Petirtaan Jalatunda

Petirtaan kuno Jolotundo

Petirtaan Jolotundo disebut juga dengan Candi Jolotundo atau Jalatunda adalah kompleks petirtaan kuno yang merupakan kawasan kolam suci petirtaan yang dibangun sejak masa Kerajaan Medang yang telah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, atau lazim disebut Medang periode Jawa Timur dan masih berfungsi hingga sekarang, dugaan paling awal diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Sri Isyana Tunggawijaya putri raja Medang (Mpu Sindok) dengan suaminya Sri Lokapala yang merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.

Lokasi

Lokasi Petirtaan Jolotundo terletak di kaki barat Bukit Bekel, salah satu gunung pendamping di wilayah area Gunung Penanggungan, dan berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Mojokerto, tepatnya di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, berjarak sekitar 50 km arah selatan dari Surabaya dan berjarak sekitar 25 km ke arah tenggara dari Mojokerto. Sampai sekarang, petirtaan ini masih dikunjungi oleh banyak peziarah karena dianggap memiliki khasiat tertentu, baik hari-hari biasa maupun pada malam-malam tertentu menurut penelitian dari beberapa sumber dikatakan mata air Petirtaan Jolotundo memiliki kandungan mineral yang tinggi dan dianggap merupakan mata air terbaik setelah mata air zamzam. Selain fungsi utama sebagai tempat untuk ziarah, pada masa modern tempat ini juga dikembangkan sebagai destinasi wisata keluarga dan pendakian baik untuk kepentingan keagamaan spiritual maupun wisata rekreasi menuju ke Gunung Penanggungan atau Bukit Bekel.

Penemuan

Laporan tentang penemuan kompleks yang ketika itu berada di tengah hutan belantara dibuat oleh J.W.B. Wardenaar, yang pada tahun 1815 bekerja atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Thomas Stamford Raffles.[1] Wardenaar membuat gambar dan deskripsi awal atas situs ini. Bosch dan de Haan (1965). mengutip laporan-laporan pengunjung awal, menyebutkan: "Menurut laporan para pengunjung-pengunjung awal, monumen tersebut sangat sulit dicapai."[2]. Selanjutnya, kajian-kajian dibuat oleh Domis ”De Oosterling” (1836), W.F. Stutterheim ”Het Zinrijke Waterwerk Djalatoenda” (1937), lalu P.H. Pott dalam ”Yoga en Yantra” (1946).[1]

Sejarah

Petirtaan ini dianggap sebagai petirtaan tertua di Jawa Timur, berdasarkan pahatan angka tahun yang tertera di salah satu bagian belakang bangunan, yang bertuliskan 899 Saka, atau 977 M. Adanya relief yang terdapat di candi Jolotundo beserta temuan lempengan logamyang bertuliskan nama Dewi Isana dan Agni dapat menjelaskan bahwa candi ini bercorak Hindu. Hasil penelitian Stuterhim mengatakan bahwa petirtaan ini dulunya terdapat sebuah pancuran,yang mana pancuran tersebut mirip dengan bentuk Gunung Penanggungan yang dikelilingi oleh delapan buah puncak yang lebih rendah yang mempunyai arti simbolis sebagai replika Mahameru. Menurut Bosch, relief cerita yang terdapat di candi Jolotundo terdiri dari 16 panel. Yang mana panel 1-13 diambil dari kitab Mahabharata, sedangkan dari panel 14-16 berisikan cerita dari kitab Kathasaritsagara.[3]

Menurut sumber lain pendiriannya juga dikaitkan dengan Airlangga dan ayahnya Raja Udayana dari Kerajaan Bedahulu, Bali yang didasari pada tulisan Jawa kuno yang ada di dinding selatan teras pertama candi menyebutkan kalimat Udayana, namun kalimat tersebut tidak berdiri sendiri melainkan bersambung kalimat di samping kata Udayana yang menyebutkan tentang Margayawati kedua kalimat tersebut terdapat dalam sebuah karya sastra kitab Kathasaritsagara, Kathasaritsagara sendiri menceritakan tentang persaingan Raja Udayana dengan Ibunya Margayawati digunung Udayaparwa. Setelah 14 tahun pengasingan, kemudian raja Udayana kembali bertemu dengan yang bernama Sahasranika yang merupakan raja dari kerajaan Vasta.

Sementara Airlangga adalah anak pasangan raja Udayana wangsa Warmadewa dari Bali dengan putri Kerajaan Medang bernama Mahendradatta Airlangga merupakan pewaris kekuasaan Medang dan penerus wangsa Isyana, yang mendirikan Medang Kahuripan. Sebagai kelanjutan Medang yang telah runtuh akibat serangan Haji Wurawari dari Lwaram (sekitar Cepu, Blora) sekutu Sriwijaya musuh besar dari kerajaan Medang dan wangsa Isyana, dikemudian Kerajaan Airlangga tersebut kembali terpecah menjadi kerajaan Janggala dan Panjalu akibat dari perebutan takhta antara kedua putranya Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.

Rujukan

  1. ^ a b WIJAYANTO, Totok (25 Januari 2012). "Jalatunda, "Patirtan" Terkuno". Kompas. (mirror link). Diakses tanggal 12 Oktober 2020. 
  2. ^ Bosch, F.; Haan, B. de (1965). "The oldjavanese bathing place of Jalatunda". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. KITLV. 121 (2): 189–232. 
  3. ^ Anonim (3 Januari 2020). "Petirtaan Jolotundo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-19. Diakses tanggal 12 Oktober 2020. 
Kembali kehalaman sebelumnya