Keselamatan dalam Kekristenan
Dalam Kekristenan, Keselamatan adalah penyelamatan jiwa dari dosa dan kematian.[1] Keselamatan dapat juga disebut "pembebasan" ataupun "keamanan" dari kodrat berdosa, dan merupakan janji akan kehidupan kekal melalui roh. Keselamatan adalah kebebasan dari hasrat duniawi dan godaan yang mengarahkan manusia keluar dari penerangan dan persekutan penuh dengan Allah. Ragam pandangan mengenai keselamatan merupakan salah satu garis patahan utama yang membagi-bagi berbagai denominasi Kristen, menjadi satu titik ketidaksepakatan di antara kalangan Ortodoks Timur, Katolik Roma, dan Protestan, serta di dalam kalangan Protestan sendiri, terutama dalam perdebatan Calvinis–Arminian. Garis pemisah ini mencakup definisi-definisi yang saling bertentangan mengenai kerusakan moral, predestinasi, pendamaian, dan—yang paling tegas—pembenaran atau justifikasi. RingkasanMenurut keyakinan Kristen, keselamatan dari dosa secara umum dan dari dosa asal secara khusus dimungkinkan melalui kehidupan, wafat, dan kebangkitan Yesus, yang dalam konteks keselamatan disebut sebagai "pendamaian".[2] Soteriologi Kristen berkisar dari konsep keselamatan eksklusif[3] sampai rekonsiliasi universal.[4] Kendati beberapa perbedaan tersebar luas sebagaimana Kekristenan itu sendiri, hampir semua kalangan sepakat bahwa keselamatan Kristen dimungkinkan melalui karya Yesus Kristus, Putra Allah, yang wafat di kayu salib.
Paradigma keselamatanMengenai bagaimana keselamatan Kristen dapat dipahami telah dikemukakan dalam sejumlah teori pendamaian yang berbeda-beda. Selama berabad-abad, kalangan Kristen telah memiliki beragam gagasan berbeda mengenai bagaimana Yesus menyelamatkan manusia, dan hingga sekarang masih ada pandangan-pandangan berbeda di antara berbagai denominasi Kristen. Paradigma utama keselamatan yang telah dikemukakan yaitu:[6] Transformasi moralPandangan transformasi moral adalah pemahaman tentang keselamatan yang paling dominan di antara kalangan Kristen selama tiga abad pertama Masehi,[7][8][9][10][11] dan tetap dipegang hingga saat ini oleh beberapa denominasi, seperti misalnya Ortodoks Timur. Dalam pandangan ini, Yesus menyelamatkan manusia dari keberdosaan melalui ajaran-ajaran dan kehidupan-Nya, sehingga mengubah karakternya menjadi "benar" (righteous). Keselamatan ini dipandang tidak pantas, karena Allah dengan murah hati mengutus Yesus untuk menyelamatkan manusia ketika mereka tidak benar dan karenanya manusia sama sekali tidak pantas mendapat pertolongan semacam itu. Dalam paradigma transformasi moral, seseorang diselamatkan dari keberdosaan dengan cara setia mengikuti semua ajaran Yesus dan teladan yang Ia tetapkan mengenai bagaimana menjalani hidup. Konsekuensinya orang tersebut menjadi benar di hadapan Allah, dan dapat mengharapkan penghakiman akhir yang positif dari Allah. Kesempurnaan tidak diperlukan, dan kesalahan diampuni setelah pertobatan. Menurut pandangan ini, penyaliban Yesus utamanya dipahami sebagai suatu kemartiran.[12] Pandangan transformasi moral telah dikritik dan ditolak oleh banyak kalangan Kristen Protestan karena berbagai alasan. Para kritikus meyakini bahwa pandangan transformasi moral bertentangan dengan berbagai ayat dalam Alkitab (terutama ayat-ayat dari Rasul Paulus mengenai 'iman' dan 'perbuatan'), meremehkan kadar keseriusan dosa, dan menyangkal nilai pendamaian dari wafatnya Yesus.[butuh rujukan] Christus VictorDalam pandangan Christus Victor (Kristus Pemenang), manusia membutuhkan keselamatan dari kuasa kejahatan. Yesus membawa keselamatan bagi manusia dengan cara mengalahkan kuasa kejahatan, khususnya Setan. Pandangan ini tampak dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja hingga abad ke-4 M, meski tetap populer selama beberapa abad selanjutnya. Beberapa perspektif mengenai gagasan ini masih ada, yang secara kasar dapat dibagi menjadi penaklukan Setan dan penyelamatan dari kuasa Setan. Dalam versi penaklukan Setan, para penulis seperti Eusebius dari Kaisarea menggambarkan kalau Yesus mengalahkan Setan dalam suatu pertempuran rohani yang luar biasa yang terjadi antara wafat dan kebangkitan-Nya.[13] Dengan memenangkan pertempuran tersebut, Yesus mengalahkan Setan dan menyelamatkan manusia dari kekuasaannya. Pandangan Christus Victor tidak banyak dianut di Barat.[butuh rujukan] Tebusan dari SetanTeori tebusan mengenai pendamaian mengandung gagasan bahwa Setan memiliki kuasa atas jiwa-jiwa yang berdosa di dalam kehidupan setelah kematian, tetapi Kristus menyelamatkan mereka dari kuasanya. Wafat Kristus kerap memainkan peranan penting dalam penyelamatan tersebut. Pandangan ini tampaknya timbul selama abad ke-3,[14] dalam tulisan-tulisan Origenes dan teolog-teolog lainnya. Dalam salah satu versi dari gagasan ini, Setan berupaya untuk membawa jiwa Yesus setelah Ia wafat, tetapi perbuatan itu di luar kewenangannya, karena Yesus tidak pernah berdosa. Sebagai konsekuensinya, Setan sepenuhnya kehilangan kewenangannya, dan semua umat manusia memperoleh kebebasan. Dalam versi lainnya, Allah mengadakan kesepakatan dengan Setan, menawarkan untuk melakukan pertukaran antara jiwa Yesus dengan jiwa-jiwa semua manusia, tetapi setelah pertukaran itu Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati dan meninggalkan Setan dengan tangan hampa. Versi lainnya menyatakan bahwa keilahian Yesus diselubungi oleh rupa kemanusiaannya, maka Setan berupaya untuk mengambil jiwa Yesus tanpa menyadari bahwa keilahian-Nya akan menghancurkan kuasanya. Gagasan lainnya lagi mengatakan bahwa Yesus datang untuk mengajarkan bagaimana untuk tidak berbuat dosa dan Setan, yang marah karenanya, berupaya untuk mengambil jiwa-Nya. Teori tebusan tidak banyak dianut di Barat. PemenuhanPada abad ke-11, Anselmus dari Canterbury menolak pandangan tebusan, dan mengajukan teori pemenuhan mengenai pendamaian. Ia menggambarkan Allah sebagai seorang tuan feodal, yang kehormatannya telah dihinakan dan dilanggar oleh dosa-dosa umat manusia. Dalam pandangan ini, manusia membutuhkan penyelamatan dari hukuman ilahi akibat pelanggaran-pelanggaran itu, karena tidak ada satu hal pun yang dapat manusia lakukan untuk membayar hutang kehormatan tersebut. Anselmus berpendapat bahwa Kristus telah menghormati Allah secara tak terhingga melalui kehidupan dan wafat-Nya serta Kristus mampu membayar kembali hutang umat manusia kepada Allah, sehingga memenuhi atau menghilangkan pelanggaran terhadap kehormatan Allah dan meniadakan perlunya penghukuman. Ketika Anselmus mengajukan pandangan pemenuhan ini, Petrus Abelardus seketika mengkritiknya. Pengganti hukuman dan imanPada abad ke-16, para Reformis Protestan menafsirkan kembali teori pemenuhan Anselmus di dalam suatu paradigma hukum. Dalam sistem hukum, pelanggaran menuntut hukuman, dan tidak ada pemenuhan yang dapat diberikan untuk menghindari kebutuhan ini. Mereka mengajukan suatu teori yang dikenal sebagai pengganti hukuman, yang melaluinya Kristus mengambil hukuman atas dosa umat manusia sebagai pengganti mereka, dengan demikian menyelamatkan umat manusia dari murka Allah terhadap dosa. Substitusi atau pengganti hukuman karenanya menghadirkan Yesus yang menyelamatkan umat manusia dari hukuman ilahi atas kesalahan masa lalu mereka. Namun, keselamatan ini tidak tersaji secara otomatis dan seseorang perlu memiliki iman untuk dapat menerima anugerah keselamatan yang cuma-cuma ini. Dalam pandangan pengganti hukuman, keselamatan tidak tergantung pada perbuatan atau upaya manusia. Paradigma pengganti hukuman dianut secara luas di antara kalangan Protestan, yang sering menganggapnya hal sentral dalam Kekristenan. Bagaimanapun, teori ini juga banyak dikritik bahkan di dalam kalangan Protestan sendiri.[15][16][17][18] Para pendukung Perspektif Baru tentang Paulus juga berpendapat bahwa banyak kitab Perjanjian Baru yang ditulis oleh Rasul Paulus, yang digunakan untuk mendukung teori pengganti hukuman, yang seharusnya ditafsirkan secara berbeda. Pandangan KatolikPerbedaan penting antara pemahaman Katolik dengan Calvinis mengenai keselamatan adalah bahwa, tidak seperti Calvinisme, Katolisisme meyakini bahwa, setelah peristiwa Kejatuhan, umat manusia tidak rusak sepenuhnya (berdasarkan pandangan "kerusakan total", yang menghalangi manusia dari melakukan segala bentuk kebaikan untuk memperoleh keselamatan), tetapi hanya "terlukai oleh dosa", dan "membutuhkan keselamatan dari Allah". Namun demikian, "kodrat manusia sedemikian jatuh, terlucuti dari rahmat yang menyelubunginya, terlukai dalam daya alaminya sendiri dan tunduk pada kuasa kematian, yang ditransmisikan kepada semua orang..."[19] Pertolongan ilahi datang di dalam Kristus melalui hukum yang membimbing dan rahmat yang menopang, yang melaluinya jiwa-jiwa mengerjakan "keselamatan [mereka sendiri] dengan takut dan gentar".[20] Pertolongan ilahi, rahmat tersebut, adalah suatu kemurahan hati, suatu anugerah yang cuma-cuma dan tidak sepatutnya dari Allah yang membantu manusia dalam menanggapi undangan-Nya untuk memasuki suatu relasi yang dikehendaki Allah.[21] Umat Katolik mengakukan keyakinan bahwa Kristus adalah satu-satunya Juruselamat umat manusia. Kristus adalah Allah yang menjelma, membawa penebusan dari dosa, karena "...seluruh keselamatan datang dari Kristus".[22]
Dalam Gereja Katolik, pembenaran diberikan oleh Allah pertama-tama melalui tindakan (ex opere operato) dari pembaptisan,[24] dengan mana orang tersebut secara formal dibenarkan dan dikuduskan oleh kekudusan dan keadilan pribadinya sendiri (causa formalis),[25] alih-alih diadaptasi oleh iman yang hidup semata sebagaimana menurut sola fide, dan secara normal melalui Sakramen Rekonsiliasi apabila suatu dosa berat diperbuat. Kristus dapat berkarya di luar sakramen baptisan, sebagaimana hasrat untuk dibaptis merupakan rahmat yang cukup untuk memperoleh keselamatan, karena karya Allah tidak terbatas pada sakramen-sakramen saja.[26] Namun demikian, Kristus melembagakan Sakramen Tobat bagi semua anggota Gereja yang berdosa: terutama bagi mereka yang, setelah Baptisan, telah jatuh ke dalam dosa berat, dan karenanya kehilangan rahmat pembaptisan mereka dan melukai persekutuan gerejani. Kepada mereka Sakramen Tobat menawarkan kemungkinan baru untuk melakukan perubahan dan memulihkan rahmat pembenaran. Para Bapa Gereja menyajikan sakramen ini sebagai "papan kedua [dari keselamatan] setelah kapal karam yang merupakan hilangnya rahmat". Sakramen ini bukan satu-satunya cara agar dosa dapat memperoleh pengampunan, karena, dalam kasus-kasus tertentu dan adanya penyesalan, dosa dapat diampuni dengan mengakukannya secara langsung kepada Allah. Hal ini adalah salah satu sebab mengapa Gereja Katolik mengajarkan bahwa umat Kristen di luar Gereja dimungkinkan untuk memperoleh keselamatan, karena dalam banyak kasus denominasi Kristen lainnya tidak memiliki imamat yang dilembagakan dari Yesus Kristus dan karena itu tidak memiliki akses kepada kuasa "mengikat dan melepaskan" yang dipraktikkan para imam dari Perjanjian Baru melalui sakramen ini.[27] Dosa berat menjadikan pembenaran hilang sekalipun iman (persetujuan intelektual) masih ada. Dalam kanon 9 dari Konsili Trente sesi VI, Gereja Katolik menyatakan bahwa, "Apabila ada orang berkata bahwa orang berdosa dibenarkan oleh iman saja, yang berarti bahwa tidak diperlukan hal lain untuk bekerja sama dalam rangka memperoleh rahmat pembenaran, dan bahwa sama sekali ia tidak perlu mempersiapkan diri dan bertanggung jawab atas tindakan dari kehendaknya sendiri, biarlah ia menjadi anatema."[28] Juga dikatakan dalam sesi VII melalui kanon IV, "Apabila ada orang berkata, bahwa sakramen-sakramen dari Hukum Baru tidak diperlukan untuk keselamatan, dan bahwa tanpa sakramen-sakramen tersebut, ataupun tanpa menginginkannya, manusia memperoleh rahmat pembenaran dari Allah melalui iman saja; kendati memang tidak semua (sakramen) diperlukan setiap individu; biarlah ia menjadi anatema (terekskomunikasi).[29] Keselamatan umat non-KatolikMenurut Katekismus Gereja Katolik, Kristus menyediakan Gereja dengan "'kepenuhan dari sarana keselamatan' yang Ia kehendaki: pengakuan iman Kristen yang benar dan utuh, kehidupan sakramental sepenuhnya, dan tugas pelayanan yang tertahbis dalam suksesi apostolik."[30] Meskipun Gereja Katolik memiliki ajaran extra Ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan), hal ini tidak berarti bahwa semua orang terpilih berada dalam persekutuan yang terlihat dalam Gereja Katolik selama hidup mereka, karena "Yesus, Putra Allah, telah menderita kematian bagi kita secara sukarela dalam ketaatan penuh dan bebas kepada kehendak Allah, Bapa-Nya. Melalui kematian-Nya Ia telah mengalahkan maut, dan dengan demikian membuka kemungkinan akan keselamatan untuk semua orang."[31] Mengenai umat Protestan pada khususnya, dalam Konsili Vatikan II dan pengajaran selanjutnya dinyatakan:
Gereja Katolik mengajarkan bahwa jemaat Protestan adalah bagian dari Kekristenan, satu-satunya "iman" yang benar (Gereja Katolik melihat agama non-Kristen sebagai "keyakinan" karena tidak berdasar pada wahyu Allah dalam sejarah).[34] Meskipun demikian, individu-individu Protestan yang menyadari kenyataan bahwa Kristus mendirikan Gereja Katolik, tetapi tidak mau bergabung dalam keanggotaannya, "tidak dapat diselamatkan" karena mereka hidup dalam rasa tidak hormat secara terbuka terhadap kebenaran yang disingkapkan Allah.[32] Sehubungan dengan umat Yahudi dan Muslim, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen gentium, menyatakan:
Paragraf 16 dari Lumen gentium menyatakan lebih lanjut:
Bagaimanapun, Yudaisme dan Islam tidak dapat dilihat oleh Gereja sebagai kepenuhan dalam diri mereka masing-masing. Umat Katolik diharapkan memanggil semua orang menuju iman Kristen, karena pada akhirnya Kristus sendiri yang harus menyelamatkan mereka. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kebenaran apa pun yang ditemukan dalam Yudaisme dan Islam digunakan sebagai "persiapan untuk kabar baik". Iman Kristen tidak dapat sekadar dilihat pada "hikmat manusia, suatu ilmu-semu kesejahteraan", sebab "semua orang dipanggil untuk itu dan ditetapkan untuk itu" karena mengandung kebenaran sepenuhnya.[35] Lumen gentium menyatakan:
Gereja Katolik berpegang pada kemungkinan akan keselamatan umat non-Kristen dari neraka. Seperti yang dinyatakan Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris Missio,
Jumlah umat non-Kristen yang diselamatkan hanya diketahui oleh Allah saja dan harus melalui pendamaian Kristus atas dosa-dosa dunia ini---suatu pendamaian yang secara khusus disebut "misterius" (penjelasan di atas, Dominus Iesus hlm. 21).[34] Namun demikian, umat Katolik yang telah memperoleh nasihat dalam banyak ensiklik kepausan belakangan ini hendaknya tidak melupakan misi ad gentes (kepada umat non-Kristen), karena evangelisasi dunia non-Kristen tetap merupakan sentra misi Gereja karena dorongan kuat dari Yesus: "Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum."(Markus 16:16, Dominus Iesus hlm. 21-22[34]). Mereka yang mewartakan selain eksklusivitas Kekristenan sebagai kepenuhan wahyu Allah dan satu-satunya cara untuk diselamatkan, mengajarkan sesuatu yang menentang ajaran Kristus dan Gereja (Dominus Iesus hlm. 5-9).[34] Santo AnselmusTidak lama setelah tahun 1100, Anselmus diangkat sebagai uskup agung Canterbury dan menulis sebuah risalah klasik tentang pendamaian. Di dalamnya ia mengajukan "teori pemenuhan" mengenai pendamaian dalam keselamatan. Pelanggaran manusia dalam rupa pemberontakan terhadap Allah merupakan tindakan yang menuntut pembayaran/pelunasan atau pemenuhan. Manusia yang jatuh tidak mampu melakukan pemenuhan yang memadai. Namun, kasih Allah sedemikian besar sehingga Allah tidak akan membiarkan manusia menghadapi konsekuensi-konsekuensi dari dosa-dosanya. Anselmus menulis, "Utang ini begitu besar sehingga, meski tiada yang lain selain manusia yang harus menyelesaikan utang tersebut, tiada yang lain selain Allah yang sanggup melakukannya; maka yang melakukannya harus Allah sekaligus manusia." Penderitaan Kristus, Allah-manusia yang adalah putra tunggal Allah, melunasi utang umat manusia terhadap kehormatan Allah, dan karenanya umat manusia diperdamaikan dengan Allah. Allah menanggung kodrat manusia pada diri-Nya sendiri sehingga seorang manusia sempurna dapat melakukan pemenuhan sempurna dan dengan demikian memulihkan umat manusia. Dasar pemikiran Anselmus kelak ditemukan dalam Calvinisme dan Arminianisme.[37] Pandangan Kristen TimurKekristenan Timur kurang begitu dipengaruhi oleh tulisan-tulisan teologis Agustinus dari Hippo. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbeda, dan umumnya kurang begitu memandang keselamatan dalam istilah-istilah yuridis (seperti pengampunan dari hukuman), tetapi lebih dalam rupa istilah-istilah terapeutik (penyembuhan dari penyakit, luka, dll.). Mereka lebih banyak memandang keselamatan dalam konteks pengilahian atau theosis, suatu upaya untuk menjadi kudus atau mendekat kepada Allah melalui persatuan dengan Dia dalam kehendak dan perbuatan sebagai perpanjangan tangan Allah di dunia ini, suatu konsep tradisional yang diajarkan dalam Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja Katolik Timur. Ditekankan juga ajaran tentang pengampunan. Katekismus Panjang dari Gereja Timur, Katolik, Ortodoks, yang juga dikenal sebagai Katekismus St. Filaret,[38] memuat ragam pertanyaan dan jawaban seperti berikut:
Teologi Kristen Ortodoks Timur mengajarkan rahmat yang mendahului, yang berarti bahwa Allah bertindak terlebih dahulu dalam diri manusia, dan bahwa keselamatan tidak mungkin diperoleh dari kehendak manusia semata. Manusia dikaruniai dengan kehendak bebas, dan seseorang dapat menerima ataupun menolak rahmat Allah. Dengan demikian seorang individu harus bekerja sama dengan rahmat Allah agar dapat diselamatkan, dan ia tidak dapat mengklaim kredit apapun atas hal itu, karena setiap kemajuan yang ia lakukan hanya dimungkinkan karena rahmat Allah. Gereja Ortodoks Timur selanjutnya mengajarkan bahwa seorang individu perlu tinggal di dalam Kristus dan memastikan keselamatannya tidak hanya melalui karya-karya kasih, tetapi juga dengan sabar menjalani penderitaan karena berbagai kesedihan, penyakit, kemalangan maupun kegagalan. (Lukas 16:19-31, Markus 8:31-38, Roma 6:3-11, Ibrani 12:1-3, Galatia 6:14).[39] Pandangan ProtestanPerspektif Kristen Protestan mengenai keselamatan adalah bahwa tidak seorang pun dapat memperoleh rahmat Allah tersebut dengan melakukan ritual, perbuatan baik, asketisme maupun meditasi, karena rahmat atau kasih karunia merupakan hasil dari inisiatif Allah tanpa memperhatikan apapun dalam diri orang yang memulai pekerjaan. Secara garis besar, umat Protestan berpegang pada lima sola yang dihasilkan dalam Reformasi Protestan, yang menyatakan bahwa keselamatan diraih dengan rahmat saja dalam Kristus saja melalui iman saja untuk Kemuliaan Allah saja sebagaimana disampaikan dalam Alkitab saja. Beberapa kalangan Protestan, seperti Lutheran dan Reformed, memahami hal ini dalam arti bahwa Allah menyelamatkan semata-mata karena anugerah (rahmat), dan perbuatan yang menyertainya merupakan konsekuensi penting dari anugerah keselamatan. Kalangan lainnya, seperti Metodis (dan Arminian yang lain), percaya bahwa keselamatan adalah karena iman saja, tetapi keselamatan itu dapat hilang apabila tidak disertai dengan iman yang terus berlanjut dan perbuatan yang secara alami menyertainya. Sebagian besar kalangan Protestan percaya bahwa keselamatan diraih melalui anugerah Allah saja, dan begitu keselamatan dipastikan dalam diri seseorang, maka perbuatan baik akan dihasilkan darinya, memungkinkan perbuatan baik untuk sering kali berfungsi sebagai penanda untuk keselamatan. Sebagian kecil Protestan percaya bahwa keselamatan diraih dengan iman saja tanpa merujuk pada perbuatan apapun, termasuk perbuatan yang mungkin menyertai keselamatan (lihat teologi Anugerah Bebas). Keselamatan universalKata Universal dapat diartikan sebagai menyeluruh, semesta, umum meliputi seluruh dunia. Keselamatan universal dapat dikatakan keselamatan ke seluruh dunia, atau dengan kata lain, perluasan keselamatan keluar dari batas-batas Israel. Wesley Ariarajah dalam bukunya Alkitab dan Orang-orang berkepercayaan lain, menyatakan konsep keselamatan yang universal melalui tafsirannya dari kitab Yunus mengenai kisah Niniwe.[40] Ia memaparkan bagaimana keselamatan Allah itu dapat dihadirkan juga kepada orang di luar Israel dan juga orang yang di luar penganut agama Yahudi.[40] Kitab Yunus melukiskan kedaulatan Allah yang mutlak atas seluruh ciptaan. Dalam kisah Niniwe, Allah digambarkan sebagai Allah yang rahami dan mengasihi lebih suka mengampuni daripada menghancurkan.[41] Hal yang ingin ditekankan dalam kitab ini adalah rahmat Allah tidak terbatas kepada bangsa atau orang-orang tertentu. Kota dan orang-orang asing ini sama-sama dipedulikan Allah seperti Israel dan Yerusalem. Doa dan petobatan mereka sama-sama didengar seperti doa dan pertobatan orang lain. Allah memberlakukan Niniwe dengan kasih belas kasih yang dalam. Dalam Perjanjian LamaKeselamatan dalam Perjanjian Lama ada berdasarkan pemenuhan Hukum Taurat.Selain itu, ada juga berdasarkan iman dan anugerah Allah.[42] Sejarah umat Israel bisa dikatakan sebagai sejarah anugerah di mana Allah memilih Israel serta setia menjaga perjanjian-Nya meskipun Israel sering kali berlaku bejat di hadapan Allah.[41] Tema mengenai pengampunan (Maz 130: 3-4) dan iman sebagai respon ketika manusia menerima anugerah Allah juga terdapat di dalam PL (Hab 2: 4).Dalam bahasa Ibrani kata percaya adalah‘mn. Kata ini bisa juga diartikan sebagai percaya dengan mantap dan dapat diandalkan. Selain itu terdapat pula kata yang cukup penting yaitu tsedaqa yang berarti kebenaran. Kata tersebut memiliki gagasan dasar yaitu kesesuaian antara apa yang dilakukan manusia menurut penilaian Allah. Hal tersebut berkaitan dengan cara hidup, bertindak dan bersikap benar di hadapan Allah. Dalam Perjanjian BaruDalam Perjanjian Baru tema keselamatan merupakan salah satu yang menonjol terutama dalam tulisan-tulisan Paulus. Yesus dalam pengajarannya mengecam bahwa seseorang bisa membenarkan dirinya sendiri.[43] Misalnya saja dalam Lukas 18:9-14 mengenai orang farisi dan pemungut cukai dan Lukas 16:15 mengenai orang farisi yang merasa diri benar akibat perbuatannya.[43] Yesus sangat menginginkan agar manusia dapat mencari kebenaran namun tidak dengan usaha sendiri.[43] Pembenaran itu dicapai melalui pertobatan di dalam kerendahan hati.[44] Paulus pun sangat menentang pemahaman bahwa seseorang diselamatkan karena perbuatannya.[44] Paulus menolak pemahaman bahwa seseorang bisa diselamatkan melalui Hukum Taurat dan tradisi-tradisinya (sunat, kurban, dan sebagainya.Dalam bahasa Ibrani kata kebenaran adalah sedaqa, dapat pula berarti kelepasan.Terjemahan kebenaran dalam konsep Ibrani ke dalam PB yaitu dikaiosune. Dari sisi manusia dikaiousune ialah tindakan manusia yang sesuai dengan kehendak Allah sedangkan dari sisi Allah ialah tindakan Allah yang membenarkan manusia. Menurut Paulus kebenaran Allah merupakan cara Allah untuk menilai manusia. Kebenaran itu seharusnya merupakan “status pribadi”. Bangsa-bangsa non Yahudi memperoleh kebenaran walaupun mereka tidak mengejarnya sedangkan bangsa Israel tidak. Hal ini terjadi karena bangsa Israel mengejar kebenaran itu melalui perbuatan bukan melalui iman. PerbandinganTeologi keselamatan dalam Arminianisme (dari Jacobus Arminius) dikenal dengan nama doktrin Arminian. Kelima pokok ajaran Calvinisme yang terkenal dengan singkatannya dalam bahasa Inggris "T U L I P" merupakan tanggapan atas doktrin Arminian. Tabel berikut ini merangkum pandangan klasik dari tiga keyakinan Protestan mengenai keselamatan.[45]
Lihat pula
Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|