Keselamatan dalam Kekristenan

Dalam Kekristenan, Keselamatan adalah penyelamatan jiwa dari dosa dan kematian.[1] Keselamatan dapat juga disebut "pembebasan" ataupun "keamanan" dari kodrat berdosa, dan merupakan janji akan kehidupan kekal melalui roh. Keselamatan adalah kebebasan dari hasrat duniawi dan godaan yang mengarahkan manusia keluar dari penerangan dan persekutan penuh dengan Allah.

Ragam pandangan mengenai keselamatan merupakan salah satu garis patahan utama yang membagi-bagi berbagai denominasi Kristen, menjadi satu titik ketidaksepakatan di antara kalangan Ortodoks Timur, Katolik Roma, dan Protestan, serta di dalam kalangan Protestan sendiri, terutama dalam perdebatan Calvinis–Arminian. Garis pemisah ini mencakup definisi-definisi yang saling bertentangan mengenai kerusakan moral, predestinasi, pendamaian, dan—yang paling tegas—pembenaran atau justifikasi.

Ringkasan

Menurut keyakinan Kristen, keselamatan dari dosa secara umum dan dari dosa asal secara khusus dimungkinkan melalui kehidupan, wafat, dan kebangkitan Yesus, yang dalam konteks keselamatan disebut sebagai "pendamaian".[2] Soteriologi Kristen berkisar dari konsep keselamatan eksklusif[3]:p.123 sampai rekonsiliasi universal.[4] Kendati beberapa perbedaan tersebar luas sebagaimana Kekristenan itu sendiri, hampir semua kalangan sepakat bahwa keselamatan Kristen dimungkinkan melalui karya Yesus Kristus, Putra Allah, yang wafat di kayu salib.

Inti iman Kristen adalah realitas dan harapan akan keselamatan dalam Yesus Kristus. Iman Kristen adalah iman dalam Allah keselamatan yang diwahyukan dalam Yesus dari Nazaret. Tradisi Kristen selalu menyamakan keselamatan ini dengan penggenapan eskatologis dan transenden dari keberadaan manusia dalam suatu kehidupan yang bebas dari dosa, keterbatasan, dan mortalitas, serta dipersatukan dengan Allah Tritunggal. Hal ini mungkin merupakan butir iman Kristen yang tidak dapat dinegosiasikan. Apa yang menjadi bahan perdebatan adalah hubungan antara keselamatan dengan aktivitas kita di dunia ini.

— Anselm Kyongsuk Min[5]:p.79

Paradigma keselamatan

Mengenai bagaimana keselamatan Kristen dapat dipahami telah dikemukakan dalam sejumlah teori pendamaian yang berbeda-beda. Selama berabad-abad, kalangan Kristen telah memiliki beragam gagasan berbeda mengenai bagaimana Yesus menyelamatkan manusia, dan hingga sekarang masih ada pandangan-pandangan berbeda di antara berbagai denominasi Kristen. Paradigma utama keselamatan yang telah dikemukakan yaitu:[6]

Transformasi moral

Pandangan transformasi moral adalah pemahaman tentang keselamatan yang paling dominan di antara kalangan Kristen selama tiga abad pertama Masehi,[7][8][9][10][11] dan tetap dipegang hingga saat ini oleh beberapa denominasi, seperti misalnya Ortodoks Timur. Dalam pandangan ini, Yesus menyelamatkan manusia dari keberdosaan melalui ajaran-ajaran dan kehidupan-Nya, sehingga mengubah karakternya menjadi "benar" (righteous). Keselamatan ini dipandang tidak pantas, karena Allah dengan murah hati mengutus Yesus untuk menyelamatkan manusia ketika mereka tidak benar dan karenanya manusia sama sekali tidak pantas mendapat pertolongan semacam itu. Dalam paradigma transformasi moral, seseorang diselamatkan dari keberdosaan dengan cara setia mengikuti semua ajaran Yesus dan teladan yang Ia tetapkan mengenai bagaimana menjalani hidup. Konsekuensinya orang tersebut menjadi benar di hadapan Allah, dan dapat mengharapkan penghakiman akhir yang positif dari Allah. Kesempurnaan tidak diperlukan, dan kesalahan diampuni setelah pertobatan. Menurut pandangan ini, penyaliban Yesus utamanya dipahami sebagai suatu kemartiran.[12]

Pandangan transformasi moral telah dikritik dan ditolak oleh banyak kalangan Kristen Protestan karena berbagai alasan. Para kritikus meyakini bahwa pandangan transformasi moral bertentangan dengan berbagai ayat dalam Alkitab (terutama ayat-ayat dari Rasul Paulus mengenai 'iman' dan 'perbuatan'), meremehkan kadar keseriusan dosa, dan menyangkal nilai pendamaian dari wafatnya Yesus.[butuh rujukan]

Christus Victor

Dalam pandangan Christus Victor (Kristus Pemenang), manusia membutuhkan keselamatan dari kuasa kejahatan. Yesus membawa keselamatan bagi manusia dengan cara mengalahkan kuasa kejahatan, khususnya Setan. Pandangan ini tampak dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja hingga abad ke-4 M, meski tetap populer selama beberapa abad selanjutnya. Beberapa perspektif mengenai gagasan ini masih ada, yang secara kasar dapat dibagi menjadi penaklukan Setan dan penyelamatan dari kuasa Setan. Dalam versi penaklukan Setan, para penulis seperti Eusebius dari Kaisarea menggambarkan kalau Yesus mengalahkan Setan dalam suatu pertempuran rohani yang luar biasa yang terjadi antara wafat dan kebangkitan-Nya.[13] Dengan memenangkan pertempuran tersebut, Yesus mengalahkan Setan dan menyelamatkan manusia dari kekuasaannya. Pandangan Christus Victor tidak banyak dianut di Barat.[butuh rujukan]

Tebusan dari Setan

Teori tebusan mengenai pendamaian mengandung gagasan bahwa Setan memiliki kuasa atas jiwa-jiwa yang berdosa di dalam kehidupan setelah kematian, tetapi Kristus menyelamatkan mereka dari kuasanya. Wafat Kristus kerap memainkan peranan penting dalam penyelamatan tersebut. Pandangan ini tampaknya timbul selama abad ke-3,[14] dalam tulisan-tulisan Origenes dan teolog-teolog lainnya. Dalam salah satu versi dari gagasan ini, Setan berupaya untuk membawa jiwa Yesus setelah Ia wafat, tetapi perbuatan itu di luar kewenangannya, karena Yesus tidak pernah berdosa. Sebagai konsekuensinya, Setan sepenuhnya kehilangan kewenangannya, dan semua umat manusia memperoleh kebebasan. Dalam versi lainnya, Allah mengadakan kesepakatan dengan Setan, menawarkan untuk melakukan pertukaran antara jiwa Yesus dengan jiwa-jiwa semua manusia, tetapi setelah pertukaran itu Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati dan meninggalkan Setan dengan tangan hampa. Versi lainnya menyatakan bahwa keilahian Yesus diselubungi oleh rupa kemanusiaannya, maka Setan berupaya untuk mengambil jiwa Yesus tanpa menyadari bahwa keilahian-Nya akan menghancurkan kuasanya. Gagasan lainnya lagi mengatakan bahwa Yesus datang untuk mengajarkan bagaimana untuk tidak berbuat dosa dan Setan, yang marah karenanya, berupaya untuk mengambil jiwa-Nya. Teori tebusan tidak banyak dianut di Barat.

Pemenuhan

Pada abad ke-11, Anselmus dari Canterbury menolak pandangan tebusan, dan mengajukan teori pemenuhan mengenai pendamaian. Ia menggambarkan Allah sebagai seorang tuan feodal, yang kehormatannya telah dihinakan dan dilanggar oleh dosa-dosa umat manusia. Dalam pandangan ini, manusia membutuhkan penyelamatan dari hukuman ilahi akibat pelanggaran-pelanggaran itu, karena tidak ada satu hal pun yang dapat manusia lakukan untuk membayar hutang kehormatan tersebut. Anselmus berpendapat bahwa Kristus telah menghormati Allah secara tak terhingga melalui kehidupan dan wafat-Nya serta Kristus mampu membayar kembali hutang umat manusia kepada Allah, sehingga memenuhi atau menghilangkan pelanggaran terhadap kehormatan Allah dan meniadakan perlunya penghukuman. Ketika Anselmus mengajukan pandangan pemenuhan ini, Petrus Abelardus seketika mengkritiknya.

Pengganti hukuman dan iman

Neon salib 'Jesus Saves' di luar sebuah gereja Protestan di Kota New York.

Pada abad ke-16, para Reformis Protestan menafsirkan kembali teori pemenuhan Anselmus di dalam suatu paradigma hukum. Dalam sistem hukum, pelanggaran menuntut hukuman, dan tidak ada pemenuhan yang dapat diberikan untuk menghindari kebutuhan ini. Mereka mengajukan suatu teori yang dikenal sebagai pengganti hukuman, yang melaluinya Kristus mengambil hukuman atas dosa umat manusia sebagai pengganti mereka, dengan demikian menyelamatkan umat manusia dari murka Allah terhadap dosa. Substitusi atau pengganti hukuman karenanya menghadirkan Yesus yang menyelamatkan umat manusia dari hukuman ilahi atas kesalahan masa lalu mereka. Namun, keselamatan ini tidak tersaji secara otomatis dan seseorang perlu memiliki iman untuk dapat menerima anugerah keselamatan yang cuma-cuma ini. Dalam pandangan pengganti hukuman, keselamatan tidak tergantung pada perbuatan atau upaya manusia.

Paradigma pengganti hukuman dianut secara luas di antara kalangan Protestan, yang sering menganggapnya hal sentral dalam Kekristenan. Bagaimanapun, teori ini juga banyak dikritik bahkan di dalam kalangan Protestan sendiri.[15][16][17][18] Para pendukung Perspektif Baru tentang Paulus juga berpendapat bahwa banyak kitab Perjanjian Baru yang ditulis oleh Rasul Paulus, yang digunakan untuk mendukung teori pengganti hukuman, yang seharusnya ditafsirkan secara berbeda.

Pandangan Katolik

Perbedaan penting antara pemahaman Katolik dengan Calvinis mengenai keselamatan adalah bahwa, tidak seperti Calvinisme, Katolisisme meyakini bahwa, setelah peristiwa Kejatuhan, umat manusia tidak rusak sepenuhnya (berdasarkan pandangan "kerusakan total", yang menghalangi manusia dari melakukan segala bentuk kebaikan untuk memperoleh keselamatan), tetapi hanya "terlukai oleh dosa", dan "membutuhkan keselamatan dari Allah". Namun demikian, "kodrat manusia sedemikian jatuh, terlucuti dari rahmat yang menyelubunginya, terlukai dalam daya alaminya sendiri dan tunduk pada kuasa kematian, yang ditransmisikan kepada semua orang..."[19]

Pertolongan ilahi datang di dalam Kristus melalui hukum yang membimbing dan rahmat yang menopang, yang melaluinya jiwa-jiwa mengerjakan "keselamatan [mereka sendiri] dengan takut dan gentar".[20] Pertolongan ilahi, rahmat tersebut, adalah suatu kemurahan hati, suatu anugerah yang cuma-cuma dan tidak sepatutnya dari Allah yang membantu manusia dalam menanggapi undangan-Nya untuk memasuki suatu relasi yang dikehendaki Allah.[21]

Umat Katolik mengakukan keyakinan bahwa Kristus adalah satu-satunya Juruselamat umat manusia. Kristus adalah Allah yang menjelma, membawa penebusan dari dosa, karena "...seluruh keselamatan datang dari Kristus".[22]

"...[Gereja] mewartakan, dan harus selalu mewartakan Kristus sebagai 'jalan dan kebenaran dan hidup' (Yohanes 14:6), yang di dalam-Nya manusia dapat menemukan kepenuhan dari kehidupan religius, yang di dalam-Nya Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya sendiri."[23]

Dalam Gereja Katolik, pembenaran diberikan oleh Allah pertama-tama melalui tindakan (ex opere operato) dari pembaptisan,[24] dengan mana orang tersebut secara formal dibenarkan dan dikuduskan oleh kekudusan dan keadilan pribadinya sendiri (causa formalis),[25] alih-alih diadaptasi oleh iman yang hidup semata sebagaimana menurut sola fide, dan secara normal melalui Sakramen Rekonsiliasi apabila suatu dosa berat diperbuat. Kristus dapat berkarya di luar sakramen baptisan, sebagaimana hasrat untuk dibaptis merupakan rahmat yang cukup untuk memperoleh keselamatan, karena karya Allah tidak terbatas pada sakramen-sakramen saja.[26] Namun demikian, Kristus melembagakan Sakramen Tobat bagi semua anggota Gereja yang berdosa: terutama bagi mereka yang, setelah Baptisan, telah jatuh ke dalam dosa berat, dan karenanya kehilangan rahmat pembaptisan mereka dan melukai persekutuan gerejani. Kepada mereka Sakramen Tobat menawarkan kemungkinan baru untuk melakukan perubahan dan memulihkan rahmat pembenaran. Para Bapa Gereja menyajikan sakramen ini sebagai "papan kedua [dari keselamatan] setelah kapal karam yang merupakan hilangnya rahmat". Sakramen ini bukan satu-satunya cara agar dosa dapat memperoleh pengampunan, karena, dalam kasus-kasus tertentu dan adanya penyesalan, dosa dapat diampuni dengan mengakukannya secara langsung kepada Allah. Hal ini adalah salah satu sebab mengapa Gereja Katolik mengajarkan bahwa umat Kristen di luar Gereja dimungkinkan untuk memperoleh keselamatan, karena dalam banyak kasus denominasi Kristen lainnya tidak memiliki imamat yang dilembagakan dari Yesus Kristus dan karena itu tidak memiliki akses kepada kuasa "mengikat dan melepaskan" yang dipraktikkan para imam dari Perjanjian Baru melalui sakramen ini.[27] Dosa berat menjadikan pembenaran hilang sekalipun iman (persetujuan intelektual) masih ada.

Dalam kanon 9 dari Konsili Trente sesi VI, Gereja Katolik menyatakan bahwa, "Apabila ada orang berkata bahwa orang berdosa dibenarkan oleh iman saja, yang berarti bahwa tidak diperlukan hal lain untuk bekerja sama dalam rangka memperoleh rahmat pembenaran, dan bahwa sama sekali ia tidak perlu mempersiapkan diri dan bertanggung jawab atas tindakan dari kehendaknya sendiri, biarlah ia menjadi anatema."[28] Juga dikatakan dalam sesi VII melalui kanon IV, "Apabila ada orang berkata, bahwa sakramen-sakramen dari Hukum Baru tidak diperlukan untuk keselamatan, dan bahwa tanpa sakramen-sakramen tersebut, ataupun tanpa menginginkannya, manusia memperoleh rahmat pembenaran dari Allah melalui iman saja; kendati memang tidak semua (sakramen) diperlukan setiap individu; biarlah ia menjadi anatema (terekskomunikasi).[29]

Keselamatan umat non-Katolik

Menurut Katekismus Gereja Katolik, Kristus menyediakan Gereja dengan "'kepenuhan dari sarana keselamatan' yang Ia kehendaki: pengakuan iman Kristen yang benar dan utuh, kehidupan sakramental sepenuhnya, dan tugas pelayanan yang tertahbis dalam suksesi apostolik."[30] Meskipun Gereja Katolik memiliki ajaran extra Ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan), hal ini tidak berarti bahwa semua orang terpilih berada dalam persekutuan yang terlihat dalam Gereja Katolik selama hidup mereka, karena "Yesus, Putra Allah, telah menderita kematian bagi kita secara sukarela dalam ketaatan penuh dan bebas kepada kehendak Allah, Bapa-Nya. Melalui kematian-Nya Ia telah mengalahkan maut, dan dengan demikian membuka kemungkinan akan keselamatan untuk semua orang."[31]

Mengenai umat Protestan pada khususnya, dalam Konsili Vatikan II dan pengajaran selanjutnya dinyatakan:

"Gereja mengakui bahwa dalam banyak hal ia terkait dengan mereka, yang dibaptis, yang dihormati dengan nama Kristen, walaupun mereka tidak mengakukan iman dalam kepenuhannya atau juga tidak memelihara kesatuan persekutuan dengan pengganti Petrus. (bdk. Gal. 4:6; Rom. 8:15-16 dan 26) Karena ada banyak orang yang menghormati Kitab Suci, menerimanya sebagai norma keyakinan dan pola hidup, dan yang memperlihatkan semangat yang tulus. Mereka dengan penuh cinta percaya kepada Allah Bapa Yang Mahakuasa dan kepada Kristus, Putra Allah dan Juruselamat. (bdk. Yoh. 16:13) Mereka dikuduskan dengan baptisan, yang di dalamnya mereka dipersatukan dengan Kristus. Mereka juga mengakui dan menerima sakramen-sakramen lain di dalam Gereja mereka sendiri ataupun komunitas-komunitas gerejani [Protestan]... Mereka juga berbagi dengan kita dalam doa dan manfaat rohani lainnya. Demikian juga kita dapat mengatakan bahwa dengan beberapa cara nyata mereka bergabung dengan kita dalam Roh Kudus, karena kepada mereka juga Ia memberikan anugerah dan rahmat-Nya dengan mana Ia bekerja di antara mereka dengan kuasa pengudusan-Nya. Bahkan beberapa orang telah Ia kuatkan hingga menumpahkan darah mereka..."[32]

"...orang-orang yang percaya kepada Kristus dan telah benar-benar dibaptis berada dalam persekutuan dengan Gereja Katolik meskipun persekutuan ini tidak sempurna. ...tetaplah benar bahwa semua orang yang telah dibenarkan oleh iman dalam Baptisan adalah anggota-anggota dari tubuh Kristus, dan memiliki hak untuk disebut Kristen, sehingga benar-benar diterima sebagai saudara-saudari oleh putra-putri dari Gereja Katolik... Karena Roh Kristus tidak menahan diri untuk menggunakan mereka sebagai sarana keselamatan yang memperoleh daya gunanya dari kepenuhan rahmat dan kebenaran yang dipercayakan kepada Gereja..." "Adalah benar dan bermanfaat mengenali kekayaan Kristus dan karya kebajikan dalam kehidupan orang-orang lain yang menjadi saksi Kristus, terkadang bahkan sampai pada penumpahan darah mereka. Karena Allah selalu indah dalam karya-karya-Nya dan layak menerima segala pujian."[33]

Gereja Katolik mengajarkan bahwa jemaat Protestan adalah bagian dari Kekristenan, satu-satunya "iman" yang benar (Gereja Katolik melihat agama non-Kristen sebagai "keyakinan" karena tidak berdasar pada wahyu Allah dalam sejarah).[34] Meskipun demikian, individu-individu Protestan yang menyadari kenyataan bahwa Kristus mendirikan Gereja Katolik, tetapi tidak mau bergabung dalam keanggotaannya, "tidak dapat diselamatkan" karena mereka hidup dalam rasa tidak hormat secara terbuka terhadap kebenaran yang disingkapkan Allah.[32]

Sehubungan dengan umat Yahudi dan Muslim, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen gentium, menyatakan:

"Pertama-tama kita harus mengingat orang-orang [Yahudi] kepada siapa wasiat dan janji-janji itu diberikan dan dari siapa Kristus dilahirkan menurut daging. Karena para bapa mereka orang-orang ini tetap sangat dikasihi Allah, sebab Allah tidak menyesal atas anugerah yang Ia berikan atau juga atas panggilan yang Ia sampaikan. Tetapi rencana keselamatan juga mencakup orang-orang yang mengakui Sang Pencipta. Pada tempat pertama di antara mereka ini terdapat umat Muslim, yang, dengan mengaku memegang iman Abraham, bersama-sama dengan kita menyembah Allah yang satu dan penuh belas kasih, yang pada hari terakhir akan menghakimi umat manusia."[32]

Paragraf 16 dari Lumen gentium menyatakan lebih lanjut:

"Allah juga tidak jauh dari mereka yang dalam bayang-bayang dan angan-angan mencari Allah yang tidak dikenal, karena Dialah yang memberi semua orang kehidupan dan nafas serta segala sesuatu, dan seperti yang Juruselamat kehendaki agar semua orang diselamatkan. Mereka juga dapat memperoleh keselamatan, yang bukan karena kesalahan mereka sendiri tidak mengenal Injil Kristus ataupun Gereja-Nya, namun secara sungguh-sungguh mencari Allah dan digerakkan oleh rahmat berjuang dengan perbuatan mereka untuk melakukan kehendak-Nya sebagaimana mereka ketahui melalui perintah-perintah hati nurani. Penyelenggaraan Ilahi juga tidak meniadakan bantuan-bantuan yang diperlukan untuk keselamatan bagi mereka yang, tanpa kesalahan di pihak mereka, belum sampai pada pengetahuan eksplisit tentang Allah dan dengan rahmat-Nya berusaha untuk menjalani kehidupan yang baik. Apa pun kebaikan atau kebenaran yang ditemukan dalam mereka dipandang oleh Gereja sebagai persiapan untuk Kabar Baik."[32]

Bagaimanapun, Yudaisme dan Islam tidak dapat dilihat oleh Gereja sebagai kepenuhan dalam diri mereka masing-masing. Umat Katolik diharapkan memanggil semua orang menuju iman Kristen, karena pada akhirnya Kristus sendiri yang harus menyelamatkan mereka. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kebenaran apa pun yang ditemukan dalam Yudaisme dan Islam digunakan sebagai "persiapan untuk kabar baik". Iman Kristen tidak dapat sekadar dilihat pada "hikmat manusia, suatu ilmu-semu kesejahteraan", sebab "semua orang dipanggil untuk itu dan ditetapkan untuk itu" karena mengandung kebenaran sepenuhnya.[35] Lumen gentium menyatakan:

Secara eksplisit, Dia sendiri [Yesus Kristus] menegaskan perlunya iman serta baptisan dan dengan demikian menegaskan juga perlunya Gereja, karena melalui baptisan, sama seperti melalui sebuah pintu, manusia memasuki Gereja. Oleh karenanya, siapa saja, yang menyadari bahwa Gereja Katolik disyaratkan oleh Kristus, tidak mau masuk atau tinggal di dalamnya, tidak dapat diselamatkan.[32]

Gereja Katolik berpegang pada kemungkinan akan keselamatan umat non-Kristen dari neraka. Seperti yang dinyatakan Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris Missio,

"Universalitas keselamatan berarti bahwa hal itu diberikan tidak hanya kepada mereka yang secara eksplisit percaya kepada Kristus dan telah memasuki Gereja. Karena ditawarkan kepada semua orang, tersedia secara nyata untuk semua orang. Tetapi jelas bahwa saat ini, sebagaimana pada masa lampau, banyak orang tidak memiliki kesempatan untuk mengenal atau menerima wahyu Injil atau juga memasuki Gereja. Kondisi-kondisi sosial dan budaya tempat mereka tinggal tidak memungkinkan hal ini, dan sering kali mereka dibesarkan dalam tradisi keagamaan lainnya. Bagi orang-orang seperti demikian keselamatan di dalam Kristus dapat diakses karena rahmat yang, meski memiliki suatu relasi yang misterius dengan Gereja, tidak membuat mereka secara formal menjadi bagian dari Gereja, namun menerangi mereka dengan suatu cara yang disediakan sesuai situasi rohani dan jasmani mereka. Rahmat ini berasal dari Kristus, adalah hasil dari Pengurbanan-Nya dan disampaikan oleh Roh Kudus. Ini memungkinkan setiap orang untuk memperoleh keselamatan melalui kerja samanya secara bebas."[36]

Jumlah umat non-Kristen yang diselamatkan hanya diketahui oleh Allah saja dan harus melalui pendamaian Kristus atas dosa-dosa dunia ini---suatu pendamaian yang secara khusus disebut "misterius" (penjelasan di atas, Dominus Iesus hlm. 21).[34] Namun demikian, umat Katolik yang telah memperoleh nasihat dalam banyak ensiklik kepausan belakangan ini hendaknya tidak melupakan misi ad gentes (kepada umat non-Kristen), karena evangelisasi dunia non-Kristen tetap merupakan sentra misi Gereja karena dorongan kuat dari Yesus: "Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum."(Markus 16:16, Dominus Iesus hlm. 21-22[34]). Mereka yang mewartakan selain eksklusivitas Kekristenan sebagai kepenuhan wahyu Allah dan satu-satunya cara untuk diselamatkan, mengajarkan sesuatu yang menentang ajaran Kristus dan Gereja (Dominus Iesus hlm. 5-9).[34]

Santo Anselmus

Tidak lama setelah tahun 1100, Anselmus diangkat sebagai uskup agung Canterbury dan menulis sebuah risalah klasik tentang pendamaian. Di dalamnya ia mengajukan "teori pemenuhan" mengenai pendamaian dalam keselamatan. Pelanggaran manusia dalam rupa pemberontakan terhadap Allah merupakan tindakan yang menuntut pembayaran/pelunasan atau pemenuhan. Manusia yang jatuh tidak mampu melakukan pemenuhan yang memadai. Namun, kasih Allah sedemikian besar sehingga Allah tidak akan membiarkan manusia menghadapi konsekuensi-konsekuensi dari dosa-dosanya. Anselmus menulis, "Utang ini begitu besar sehingga, meski tiada yang lain selain manusia yang harus menyelesaikan utang tersebut, tiada yang lain selain Allah yang sanggup melakukannya; maka yang melakukannya harus Allah sekaligus manusia." Penderitaan Kristus, Allah-manusia yang adalah putra tunggal Allah, melunasi utang umat manusia terhadap kehormatan Allah, dan karenanya umat manusia diperdamaikan dengan Allah. Allah menanggung kodrat manusia pada diri-Nya sendiri sehingga seorang manusia sempurna dapat melakukan pemenuhan sempurna dan dengan demikian memulihkan umat manusia. Dasar pemikiran Anselmus kelak ditemukan dalam Calvinisme dan Arminianisme.[37]

Pandangan Kristen Timur

Kekristenan Timur kurang begitu dipengaruhi oleh tulisan-tulisan teologis Agustinus dari Hippo. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbeda, dan umumnya kurang begitu memandang keselamatan dalam istilah-istilah yuridis (seperti pengampunan dari hukuman), tetapi lebih dalam rupa istilah-istilah terapeutik (penyembuhan dari penyakit, luka, dll.). Mereka lebih banyak memandang keselamatan dalam konteks pengilahian atau theosis, suatu upaya untuk menjadi kudus atau mendekat kepada Allah melalui persatuan dengan Dia dalam kehendak dan perbuatan sebagai perpanjangan tangan Allah di dunia ini, suatu konsep tradisional yang diajarkan dalam Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja Katolik Timur. Ditekankan juga ajaran tentang pengampunan.

Katekismus Panjang dari Gereja Timur, Katolik, Ortodoks, yang juga dikenal sebagai Katekismus St. Filaret,[38] memuat ragam pertanyaan dan jawaban seperti berikut:

155. Untuk menyelamatkan manusia dari apa (Putra Allah) datang ke bumi? Dari dosa, kutukan, dan kematian.

208. Bagaimana kematian Yesus Kristus di kayu salib membebaskan kita dari dosa, kutukan, dan kematian? Agar kita dapat lebih mudah memercayai misteri ini, Firman Allah mengajarkan kita tentang hal itu sehingga kita dapat menerima, dengan perbandingan antara Yesus Kristus dengan Adam. Adam berdasarkan kodrat adalah kepala semua umat manusia, yang adalah satu dengan dia berdasarkan keturunan kodrat dari dia. Yesus Kristus, dalam siapa Ketuhanan disatukan dengan kemanusiaan, secara anggun menjadikan diri-Nya sendiri Kepala baru manusia yang mahakuasa, yang Ia persatukan dengan diri-Nya sendiri melalui iman. Oleh sebab itu, karena dalam Adam kita telah jatuh di bawah dosa, kutukan, dan kematian, maka kita dibebaskan dari dosa, kutukan, dan kematian dalam Yesus Kristus. Penderitaan dan kematian-Nya secara sukarela di kayu salib untuk kita, dengan nilai dan jasa yang tanpa batas karena kematian satu orang yang tanpa dosa, yakni Allah dan manusia dalam satu pribadi, merupakan pemenuhan sempurna bagi keadilan Allah, yang telah mengutuk kita karena dosa kepada kematian, sekaligus kumulasi jasa tanpa batas yang membuat-Nya beroleh hak, tanpa mengurangi keadilan-Nya, untuk memberikan kita orang-orang berdosa pengampunan atas dosa-dosa kita, dan rahmat untuk meraih kemenangan atas dosa dan kematian.

Teologi Kristen Ortodoks Timur mengajarkan rahmat yang mendahului, yang berarti bahwa Allah bertindak terlebih dahulu dalam diri manusia, dan bahwa keselamatan tidak mungkin diperoleh dari kehendak manusia semata. Manusia dikaruniai dengan kehendak bebas, dan seseorang dapat menerima ataupun menolak rahmat Allah. Dengan demikian seorang individu harus bekerja sama dengan rahmat Allah agar dapat diselamatkan, dan ia tidak dapat mengklaim kredit apapun atas hal itu, karena setiap kemajuan yang ia lakukan hanya dimungkinkan karena rahmat Allah.

Gereja Ortodoks Timur selanjutnya mengajarkan bahwa seorang individu perlu tinggal di dalam Kristus dan memastikan keselamatannya tidak hanya melalui karya-karya kasih, tetapi juga dengan sabar menjalani penderitaan karena berbagai kesedihan, penyakit, kemalangan maupun kegagalan. (Lukas 16:19-31, Markus 8:31-38, Roma 6:3-11, Ibrani 12:1-3, Galatia 6:14).[39]

Pandangan Protestan

Perspektif Kristen Protestan mengenai keselamatan adalah bahwa tidak seorang pun dapat memperoleh rahmat Allah tersebut dengan melakukan ritual, perbuatan baik, asketisme maupun meditasi, karena rahmat atau kasih karunia merupakan hasil dari inisiatif Allah tanpa memperhatikan apapun dalam diri orang yang memulai pekerjaan. Secara garis besar, umat Protestan berpegang pada lima sola yang dihasilkan dalam Reformasi Protestan, yang menyatakan bahwa keselamatan diraih dengan rahmat saja dalam Kristus saja melalui iman saja untuk Kemuliaan Allah saja sebagaimana disampaikan dalam Alkitab saja.

Beberapa kalangan Protestan, seperti Lutheran dan Reformed, memahami hal ini dalam arti bahwa Allah menyelamatkan semata-mata karena anugerah (rahmat), dan perbuatan yang menyertainya merupakan konsekuensi penting dari anugerah keselamatan. Kalangan lainnya, seperti Metodis (dan Arminian yang lain), percaya bahwa keselamatan adalah karena iman saja, tetapi keselamatan itu dapat hilang apabila tidak disertai dengan iman yang terus berlanjut dan perbuatan yang secara alami menyertainya. Sebagian besar kalangan Protestan percaya bahwa keselamatan diraih melalui anugerah Allah saja, dan begitu keselamatan dipastikan dalam diri seseorang, maka perbuatan baik akan dihasilkan darinya, memungkinkan perbuatan baik untuk sering kali berfungsi sebagai penanda untuk keselamatan. Sebagian kecil Protestan percaya bahwa keselamatan diraih dengan iman saja tanpa merujuk pada perbuatan apapun, termasuk perbuatan yang mungkin menyertai keselamatan (lihat teologi Anugerah Bebas).

Keselamatan universal

Kata Universal dapat diartikan sebagai menyeluruh, semesta, umum meliputi seluruh dunia. Keselamatan universal dapat dikatakan keselamatan ke seluruh dunia, atau dengan kata lain, perluasan keselamatan keluar dari batas-batas Israel. Wesley Ariarajah dalam bukunya Alkitab dan Orang-orang berkepercayaan lain, menyatakan konsep keselamatan yang universal melalui tafsirannya dari kitab Yunus mengenai kisah Niniwe.[40] Ia memaparkan bagaimana keselamatan Allah itu dapat dihadirkan juga kepada orang di luar Israel dan juga orang yang di luar penganut agama Yahudi.[40] Kitab Yunus melukiskan kedaulatan Allah yang mutlak atas seluruh ciptaan. Dalam kisah Niniwe, Allah digambarkan sebagai Allah yang rahami dan mengasihi lebih suka mengampuni daripada menghancurkan.[41] Hal yang ingin ditekankan dalam kitab ini adalah rahmat Allah tidak terbatas kepada bangsa atau orang-orang tertentu. Kota dan orang-orang asing ini sama-sama dipedulikan Allah seperti Israel dan Yerusalem. Doa dan petobatan mereka sama-sama didengar seperti doa dan pertobatan orang lain. Allah memberlakukan Niniwe dengan kasih belas kasih yang dalam.

Dalam Perjanjian Lama

Keselamatan dalam Perjanjian Lama ada berdasarkan pemenuhan Hukum Taurat.Selain itu, ada juga berdasarkan iman dan anugerah Allah.[42] Sejarah umat Israel bisa dikatakan sebagai sejarah anugerah di mana Allah memilih Israel serta setia menjaga perjanjian-Nya meskipun Israel sering kali berlaku bejat di hadapan Allah.[41] Tema mengenai pengampunan (Maz 130: 3-4) dan iman sebagai respon ketika manusia menerima anugerah Allah juga terdapat di dalam PL (Hab 2: 4).Dalam bahasa Ibrani kata percaya adalah‘mn. Kata ini bisa juga diartikan sebagai percaya dengan mantap dan dapat diandalkan. Selain itu terdapat pula kata yang cukup penting yaitu tsedaqa yang berarti kebenaran. Kata tersebut memiliki gagasan dasar yaitu kesesuaian antara apa yang dilakukan manusia menurut penilaian Allah. Hal tersebut berkaitan dengan cara hidup, bertindak dan bersikap benar di hadapan Allah.

Dalam Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru tema keselamatan merupakan salah satu yang menonjol terutama dalam tulisan-tulisan Paulus. Yesus dalam pengajarannya mengecam bahwa seseorang bisa membenarkan dirinya sendiri.[43] Misalnya saja dalam Lukas 18:9-14 mengenai orang farisi dan pemungut cukai dan Lukas 16:15 mengenai orang farisi yang merasa diri benar akibat perbuatannya.[43] Yesus sangat menginginkan agar manusia dapat mencari kebenaran namun tidak dengan usaha sendiri.[43] Pembenaran itu dicapai melalui pertobatan di dalam kerendahan hati.[44] Paulus pun sangat menentang pemahaman bahwa seseorang diselamatkan karena perbuatannya.[44] Paulus menolak pemahaman bahwa seseorang bisa diselamatkan melalui Hukum Taurat dan tradisi-tradisinya (sunat, kurban, dan sebagainya.Dalam bahasa Ibrani kata kebenaran adalah sedaqa, dapat pula berarti kelepasan.Terjemahan kebenaran dalam konsep Ibrani ke dalam PB yaitu dikaiosune. Dari sisi manusia dikaiousune ialah tindakan manusia yang sesuai dengan kehendak Allah sedangkan dari sisi Allah ialah tindakan Allah yang membenarkan manusia. Menurut Paulus kebenaran Allah merupakan cara Allah untuk menilai manusia. Kebenaran itu seharusnya merupakan “status pribadi”. Bangsa-bangsa non Yahudi memperoleh kebenaran walaupun mereka tidak mengejarnya sedangkan bangsa Israel tidak. Hal ini terjadi karena bangsa Israel mengejar kebenaran itu melalui perbuatan bukan melalui iman.

Perbandingan

Teologi keselamatan dalam Arminianisme (dari Jacobus Arminius) dikenal dengan nama doktrin Arminian. Kelima pokok ajaran Calvinisme yang terkenal dengan singkatannya dalam bahasa Inggris "T U L I P" merupakan tanggapan atas doktrin Arminian.

Tabel berikut ini merangkum pandangan klasik dari tiga keyakinan Protestan mengenai keselamatan.[45]

Topik Lutheranisme Calvinisme Arminianisme
Kehendak manusia/
Kehendak bebas
Kerusakan total tanpa memiliki kehendak bebas Kerusakan total dan dalam natur manusia memiliki kehendak bebas[46] Manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih yang baik dan yang jahat
Doktrin pemilihan/
Predestinasi
Pemilihan tanpa syarat hanya untuk keselamatan Pemilihan tanpa syarat baik untuk keselamatan maupun untuk penghukuman Pemilihan dengan syarat didasarkan pada iman dan perbuatan baik manusia yang sudah diketahui Allah sebelumnya.
Pembenaran/Penebusan Penebusan untuk semua orang telah selesai ketika Kristus mati. Penebusan terbatas hanya pada umat pilihan Allah, telah selesai ketika Kristus mati. Pembenaran dimungkinkan untuk semua orang (penebusan universal), tetapi hanya terjadi ketika seseorang memanfaatkannya/menentukan pilihan yang didasarkan oleh imannya. Semua umat manusia mempunyai kemungkinan untuk dapat ditebus sebagai akibat dari pekerjaan Kristus di kayu salib.
Pekerjaan Roh Kudus/
Anugerah keselamatan
Melalui cara-cara menerima anugerah Allah, keselamatan dapat ditolak Tanpa melalui cara apa pun, keselamatan tidak dapat ditolak Menyangkut anugerah kehendak bebas dan oleh karena itu dapat ditolak; pekerjaan Roh Kudus terbatas, sebab Ia memanggil manusia untuk bebas memilih bertobat dan manusia dapat menolaknya.
Perlindungan Orang percaya dapat jatuh, tetapi Allah memberi jaminan preservasi Ketekunan orang-orang kudus, sekali diselamatkan, akan tetap selamat Orang percaya dilindungi imannya oleh Allah namun memiliki kemungkinan kehilangan anugerah Allah tersebut.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Inggris) "The saving of the soul; the deliverance from sin and its consequences" Oxford English Dictionary 2nd ed. 1989.
  2. ^ (Inggris) "Christian Doctrines of Salvation." Religion facts. June 20, 2009. http://www.religionfacts.com/christianity/beliefs/salvation.htm Diarsipkan 2015-04-01 di Wayback Machine.
  3. ^ (Inggris) Newman, Jay. Foundations of religious tolerance. University of Toronto Press, 1982. ISBN 0-8020-5591-5
  4. ^ (Inggris) Parry, Robin A. Universal salvation? The Current Debate. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2004. ISBN 0-8028-2764-0
  5. ^ (Inggris) Min, Anselm Kyongsuk. Dialectic of Salvation: Issues in Theology of Liberation. Albany, N.Y.: State University of New York Press, 1989. ISBN 978-0-88706-908-6
  6. ^ (Inggris) A. J. Wallace and R. D. Rusk, Moral Transformation: The Original Christian Paradigm of Salvation (New Zealand: Bridgehead, 2011), pp. 249-295.
  7. ^ (Inggris) A. J. Wallace, R. D. Rusk, Moral Transformation: The Original Christian Paradigm of Salvation (New Zealand: Bridgehead, 2011), pp 249-271.
  8. ^ (Inggris) Hastings Rashdall, The Idea of Atonement in Christian Theology (London: Macmillian, 1919), pp 190-292.
  9. ^ (Inggris) Robert S. Franks, A history of the doctrine of the work of Christ in its ecclesiastical development vol. 1 (London: Hodder and Stoughton), p. 14: 'The above point of view of the Apostolic Fathers may be generally described as a Christian moralism.'.
  10. ^ (Inggris) Michael Green, The Empty Cross of Jesus (Eastbourne: Kingsway, 2004; first published 1984), pp. 64-5: 'The simplest and most obvious understanding of the cross is to see it as the supreme example. ... This is a favourite theme in the early Fathers, as H.E.W. Turner showed in The Patristic Doctrine of Redemption. ... It can scarcely be denied that much of the second century understanding of the cross was frankly exemplarist.'
  11. ^ (Inggris) J. F. Bethune-Baker, An introduction to the early history of Christian doctrine to the time of the Council of Chalcedon (London: Methuen & Co, 1903), pp. 351-2: 'From this review of the teaching of the Church it will be seen that... in the earliest centuries... the main thought is that man is reconciled to God by the Atonement, not God to man. The change, that is, which it effects is a change in man rather than a change in God. It is God's unchangeable love for mankind that prompts the Atonement itself, is the cause of it, and ultimately determines the method by which it is effected.'
  12. ^ (Inggris) For a recent defence of the moral transformation view, see A. J. Wallace, R. D. Rusk, Moral Transformation: The Original Christian Paradigm of Salvation (New Zealand: Bridgehead, 2011).
  13. ^ (Inggris) Eusebius, Proof of the Gospel, 9.7.
  14. ^ (Inggris) H. E. W. Turner, The Patristic Doctrine of Redemption: A Study of the Development of Doctrine During the First Five Centuries (Eugene, OR: Wipf & Stock Publish-ers, 2004), p. 54.
  15. ^ (Inggris) A. J. Wallace, R. D. Rusk Moral Transformation: The Original Christian Paradigm of Salvation, (New Zealand: Bridgehead, 2011) ISBN 978-1-4563-8980-2
  16. ^ (Inggris) David. A. Brondos, Paul on the Cross: Reconstructing the Apostle's Story of Redemption (Minneapolis, MN: Fortress Press, 2006) ISBN 978-0-8006-3788-0
  17. ^ (Inggris) Stephen Finlan, Problems With Atonement: The Origins Of, And Controversy About, The Atonement Doctrine (Liturgical Press, 2005) ISBN 978-0-8146-5220-6
  18. ^ (Inggris) Joel B. Green, Mark D. Baker, Recovering the Scandal of the Cross: Atonement in New Testament & Contemporary Contexts (IVP Academic, 2000) ISBN 978-0-8308-1571-5
  19. ^ (Inggris) "Solemni Hac Liturgia (Credo of the People of God) (June 30, 1968) - Paul VI". 
  20. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - God's salvation: law and grace". 
  21. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - Grace and justification". 
  22. ^ (Inggris) Pope John Paul II. General Audience 31 May 1995
  23. ^ (Inggris) "Nostra aetate". 
  24. ^ (Inggris) "Paragraph 1992", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012, Justification is conferred in Baptism, the sacrament of faith. 
  25. ^ (Inggris) Pohle, Joseph. "The Catholic Encyclopedia". Sanctifying Grace. New Advent. Diakses tanggal 21 April 2014. 
  26. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 2017-05-25. 
  27. ^ (Inggris) "Unitatis redintegratio". 
  28. ^ (Inggris) Church, Catholic. "The Council of Trent". 
  29. ^ (Inggris) "The Council of Trent Session 7". 
  30. ^ (Inggris) "CCC - PART 1 SECTION 2 CHAPTER 3 ARTICLE 9 PARAGRAPH 3". 
  31. ^ (Inggris) "Paragraph 1019", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  32. ^ a b c d e (Inggris) "Lumen gentium". 
  33. ^ (Inggris) "Unitatis Redintegratio". Second Vatican Council. Vatican. Diakses tanggal 21 April 2014. 
  34. ^ a b c d (Inggris) "Dominus Iesus". hlm. 7. 
  35. ^ (Inggris) "Redemptoris Missio (7 December 1990) - John Paul II". 
  36. ^ (Inggris) Redemptoris mission paragraph 10
  37. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Placher
  38. ^ (Inggris) "The Longer Catechism of the Orthodox, Catholic, Eastern Church". Diakses tanggal 14 Feb 2009. 
  39. ^ (Inggris) "struggler.org". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-26. Diakses tanggal 2017-05-25. 
  40. ^ a b (Indonesia) Ariarajah Wesley. Alkitab orang-orang yang berkepercayaan lain . 2009 . . Jakarta: BPK Gunung Mulia..
  41. ^ a b (Inggris)EA Martins. Plot and purpose in the old testament . 1981. . USA: Varsity press.
  42. ^ (Indonesia)Yonky Karman. Bunga rampai teologi perjanjian lama . 2009. Jakarta: BPK Gunung Mulia
  43. ^ a b c (Indonesia)Bambang Subandrijo. Menyingkap pesan-pesan perjanjian baru 1. 2010.. Bandung: Bina Media Informasi.
  44. ^ a b (Indonesia)Donald Guthrie. Teologi perjanjian baru 2: Keselamatan dan hidup baru . 1992. Jakarta: BPK Gunung Mulia
  45. ^ Table drawn from, though not copied, from Lange, Lyle W. God So Loved the Word: A Study of Christian Doctrine. Milwaukee: Northwestern Publishing House, 2006. p. 448.
  46. ^ Williamson, Gerald Irvin (G. I.) (2012). Pengakuan iman Westminster. Surabaya: Momentum Christian Literature. hlm. 130–133. ISBN 978-979-8131-23-3. 

Bacaan lanjutan

  • (Inggris) Atkin, James. The Salvation Controversy. San Diego, Calif.: Catholic Answers, 2001. ISBN 1-888992-18-2
  • (Inggris) Jackson, Gregory Lee. Justification by Faith: Luther versus the U.O.J. [i.e. "Universal Objective Justification" Lutheran] Pietists. [Glendale, Ariz.]: Martin Chemnitz Press, 2012. ISBN 978-0-557-66008-7
  • (Inggris) Lutheran World Federation and Roman Catholic Church. Joint Declaration on the Doctrine of Justification. English language ed. Grand Rapids, Mich.: W. B. Eerdmans Publishing Co., 2000. ISBN 978-0-8028-4774-4

Pranala luar

Templat:Teologi Kristen

Kembali kehalaman sebelumnya