Candi Penataran
Candi Penataran atau nama aslinya adalah Candi Palah adalah sebuah gugusan candi bersifat keagamaan Hindu Siwaitis yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415. Dalam kitab Desawarnana atau Nagarakretagama yang ditulis pada tahun 1365, Candi ini disebut sebagai bangunan suci "Palah" yang dikunjungi Raja Hayam Wuruk dalam perjalanan kerajaan bertamasya keliling Jawa Timur.[2] Candi Penataran telah diusulkan dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 19 Oktober 1995.[3] Kompleks candiKompleks candi ini adalah gugusan beberapa bangunan yang membujur dalam poros barat laut-tenggara. Di belakang candi utama di sisi timur terdapat sungai yang berhulu di gunung Kelud. Kompleks candi ini disusun dalam pola linear, beberapa candi perwara dan balai pendopo terletak di depan candi utama. Tata letak ini berbeda dengan candi pada langgam Jawa Tengah, misalnya Candi Sewu, yang disusun dalam pola mandala konsentrik dengan candi utama terletak di tengah halaman candi dikelilingi barisan candi perwara. Pola susunan linear dengan pola agak tidak beraturan pada Candi Penataran ini merupakan ciri khas langgam Jawa Timur yang berkembang pada zaman Kediri hingga Majapahit, lalu dilanjutkan pada pola tata letak Pura Bali. Kompleks bangunan Candi Penataran menempati areal tanah seluas 12.946 meter persegi berjajar membujur dari barat laut ke timur dan tenggara. Seluruh halaman komplek percandian, kecuali yang bagian tenggara, dibagi menjadi tiga bagian, yang dipisahkan oleh dua dinding. Susunan dari komplek Candi Penataran yang sangat unik dan tidak tersusun simetris. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan candi tidak dalam satu periode. Halaman depanMasuk ke dalam halaman depan, pintu gerbang terletak di sisi barat laut kompleks candi, diapit oleh dua arca Dwarapala, penjaga pintu dengan angka tahun 1232 Saka atau 1310 Masehi terpahat pada arca. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Reco Pentung. Berdasarkan pahatan angka tahun yang ada pada kedua lapik arca tersebut, bangunan Candi Palah baru diresmikan menjadi Candi Negara pada masa pemerintahannya Jayanegara dari Majapahit. Sebelah timur kedua arca tersebut terdapat sisa-sisa pintu gerbang yang terbuat dari batu bata merah. Bale AgungMelalui bekas pintu gerbang, pengunjung memasuki bagian terdepan dari Candi Penataran, Bale Agung. Lokasi bangunan tersebut terletak di bagian barat laut halaman depan, posisinya sedikit menjorok ke depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, didingnya masih polos dan memiliki empat buah tangga, dua buah terletak di sisi tenggara, sehingga bangunan ini terkesan menghadap tenggara. Sedangkan dua buah yang lain terletak di sisi timur laut dan barat daya terkesan sebagai tangga ke pintu samping. Pada diding utara dan selatan terdapat dua buah tangga masuk yang membagi dinding sisi timur menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan Bale Agung dililit oleh ukiran ular naga. Kepala ular naga tersembul di bagian kanan dan kiri bangunan. Masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca mahakala. Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Di atas ada pelataran yang di masing-masing sudutnya ada umpak-umpak batu yang diperkirakan sebagai penumpu tiang-tiang kayu yang digunakan untuk atap bangunan. Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J. Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau pendanda. Dipastikan bale atau pendopo ini pernah dinaungi struktur tiang dan atap dari bahan organik kayu dan mungkin beratap ijuk atau sirap yang kini telah lapuk dan musnah. Pendopo TerasLokasi bangunan terletak di sebelah tenggara bangunan Bale Agung. Pendopo Teras seluruhnya terdiri dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 29,05 meter x 9,22 meter x 1,5 meter. Diperkirakan Pendopo Teras digunakan sebagai tempat untuk meletakkan sesaji dalam upacara keagamaan atau tempat peristirahatan raja dan bangsawan lainnya. Pada sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian timur. Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil bersayap dengan lutut kaki ditekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi tangga bagian yang berbentuk ukel besar berhias tumpal yang indah. Bangunan Pendopo Teras berangka tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi. Letak pahatan tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasinya berada di pelipit bagian atas dinding sisi timur. Seperti pada Bale Agung, Pendopo Teras juga dililit teras ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul. Pada dinding Pendopo Teras terdapat relief-relief yang menceritakan berbagai kisah yang belum semua terinterpretasi dengan pasti, di antaranya adalah cerita Bubhuksah dan Gagang Aking (dalam cerita rakyat juga dikenal sebagai kisah Bela-belu dan Dami Aking), Sang Satyawan, dan Sri Tanjung. Candi Candra SengkalaCandi Candra Sengkala berangka tahun 1291 Saka atau 1369 Masehi. Masyarakat Jawa Timur lebih mengenalnya dengan nama Candi Brawijaya yang merupakan bangunan yang paling dikenal dalam kompleks Candi Penataran dan juga digunakan sebagai lambang Kodam V Brawijaya. Terkadang ada juga yang menyebutnya Candi Ganesha karena di dalam bilik candinya terdapat sesosok arca Ganesha. Lokasi candi berada di sebelah tenggara bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meter. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Bagian dalam relung candi terdapat sebuah arca Ganesha dari batu dalam posisi duduk di atas padmasana. Pada bagian atas bilik candi pada batu penutup cungkup terdapat relief Surya Majapahit yakni lingkaran yang dikelilingi oleh jurai pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda sebagai lambang kerajaan. Candi Candra Sengkala seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain, terdiri dari bagian-bagian yang disebut kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi, terdapat bilik atau kamar candi (garbagriya) dan kemudian mastaka atau kemuncak bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota terdapat hiasan yang raya dan pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang di bagian atasnya terdapat kepala raksasa kala yang rupanya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan. Penempatan kepala kala di atas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk komplek percandian. Sementara itu pada sekeliling bangunan ini terdapat sisa-sisa tembok bata yang tinggal bagian dasarnya dengan pintu masuk di sisi barat laut. Bangunan-bangunan di halaman pertama ini seluruhnya terbuat dari batu andesit. Kecuali dua buah fondasi dari bata berdenah persegi panjang, terletak di sebelah timur laut candi Candra Sengkala ini. Di sebelah kiri candi Candra Sengkala terdapat arca wanita yang ditafsirkan sebagai arca perwujudan Gayatri Rajapatni. Halaman tengahMemasuki halaman kedua dari Candi Penataran, terdapat dua buah arca Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil dibanding Dwarapala pintu masuk candi. Seperti pada arca Dwarapala di pintu masuk, Dwarapala ini pun pada lapik arcanya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214 Saka atau 1319 Masehi, setahun lebih tua dibanding Dwarapala di pintu masuk, juga berasal dari zaman Raja Jayanegara. Halaman tengah atau halaman kedua ini terbagi menjadi dua bagian oleh tembok bata yang membujur arah percandian di tengah halaman. Tembok tersebut sekarang hanya tinggal pondasinya saja yang masih terlihat. Pada bagian timur laut ada enam buah sisa bangunan dari batu maupun dari bata. Tiga buah tinggal sisanya berupa fondasi dari bata, dua buah berupa batur dan sebuah lagi berupa candi tanpa penutup di atasnya. Batur pertama terbuat dari batu bercampur bata dengan ukuran lebih besar dibanding batur satunya yang khusus terbuat dari batu. Pada bagian dalam halaman tengah ini terdapat Candi Naga yang hanya tersisa bagian kaki dan badan dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Nama Candi Naga digunakan untuk menamakan bangunan ini karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan disangga tokoh-tokoh berbusana raya seperti raja sebanyak sembilan buah, masing-masing berada di sudut-sudut bangunan, bagian tengah ketiga dinding dan di sebekah kiri dan kanan pintu masuk. Para Batara ini menggambarkan sosok makhluk kahyangan, yaitu para dewa dilihat berdasarkan dari ciri busana raya dan perhiasan mewah yang dikenakannya. Salah satu tangannya memegang genta (lonceng upacara) dan tangan yang lainnya menopang tubuh naga yang melingkar di bagian atas bangunan dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan. Masing-masing dinding tubuh candi dihiasi dengan relief-relief buatan yang disebut dengan motif medalion. Pintu masuk candi terletak di barat laut dengan pipi tangga berhiaskan tumpal dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Di depan telah disampaikan bahwa gambar naga di sangga 9 orang ini mengisyaratkan sebuah candrasengkala ”Naga muluk sinangga jalma” yang berarti angka tahun 1208 Saka atau 1286 M dimasa pemerintahan Kertanegara. Fondasi bataMasih dalam lingkungan halaman tengah, terdapat sebuah fondasi dari bata yang terkesan menghadap barat daya, diketahui dari bidang menjorok ke sisi barat daya dan membentuk suatu pintu masuk. Lokasinya terletak di sebelah timur candi. Bagian barat daya terdapat dua buah sisa bangunan, yaitu sebuah fondasi dari bata berukuran 10 x 20 meter dan sebuah lagi berdenah bujur sangkar yang memiliki ciri-ciri sama dengan salah satu fondasi di bagian timur laut. Pada bagian sudut barat halaman ini terdapat sekumpulan ambang pintu yang terlepas dari bangunan aslinya. Pada ambang-ambang pintu itu beberapa di antaranya memuat angka tahun yang masih dapat terbaca dengan jelas, yaitu tahun 1245 Saka, 1294 Saka, 1295 Saka, dan dua buah lagi berangka tahun sama yaitu 1301 Saka. Ada dua buah arca Dwarapala lagi dengan angka tahun 1242 Saka terletak di pintu masuk ke halaman ketiga yang mungkin bekas sebuah gapura paduraksa, karena dekat tempat itu terdapat reruntuhan sebuah pintu yang berangka tahun 1240 Saka. Halaman belakangMelewati pintu gerbang paduraksa yang hanya tinggal fondasi dan dijaga dua Dwarapala, sampailah di halaman ketiga terletak di ujung tenggara sebagai bagian paling belakang dari kompleks candi dan terletak di tanah yang lebih tinggi dari yang lainnya. Karena adanya anggapan bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang paling sakral. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan di halaman ini yang letaknya tidak beraturan. Dua buah candi yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk dan prasasti Palah berupa linggapala. Sepanjang sisi barat laut terdapat lima buah sisa bangunan berupa fondasi dan batur dari batu atau bata. Satu daiantaranya sebuah batur yang terdapat relief-relief cerita candi. Tingginya sekitar satu meter. Candi utamaPada halaman ketiga ini terdapat bangunan candi induk yang terdiri dari tiga teras tersusun dengan tinggi 7,19 meter. Pada masing-masing sisi tangga terdapat dua arca mahakala, yang pada lapiknya terdapat angka tahun 1269 Saka atau 1347 M. Sekelling dinding candi pada teras pertama terdapat relief cerita Ramayana. Untuk dapat membacanya harus mengikuti arah prasawiya, dimulai dari sudut barat laut. Pada teras kedua sekeliling dinding dipenuhi pahatan relief ceritera Krçnayana yang alur ceriteranya dapat diikuti secara pradaksina (searah jarum jam). Sedangkan di teras ke tiga berupa relief naga dan singa bersayap. Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-dindingnya berpahatkan arca singa bersayap dan naga bersayap. kepalanya sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dakam posisi berjongkok sedang kaki depan diangkat ke atas. Pada sisi sebelah barat daya halaman terdapat dua buah sisa bangunan. Sebuah candi kecil dari batu yang belum lama runtuh yang oleh orang Belanda dulu dinamakan klein heligdom atau bathara kecil. Tampaknya candi inilah yang mula-mula dibuat bersamaan dengan prasasti Palah melalui upacara pratistha tersebut. Sebuah sisa yang lain berupa fondasi dari bata. Kedua sisa bangunan ini menghadap ke arah barat daya. Sederet dengan sisa kedua bangunan ini berdiri sebuah lingga batu yang disebut prasasti Palah. Dalam area komplek percandian juga terdapat sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi yang terletak di belakang candi sebelah tenggara dekat aliran sungai. Prasasti PalahPrasasti Palah adalah prasasti yang dibuat oleh Raja Srengga dan ditemukan di halaman candi Penataran berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi[4] menerangkan bahwa “menandakan Kertajaya berbahagia dengan kenyataan tidak terjadi sirnanya empat penjuru dari bencana” dari kalimat ”tandhan krtajayayåhya / ri bhuktiniran tan pariksirna nikang sang hyang catur lurah hinaruhåra nika”. Rasa senangnya tersebut kemudian dia curahkan dengan perintah dibangunnya prasasti yang tertulis dalam sebuah linggapala oleh Mpu Amogeçwara atau disebut pula Mpu Talaluh. Bangunan tersebut dia fungsikan untuk menyembah Bathara Palah, seperti yang tertuang dalam prasasti tersebut yang beerbunyi “sdangnira Çri Maharaja sanityangkên pratidina i sira paduka bhatara palah” yang berarti “Ketika dia Sri Maharaja senantiyasa setiap hari berada di tempat bathara Palah”. SejarahArkeolog meyakini bahwa candi Penataran di masa penggunaannya dulu dinamakan Candi Palah, sebagaimana disebut dalam prasasti Palah. Isi prasasti menyebutkan tahun 1194 sebagai tahun pembangunan oleh Raja Çrnga (Syrenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa yang memerintah kerajaan Kediri antara tahun 1190 – 1200. Maksud pembangunan adalah sebagai candi gunung untuk tempat upacara pemujaan agar dapat menangkal atau menghindar dari mara bahaya akibat Gunung Kelud yang sering meletus dan merusak kawasan pemukiman dan pertanian. Kitab Negarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca menceritakan perjalanan Raja Hayam Wuruk, yang memerintah kerajaan Majapahit antara tahun 1350 – 1389, ke "Palah" untuk melakukan pemujaan kepada Hyang Acalapat, perwujudan Siwa sebagai Girindra (Giri Indra, "dewa penguasa gunung"). Kesamaan nama Girindra yang disebut pada kitab Negarakretagama dengan nama Ken Arok yang bergelar Girindra atau Girinatha menimbulkan dugaan bahwa Candi Penataran adalah tempat pedharmaan (perabuan) Ken Arok, Girindra juga adalah nama salah satu wangsa yang diturunkan oleh Ken Arok selain wangsa Rajasa dan wangsa Wardhana. Sedangkan Hyang Acalapati adalah salah satu perwujudan dari Dewa Siwa, serupa dengan peneladanan sifat-sifat Bathara Siwa yang konon dijalankan Ken Arok. Perhatian kembali terhadap kompleks Palah dilakukan pada tahun 1286, oleh penguasa terakhir Singhasari, Kertanegara. Dia mendirikan Candi Naga dengan hiasan relief naga yang disangga sembilan orang sebagai lambang suryasengkala ”Naga muluk sinangga jalma” atau tahun 1208 Saka. Pada masa pemerintahan Jayanegara, raja kedua Majapahit, candi Penataran mulai mendapat perhatian kembali, kemudian dilanjutkan pada masa Tribuanatunggadewi dan Hayam Wuruk. Pemujaan terhadap Dewa Palah semakin kental diwarnai pemujaan kepada Dewa Gunung atau Syiwa. Candi Penataran diresmikan sebagai candi negara dengan status dharma lepas. Sesuai angka tahun yang dipahatkan didinding kolam yaitu tahun 1337 Saka atau tahun 1415 M merupakan angka tahun termuda di antara angka-angka tahun yang terdapat di kompleks candi Penataran tersebut. Waktu itu Majapahit di dalam masa pemerintahan Wikramawardhana. Kronik berbahasa Sunda yang berasal dari abad XV mengenai kisah perjalanan Bujangga Manik, seorang bangsawan Kerajaan Sunda, menyebutkan bahwa "Rabut Palah" masih merupakan tempat belajar agama dan tujuan ziarah yang ramai. Dalam naskah itu sang tokoh mengaku tinggal di sana selama setahun dan kemudian terpaksa pergi karena para peziarah "lebih mementingkan hal duniawi".[5] Candi Penataran pertama kali dilaporkan keberadaannya oleh catatan Inggris pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), gubernur jenderal pemerintah kolonial Inggris yang pernah berkuasa di Nusantara. Seiring berjalannya waktu, kompleks candi Penataran yang sempat terabaikan smulai mendapatkan perhatian dari pemerintah dan kemudian dipugar. Relief candiSelain sebagai komplek percandian terluas, Candi Penataran juga memiliki kekhasan dalam ikonografi reliefnya. Gaya reliefnya menunjukkan bentuk yang jelas berbeda dari candi-candi Jawa Tengah dari sebelum abad ke-11 seperti Candi Prambanan. Wujud relief manusia digambarkan mirip wayang kulit, seperti yang bisa dijumpai pada gaya pengukiran yang ditemukan di Candi Sukuh, suatu candi dari masa akhir periode Hindu-Buddha dalam sejarah Nusantara. Bubhuksah dan Gagang AkingSebagian dinding Pendopo Teras sisi timur terukir kisah Bubhuksah dan Gagang Aking. Ceritanya adalah sebagai berikut. Bubhuksah digambarkan sebagai sesosok makhluk yang berbadan besar, suka memakan apa pun, ikhlas, dan tidak pernah tidur. Gagang Aking, sebaliknya, kurus kering, suka berpuasa, dan suka tidur. Suatu saat Dewa Siwa menjelma menjadi macan putih yang hendak memangsa mereka, guna menguji kedua orang tersebut. Tanggapan dari Gagang Aking adalah ”saya orang yang kurus, jangan makan saya tetapi makanlah teman saya yang gemuk”; sedangkan Bubhuksah ”silakan makanlah tubuh saya”. Dalam ujian tersebut Bubhuksah lulus dan ia kemudian diantar sang macan masuk surga. Hikmah yang bisa dipetik dari kisah tersebut yakni manusia harus ikhlas dalam menjalani hidup ini. Sri Tanjung
Kisah berikutnya yang terukir pada relief Pendopo Teras adalah kisah Sri Tanjung, yang dimulai dari sisi barat ke selatan dengan putaran prasanawya.[6] Kisah Sri Tanjung diawali dengan lukisan Raden Sidapaksa mengabdi kepada Raja Sulakrama di Negeri Sindurejo. Sidapaksa diutus mencari obat oleh raja kepada kakeknya Bhagawan Tamba Petra dan di sana ia menjalin cinta dengan Sri Tanjung. Setelah menjadi istrinya, Sri Tanjung diboyong ke Sindurejo. Raja Sulakrama tergila-gila dengan Sri Tanjung, sehingga mencari daya agar bisa memisahkannya dengan Sidapaksa. Sidapaksa lantas diutus ke Sorga, dengan membawa surat yang isinya pembawa surat akan menyerang Sorga. Atas bantuan Sri Tanjung yang menerima warisan selendang dari ayahnya Raden Sudamala, dia bisa ke sorga, dan di sana dia dihajar para dewa. Namun akhirnya dengan menyebut leluhurnya Pandawa dia dibebaskan dan diberi berkah. Sepeninggal Sidapaksa, Sri Tanjung dipaksa oleh Sulakrama dan Sri Tanjung menolak. Mendadak datang Sidapaksa dan Sri Tanjung difitnah mengajak raja berzinah. Akhirnya dengan garang Sidapaksa membunuh Sri Tanjung. Namun Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh para dewa. Sidapaksa pun diharuskan membunuh Raja Sulakrama, dan dalam peperangan dia berhasil. Ramayana dan KresnayanaPada dinding Candi Utama terukir relief Ramayana dengan tokoh Rama dan Shinta, dan relief Kresnayana dengan tokoh Krisna dan Rukmini. Kisah Kresnayana menceritakan Krisna yang menculik dan mempersunting Rukmini. Relief candi di Jawa Timur biasanya dipahat berdasarkan analogi riwayat hidup tokoh yang didharmakan di tempat tersebut. Kisah Ramayana dan Kresnayana yang dipahatkan pada dinding candi Penataran ditafsirkan mirip dengan kisah Ken Arok dan Ken Dedes. Ketokohan Ken Arok sendiri masih menjadi kontroversi antara karakter seorang bandit yang berambisi memperbaiki keturunan setelah mengerti arti cahaya yang terpancar dari garbha Ken Dedes yang dilihatnya dan kemudian membunuh Tunggul Ametung yang menjadi suami sang nareswari, atau karakter seorang bangsawan yang mengemban amanat dari Mpu Purwa yang merupakan ayah Ken Dedes sekaligus keturunan Mpu Sindok untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Kanjuruhan yang ditaklukkan oleh kerajaan Kediri, dengan dukungan kalangan brahmana dari kedua kerajaan. Kitab Negarakretagama menyebutkan bahwa Ken Arok dicandikan di daerah Kagenengan, yang dewasa ini masih tersisa sebagai nama desa di wilayah selatan Kabupaten Malang, tepatnya di Kecamatan Pakisaji. Belum dapat dipastikan apakah Desa Kagenengan ini merupakan tempat yang sama yang disebut dalam kitab Negarakertagama, dan apakah luas daerah ini pada zaman itu meliputi wilayah Kecamatan Nglegok, tempat Candi Penataran berada. ReferensiWikimedia Commons memiliki media mengenai Candi Panataran.
Pranala luar |