Gereja
Gereja adalah istilah eklesiologis yang digunakan berbagai denominasi Kristen untuk menyifatkan badan persekutuan umat Kristen yang sejati atau lembaga asali yang diasaskan Yesus.[1][2][3] Istilah "Gereja" juga digunakan di ranah keilmuan sebagai muradif Kekristenan, sekalipun pada kenyataannya Kekristenan terdiri atas banyak Gereja atau denominasi, dan banyak di antaranya yang mendaku sebagai "satu-satunya Gereja yang sejati" dengan meliyankan yang lain.[4][5][6] Bagi banyak orang Kristen Protestan, Gereja mengandung dua unsur, yakni kasatmata dan tak kasatmata. Gereja yang kasatmata adalah lembaga-lembaga tempat "Firman Allah secara murni diwartakan maupun disimak, dan sakramen-sakramen dilayankan menurut ketetapan Kristus", sementara Gereja yang tak kasatmata adalah segenap orang "yang sungguh-sungguh diselamatkan" (dan menjadi warga Gereja yang kasatmata).[7][2][8] Di dalam lingkup pemahaman akan Gereja yang tak kasatmata ini, "Gereja" (atau Gereja yang am) tidak merujuk kepada suatu denominasi Kristen tertentu, tetapi mencakup semua orang pribadi yang sudah diselamatkan.[2] Menurut teori cabang, yang digadang-gadangkan di kalangan Anglikan, Gereja-Gereja pelestari suksesi apostolik adalah bagian dari Gereja yang sejati.[9] Teori ini bertentangan dengan sikap menyematkan label "satu-satunya Gereja yang sejati" pada suatu lembaga nyata Kristen tertentu, yakni sikap eklesiologis yang dianut Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Asyur dan Gereja Purba di Timur.[1][10][3] Di dalam Alkitab bahasa Indonesia, kata "jemaat" digunakan sebagai padanan untuk kata Yunani "eklesia" (ἐκκλησία), yang makna umumnya adalah "sidang jemaat" atau "jemaah".[11] Kata "eklesia" muncul di dalam 2 ayat Injil Matius, 24 ayat Kisah Para Rasul, 58 ayat surat-surat Paulus (termasuk contoh-contoh terawal dari penggunaannya untuk merujuk kepada suatu badan persekutuan umat Kristen), 2 ayat Surat kepada Orang Ibrani, 1 ayat Surat Yakobus, 3 ayat Surat Yohanes III, dan 19 ayat Kitab Wahyu. Jumlah total kemunculan kata "eklesia" di dalam Perjanjian Baru adalah 114 kali, kendati tidak selalu dipakai secara teknis untuk merujuk kepada Gereja.[12] Dengan demikian, eklesia dipakai sebagai sebutan bagi komunitas-komunitas lokal maupun sebagai sebutan yang bermakna semesta bagi segenap umat beriman.[13] Istilah "Kekristenan" (bahasa Yunani: Χριστιανισμός, Kristianismos) tercatat pertama kali digunakan sekitar tahun 100 Masehi oleh Ignasius, Uskup Antiokhia.[14] Empat Ciri Gereja pertama kali mengemuka di dalam Syahadat Nikea tahun 381 yang menegaskan bahwa Gereja itu satu, kudus, katolik (am), dan apostolik (rasuli).[15] EtimologiKata Yunani "eklēsia Diarsipkan 2021-05-09 di Wayback Machine.", secara harfiah berarti "yang dipanggil keluar" atau "yang dipanggil maju ke depan", dan lazimnya digunakan untuk menyifatkan sekelompok orang yang dipanggil berhimpun untuk melakukan sesuatu, teristimewa untuk menyifatkan rapat warga sebuah kota, misalnya di dalam nas Kisah Para Rasul 19:32–41. Kata ini adalah istilah Perjanjian Baru yang merujuk kepada Gereja (baik dalam arti jemaat lokal maupun dalam arti segenap umat beriman). Di dalam Septuaginta, kata "eklesia" digunakan sebagai padanan untuk kata Ibrani "qahal" (קהל). Sebagian besar bahasa rumpun Romawi dan rumpun Kelt menggunakan aneka ragam turunan dari kata ini, baik yang diwarisi maupun yang dipinjam dari bentuk Latinnya, ecclesia. Salah satu contohnya adalah kata "igreja" dalam bahasa Portugis, yang diserap menjadi kata "gereja" dalam bahasa Indonesia.[16] SejarahGereja mula-mula terbentuk di Yudea, negeri jajahan Romawi, pada abad pertama tarikh Masehi, berlandaskan ajaran-ajaran Yesus orang Nazaret, yang pertama kali menghimpun murid. Murid-murid inilah yang kemudian hari disebut "umat Kristen". Menurut Injil, Yesus mengamanatkan kepada mereka agar menyebarluaskan ajaran-ajarannya ke seluruh dunia. Bagi sebagian besar umat Kristen, hari Pentakosta (peristiwa yang terjadi sesudah Yesus naik ke surga) adalah hari jadi Gereja,[17][18][19] ditandai turunnya Roh Kudus ke atas murid-murid Yesus yang sedang berkumpul (Kisah Para Rasul 2).[20] Kepemimpinan Gereja berawal dari para rasul. Karena terlahir dari lingkungan Yahudi zaman Haikal ke-2, sejak awal sejarah Kekristenan, umat Kristen menerima orang-orang non-Yahudi (bangsa-bangsa lain) tanpa mewajibkan mereka untuk menerima dan mengamalkan seluruh adat-istiadat Yahudi, misalnya adat khitanan (Kisah Para Rasul 10–15).[21] Dalam agama Yahudi, orang-orang semacam itu disebut proselit, orang-orang yang takut akan Allah, dan pengamal syariat Nuh. Beberapa pihak menduga bahwa konflik dengan para pemuka agama Yahudilah yang dalam waktu singkat mengakibatkan umat Kristen terusir dari rumah-rumah ibadat Yahudi di Yerusalem.[22] Sedikit demi sedikit Gereja menyebar ke seluruh dan ke luar wilayah Kekaisaran Romawi, bahkan tumbuh pesat di kota-kota semisal Yerusalem, Antiokhia, dan Edesa.[23][24][25] Gereja dianiaya pemerintah Romawi lantaran umat Kristen menolak mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi Romawi dan menentang penuhanan kaisar.[26] Gereja akhirnya dilegalisasi di Kekaisaran Romawi, bahkan dinaikkan statusnya menjadi Gereja Negara Kekaisaran Romawi pada abad ke-4 oleh Kaisar Konstantinus Agung dan Kaisar Teodosius I. Sedari abad ke-2, umat Kristen sudah menyanggah ajaran-ajaran yang mereka anggap bidat, khususnya ajaran Gnostik dan juga ajaran Montanus. Ignasius dari Antiokhia pada awal abad ke-2, dan Ireneus pada akhir abad yang sama memandang persatuan dengan uskup sebagai uji iman Kristen yang benar. Sesudah Gereja dilegalisasi pada abad ke-4, perdebatan ajaran Arius dengan ajaran Tritunggal menjadi kontroversi besar, manakala para kaisar silih berganti menunjukkan keberpihakan kepada salah satunya.[27][28] Peristilahan Kristen purbaDengan menggunakan kata eklēsia, umat Kristen perdana memanfaatkan suatu istilah yang memang merujuk kepada sidang-sidang negara kota Yunani yang hanya boleh dihadiri warganya, tetapi secara tradisional dipakai orang-orang Yahudi penutur bahasa Yunani sebagai sebutan untuk Israel, umat Allah,[29] sekaligus suatu istilah yang digunakan di dalam Septuaginta dengan makna pertemuan orang-orang yang berhimpun demi alasan-alasan keagamaan, seringkali untuk beribadat; dalam hal ini, eklesia dipakai sebagai padanan kata Ibrani "qahal" (קהל), yang juga dipadankan dengan kata Yunani "synagōgē" (συναγωγή), sehingga kedua kata Yunani itu dianggap kurang-lebih sinonim sampai kemudian hari dibedakan dengan lebih jelas oleh umat Kristen.[30] Istilah eklesia hanya muncul di dalam dua ayat Injil, kedua-keduanya termaktub di dalam Injil Matius.[29] Ketika Yesus bersabda kepada Simon Petrus, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan eklesia-Ku,"[31] kata eklesia berarti komunitas yang dibentuk Kristus, tetapi ketika Yesus bersabda, "jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada eklesia,"[32] kata eklesia berarti komunitas lokal tempat seseorang menjadi anggota. Istilah ini lebih sering muncul di dalam bagian-bagian lain dari Perjanjian Baru, dan sebagaimana di dalam Injil matius, dipakai untuk merujuk kepada suatu komunitas lokal tertentu maupun kepada semua komunitas lokal secara kolektif. Malah ayat-ayat yang tidak menggunakan istilah eklesia sekalipun dapat saja merujuk kepada Gereja dengan menggunakan ungkapan-ungkapan lain, misalnya ayat-ayat di dalam 14 bab pertama dari Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, yang tidak satu kali pun menggunakan kata eklesia tetapi berulang kali menggunakan kata yang masih seakar dengannya, yakni klētoi (κλήτοι), yang berarti "dipanggil".[33] Gereja dapat pula dirujuk melalui gambaran-gambaran yang secara tradisional dipakai di dalam Alkitab untuk merujuk kepada umat Allah, misalnya pemakaian gambaran kebun anggur, teristimewa di dalam Injil Yohanes.[30] Kendati tidak pernah menyifatkan Gereja dengan kata "katolik" maupun "semesta", Perjanjian Baru memang mengindikasikan bahwa komunitas-komunitas lokal secara kolektif merupakan satu Gereja, bahwasanya umat Kristen mestilah berusaha untuk senantiasa sehati sejiwa selaku jemaat Allah, bahwasanya Injil harus diwartakan kepada segala bangsa dan disebarluaskan sampai ke ujung-ujung bumi, bahwasanya Gereja terbuka kepada segala bangsa dan tidak boleh terpecah-belah, dst.[29] Kata "katolik" atau "semesta" tercatat pertama kali digunakan untuk menyifatkan Gereja oleh Ignasius dari Antiokhia sekitar tahun 107 di dalam karya tulisnya, Surat kepada Jemaat di Smirna, bab VIII. "Di mana saja uskup hadir, di situ pula hendaknya umat hadir; sama seperti di mana saja Yesus Kristus hadir, disitu pula Gereja Katolik hadir," demikian tulis Ignasius.[34] Bapa-bapa Gereja semisal Ignasius dari Antiokhia, Ireneus, Tertulianus, dan Siprianus berpandangan bahwa Gereja adalah suatu entitas yang kasatmata, bukan suatu himpunan umat beriman yang tak kasatmata. Kekristenan sebagai agama negara bangsa RomawiKekaisaran Romawi secara resmi mengadopsi Kekristenan berhaluan Nikea menjadi agama negara pada tanggal 27 Februari 380. Sebelum itu, Kaisar Konstantius II dan Kaisar Valens secara pribadi memihak Kekristenan berhaluan Arian atau Semi-Arian, tetapi Kaisar Teodosius I yang memerintah sesudah Valens justru memihak ajaran Atanasius atau doktrin Tritunggal yang terjabarkan di dalam Syahadat Nikea. Pada tanggal 27 Februari 380, Kaisar Teodosius I mempermaklumkan bahwa hanya pemeluk agama Kristen berakidah Tritunggal sajalah yang berhak disebut umat Kristen Katolik, sementara semua pihak berakidah lain harus dianggap sebagai ahli-ahli bidat, dan oleh karena itu merupakan para pelanggar hukum negara.[35] Situasi hukum yang baru ini pertama kali menunjukkan dampaknya pada tahun 385, dalam bentuk penjatuhan pidana mati oleh mahkamah sipil terhadap seorang ahli bidat bernama Priskilianus dan beberapa orang pengikutnya sesudah diputus bersalah melakukan tindak pidana sihir.[36] Dari abad ke abad sesudah Kekristenan berakidah Tritunggal menjadi agama negara, kaum pagan dan umat Kristen yang berakidah menyimpang secara rutin dipersekusi pemerintah Kekaisaran Romawi maupun kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang kemudian hari menggantikannya,[37] kendati beberapa suku Jermani terus memeluk agama Kristen Arian sampai memasuki Abad Pertengahan.[38] Gereja di dalam wilayah Kekaisaran Romawi diorganisasikan di bawah takhta-takhta metropolia. Lima di antaranya dihormati secara istimewa dan menjadi cikal bakal tatanan Pentarki yang digagas Kaisar Yustinianus I. Satu di antara lima takhta metropolia ini berada di kawasan barat Kekaisaran Romawi (Roma), sementara yang lain berada di kawasan timur Kekaisaran Romawi (Konstantinopel, Yerusalem, Antiokhia, dan Aleksandria).[39] Bahkan sesudah Kekaisaran Romawi terpecah pun Gereja tetap merupakan suatu lembaga yang relatif utuh bersatu (di luar dari Gereja-Gereja Ortodoks Oriental dan beberapa golongan umat Kristen yang terpisah dari Gereja negara Kekaisaran Romawi). Gereja menjadi suatu lembaga penentu dan terpusat di Kekaisaran Romawi, khususnya di kawasan timur atau Kekaisaran Romawi Timur, tempat Konstantinopel dipandang sebagai pusat Dunia Kristen, antara lain lantaran kuasa ekonomi dan politik yang dimilikinya.[41][42] Sesudah Kekaisaran Romawi Barat jatuh ke tangan bangsa Jermani pada abad ke-5, Gereja (Roma) selama berabad-abad menjadi tautan utama yang mempertalikan Eropa Barat Abad Pertengahan dengan peradaban bangsa Romawi, dan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Kaisar Romawi Timur di Dunia Barat. Di Dunia Barat, golongan yang disebut "Gereja ortodoks" menghadapi persaingan dengan golongan Kristen Arian maupun persaingan dengan berbagai agama pagan yang dipeluk kepala-kepala suku Jermani, tetapi berjaya melebarkan sayapnya keluar dari bekas wilayah barat Kekaisaran Romawi ke Irlandia, Jerman, Skandinavia, dan negeri bangsa Slav Barat. Di Dunia Timur, Kekristenan disebarluaskan ke negeri-negeri bangsa Slav yang sekarang merupakan wilayah negara Rusia serta kawasan selatan-tengah dan timur Eropa.[43] Masa pemerintahan Karel Agung dipandang istimewa karena mampu menggiring suku-suku besar terakhir di Dunia Barat yang memeluk agama Kristen Arian ke dalam persekutuan dengan Roma, antara lain melalui perang penaklukan dan paksaan beralih keyakinan. Mulai dari abad ke-7, khilafah-khilafah Islam muncul silih berganti dan sedikit demi sedikit menaklukan negeri-negeri Dunia Kristen.[43] Kecuali Afrika Utara dan sebagian besar wilayah Spanyol, kawasan utara dan barat Eropa nyaris tak terdampak ekspansi Islam, lantaran Konstantinopel maupun Kekaisaran Romawi Timur yang lebih makmur masih menjadi sasaran utama penyerbuan kaum Muslim.[44] Meskipun sedikit demi sedikit menggerogoti kekuatan Kekaisaran Romawi Timur, tantangan yang dimunculkan kaum Muslim justru membantu pengentalan jati diri keagamaan umat Kristen Timur.[45] Di bawah daulat Islam sekalipun, Gereja terus bertahan hidup (misalnya umat Kristen Kubti, Kristen Maruniyah, dll) kendati kadang-kadang harus dengan susah payah.[46][47] Skisma Akbar tahun 1054Meskipun sudah lama muncul keretakan antara Uskup Roma (Batrik Gereja Katolik) dan batrik-batrik di Kekaisaran Romawi Timur, peralihan kesetiaan Roma dari Konstantinopel ke Maharaja Karel Agunglah yang menggiring Gereja menuju perpecahan. Keretakan politis maupun teologis terus membesar sampai-sampai Roma dan Dunia Timur saling mengucil pada abad ke-11, sehingga Gereja pun terpecah menjadi Gereja Barat (Katolik) dan Gereja Timur (Ortodoks).[43] Pada tahun 1448, tidak lama sebelum Kekaisaran Romawi Timur tumbang, Gereja Ortodoks Rusia membentuk kepemimpinan sendiri, lepas dari Batrik Konstantinopel.[48] Lantaran kemajuan peradaban kembali menggeliat di Eropa Barat, dan Kekaisaran Romawi Timur berangsur-angsur merosot dirongrong bangsa Arab dan bangsa Turki (diperparah lagi dengan tindakan memerangi umat Kristen Timur), kejatuhan Konstantinopel pada tahun 1453 mendorong para sarjana Dunia Timur untuk hijrah ke Dunia Barat. Pengungsian para sarjana Dunia Timur demi menghindari serbuan kaum Muslim sambil memboyong naskah-naskah kuno ke Dunia Barat merupakan salah satu faktor penggerak bermulanya Abad Pembaharuan Dunia Barat. Roma pun menjadi jantung Kekristenan di mata Gereja Barat.[49] Sejumlah Gereja Timur bahkan keluar dari persekutuan Kristen Ortodoks Timur dan bersatu dengan Roma (Gereja-Gereja Katolik Timur Uniat). Reformasi ProtestanPerubahan-perubahan yang lahir dari Abad Pembaharuan pada akhirnya bermuara pada Reformasi Protestan. Kaum Protestan pengikut Luther maupun pengikut Kalvin, Hus, Zwingli, Melancthon, Knox, dan lain-lain memisahkan diri dari Gereja Katolik. Pada waktu yang sama, serentet sengketa yang tidak bersifat teologis melahirkan Reformasi Inggris, yang bermuara kepada kemandirian Gereja Inggris. Kemudian hari, pada Abad Penjelajahan dan Abad Imperialisme, Eropa Barat menyebarluaskan Gereja Katolik maupun gereja-gereja Protestan ke seluruh dunia, teristimewa di Benua Amerika.[50][51] Segala perkembangan ini pada gilirannya mengangkat Kekristenan menjadi agama terbesar di dunia saat ini.[52] Tradisi KatolikDi dalam doktrinnya Gereja Katolik mengajarkan bahwa dirinyalah Gereja asali yang didirikan Yesus di atas dasar para rasul pada abad pertama tarikh Masehi. Ensiklik Mystici corporis tahun 1943 dari Paus Pius XII, menyingkap eklesiologi dogmatis Gereja Katolik bahwasanya "jika hendak mendefinisikan dan menyifatkan Gereja sejati Yesus Kristus ini, yakni Gereja Roma yang Satu, Kudus, Katolik, Apostolik, maka tidak akan kita dapati ungkapan yang lebih gemilang, yang lebih mulia, maupun yang lebih suci daripada frasa sebutan 'Tubuh Mistik Yesus Kristus'." Lumen gentium, konstitusi dogmatis yang dirumuskan Konsili Vatikan II pada tahun 1964, lebih jauh menandaskan bahwa "satu Gereja Kristus yang dalam syahadat dinyatakan satu, kudus, katolik, dan apostolik, ... yang diasaskan dan ditata di dalam dunia sebagai suatu masyarakat, wujud di dalam Gereja Katolik, yang diselenggarakan oleh pengganti Petrus dan oleh uskup-uskup yang bersatu dengannya."[53][54] Dengan nada yang sama, ensiklik Singulari Quidem dari Paus Pius IX menegaskan bahwa "hanya ada satu Gereja Katolik yang sejati, yang kudus, yakni Gereja Roma yang Apostolik. Hanya ada satu Takhta yang dibangun di atas dasar Petrus dengan sabda Tuhan... Di luar Gereja, tidak seorang pun dapat berharap akan beroleh kehidupan maupun keselamatan kecuali yang dapat dimaafkan dengan alasan ketidaktahuan di luar kendali diri sendiri." Kesusastraan devosional dan keteketis Katolik pun sudah lazim mengedepankan tema "Gereja yang Kudus, Katolik, dan Apostolik adalah satu-satunya kawanan domba, dan Yesus Kristus, Putra Allah, adalah satu-satunya Gembala."[55] Sebuah maklumat[56] yang diterbitkan Dikasterium Ajaran Iman pada tahun 2007 menjelaskan bahwa "makna 'kewujudan' di dalam kalimat tersebut adalah kebertahanan, kesinambungan sejarah, dan keajekan semua unsur yang ditetapkan Kristus di dalam Gereja Katolik, yang di dalamnya Gereja Kristus secara nyata didirikan di muka bumi ini", dan mengakui bahwa rahmat dapat berdaya guna di dalam komunitas-komunitas keagamaan yang terpisah dari Gereja Katolik lantaran komunitas-komunitas tersebut memiliki beberapa "unsur pengudusan dan kebenaran", tetapi menambahkan pula bahwa "bagaimanapun juga, kata 'wujud' hanya dapat dinisbatkan kepada Gereja Katolik semata-mata lantaran kata itu merujuk kepada ciri kesatuan yang kita permaklumkan di dalam syahadat-syahadat (aku percaya... akan Gereja yang 'satu'), dan Gereja yang 'satu' ini wujud di dalam Gereja Katolik." Gereja Katolik mengajarkan bahwa hanya badan-badan persekutuan umat Kristen yang dipimpin para uskup-bertahbisan-sah sajalah yang dapat diakui sebagai "Gereja" dalam arti yang sesungguhnya. Di dalam dokumen-dokumen Katolik, komunitas-komunitas yang tidak dipimpin para uskup-bertahbisan-sah secara resmi disebut komunitas gerejawi. Tradisi Ortodoks TimurTiap-tiap Gereja Ortodoks Timur mendaku sebagai Gereja asali dengan berdalil bahwa mereka masih teguh berpegang kepada tradisi-tradisi dan akidah-akidah Gereja asali. Gereja Ortodoks Timur juga mendaku bahwa empat dari lima takhta Pentarki (tidak termasuk Roma) masih menjadi bagian dari Gereja Ortodoks Timur. Tradisi Ortodoks OrientalGereja-Gereja Ortodoks Oriental mendaku sebagai Gereja asali dengan berdalil bahwa mereka masih teguh berpegang kepada tradisi-tradisi dan akidah-akidah Gereja asali. Mereka tidak pernah menerima teori tentang Sifat Hakikat Allah, yang dirumuskan sesudah perpecahan yang terjadi menyusul Konsili Kalsedon. Tradisi LutheranGereja-gereja Lutheran secara tradisional berpendirian bahwa tradisi Lutheranlah yang merupakan Gereja kasatmata yang sejati.[58] Pengakuan Iman Augsburg yang termaktub di dalam Concordia, kompendium akidah gereja-gereja Lutheran, mengajarkan bahwa "iman yang dinyatakan Luther dan para pengikutnya bukanlah suatu perkara baru, melainkan iman katolik yang sejati, dan bahwasanya gereja-gereja mereka merupakan gereja katolik atau gereja semesta yang sejati".[59] Ketika golongan Lutheran menjelaskan Pengakuan Iman Augsburg kepada Kaisar Karel V pada tahun 1530, mereka yakin sudah "menunjukkan bahwa tiap pasal keimanan dan amalan pertama-tama sudah benar menurut Kitab Suci, dan juga sudah benar menurut ajaran bapa-bapa Gereja maupun konsili-konsili".[59] Bagaimanapun juga, gereja-gereja Lutheran mengajarkan bahwa "memang ada umat Kristen yang sejati di dalam gereja-gereja lain" sebab "denominasi-denominasi lain pun mewartakan Firman Allah, sekalipun bercampur kekeliruan". Karena pemberitaan Firman Allah menghasilkan buah, teologi Lutheran membenarkan pemberian sebutan "gereja" kepada denominasi-denominasi Kristen lainnya.[58] Tradisi AnglikanPada umumnya umat Anglikan memandang tradisi mereka sebagai salah satu cabang dari "Gereja Katolik" yang bersejarah sekaligus sebagai suatu via media (jalan tengah) di antara dua tradisi, yakni di antara tradisi Lutheran dan tradisi Kalvinis, atau di antara tradisi Katolik dan tradisi Protestan.[60] Tradisi KalvinisMenurut teologi Kalvinis, Gereja itu tak kasatmata dan kasatmata. Gereja yang tak kasatmata meliputi keseluruhan orang-orang kudus, sementara Gereja yang kasatmata adalah "lembaga yang disediakan Allah sebagai perwakilan karya penyelamatan, pembenaran, dan pemeliharaan Allah", yang disebut Yohanes Kalvin sebagai "ibunda kita".[61] Pengakuan iman Kalvinis menitikberatkan "ajaran injil yang murni (pura doctrina evangelii) dan pelayanan sakramen-sakramen dengan benar (recta administratio sacramentorum)" sebagai "dua tanda asasi gereja kasatmata yang sejati".[62] Tradisi MetodisUmat Metodis membenarkan keimanan akan "Gereja sejati yang satu, rasuli, dan am", dengan memandang gereja-gereja mereka sebagai "cabang istimewa dari dari gereja sejati tersebut".[64][65] Berkenaan dengan kedudukan aliran Metodis di Dunia Kristen, pelopornya, "John Wesley, pernah mengemukakan bahwa hasil capaian Allah di dalam perkembangan aliran Metodis bukanlah sekadar usaha manusia melainkan karya Allah. Demikianlah aliran Metodis dipelihara Allah selama sejarah masih bergulir."[66] Dengan menyebutnya sebagai "gudang besar" iman Metodis, Wesley secara khusus mengajarkan bahwa penyebarluasan doktrin pengudusan menyeluruh adalah alasan mengapa Allah membangkitkan umat Metodis di muka bumi ini.[67][63] Tradisi InjiliGereja Injili lokal adalah organisasi yang merepresentasikan Gereja semesta, dan dipandang oleh umat Kristen Injili sebagai tubuh Yesus Kristus.[68] Gereja Injili lokal bertanggung jawab atas pengajaran dan ordinansi-ordinansi, terutama baptisan orang percaya dan perjamuan kudus.[69] Banyak gereja menjadi anggota denominasi-denominasi Kristen Injili serta menganut pengakuan iman dan tata tertib bersama, tanpa pandang otonomi gereja yang bersangkutan.[70] Beberapa denominasi menjadi anggota persekutuan gereja tingkat nasional yang bernaung di bawah Aliansi Injili Sedunia.[71] Beberapa denominasi Injili menerapkan tatanan keuskupan (episkopal) atau tatanan kepenatuaan (presbiterial). Meskipun demikian, bentuk penyelenggaraan gereja yang paling umum di dalam tradisi Injili adalah tatanan kejemaatan (kongregasional). Tatanan ini sangat lumrah diterapkan di kalangan gereja-gereja Injili non-denominasi.[72] Jabatan-jabatan pelayanan yang lumrah dijumpai di dalam jemaat-jemaat Injili adalah gembala, penatua, diaken, penginjil, dan pemimpin pujian.[73] Jabatan pelayanan uskup selaku penilik jemaat tingkat daerah atau nasional terdapat di dalam semua denominasi Kristen Injili, sekalipun disebut dengan istilah-istilah lain, misalnya sebutan "ketua sinode" atau "ketua sinode am".[74][75] Perpecahan dan kontroversiDewasa ini ada beraneka ragam kelompok umat Kristen, dengan beraneka ragam doktrin maupun tradisi. Kontroversi-kontroversi di antara berbagai cabang Kekristenan biasanya mencakup perbedaan-perbedaan penting dalam eklesiologi yang dianut masing-masing cabang. Denominasi KristenDi dalam Kekristenan, denominasi merupakan istilah yang umum dipakai untuk menyebut badan keagamaan yang dapat dikenali lewat unsur-unsur seperti nama, struktur, kepemimpinan, atau doktrin bersama. Meskipun demikian, tiap-tiap badan keagamaan tersebut dapat saja menyebut diri dengan menggunakan istilah-istilah lain, misalnya "gereja" atau "persekutuan". Perpecahan yang memisahkan satu kelompok dari kelompok lain berpangkal dari doktrin dan kewenangan gereja. Isu-isu seperti kodrat Yesus, kewibawaan suksesi apostolik, eskatologi, dan keutamaan paus acap kali memisahkan satu denominasi dari denominasi lain. Rumpun-rumpun denominasi yang menganut akidah, amalan, dan keterkaitan sejarah disebut "cabang-cabang Kekristenan". Masing-masing kelompok umat Kristen berbeda-beda taraf pengakuannya terhadap satu sama lain. Beberapa kelompok mendaku sebagai satu-satunya ahli waris langsung dan sejati dari Gereja yang diasaskan Yesus Kristus pada abad pertama tarikh Masehi. Meskipun demikian, kelompok-kelompok lain meyakini denominasionalisme, di mana beberapa atau semua kelompok umat Kristen merupakan jemaat-jemaat yang sah dari satu agama yang sama, tanpa pandang label, akidah, dan amalan yang membeda-bedakan mereka. Lantaran konsep ini, sejumlah badan persekutuan umat Kristen menolak istilah "denominasi" untuk menyifatkan diri mereka, demi mengelak implikasi menyetarakan diri dengan jemaat-jemaat atau denominasi-denominasi lain. Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur percaya bahwa istilah "satu" yang tercantum di dalam syahadat Nikea menyifatkan dan menjelaskan suatu lembaga kasatmata dan kesatuan doktrinal, bukan hanya secara geografis di seluruh dunia, melainkan juga secara historis di sepanjang sejarah. Bagi kedua Gereja ini, kesatuan adalah salah satu dari keempat ciri Gereja sejati yang dijabarkan di dalam syahadat, dan hakikat dari sebuah ciri adalah dapat dilihat. Dengan demikian Gereja yang jati diri dan akidahnya berbeda dari negara ke negara dan dari zaman ke zaman tidaklah "satu". Inilah sebabnya kedua-duanya tidak memandang diri sebagai suatu denominasi, tetapi sebagai Gereja yang pradenominasional. Bukan sebagai salah satu di antara komunitas-komunitas umat beriman, melainkan sebagai Gereja yang asali dan satu-satunya. Banyak teolog Kristen Baptis dan Kongregasional menerima makna "jemaat lokal" sebagai satu-satunya aplikasi yang sah dari istilah "gereja". Mereka mati-matian menolak gagasan Gereja semesta (katolik). Denominasi-denominasi tersebut berpendapat bahwa semua kata Yunani eklesia di dalam Perjanjian Baru adalah rujukan kepada suatu kelompok lokal tertentu atau gagasan niskala tentang "gereja", dan tidak pernah merujuk kepada suatu Gereja tunggal sejagat.[76][77] Banyak umat Anglikan, Lutheran, Katolik Lama, dan Katolik Mandiri memandang kesatuan sebagai salah satu ciri kekatolikan, tetapi memandang kesatuan kelembagaan Gereja Katolik terejawantahkan di dalam kesamaan suksesi apostolik keuskupan-keuskupan mereka alih-alih di dalam kesamaan hierarki keuskupan atau kesamaan ritus-ritus. Umat Kristen Kalvinis berpendirian bahwa tiap-tiap orang yang dibenarkan oleh iman akan Injil yang dipercayakan kepada para rasul adalah anggota dari "Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik". Bertolak dari perspektif ini, kesatuan nyata dan kekudusan segenap gereja yang dilembagakan melalui para rasul belum tersingkap, dan untuk sementara waktu luas cakupan dan kesentosaan gereja di muka bumi terejawantahkan dengan tidak sempurna secara kasatmata. Gereja Lutheran–Sinode Missouri memaklumkan bahwa sesungguhnya Gereja hanya beranggotakan orang-orang yang mengimani Injil (yaitu pengampunan dosa berkat karya Kristus bagi semua orang), sekalipun mereka berada di dalam lembaga-lembaga persekutuan umat yang mengajarkan kekeliruan, tetapi tidak mencakup orang-orang yang tidak mengimani Injil, sekalipun mereka termasuk warga sebuah gereja atau memegang jabatan pengajar di gereja tersebut.[78] Kekristenan seduniaSejumlah sejarawan telah mencermati terjadinya suatu "pergeseran global" Kekristenan, dari agama yang lebih lazim dijumpai di Eropa dan Amerika menjadi agama yang lazim dijumpai di belahan bumi selatan.[79][80][81] Istilah "Kekristenan sedunia" atau "Kekristenan global" berupaya menyampaikan hakikat global dari agama Kristen. Meskipun demikian, istilah tersebut kerap berfokus pada “Kekristenan non-Barat” yang “mencakup ragam-ragam (yang biasanya eksotis) agama Kristen di ‘belahan dunia selatan’, di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.”[82] Kekristenan non-Barat juga mencakup ragam-ragam pribumi atau perantauan di Eropa Barat dan Amerika Utara.[83] Perdebatan-perdebatan lainPerdebatan-perdebatan lain mencakup wacana-wacana berikut ini:
Baca juga
Rujukan
Kepustakaan
Pranala luar
|