saladin ditunjuk menggantikan ayahnya melalui surat wasiat yang ditulis langsung oleh ayahnya Sultan Anom XI Muhammad Djalaludin.
  • Pangeran Raja Muhammad Emirudin mengklaim tahta ayahnya karena merasa lebih pantas berdasarkan adat karena lahir dari Istri ke-4 Sultan yang berdarah bangsawan.

Azmatkhan Walisongo
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
keraton kesultanan Kanoman Cirebon

Kesultanan Kanoman (aksara Sunda: ᮊᮞᮥᮜ᮪ᮒᮔᮔ᮪ ᮊᮔᮧᮙᮔ᮪) adalah suatu wilayah hasil pembagian kesultanan Cirebon kepada ketiga orang puteranya setelah meninggalnya sultan Abdul Karim (Pangeran Girilaya) atau yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu pakungwati II pada tahun 1666,[1] tetapi menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m,[2] 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Putera pangeran Girilaya masing-masing adalah Pangeran Raja Martawijaya yang kemudian memerintah Kesultanan Kasepuhan yang berpusat di keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Kartawijaya yang memerintah Kesultanan Kanoman yang berpusat di keraton Kanoman dan Pangeran Raja Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon yang bertugas dalam hal pendidikan putra-puteri keraton, Pangeran Raja Wangsakerta bertempat tinggal di keraton Kasepuhan dan membantu Pangeran Raja Martawijaya memerintah kesultanan Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh I.

Sejarah Kesultanan Kanoman

Kesultanan Kanoman resmi berdiri pada tahun yang sama dengan berdirinya kesultanan Kasepuhan yaitu pada tahun 1679 dengan pemimpin pertamanya yang bernama Sultan Anom I Sultan Badruddin Martawidjaja, dikatakan pada masa tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton[3] Dua tahun setelahnya yaitu pada tahun 1679, kesultanan-kesultanan di Cirebon melakukan klaim atas wilayah-wilayah di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura sebagai bagian dari wilayahnya kepada Belanda[4]

Gerilya kesultanan Banten, Misi Jacob van Dyck dan Pembagian Kesultanan Cirebon

Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke Banten.

Penyerangan pasukan Trunajaya dan disingkirkannya wakil Mataram

Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya[5]

Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan[5]

Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu[6]

1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,
2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,
4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya sendiri,
5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,
6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung

Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima.[6] Martadipa yang pada saat itu telah berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden Trunajaya[5] dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[7]

Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim

Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau tetap[6]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan keraton.[3]

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:

  • Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
  • Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713)

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk sebagai pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31 Januari 1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia menuliskan bahwa

yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap

[8]

Pribawa dan masuknya Belanda pada Perjanjian 1681

Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten oleh Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya di keraton Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, Pangeran Martawijaya yang sudah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa di kesultanan Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim yang meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal keturunan Sultan Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan Abdul Fatah dari Banten hanya memediasi ketiganya dengan cara menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada masing-masingnya secara tetap dan mengikat[6]

Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob van Dyck agar Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda mau membantunya mendapatkan tahta kesultanan Cirebon, hal ini kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan Pangeran Wangsakerta yang telah dinobatkan menjadi Panembahan Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom Badruddin) berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan sebagai penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sementara Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa di Cirebon karena selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan oleh Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan kesultanan Cirebon[6]

Kesultanan Banten menyerang loji Belanda di Indramayu

Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten menyerang Loji (bahasa Indonesia : gudang) Vereenigde Oostindische Compagnie di Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir,[9] penyerangan kesultanan Banten ini adalah bagian dari perang gerilya kesultanan Banten terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie dan sekutunya di pulau Jawa.

Jacob van Dyck dan surat Belanda 1680

Pada masa perang antara kesultanan Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak Vereenigde Oostindische Compagnie mengirim pasukan dari Batavia untuk menyerang wilayah kesultanan Cirebon.[10] Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische Compagnie, Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya Vereenigde Oostindische Compagnie mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris[6] (bahasa Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)[6]

Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon Speelman (menjabat sejak 18 Januari 1678[11]) sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh Cornelis Janzoon Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[12] Penunjukan Cornelis Janzoon Speelman sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak mampu lagi menghadapi penentangan demi penentangan yang dilakukan oleh Cornelis Janzoon Speelman dan rekan-rekannya di pemerintahan tinggi[12]

Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679 namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas orang pemimpin tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie) melalui surat tertanggal 29 Oktober 1680, didalam surat tersebut Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan hormat dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada anaknya yang bernama Rijckloff van Goens Jr yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur wilayah jajahan Belanda di Srilanka sebuah posisi di pemerintahan tinggi[12]

Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon

Pada masa gerilya ini Sultan Abdul Fatah dari kesultanan Banten menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran Pangeran Haji akan tahta kesultanan Banten yang mungkin tidak akan jatuh kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya ketika Cornelis Janzoon Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan Rijckloff van Goens pada 29 Oktober 1680.[12]

Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680 mengirimkan surat ucapan selamat kepada Cornelis Janzoon Speelman atas penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengiriman surat ucapan selamat oleh Pangeran Haji kepada Cornelis Janzoon Speelman memicu kekecewaan Sultan Abdul Fatah dikarenakan pada masa itu Vereenigde Oostindische Compagnie baru saja menghancurkan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon[13] yang berimbas pada berhasil dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda.[14]

Perjanjian 1681

Peta buatan Isaac de Graaff yang menunjukan struktur tembok Kuta Cirebon yang masih ada di sebelah selatan dan timur keraton Pakungwati (periode 1690 - 1705)

Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.[6],[15]

Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa Cirebon menjadi sekutu setia dari Vereenigde Oostindische Compagnie.[10]

Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.[6][15]

Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara Vereenigde Oostindische Compagnie dan para penguasa Cirebon serta memaksa mereka untuk menyetujuinya[10] dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon[16][17].

Pada tanggal 27 Februari 1681 dilakukanlah tindak lanjut berkenaan draf perjanjian 7 Januari 1681[18]. Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon[16]. Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs[19].

Pada tanggal 31 Juli 1681 perjanjian 7 Januari 1671 tersebut kemudian diratifikasi[18].

Perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula,[19] lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).[10]

Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan Vereenigde Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana[14] Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda.[4]

Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon: pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon.

Pada tahun 1681 ditunjuklah Letnan Benamin van der Meer sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[1] Jan Mulder dan van der Meer pernah memberikan laporan berkaitan dengan hubungan antara keluarga bangsawan di Cirebon, mereka menyebut bahwa Sultan Anom (Kartawijaya) masih terhitung sebagai kerabat kesultanan Banten sementara Pangeran Nasiruddin (Wangsakerta) sama sekali bukan kerabat kesultanan Banten, menurut Sudjana (budayawan Cirebon) laporan dari Jan Mulder dan van der Meer tersebut sejalan dengan naskah wawacan yang selama ini beredar terbatas di kalangan para kerabat keraton Cirebon di mana dikisahkan bahwa Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom) sesungguhnya berbeda ibu dengan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Wangsakerta.[3]

Pada tahun 1684 Belanda menunjuk Jacob Couper sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[1]

Pada 1685 Belanda menunjuk Marten Samson sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[1]

Perjanjian 1685, Fort Beschermingh dan penghancuran tembok Kuta Cirebon.

Fort de Beschermingh dalam peta 1719

Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon),[20] Belanda mengirimkan pejabat penghubung Belanda yaitu Kapten François Tack.[1] Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya berisi penyataan tentang pemerintahan dan hal-hal yang harus dipatuhi oleh para Sultan Cirebon, bahwa Vereenigde Oostindische Compagnie adalah penguasa Cirebon, masalah pemerintahan di Cirebon akan dipimpin oleh masing-masing sultannya seperti yang telah dijelaskan pada perjanjian sebelumnya, para sultan Cirebon tetap menjalankan pemerintahannya akan tetapi tetap dibawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie, para sultan Cirebon tidak boleh mengeluarkan perintah sendiri-sendiri melainkan harus melalui perundingan dengan para mantri (pejabat kesultanan), masing-masing sultan Cirebon memiliki lebih dari satu mantri, Sultan Sepuh memiliki 3 mantri, Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin (gusti Panembahan) masing-masing memiliki 2 mantri, para mantri harus dipilih oleh Vereenigde Oostindische Compagnie maka seluruh keputusan para mantri harus dengan sepengetahuan pihak Vereenigde Oostindische Compagnie , pihak Vereenigde Oostindische Compagnie diperkenankan untuk membangun benteng di Cirebon sementara pihak kesultanan dilarang untuk membangun pertahanan disekitar keraton.[21]

Setahun kemudian setelah ditandatangani perjanjian 1685, pada tanggal 30 Maret 1686, pada masa kepemimpinan Adriaan Williamson[22] sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon, berdasarkan hasil rapat pemerintahan tinggi, Gubernur Jenderal Johannes Camphuys atas usulan Francois de Tack maka akan dibangun sebuah benteng yang diberi nama Fort de Beschermingh,[20] sejak itu Belanda mulai menghancurkan tembok Kuta Seroja atau tembok Kuta Cirebon, material dari tembok yang diperkirakan telah dibangun sebelum 1596[23] dengan bantuan Danang Sutawijaya dari Mataram ini kemudian dipergunakan oleh Belanda untuk membangun Fort de Beschermingh yang berlokasi di sekitar pelabuhan Cirebon. Fort de Beschermingh dipergunakan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie sebagai tempat tinggal sekaligus kantor bagi Residen Belanda untuk Cirebon.[21]

bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing

Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut,[24] terlebih pembagian wewenang dan kekuasaan atas wilayah belum ditentukan.[21]

Perjanjian 1688, stempel keraton dan keluarga Gamel

Pada tahun 1688, pada masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys dan pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon masih dipegang oleh Kapten Willem de Ruijter,[1] terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan para penguasa di Cirebon, pada masa itu Belanda mengirimkan utusan yang bernama Johanes de Hartog[24] untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon, dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh Syamsuddin diwakili oleh Ki Raksanegara sementara Sultan Anom Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata[21] (keluarga Gamel) untuk mewakilinya.

Pada masalah pembuatan stempel masing-masing keraton, agar tidak terjadi kekacauan maka Ki Raksanegara dan Pangeran Suradinata mempertimbangkan seorang tua yang bijak, stempel harus dibuat serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan Anom, beratnya masing-masing satu kati dua tail dan berbentuk bulat. Sultan Sepuh dan Sultan Anom diperkenankan mengganti ahli pembuat stempel yang telah ditunjuk oleh Ki Raksanegara dan Pangeran Suradinata dengan syarat stempel yang akan dibuat sesuai dengan yang ada.[21]

Perihal urusan syahbandar, maka disetujui untuk mengangkat Ki Raksanegara, syahbandar Cirebon akan bekerja atas nama para penguasa Cirebon, syahbandar dalam hal ini adalah Ki Raksanegara bertugas untuk menerima orang-orang asing dan membuat laporan kepada Sultan Sepuh, Sultan Sepuh berkewajiban meneruskan laporan yang diterimanya kepada para penguasa lainnya yakni Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin[21]

Perihal masalah pendapatan hasil tanah, Ki Raksanegara yang telah diangkat menjadi Syahbandar Cirebon hanya boleh mengurus pendapatan hasil tanah. Setengah dari pendapatan bersih diserahkan kepada Sultan Sepuh, kemudian Suradinata mengambil hasil tanah yang lain dari orang Cina (Sinko) untuk Sultan Anom dan Panembahan Cirebon yang mendapat setengah dari hasil bersih. Pembagian hasil selanjutnya diurus Kompeni.[21]

Perihal gelar untuk Pangeran Nasiruddin, Sultan Sepuh dan Sultan Anom sepakat memberi gelar Gusti Panembahan Cirebon kepada Pangeran Nasiruddin setelah sebelumnya bermusyawarah dengan utusan Belanda Johanes de Hartog dengan syarat bahwa Pangeran Nasiruddin harus tetap sebagaimana adanya dan tidak boleh mengangkat diri lebih tinggi dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom.[21] Pangeran Nasiruddin diberi wewenang untuk mengurus kesejahteraan rakyat, mengangkat dan menentukan hakim serta para mantri yang bertugas dalam suatu penyelidikan untuk ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon sesuai saran dari Vereenigde Oostindische Compagnie.[21]

Pada urusan menjalankan pemerintahan Cirebon disepakati agar diangkat 12 Mantri, Kasepuhan mendapatkan hak untuk mengangkat lima orang mantri, Kanoman mendapatkan hak untuk mengangkat empat orang mantri sementara Gusti Panembahan diberikan hak untuk mengangkat tiga orang mantri, dalam perjanjian 1688 yang dimediasi oleh Belanda ditegaskan bahwa ketiga penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh Syamsuddin, Sultan Anom Badruddin dan Gusti Panembahan Cirebon Nasiruddin berjanji untuk menyerahkan kepengurusan Cirebon kepada Pangeran Depati Anom (yang merupakan anak dari Sultan Sepuh) dan Pangeran Ratu.[21]

namun perjanjian yang ditandatangani pada 8 September 1688[24] dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC)[25] tersebut tidak membuahkan hasil.

Pembatasan Picis (uang logam) Cirebon

Setelah adanya perjanjian Cirebon dengan Belanda tahun 1688 maka diperlukan pemberlakuan mata uang untuk berbagai transaksi perdagangan. Belanda kemudian membuat larangan agar Cirebon tidak boleh lagi membuat mata uang Picis kecuali dibuat oleh Raksa Negara (yang mewakili pihak Sultan Sepuh I Martawijaya) dan Pangeran Suradinata (yang mewakili pihak Sultan Anom I Kartawijaya)[26]

Perjanjian 1699, Belanda dalam masalah pribawa

Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Adi Wijaya (Pangeran Arya Cirebon), kedua orang putera Sultan Sepuh kemudian saling bertikai memperebutkan tahta almarhum ayahnya, hal tersebut dikarenakan sebelum meninggal, Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya belum menunjuk penggantinya, Pangeran Depati Anom Tajularipin berpendapat bahwa ia berhak mewarisi tahta ayahnya dikarenakan dia adalah putera tertua, pendapat tersebut kemudian ditolak oleh Pangeran Adi Wijaya karena dia merasa yang lebih berhak, masalah ini kemudian dimediasi oleh Belanda dan terciptalah perjanjian 1699 yang isinya sama dengan perjanjian 1688 hanya saja ditambahkan klausul berkenaan dengan pribawa (derajat paling tinggi diantara keluarga besar kesultanan Cirebon) dan permasalahan warisan serta tahta Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya.[21] Pada perjanjian 1688 sebenarnya sudah dijelaskan mengenai klausul bahwa Pangeran Depati Anom (putera tertua Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya) akan diserahkan tugas mengurus Cirebon yang artinya dia berhak akan tahta ayahnya, namun dengan timbulnya permasalahan ini membuat Pangeran Depati Anom akhirnya mengalah dan kekuasaan Sultan Sepuh dibagi dua kepada Pangeran Depati Anom dan Pangeran Adi Wijaya.[20] Pangeran Adi Wijaya kemudian membentuk cabang keratonnya sendiri yaitu Kacirebonan awal[27] dengan gelar Pangeran Arya Cirebon.[20] Perjanjian 1699 ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 4 Agustus 1699 di Batavia.[20]

Belanda atas dasar pribawa dengan berbekal perjanjian 1699 menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kamarudin[28] berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan[27](pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808).

Belanda menguasai politik Cirebon

Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda pada tahun 1699[1] mengangkat Letnan Jacob Palm sebagai seorang pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon. Belanda setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat penghubung untuk wilayah Kesultanan Cirebon, dalam buku Sejarah Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat bahkan mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1700 telah habis sama sekali (secara politik) dengan adanya pengangkatan Letnan Jacob Palm.[29]

Pada tahun 1701, Belanda kemudian menunjuk seorang pedagang bernama Jacob Heijrmanns sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon[1]

Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat[30], maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin dan Pangeran Adipati Kaprabon yang mendirikan peguron Kaprabonan pada tahun 1696 sekaligus menjadi rama guru di sana.

Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin.[31]

Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon, guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas antara provinsi Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap)[24]

Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715–1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai peguron Kaprabonan begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.

Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.

Pos Dagang Belanda di teluk Maurits (Pamotan, Pangandaran)

Pada tahun 1705, Vereenigde Oostindische Compagnie mempekerjakan sekitar 225 orang di pos dagang mereka di teluk Maurits (sekarang teluk Pananjung) di Pamotan, Pagandaran.[32]

Permasalahan pembagian kuasa Cirebon antara Sultan Abdul Karim dan Pangeran lainnya

Pada masa ditawannya Sultan Abdul Karim di Mataram oleh Amangkurat, Mataram mengakui bahwa di Cirebon ada Pangeran yang memiliki kuasa sejajar dengan Sultan Cirebon, diantara Pangeran yang diakui adalah Pangeran Surya Negara.[1] Pada saat terjadi perjanjian Cirebon - Belanda 1681 yang menjadikan Cirebon sebagai daerah proktektorat (daerah dalam perlindungan) Belanda, Pangeran Surya Negara memilih untuk tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut dan menjaga agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen,[1] permasalahan ini tidak bisa diterima Belanda yang berfikir bahwa di Cirebon hanya ada satu penguasa untuk seluruh wilayah kesultanan sementara para pangeran lainnya yang memiliki kuasa semi-otonom pada masa Sultan Abdul Karim dianggap Belanda hanyalah sebagai bawahan kesultanan Cirebon saja.[1] Permasalahan pembagian kuasa ini kemudian berlarut-larut hingga mencapai tahun 1700an, pada tanggal 12 Juli 1721, Pangeran Surya Negara mengirimkan sebuah surat kepada residen Belanda Willem Tersmitten yang menyatakan bahwa dia dan Sultan Cirebon Abdul Karim memiliki derajat kuasa yang sama, oleh karenanya dia berhak memilih agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen[1]

Pada tahun 1729 dimasa Residen Jan Donker van der Hoff, dilakukan pendataan kepemilikan tanaman kopi dan masyarakat di wilayah kesultanan Cirebon, pendataan dilakukan oleh Kopral Jacob Titter atas perintah residen Belanda yang diawasi pelaksanaannya oleh para mantri (pegawai kesultanan) yang ditunjuk oleh masing-masing penguasa Cirebon[22]

Pada pendataan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa di desa Sayana (yang merupakan desa dibawah kekuasaan Sultan Sepuh III Djaenuddin) misalnya terdapat kepemilikan 300 pohon kopi milik Pangeran Surya Negara, begitupula di wilayah lainnya[22]

Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon

Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat.[33] Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706,[33] secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut

"... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"

[34]

Penyeleseian masalah Pribawa

Belanda akhirnya mengambil langkah untuk menyeleseikan permasalahan akibat perkara Pribawa (derajat paling tinggi diantara keluarga besar) setelah terjadinya konflik keluarga pada tahun 1715 setahun setelah meninggalnya Pangeran Nasiruddin (Panembahan Cirebon I) dan pada saat meninggalnya Sultan Anom Alimuddin pada tahun 1733.[1] Belanda akhirnya pada tahun 1752[30] (satu tahun sebelum meninggalnya Sultan Sepuh Raja Muhammad Djaenudin) memutuskan untuk menghentikan mekanisme pergeseran posisi peringkat diantara cabang-cabang dalam keluarga besar kesultanan Cirebon sekaligus menetapkan aturan agar pergantian penguasa diantara cabang-cabang keluarga kesultanan Cirebon dilakukan oleh putranya masing-masing[30]

Kasus Ki Aria Martaningrat

Ki Aria Martaningrat merupakan ketua menteri Kesultanan Kanoman keturunan Cina, gelar Ki Aria merupakan gelar yang diberikan kepada ketua menteri dari kesultanan[35].

Sultan Anom Badruddin pertama kali menunjuknya sebagai ketua menteri Kesultanan Kanoman pada bulan Juli 1689[35], sebelum menjadi ketua menteri bagi kesultanan Kanoman beliau merupakan seorang pedagang[35]. Pada tahun 1691 ketika Sultan Anom Badruddin diperiksa di Batavia dalam kaitannya dengan bajak laut asal Banten dan Bali, Ki Aria berusaha untuk mewakilinya dalam menjalankan pemerintahan[35] di Cirebon. Pada tahun yang sama beliau dituntut karena diduga terlibat dalam usaha penyelundupan lada[35]. Pada masa itu sesuai dengan perjanjian Cirebon - Belanda 7 Januari 1681, Belanda berhak atas monopoli komoditas dari Cirebon[19], termasuk diantaranya Lada[10] dan tindakan yang dilakukan oleh Ki Aria Martaningrat disebut-sebut sebagai langkah untuk menghalang-halangi usaha monopoli dagang Belanda (dalam hal ini Vereenigde Oostindische Compagnie)[36].

Perwalian oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung

Pada tahun 1706 Pangeran Depati Halal Rudin atau Belanda mengenalnya sebagai Pangeran Halirudin[37] meninggal dunia karena sakit yang sudah dideritanya,[38] puteranya yang bernama Alimuddin[37] baru berumur 12 tahun, untuk melaksanakan fungsinya, kesultanan Kanoman diwakili oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung, ia bertindak atas nama kanjeng Ratu[38]

Pada saat Alimuddin dewasa, Alimuddin mengklaim posisi sebagai penguasa Kanoman namun pengambilalihan posisi sebagai penguasa kesultanan Kanoman tersebut menjadi sulit dan timbul perselisihan, pada akhirnya permasalahan tahta kesultanan Kanoman dibawa ke Residen Cirebon dan diputuskan bahwa yang berhak atas jabatan penguasa kesultanan Kanoman adalah Alimuddin[38]

Pembuatan Picis (uang logam) Cirebon oleh keturunan Cina

Pada tanggal 1 Januari 1710 atas persetujuan Panembahan Cirebon I Nasiruddin, Sultan Sepuh II Pangeran Depati Anom Tajul Arifin, Pangeran Arya Cirebon dan Pangeran Raja Depati Kusuma Agung (wakil kesultanan Kanoman) serta kapiten Cina (pemimpin komunitas keturunan cina) dan Syahbandar Cirebon Tan Siang Ko maka pembuatan picis (uang logam) Cirebon diserahkan kepada masyarakat keturunan Cina sepeninggal Raksa Negara dan Pangeran Suradinata[26]

Perang terbuka Pangeran Raja Kanoman (Sultan Kacirebonan pertama) melawan penjajah

Pada tahun 1791, Pangeran Joharuddin naik tahta sebagai Sultan Sepuh, namun karena usianya yang baru 10 tahun maka ia didampingi oleh dua orang pejabat kesultanan dengan pangkat Tumenggung yaitu Tumenggung Widya Adiningrat dan Tumenggung Jayadireja.[39]

Pada tahun 1733, Pangeran Chaeruddin Rahim menjadi pemimpin di Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom Chaeruddin menggantikan ayahnya Sultan Anom Alimuddin, pada saat naik tahta ia baru berusia 10 tahun, sebagai walinya ditunjuklah Tumenggung Bahu Madenda, Tumenggung Bahu Madenda menjadi wali dari Sultan Anom Chaeruddin hingga tahun 1744,[38] surat pernyataan kedewasaan bagi Sultan Anom Chaeruddin yang dikeluarkan masa Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff pada tanggal 18 Februari 1744 menjadi legalisasi bagi Sultan Anom Chaeruddin untuk mengambil alih kekuasaan dari walinya Tumenggung Bahu Madenda, karena sebelumnya Sultan mengalami kesulitan ketika akan mengambil alih kekuasaannya.[38]

Semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom IV dari permaisurinya) Pada waktu itu telah lama melakukan perlawanan terbuka terhadap belanda, masyarakat yang pernah berjuang bersama di antaranya adalah Mirsa, yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang mendapatkan bantuan tokoh agama, tetapi perjuangan Mirsa dapat dipatahkan, perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793[40] dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman dan dua orang saudaranya berhasil ditangkap dalam perjuangannya melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun 1796,[41] baik upaya mematahkan perjuangan Mirsa maupun penangkapan terhadap Pangeran Raja Kanoman dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting, setelah Pangeran Raja Kanoman diasingkan di Cirebon mulai muncul wabah penyakit menular yang dahsyat[42]

Pada tahun 1795, setahun sebelum penangkapan Pangeran Raja Kanoman, di Belanda terjadi revolusi yang dimotori oleh Perancis yang memaksa penguasa Belanda yaitu William Batavus (William V) untuk mengasingkan diri ke Inggris, negara Belanda yang telah jatuh ke tangan revolusioner tersebut diubah namanya dari Dutch Republic (bahasa Indonesia: Republik Belanda) menjadi Batavian Republic (bahasa Indonesia: Republik Batavian (secara harafiah berarti Republik Orang-Orang Belanda). Di Inggris, William Batavus kemudian mengeluarkan Kew Letter sebuah surat perintah yang menugaskan para pejabat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di wilayah Hindia Belanda menyerahkan pos pos mereka kepada Britania, hal inilah yang kemudian memudahkan Britania untuk menguasai Hindia Belanda, berbekal Kew Letter tersebut Melaka, Padang dan Ambon berhasil dikuasai oleh Britania dengan mudah,[43] pada tahun ini sebenarnya Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting sudah menyadari ada dinamika di negara asalnya bahwa kini Dutch Republic telah dikuasai oleh Perancis dan diubah namanya menjadi Batavian Republic.

Pada tahun 1792, Residen Cirebon J.L. Umbgrove memandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu dengan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat.[44] Kejadian tersebut mirip dengan peristiwa surat pengakuan gelar kesultanan oleh Belanda pada masa Sultan Sepuh IV yaitu Amir Sena Muhammad Jaenudin atau yang dikenal sebagai Sultan Jaenudin II yang bertahta dari 1753 - 1773 (menggantikan Sultan Sepuh III Sultan Raja Jaenudin yang bertahta dari tahun 1723 - 1753) di mana para keluarga kesultanan yang tidak diakui lagi gelarnya diharuskan menjadi abdi masyarakat tanpa tunjangan bulanan, karena hanya mereka yang diakui Belanda yang akhirnya mendapatkan tunjangan bulanan, hal tersebut dilakukan oleh Belanda dengan alasan penghematan agar kekayaan Cirebon tidak habis ditangan kesultanan, tetapi hal itu hanyalah alasan yang dibuat-buat karena pada masa yang sama Belanda bekerjasama dengan para penguasa swasta kaya (kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Cina) untuk menguasai tanah-tanah di Cirebon dan menerapkan pajak tanah (landrente) yang tinggi pada masyarakat.[45]

Pada tahun 1798, pada masa itu Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting yang telah menangkap Pangeran Raja Kanoman dan mengasingkannya ke Ambon dan yang proyek pembuatan rumah Raad van Indie-nya (bahasa Indonesia: Dewan Hindia) di Indramayu pada tahun tahun sebelumnya yang diperkirakan dibantu oleh Sultan Muhammad Chaeruddin [46] baru saja pensiun dengan telah datang penggantinya Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin untuk pesisir utara Jawa bagian timur pada 17 Februari 1797, pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini di kesultanan Kanoman terdapat permasalahan karena tidak adanya putera mahkota ditempat jika seandainya terjadi sesuatu dengan Sultan Muhammad Chaeruddin, maka pada tahun itu, 1798, Sultan membuat keputusan untuk mengangkat Imamuddin, adik lain ibu dari Pangeran Raja Kanoman (Putra Mahkota kesultanan Kanoman yang dibuang oleh Belanda ke Ambon) guna menggantikan posisinya sebagai Putera Mahkota kesultanan Kanoman,[46] dijelaskan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) dalam tulisannya menarasikan bahwa Imamuddin adalah anak dari Sultan Muhammad Chaeruddin dengan istrinya yang bukan permaisuri.[47] Pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dibubarkan, Britania berhasil mengambil alih wilayah Tidore[43] serta menghancurkan benteng-benteng pertahanan Batavia di pulau Onrust dan sekitarnya pada tahun 1800.[48] Pada 22 Agustus 1801 Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten meninggal dunia[49] dan kemudian posisinya digantikan oleh Gubernur Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting) yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin di pantai utara Jawa bagian barat. Pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes Siberg diwarnai oleh berbagai perjuangan para penguasa lokal di nusantara yang memanfaatkan situasi kacau di Hindia Belanda untuk bisa menguatkan kembali posisi mereka.

Perang besar Cirebon 1788 - 1818

Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon, terjadilah pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki gunung Ciremai, Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761. Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar didaerah tersebut atau dalam bahasa Cirebon disebut Ki Gede. Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah)[50]

Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang gagah berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung oleh pengikutnya yang banyak.[51] Secara garis besar kondisi perekonomian di pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa hampir secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja, penyerahan pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat rendah oleh residen.[52]

Di Batavia pada tahun 1803, setelah hancur oleh serangan Britania pada tahun 1800,[48] pulau Onrust yang merupakan benteng pertahanan Batavia oleh Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting) berusaha direstorasi kembali,[53] sementara itu di Cirebon, Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja meninggal dunia[27] dan sebagai penggantinya, Imamuddin yang telah ditunjuk sebagai putera mahkota sejak 1798 menggantikan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan oleh Belanda ke Ambon naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Anom V Abu Soleh Imamuddin[54] dan hal ini disetujui oleh Belanda,[47] dijelaskan kondisi sosial pada saat itu bahwa bencana kelaparan dan wabah penyakit sempat melanda Cirebon sejak akhir abad ke 18, mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.[52], dalam narasinya Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) mengatakan bahwa sejak naiknya Imamuddin menjadi Sultan di kesultanan Kanoman maka banyak hal buruk yang terjadi tidak hanya soal banyaknya warga yang sakit dan meninggal namun juga hal hal lain seperti kosongnya bulir bulir padi yang ditanam,[47] permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke Ambon tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1805, berdatanganlah perwakilan masyarakat Cirebon untuk menemui Gubernur Jenderal, mereka datang untuk menuntuk hak Pangeran Raja Kanoman bertahta menggantikan ayahnya Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin yang telah meninggal pada 1803, perwakilan masyarakat Cirebon itu mengatakan bahwa Imamuddin tidak berhak menjadi Sultan di kesultanan Kanoman karena masih ada Pangeran Raja Kanoman yang lebih berhak, dinarasikan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) bahwa perwakilan masyarakat Cirebon tersebut menghubung-hubungkan kejadian buruk di Cirebon dari mulai banyaknya masyarakat yang sakit dan meninggal hingga kejadian di mana bulir bulir padi yang ditanam namun tidak ada isinya yang menyebabkan kelaparan dengan naiknya Imamuddin sebagai Sultan di kesultanan Kanoman,[47] Pejabat Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon pada masa itu S.H Rose kemudian mengajukan permohonan agar pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan sebuah peraturan kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat Cirebon yang akan menemui Gubernur Jenderal, permohonan S.H Rose selaku pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon dikabulkan dengan dikeluarkannya surat keputusan (besluit) 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat Cirebon, berdasarkan besluit tersebut maka bupati Karawang diperintahkan agar mencegah rombongan tersebut ke Batavia, Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing (sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan masyarakat Cirebon dan pada tanggal 17 Mei 1805 rombongan tersebut kembali ke Cirebon,[55] mendengar hal ini Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese, dikemudian hari mengabulkan permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon, hal tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran yang sekarang sedang berlangsung dengan para pejuang sudah banyak korban dari pihak Belanda,[47]

Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.

Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya Kacirebonan

Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas hingga keluar wilayah kesultanan Cirebon, ditengah perjuangan besar cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk di antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun 1802, kondisi sosial di Cirebon semakin memprihatinkan, masih banyak orang yang jatuh sakit dan meninggal serta kelaparan akibat kosongnya bulir bulir padi, masa itu tahun 1805, dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tanggal 1 September 1806[56] Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Sepuh Djoharuddin dan Sultan Anom Abu Soleh Imamuddin untuk mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan perjuangan yang terjadi.[57] dalam bukunya Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V Frederik Willem Stapel mengatakan,

sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata telah mencapai sekitar 4000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih perang

namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik Pangeran Raja Kanoman, maka akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 mendirikan kesultanannya sendiri dengan nama Kacirebonan yang sekarang pusatnya berada di keraton Kacirebonan, sebagai pemimpin Kacirebonan Pangeran Raja Kanoman bergelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, tetapi kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya kesultanan Kacirebonan untuk Pangeran Raja Kanoman sebagai hasil kesepakatan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan di kesultanan Kanoman telah bertahta Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin, tidak menyurutkan gerakan perjuangan yang sedang berlangsung.

Pada masa ditengah pemberontakan ini, Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1808 [58] yang memimpin dengan cara kediktaktoran. Pada masa ini Gubernur Jendral Herman Willem Daendels yang memerintahkan agar membuat jalan raya juga mengeluarkan surat keputusan pada tanggal 22 November 1808 untuk melepaskan Lampung dari wilayah kesultanan Banten dan keterkaitannya dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), wilayah Lampung dalam surat keputusan tersebut langsung berada dibawah pengawas Gubernur Jenderal[59]

Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels atau setahun setelah kedatangannya ke Hindia Belanda dan menerbitkan surat keputusan tanggal 22 November 1808 yang melepaskan daerah Lampung dari wilayah kesultanan Banten,[59] Gubernur Jendral Herman Willem Daendels segera menetapkan berbagai langkah dan tindakan dalam rangka pengendalian wilayahnya yang ada di Jawa bagian barat, dua Regentschappen (wilayah) kemudian ditetapkan, kemudian ditetapkan,

  • Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen (wilayah Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang)
  • Kedua, Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen (wilayah kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon), yang meliputi wilayah kesultanan Cirebon, Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten Garut), Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar)[60]

Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun 1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya diawasi oleh residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda. Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 2 Maret 1810, Sultan Kacirebonan I Muhammad Chaeruddin II[27] yang dahulunya adalah Pangeran Raja Kanoman dipecat dari jabatannya oleh Belanda karena dianggap selalu menentang pemerintah[61]

Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1809 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Sepuh VII Sultan Djoharudin di Kesultanan Kasepuhan, Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Immamudin di kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Amirul Mukminin di kesultanan Kacirebonan yang baru saja dibentuk dari hasil perundiangan keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman.

Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis, hal ini kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles dan mengunjungi Lord Minto Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto.

Para penguasa Cirebon dan invasi Inggris

Pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah atau sekitar tanggal 26 April 1811, Sultan Sepuh Joharuddin menerima surat bertanggal 19 Desember 1810 dari Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles yang dibawa oleh Tengku Pangeran Sukmadilaga[62] (nama aslinya Sayid Zain dari kerajaan Siak)[39]

Surat tersebut berisi mengenai penyerangan Inggris kepada pihak Belanda di Jawa, dalam suratnya Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles berjanji tidak akan memperlakukan para penguasa dan rakyat secara kejam seperti yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dan Perancis.[62]

Pada surat balasannya yang ditulis tengah malam pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah, Sultan Sepuh Joharuddin yang juga mengatasnamakan Sultan Anom Cirebon menyatakan persetujuannya atas rencana invasi Inggris ke Jawa.[62]

Pada bulan Mei 1811 kedudukan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels sebagai penguasa Hindia Belanda digantikan oleh Gubernur Jendral Jan Willem Janssens seorang pejabat Belanda yang sebelumnya telah mengalami kekalahan dan akhirnya menyerahkan wilayah koloni Belanda di Tanjung Harapan, Afrika kepada Britania[63]

Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka pada sekitar tahun 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam bahasa inggris disebut Britain (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu melakukan peperangan dengan pihak Hindia Belanda, pasukan-pasukan Britania bahasa inggris (british: orang-orang britain) kemudian mulai menyiapkan rencana pendaratan di Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811[64]

Pada tanggal 4 Agustus 1811, enam puluh kapal Britania muncul didepan kota Batavia dan pada tanggal 26 Agustus 1811 kota tersebut bersama dengan daerah sekitarnya jatuh ke tangan Britania. Gubernur Jendral Jan Willem Janssens kemudian menyingkir ke Semarang di mana prajurit dari Mangkunegara, Yogyakarta dan Surakarta bergabung dengan pasukannya, namun Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles berhasil memukul mundur mereka dan akhirnya Gubernur Jendral Jan Willem Janssens menyerah di sekitar Salatiga pada tanggal 18 September 1811[63] dan menandatangani Kapitulasi Tuntang, kemenangan ini kemudian menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Wakil Gubernur (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.

namun adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang dikenal dengan nama perang jawa Britania-Belanda tidak begitu menguntungkan gerakan perjuangan ini, terbukti dengan ditemuinya kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania pada tanggal 27 Juni 1812 di desa Panongan dan dihukum mati di desa Karangsembung (dahulu merupakan tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.[65][66]

Akhir perang besar Cirebon

Namun demikian, gerakan perjuangan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya setelah Britania di bawah Wakil Gubernur Thomas Stamford Raffles memerintahkan langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat dan agama saja, gerakan perjuangan tersebut ialan gerakan perjuangan tahun 1816 di bawah pimpinan Bagus Jabin dan gerakan perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem. Kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.

Pada tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada Belanda dari Britania setelah berakhirnya perang Napoleon dan Wakil Gubernur Thomas Stamford Raffles meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris.

Pangeran Raja Muhammad Komarudin II dan Nona Delamoor

Pada tahun 1800-an atau pada masa pemerintah Sultan Anom VI Muhammad Komarudin I Belanda mengangkat residen Cirebon yang baru bernama Jean Guillaume Landre[29] yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama Tuan Delamoor, Jean Guillaume Landre yang dipercaya sebagai warga Belanda keturunan Perancis sewaktu menjabat residen di Cirebon membawa juga anak perempuannya yang masih muda yang oleh masyarakat cirebon dikenal dengan nama Nona Delamoor. pada saat melakukan pertemuan kenegaraan dan pertemuan resmi yang dilakukan di kediaman residen cirebon, Sultan Anom VI Muhammad Komarudin I juga membawa putera tertuanya sekaligus putera mahkotanya yang pada masa itu disebut Pangeran Raja, kemudian karena sering bertemu pada acara-acara kenegaraan dan pertemuan resmi, maka antara Pangeran Raja dan nona Delamoor saling jatuh cinta, hingga akhirnya nona Delamoor dikabarkan hamil di luar nikah dan mengandung anak dari Pangeran Raja, karena takut akan ketahuan oleh ayahnya, nona Delamoor kemudian menutup-nutupi kehamilannya, kemungkinan karena kelahiran sang bayi yang tidak sempurna maka bayi ini meninggal, bayi kemudian dibungkus dengan pakaian yang serba indah dan berharga, dimasukan ke sebuah kandaga untuk kemudian dilarung ke laut.

Kandaga berisi bayi yang telah meninggal tersebut kemudian ditemukan oleh nelayan, melihat bungkus pakaiannya yang serba indah dan berharga para nelayan menganggap bahwa bayi yang telah meninggal tersebut adalah milik orang yang dikeramatkan atau orang penting, kemudian bayi tersebut dikuburkan secara khidmat di dekat mercusuar cirebon, kurang lebih jaraknya 25 meter ke arah selatan.

Perubahan fisik nona Delamoor yang terlihat pucat dan sikapnya yang selalu berdiam diri membuat ayahnya Jean Guillaume Landre (tuan Delamoor) menanyakan keadaannya, kemudian nona Delamoor menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada ayahnya, mendengar peristiwa-peristiwa yang menimpa puterinya, Jean Guillaume Landre segera memerintahkan polisi dan militer Belanda untuk menangkap dan memenjarakan Pangeran Raja, tetapi hal tersebut ditangguhkan karena takut bahwa Cirebon akan melakukan pemberontakan, tetapi jika Pangeran Raja ditahan maka masyarakat luas akan mengetahui peristiwa tersebut. kemudian Jean Guillaume Landre mencari akal untuk menyeleseikan masalah ini dan Pernikahan antara Pangeran Raja yang kemudian naik tahta sebagai Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II dengan nona Delamoor pun dilakukan sebagai bentuk penyeleseian, setelah pernikahan nona Delamoor mendapatkan gelar Ratu Sengkaratna.

Tak lama setelah pernikahan nona Delamoor memberikan Pangeran Raja (yang sudah naik tahta menjadi Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II seorang putera yang diberi nama Pangeran Anta dan bergelar Pangeran Raja Carbon, Pangeran Anta dikatakan memiliki tekstur wajah yang mirip dengan ibunya yang berketurunan Perancis serta kulitnya pun putih. Ratu Sengkaratna dikenal sebagai istri raja yang memperkenalkan dansa dan hal yang berbau asing kedalam keraton Kanoman, beberapa pihak tidak menyukai hal ini.

Selang beberapa bulan dari kelahiran Pangeran Anta yang keturunan Perancis tersebut, Permaisuri Raja (perempuan berdarah bangsawan yang dinikahi raja) yaitu Ratu Raja Apsari juga melahirkan seorang putera yang kemudian diberi nama Pangeran Raja Dzulkarnaen, oleh para kerabat Kanoman, Pangeran Raja Dzulkarnaen dididik pelajaran keperwiraan untuk dipersiapkan sebagai pengganti ayahnya, dikarenakan menurut para kerabat yang mendukungnya, dia lebih pantas karena merupakan seorang putera yang dilahirkan dari Permaisuri Raja (perempuan berdarah bangsawan yang dinikahi raja) sementara Pangeran Anta dilahirkan dari nona Delamoor atau Ratu Sengkaratna yang bukan berdarah bangsawan, kemudian para pendukung Pangeran dzulkarnaen menghimpun kekuatan dari masyarakat untuk mendukung Pangeran Dzulkarnaen sebagai pewaris tahta ayahnya yang sah. Semakin dewasa, di antara Pangeran Anta dan Pangeran Dzulkarnaen terdapat sebuah pertentangan dan ketegangan yang serius diakibatkan oleh pendidikan yang diterima keduanya dari para pendukungnya yang menyatakan bahwa yang satu lebih berhak atas tahta ayahnya dibanding yang lain. Setelah Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II meninggal dunia pada 1873, dikarenakan para putra Sultan masih muda maka kekuasaan diwalikan sementara kepada kerabat kesultanan Kanoman yang disebut Kanjeng Gusti Volmaak. Kanjeng Gusti Volmaak yang merupakan kerabat kesultanan memihak Pangeran Raja (PR) Dzulkarnaen untuk naik tahta, maka terjadilah perebutan tahta antara keduanya, melihat perebutan tahta ini melibatkan masyarakat luas, residen Belanda di Cirebon pun meminta bantuan Gubernur Jendral, tetapi Gubernur Jendral menolak ikut campur dan menyarankan agar masalah pewaris tahta diserahkan kepada adat yang berlaku dimasyarakat dan digelar perundingan untuk menyeleseikannya.

Hasil dari perundingan yang dilakukan adalah Pangeran Anta yang bergelar Pangeran Raja Carbon yang merupakan anak dari pasangan Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II dengan nona Delamoor yang bergelar Ratu Sengkaratna mendapatkan hanya warisan kekayaan ayahnya saja, sementara Pangeran Raja Dzulkarnaen yang merupakan putera dari Permaisuri Raja mendapatkan tahta ayahnya dan bergelar Sultan Anom VIII Pangeran Raja Dzulkarnaen.

Dari kekayaan ayahnya, Pangeran Anta membangun sebuah tempat kediaman disebelah barat siti inggil keraton Kanoman dan tinggal di sana hingga dia wafat, dan sekarang tempat tersebut dibangun menjadi kompleks Perguruan Taman Siswa.

Pada tahun 1921, Cirebon diubah statusnya menjadi Gamentee Cheribon dikarenakan banyaknya peziarah yang datang ke makam bayi yang ada di dekat mercusuar dan telah menggangu ketertiban pelabuhan Cirebon, maka oleh pemerintah Gamenteen Cheribon makam tersebut dipindahkan ke jalan Kesambi, Cirebon.

Surat wasiat Sultan Anom XI Pangeran Raja Adipati Muhammad Djalaludin

Sultan Muhammad Djalaludin merupakan Sultan Anom XI, diketahui oleh masyarakat luas bahwa Sultan Anom XI Pangeran Raja Adipati Muhammad Djalaludin (alm) punya seorang anak perempuan dari istri pertamanya yang merupakan seorang Permaisuri Raja dan dibernama Ratu Raja Latifah, dari istri keduanya yang juga seorang Permaisuri dia tidak mendapatkan keturunan, dari Ny Suherni (ibu dari Pangeran Elang Mochamad Saladin) enam anak, dan dari Ratu Raja Sri Mulya (ibu dari Pangeran Raja Muhammad Emirudin) enam anak.

Sebelum meninggal pada tanggal 19 November 2002, Sultan Muhammad Djalaludin membuat sebuah surat wasiat agar putera tertuanya yaitu Pangeran Elang Mochamad Saladin yang merupakan anak dari pasangan Sultan Djalaludin dengan istri ketiganya Hj. Suherni yang berasal dari kalangan rakyat biasa dinobatkan menjadi Sultan Anom XII keraton Kanoman untuk menggantikan dirinya.[67] Hal tersebut dikarenakan hubungannya dengan istri pertamanya yang merupakan seorang permaisuri hanya melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Ratu Raja Latifah .

Munculnya surat wasiat dari Sultan Djalaludin yang menunjuk Saladin sebagai penerus tahtanya, kemudian ditentang oleh beberapa kelompok yang menghendaki Pangeran Raja Muhammad Emiruddin yang merupakan putera kedua Sultan Djalaludin dari istri keempatnya yang merupakan seorang permaisuri yang bernama Ratu Raja Sri Mulya untuk menjadi Sultan. menanggapi hal tersebut, Pangeran Elang Mochamad Saladin berkata,

Emirudin itu saudara saya, umurnya delapan bulan lebih muda dari saya

Pelantikan Pangeran Raja Mochamad Saladin sebagai Sultan Anom XII

Pangeran Raja Mochamad Saladin kemudian dilantik di ruang jinem Keraton Kanoman, Cirebon, Rabu malam tanggal 5 Maret 2003 sekitar pukul 20:30 WIB. Pelantikan itu mendahului rencana kubu Pangeran Muhammad Emirudin yang sudah menyebar undangan, untuk Jumenengan Pangeran Emirudin menjadi Sultan ke XII menggantikan Sultan Anom XI Hj Muhammad Djalaludin, yang rencanannya dilakukan Kamis siang tanggal 6 Maret 2013. Undangan Jumenengan Emirudin sudah disebar ke beberapa instansi dan media massa.[68]

Proses penobatan Elang Muhammad Saladin, dilakukan oleh Pangeran Komisi, yakni Pangeran Amaludin (adik Elang Muhamad Saladin). Hadir dalam acara pelantikan Pangeran Hidayat Purbaningrat, Ketua DPRD Kota Cirebon H Suryana, Wakil Ketua DPRD Ir H Haries Sutamin, Ibunda serta adik-adik Saladin, upacara pelantikan berlangsung selama sekitar 10 menit, berjalan khidmat dan diakhiri dengan pembacaan doa demi keselamatan keluarga besar Keraton Kanoman.

Sementara itu, suasana di luar ruang jinem tampak hening, hanya beberapa orang saja yang terlihat secara samar di tengah temaram sorot lampu yang tidak terlalu terang di sekitar keraton. Padahal, di luar keraton, beberapa orang terlihat memasang umbul-umbul sebagai persiapan untuk dilakukannya penobatan terhadap Pangeran Raja Emirudin yang sedianya dilakukan hari Kamis 6 Maret 2013 pukul 14.00 WIB.

Usai pelantikan, Hj. Ratu Mawar Kartina, S.H., M.H. yang selama ini bertindak sebagai juru bicara keraton didampingi Pangeran Hidayat Purbaningrat mengatakan,

pelantikan tersebut dilaksanakan untuk menjalankan wasiat almarhum Sultan Kanoman XI. "Apa pun hambatan yang akan dihadapi,"

Menurut Ratu Mawar, penobatan Pangeran Elang Mochamad Saladin sebagai Sultan Anom XII pada awalnya akan dilakukan pada akhir bulan Maret 2003, tetapi hal itu harus dipercepat, hal tersebut terpaksa dilakukan, karena ada indikasi upaya untuk menggagalkan wasiat yang sudah diputuskan ayahandanya.[69]

Indikasinya menurut Ratu Mawar, sudah terlihat sejak surat wasiat itu dibuka, tepatnya 40 hari setelah wafatnya Sultan XI HM Djalaludin. Di ruang Jinem, Ketua DPRD Kota Cirebon H. Suryana yang didaulat membacakan sambutan mengatakan,

wasiat almarhum Sultan Kanoman XI HM Djalaludin mesti ditaati, sebab wasiat tersebut adalah titah sultan yang tidak boleh ditentang isinya, dan siapa pun yang ditunjuk menjadi sultan, tanpa melihat keturunan dari istri yang mana.

H. Suryana berharap, keluarga besar Keraton Kanoman bisa bersama-sama menjaga keutuhan keraton dengan cara saling memahami satu sama lain.

Pelantikan Tidak Sah Pangeran Muhammad Emirudin sebagai Sultan Anom XII

Pelantikan Pangeran Raja Muhammad Emirudin pada hari Kamis 6 Maret 2003 diwarnai kericuhan, kericuhan diawali dengan datangnya Hj. Ratu Mawar Kartina, S.H., M.H. (adik Sultan Saladin). Dia membacakan maklumat bahwa penobatan Emirudin tidak sah dan menentang wasiat serta titah dari mendiang Sultan Kanoman XI. Setelah itu Ratu Mawar merebut tombak dari salah satu punggawa dan melemparkannya ke aparat keamanan.

Usai acara penobatan, sekelompok orang dari kubu Emirudin menghadang mobil yang ditumpangi Ratu Mawar. Dengan emosi mereka memukul-mukul mobil tersebut sehingga kaca belakang rusak. Mereka mengecam aksi Ratu Mawar.

Pihak Sultan Emirudin sendiri mengklaim bahwa penobatannya didukung oleh 247 kerabat keraton lainnya. Dalam maklumat yang ditandatangani tiga sesepuh, Pangeran Redman Hakim, Pangeran Agus Djoni, dan Elang Machmudin tercantum bahwa demi menjunjung tinggi adat dan tradisi Keraton Kanoman maka ke-247 kerabat Keraton memilih Pangeran Emirudin sebagai Sultan Kanoman XII pengganti Sultan Kanoman XI.[70]

Alasan utama maklumat tersebut adalah hukum adat istiadat dan tradisi yang menyebutkan Sultan Kanoman adalah putra pertama dari garwa ratu atau darah biru. Pangeran Redman Hakim, Pangeran Pangeran Agus Djoni, dan Elang Machmudin mengatakan'

Oleh karena itu, penunjukan Saladin sebagai pengganti almarhum Djalaludin dalam surat wasiat yang ditinggalkan almarhum sangat bertentangan dengan adat dan tradisi, karena yang bersangkutan dari garwa ampean atau selir. Untuk itu secara otomatis segala hal yang menyimpang dianggap tidak ada da tidak berlaku,

Ratu Mawar Kartina dan pelantikan Pangeran Raja Luqman Zulkaedin

Pada tanggal 30 Agustus 2020 bertepatan dengan acara pelantikan Pangeran Raja Luqman Zulkaedin oleh para pendukungnya, Hj. Ratu Mawar Kartina, S.H., M.H. yang merupakan putri dari almarhum Sultan Anom Djalaluddin dari kesultanan Kanoman meneriakan penolakannya di bangsal Prabayaksa kesultanan Kasepuhan,[71] baginya proses Jumenengan (bahasa Indonesia : naik tahta) Pangeran Luqman Zulkaedin tidak sah karena yang bersangkutan bukanlah keturunan langsung Sunan Gunung Jati. Menurut Hj. Ratu Mawar Kartina, S.H., M.H. penolakan terhadap Luqman Zulkaedin tidak hanya dilakukan oleh keturunan Sunan Gunung Jati namun juga oleh sejumlah ulama dan pondok pesantren[72]

Keluarga Kesultanan Cirebon menolak penobatan Luqman sebagai Sultan Sepuh XV, lantaran bukan nasab atau keturunan langsung dari Sunan Gunung Jati.[72]

Pengadilan Kerta

Pada proses pengadilan kerta melalui institusi jaksa pepitu, kesultanan Kanoman diwakili oleh dua orang jaksa[73]

Kasus klaim persawahan antara Kanci dengan Japura

Pada tahun 1710, Sultan Sepuh Tajularipin Djamaluddin atas nama masyarakat desa Japura melakukan klaim terhadap lahan persawahan yang terletak diantara desa Japura dengan desa Kanci yang merupakan desa dibawah kekuasaan kesultanan Kanoman.[1] Bentrokan bersenjata berkaitan dengan permasalahan tersebut hampir terjadi, dalam sidang perdana, institusi peradilan Cirebon yaitu Jaksa Pepitu menolak menerima kasus tersebut[1] dikarenakan tidak ada cukup bukti untuk mendukung klaim yang diajukan oleh Sultan Sepuh yang mewakili masyarakat Japura, dengan yakin para jaksa mengetahui para saksi yang akan dipanggil untuk mendukung klaim Japura yang dibuat oleh Sultan Sepuh, tiga dari empat saksi yang diajukan oleh Sultan Sepuh tidak dapat diterima kesaksiannya karena mereka bersaksi atas nama majikan mereka, sebagai akibatnya, nanti para Jaksa memiliki tugas yang mustahil untuk membujuk pihak yang kalah menerima hasil keputusan dikarenakan adanya bukti yang tidak sah[1]

Komposisi jaksa pada peradilan di Cirebon setelah disahkannya Pangeran Adiwijaya (putera kedua Sultan Sepuh Martawijaya) sebagai salah satu penguasa Cirebon dengan gelar Pangeran Arya Cirebon adalah dua orang jaksa mewakili Kanoman, dua orang jaksa mewakili gusti Panembahan, dua orang jaksa mewakili Kasepuhan dan seorang jaksa mewakili pangeran Arya Cirebon[74]

Perintah dari Belanda di Batavia yang memaksa untuk menerima kasus tersebut membuat politisasi dikalangan para jaksa yang semakin besar, dikarenakan penolakan Jaksa Pepitu yang didasarkan kepada kurangnya bukti telah ditolak oleh Belanda maka semakin sedikit alasan para jaksa tersebut untuk tidak mendukung kepentingan dari atasan mereka masing-masing yang merupakan para penguasa Cirebon, hal ini menyebabkan kebuntuan peradilan dikarenakan para jaksa yang mewakili keluarga Sepuh (termasuk didalamnya seorang jaksa yang mewakili pangeran Arya Cirebon yang merupakan anak kedua Sultan Sepuh Martawijaya) kontra terhadap dua orang jaksa yang mewakili keluarga Kanoman, padahal sudah jelas bahwa ada bias dalam kesaksian dan kurangnya bukti yang diajukan oleh Sultan Sepuh pada saat itu. Hal ini menyebabkan Pangeran Raja Depati Kusuma Agung yang merupakan wakil penguasa kesultanan Kanoman dan masyarakat Kanci merasa bahwa keputusan yang dihasilkan oleh institusi Jaksa Pepitu tersebut tidak sah dan tidak mengikat.[1]

Pada akhirnya masalah ini kemudian diseleseikan dengan perintah langsung dari Batavia pada tahun 1711 yang memutuskan bahwa suara mayoritas harus dijalankan, hal ini menyebabkan pada gilirannya keputusan tersebut dapat diterima oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung. Batavia yang memaksakan penerimaan pengadilan mengakibatkan keputusan itu harus diberlakukan walaupun pada prosesnya merusak wewenang Jaksa Pepitu dalam memutuskan penerimaan sebuah kasus[1]

Kasus mantri Anom Surya Dita

Pada tahun 1715, Pangeran Arya Cirebon telah mengambil Surya Dita yang merupakan seorang mantan mantri di kesultanan Kanoman untuk menjadi bawahannya, peraturan yang dipakai oleh Pangeran Arya Cirebon ialah peraturan berkenaan dengan sentana (keluarga kesultanan) yang diperbolehkan untuk berpindah dukungan ke penguasa yang lainnya dengan kemauannya sendiri.[1]

Permasalahan kemudian mengemuka berkenaan dengan lahan persawahan yang dimiliki oleh Surya Dita, haruskah lahan tersebut ikut berpindah ke Pangeran Arya Cirebon atau tetap dibawah kontrol kesultanan Kanoman yang pada masa itu diwakilkan oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung. Pada persidangan Jaksa Pepitu pada tahun 1717 para jaksa tidak memiliki suara bulat dalam menentukan hasil persidangan, terlebih ketika jaksa yang mewakili Sultan Sepuh menemukan bahwa hasil suara mayoritas tersebut pada keputusannya memiliki unsur yang bertentangan dengan hukum yang berlaku sehingga keputusan tersebut dapat dikatakan tidak sah.

Residen Cirebon pada masa itu mendesak agar dicarikan segera solusi atas permasalahan tersebut, kemiripan dengan kasus Japura dengan Kanci pada tahun 1710-1711 terlihat jelas. Para jaksa terlihat bingung dalam menjawab desakan residen Cirebon atas solusi dan menghindari penolakan dari pihak yang kalah seandainya solusi yang ditawarkan berbeda dengan hukum dan kebiasaan yang berlaku, mengingat kebalikan dari pendirian para pangeran dari keluarga Sepuh pada kebulatan suara keputusan jaksa, tampak jelas bahwa prinsip-prinsip hukum tradisional digunakan sebagai alasan yang tepat bagi para pangeran untuk mengejar kepentingan ekonomi.[1]

Pada akhirnya dicapailah sebuah solusi bahwa Surya Dita diperbolehkan berpindah menjadi bawahan Pangeran Arya Cirebon namun lahan persawahan yang dimilikinya tetap berada pada kuasa kesultanan Kanoman[1]

Silsilah

  • Sultan Anom Muhammad Badrudin Kartawijaya
  • Pangeran Depati Halal Rudin (Pangeran Depati Cirebon Halirudin[37] Pangeran Raja Mandurareja[38] Muhammad Qadirudin)
  • Perwalian oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung (menjadi wali hingga Alimuddin dewasa)[38]
  • Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Muhammad Alimudin
  • Perwalian oleh Tumenggung Bahumadenda (menjadi wali untuk Sultan Anom Chaeruddin yang masih kanak-kanak)[38]
  • Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Sultan Muhammad Chaeruddin
  • Sultan Anom Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Imammudin)
  • Sultan Anom Muhammad Kamaroedin I
  • Sultan Anom Muhammad Kamaroedin II
  • Perwalian oleh Pangeran Raja Kaprabon (penyeleseian masalah waris antara Pangeran Anta dengan Pangeran Raja Dzulkarnaen)
  • Sultan Anom Pangeran Raja Muhammad Dzulkarnaen
  • Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Muhammad Nurbuat Purbaningrat
  • Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Muhammad Nurus
  • Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Muhammad Jalalludin
  • Sultan Anom Pangeran Raja Mochamad Saladin (Sultan Yang Menjabat Sekarang)
  • Pangeran Raja Mochammad Badarudin (Putra Mahkota)

Pranala luar

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
  2. ^ Wildan, Dadan. 2003. Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta : Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung : Humaniora Utama Press
  3. ^ a b c Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka Jaya
  4. ^ a b Lubis, Nina. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint Jatinangor.
  5. ^ a b c de Graaf, Hermanus Johannes. 1987. Runtuhnya istana Mataram. Bogor : Grafiti Pers
  6. ^ a b c d e f g h i Deviani, Firlianna Tiya. 2016. Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M). Cirebon : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
  7. ^ Sunardjo, R. H. Unang . 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon : kajian dari aspek politik dan pemerintahan. Cirebon : Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon
  8. ^ Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian seorang wartawan. Serang : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten
  9. ^ Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati
  10. ^ a b c d e Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  11. ^ de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java: verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal archief, Volume 4. s Gravenhague The Hague : Martinus Nijhoff
  12. ^ a b c d Heniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein 1636-1691 and Hortus, Malabaricus. Abingdon-on-Thames : Routledge
  13. ^ Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Penerbit Saudara
  14. ^ a b Molsbergen, Everhardus Cornelis Godee. 1931. Uit Cheribon's geschiedenis en Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. Bandung : Nix
  15. ^ a b Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia
  16. ^ Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia
  17. ^ a b van der Chijs, Jacobus Anne. 1882. Slands Archief Batavia 1602-1816). Batavia : Batavia Landsdrukkerij
  18. ^ a b c Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  19. ^ a b c d e al Anwari, Rifcky Mohammad. Pasang Surut Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kolonial Abad 17 - 19 Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Di Cirebon. Cirebon : Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati
  20. ^ a b c d e f g h i j k Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
  21. ^ a b c Hoadley, Mason. 1996. The Village Concept in the Transformation of Rural Southeast Asia. Hove : Psychology Press
  22. ^ de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers
  23. ^ a b c d "Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. [[kota Bandung|Bandung]]: Universitas Pendidikan Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-25. Diakses tanggal 2016-06-04. 
  24. ^ Ball, John Preston, 1982. Legal History 1608 - 1848. Sydney: Oughtershaw Press
  25. ^ a b Poesponegoro , Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam Di Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
  26. ^ a b c d Irianto, Bambang, Dyah Komala Laksmiwati. 2014. Baluarti Keraton Kacirebonan. Yogyakarta: Deepublish
  27. ^ Tim Arsip Nasional Republik Indonesia. 2013. Arsip Nasional - Surat Surat Diplomatik 1625-1812. Diarsipkan 2022-04-12 di Wayback Machine.Jakarta Arsip Nasional Republik Indonesia
  28. ^ a b P.S. Sulendraningrat. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
  29. ^ a b c Bochari, Muhammad Sanggupri. Wiwi Kuswiah. 2001. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
  30. ^ "Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Sejarah Keraton Kaprabonan, Cirebon". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-23. Diakses tanggal 2014-12-02. 
  31. ^ "De VOCsite : handelsposten; Cheribon". www.vocsite.nl. Diakses tanggal 2021-01-16. 
  32. ^ a b Mangintrk, Timothy Seta. 2016. Parahiyangan Guardian: Pengembangan Aplikasi Game Untuk Pembelajaran Interaktif Menggunakan Aksara Bahasa Sunda Berbasis Desktop. Bandung: Universitas Widyatama
  33. ^ Mujidiningrat, Raden Dulur Anom Rahadyan Ikhsanurud Daudi Akbar Guratpanuratrahsa Ahmad Elwangsih. 2018. Aksara Rikasara: Sebuah Peradaban yang Hilang. Cirebon: Desa Adat Gamel-Sarabahu
  34. ^ a b c d e Hoadley, Mason. 1988. Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing Ethnic Boundaries Ann Arbor : Journal of Asian Studies
  35. ^ Tarupay, Heri Kusuma. 2020. Gagaklodra Makassar Detektif Nasionalisme Njoo Cheong Seng. Sleman : Sanata Dharma University Press
  36. ^ a b c Brandes, Jan Laurens Andries. 1911. Babad Tjerbon en Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen, Volume 59. Hague : Martinus Nijhoff
  37. ^ a b c d e f g h Lasmiyati. 2013. Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya). Bandung : Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "lasmiyatianom" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  38. ^ a b Hazmirullah. Titin Nurhayati Ma’mun, Undang A. Darsa. 2017. Jumantara : Surat Pengunduran Diri Sultan Sepuh VII Cirebon: Suatu Kajian Filologis. Jakarta Perpustakaan Nasional
  39. ^ "Akademi Angkatan Udara - Kesultanan Cirebon" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-12-06. Diakses tanggal 2014-12-02. 
  40. ^ Prahadiyanti, Elvin Rizki. 2018. Keraton Kacirebonan, Saksi Bisu Peperangan dengan Belanda. Bandung: Pikiran Rakyat
  41. ^ Suyono, Raden Panji. 2003. Peperangan kerajaan di Nusantara: penelusuran kepustakaan sejarah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
  42. ^ a b Cribb, Robert. 2000. Historical Atlas of Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press
  43. ^ "Noer, Noerdin. 2015. Dongeng dari Negeri Kanoman (bagian 2). [[kota Cirebon|Cirebon]]: Cirebon Trust". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-30. Diakses tanggal 2019-04-11. 
  44. ^ "Rosyidi, Abdul. 2014. Perang Kedongdong Gerakan Perlawanan Rakyat Cirebon 1818. [[Cirebon]]: Fajar Muda". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-19. Diakses tanggal 2019-04-11. 
  45. ^ a b Pudjiastuti, Titik. 2014. Kajian Kodikologis atas Surat Sultan Kanoman, Cirebon (COD. OR. 2241 ILLB 17 (No. 80)). Depok: Universitas Indonesia
  46. ^ a b c d e Zaini-Lajoubert, Monique. 2008. Karya lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri: Bayan al-asmaʼ, Hikayat Mareskalek, Arsy al-muluk, Cerita Siam, Hikayat tanah Bali. Jakarta: Gramedia
  47. ^ a b Tim Dinas Museum dan Pemugaran, Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta. 2000. Bangunan Cagar Budaya Di Propinsi DKI Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran, Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta
  48. ^ Diehl, Katharine Smith. 1990. Printers and Printing in the East Indies to 1850: Batavia. New Rochelle: Aristide D. Cararzas
  49. ^ Ekadjati, Edi Suhardi. 1976. Sejarah jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  50. ^ Stapel, Frederik Willem. 1940. Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V. Batavia.
  51. ^ a b Paramita R. Abdurachman, 1982, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan
  52. ^ Haryanti, Rosiana. 2019. Onrust, Pulau Pengasingan yang Jadi Rebutan Inggris dan Belanda. Jakarta: Kompas
  53. ^ Suryawan. 2014. Srabad Dalam Seni Rupa Tradisi Cirebon. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta
  54. ^ Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
  55. ^ Lubis, Nina Herlina. 2003. Sejarah Tatar Sunda, Volume 1 Bandung: Satya Historika
  56. ^ Carey, Peter (P.B.R) 1980. The Archive of Yogyakarta: an edition of Javanese reports, letters, and land grants from the Yogyakarta court dated between A.J. 1698 and A.J. 1740 (1772-1813) taken from materials in the British Library and the India Office Library (London). Oxford: Oxford University Press
  57. ^ Carey, Peter. 2013. Daendels and the Sacred Space of Java, 1808-1811: Political Relations, Uniforms and the Postweg. Nijmegen: Vantilt
  58. ^ a b Komandoko, Gamal. 2010. Ensiklopedia Pelajar dan Umum. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
  59. ^ Sunardjo, Unang. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon: 1479 - 1809. Bandung: Tarsito
  60. ^ Rosidi, Ajip. Dkk. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi). Jakarta: Pustaka Jaya
  61. ^ a b c Hazmirullah. 2016. Surat Balasan Sultan Sepuh VII Cirebon Untuk Raffles : Kajian Strukturalisme Genetik. Sumedang : Universitas Padjajaran
  62. ^ a b Ricklefs, Merle Calvin. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta : Penerbit Serambi
  63. ^ Marihandono, Djoko. 2006. Nilai Strategis Malaka Dalam Konstelasi Politik Asia Tenggara Awal Abad XIX Studi Kasus tentang Strategi Maritim. Makassar : Seminar Internasional Universitas Hasanuddin dan Universiti Kerajaan Malsaysia
  64. ^ Hasyim, R.A Opan Safari. Perjuangan Ki Bagus Rangin Menentang Kolonial Belanda 1805 - 1808 (menurut sumber-sumber tradisional). Cirebon.
  65. ^ Sobana, Hardjosaputra. Haris Tawaludin. 2011. Cirebon Dalam Lima Zaman. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat
  66. ^ "2003 - Jakarta Post - Cirebon to Crown New Sultan this Month". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-12-05. Diakses tanggal 2014-12-02. 
  67. ^ "2003 - CBN News - Kemelut Kanoman Cirebon: Periksa Surat Wasiat oleh Puslabfor". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2021-05-09. 
  68. ^ 2003 - Gatra - Elang Saladin, Diam-diam Jadi Sultan Kanoman XII[pranala nonaktif permanen]
  69. ^ "2003 - Tempo - Kericuhan Warnai Penobatan Pangeran Emirudin". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-12-05. Diakses tanggal 2014-12-02. 
  70. ^ Baehaqi, Ahmad Imam. 2020. Ratu Mawar Berteriak di Tengah-tengah Penobatan PRA Luqman Zulkaedin Menjadi Sultan Sepuh XV. Bandung : Tribun Cirebon
  71. ^ a b Baihaqi, Hakim, 2020. Keluarga Kesultanan Cirebon Tolak Penobatan PRA Luqman sebagai Sultan Sepuh. Jakarta : Bisnis.com
  72. ^ Viswandro, Maria Matilda, Bayu Saputra. 2018. Mengenal Profesi Penegak Hukum. Bantul : Media Presindo
  73. ^ Effendy Marwan. 2005. Kejaksaan RI: posisi dan fungsinya dari perspektif hukum. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Kembali kehalaman sebelumnya