Museum Kereta Api Ambarawa
Museum Kereta Api Ambarawa (bahasa Inggris: Indonesian Railway Museum, Ambarawa) adalah bekas stasiun kereta api yang sudah dialihfungsikan menjadi sebuah museum serta merupakan museum perkeretaapian pertama di Indonesia. Museum ini secara administratif terletak di Panjang, Ambarawa, Semarang; pada ketinggian +474,40 meter, termasuk dalam Daerah Operasi IV Semarang. Museum ini dikelola oleh KAI Wisata bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. SejarahPembangunan Stasiun Willem INama Willem I yang disandang oleh stasiun ini berasal dari nama benteng yang letaknya tak jauh dari kompleks stasiun ini, yaitu Benteng Willem I yang dikenal juga sebagai "Benteng Pendhem". Dinamakan Willem I karena dibangun untuk menghargai jasa-jasa Raja Belanda yang bertakhta pada saat itu, yaitu Raja Willem I dari Belanda. Agar mobilisasi tentara dan logistik KNIL lancar, maka Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) diberi tugas oleh Pemerintah Kolonial di bawah Gubernur Jenderal baron Sloet van de Beele untuk membangun jalur kereta api baru yang menghubungkan Semarang dengan benteng ini. Ternyata, pembangunan jalur ini satu paket dengan jalur kereta api Samarang NIS–Gundih–Solo Balapan–Lempuyangan. Maka setelah suksesnya NIS membangun jalur Samarang–Tangoeng yang selesai pada tanggal 10 Agustus 1867, maka pada awal tahun 1869, selain memperpanjang jalurnya menuju Gundih, NIS juga membangun jalur baru menuju Bringin dan selanjutnya diperpanjang menuju Ambarawa. Pada tanggal 21 Mei 1873, jalur Samarang–Vorstenlanden dan Kedungjati–Ambarawa telah selesai dibangun.[4][5][6] Periode kedua adalah pembangunan jalur kereta api Secang–Ambarawa. Karena jalur kereta apinya melalui pegunungan dengan kontur yang terjal dan topografi yang sukar untuk ditaklukkan, maka agar laju kereta api terkendali, dibuatlah sistem rel gigi. Jalur ini menghubungkan kawasan strategis militer Hindia Belanda di Kota Magelang dengan Benteng Willem I di Ambarawa. Hal ini bertujuan untuk mempermudah mobilitas tentara KNIL di kawasan tersebut. Pada tanggal 1 Februari 1905, jalur segmen ini telah selesai dibangun.[7] Stasiun ini menjadi pertemuan jalur NIS yang menggunakan lebar sepur 1.435 mm (arah Kedungjati) dengan jalur dengan sepur 1.067 mm (arah Secang). Sejak Juni 1942, jalur kereta api Kedungjati–Willem I dan Semarang Tawang–Solo Balapan–Yogyakarta yang semula menggunakan sepur 1.435 mm, akhirnya diubah menjadi 1.067 mm.[8] Menjadi museum dan reaktivasi jalurPenutupan jalur kereta api Yogyakarta–Magelang–Secang pada tahun 1975 ternyata berdampak pada jalur ini. Bahkan kereta-kereta api tidak bisa bergerak ke arah Magelang karena terjadinya banjir lahar hasil erupsi Gunung Merapi 1972.[9] Praktis, PJKA menutup jalur kereta api ini. Semenjak 1970-an, lokomotif-lokomotif uap mulai berguguran karena faktor usia. Banyak yang dirucat, dipindahtangankan, atau bahkan dijadikan barang rongsokan. Karena prihatin dengan hal tersebut, maka pada tanggal 8 April 1976, Gubernur Jawa Tengah, Soepardjo Rustam, beserta Kepala PJKA Eksploitasi Tengah, Soeharso, memutuskan untuk membuka sebuah museum kereta api yang nantinya akan mengoleksi barang-barang antik era lokomotif uap.[10] Pemilihan Stasiun Willem I sebagai lokasi museum akhirnya disepakati oleh Komisi D DPRD Jawa Tengah pada tanggal 6 Oktober 1976. Pada tanggal 21 April 1978, museum ini mulai dibuka dan mulai menyelenggarakan angkutan kereta api wisata uap. Rutenya adalah Ambarawa–Tuntang–Ambarawa dan Ambarawa–Bedono–Ambarawa. Untuk menunjang operasi, Stasiun Tuntang, Jambu, dan Bedono tetap dipertahankan.[10] Untuk segmen Kedungjati–Tuntang saat ini telah menjalani proses reaktivasi, namun saat ini proyeknya tersendat lantaran masalah pembebasan lahan. Dalam reaktivasi ini, direncanakan jumlah perlintasan sebidangnya akan dikurangi dan saat ini belum ada proses. Untuk mendukung reaktivasi, bangunan Stasiun Bringin, Gogodalem, dan Tempuran harus dirombak.[11][12][13] Bangunan, tata letak, dan situasiArsitekturBangunan utama (stasiun) merupakan stasiun pulau. Mulanya, bangunan stasiun ini berupa bangunan berkanopi yang dibangun dari kayu jati. Sejak tahun 1907, stasiun ini menggunakan arsitektur yang mirip dengan Stasiun Kedungjati dan Purwosari. Ukuran bangunan stasiun ini lebih besar daripada Kedungjati maupun Purwosari karena bentang atapnya mencapai 21,75 meter sementara Kedungjati 14,65 meter dan Purwosari 13 meter. Bangunan ini terdiri atas kanopi yang memayungi bangunan utama serta jalur yang mengapitnya.[14] KoleksiBeberapa lokomotif uap adalah 2 unit kelas B25 (Esslingen 0-4-2RT) yaitu B2502 dan B2503 (2 dari 3 unit lokomotif yang tersisa; lokomotif ketiga, B2501 dimonumenkan di Monumen Palagan Ambarawa).[15] Dahulu, terdapat loko uap kelas E10 (Esslingen 0-10-0RT), bernomor E1060 yang semula dikirimkan ke Sumatera Barat pada tahun 1960 untuk menarik kereta api batu bara, tetapi kemudian dibawa ke Jawa, dan sebuah lokomotif konvensional 2-6-0T C1218 yang dihidupkan kembali pada tahun 2006 setelah lama disimpan di Cepu, kemudian direlokasi ke Ambarawa tahun 2002. Namun, lokomotif E1060 dipulangkan kembali ke Sawahlunto sedangkan lokomotif C1218 dibawa ke Surakarta dijadikan kereta wisata Jaladara.[16] Baru-baru ini museum mendapat tambahan lokomotif diesel hidraulis D 300 23 yang berasal dari depo lokomotif Cepu yang dipindah ke depo lokomotif Ambarawa pada 6 Oktober 2010.[17] Lokomotif uap B 5112 yang buatan pabrik Hanomag, telah berhasil dihidupkan kembali sejak Januari 2014.[18] Museum Ambarawa juga mempunyai beberapa koleksi baru seperti kereta inspeksi Sultan Madura, kereta kayu dari Kebonpolo, Magelang, NR kayu dari Balai Yasa Yogyakarta, gerbong GR dari Balai Yasa Manggarai, serta lokomotif diesel CC 200 15 dan lokomotif DD5512, yang dahulu berbasis di Stasiun Cirebon dan Stasiun Jatibarang.[19][20] Ada pula satu unit lokomotif BB200.[21] Lokomotif-lokomotif diesel tersebut sebagian telah dipindah ke Stasiun Tuntang. Koleksi lainnya adalah halte (Cicayur dan Cikoya serta beberapa halte kayu di jalur kereta api Purwosari–Wonogiri), persinyalan mekanik, pencetakan tiket, peralatan administrasi, serta atribut perusahaan dari era SS dan NIS hingga PJKA. Layanan kereta apiUntuk menunjang kepariwisataan, PT KAI menyelenggarakan suatu angkutan kereta api wisata. Di museum ini terdapat dua layanan kereta api, yaitu kereta wisata Ambarawa–Bedono pp dan Ambarawa–Tuntang pp. Perjalanannya hanya dilakukan secara reguler pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional; untuk hari lain hanya bisa dilakukan dengan sistem sewa. Kereta wisata Ambarawa–Bedono merupakan kereta api yang menggunakan rel gigi. Pihak museum sendiri kemudian menjenamakan layanan ini sebagai Ambarawa Mountain Railway Tour.[10] Rutenya dari Ambarawa–Jambu–Bedono dan kembali ke Ambarawa. Perjalanan ke Bedono hanya bisa dilakukan oleh lokomotif uap bergigi (B25) karena tidak ada satu pun lokomotif diesel yang dipasangi roda gigi. Selain itu, reservasi tiket kereta api uap hanya bisa dipesan melalui sistem sewa. Akibatnya, Stasiun Bedono dan Jambu hanya dibuka pada saat ada perjalanan kereta api tersebut.[22][23] Kereta wisata Ambarawa–Tuntang dijalankan secara reguler menggunakan lokomotif diesel, tetapi dapat disewakan baik dengan lokomotif uap maupun lokomotif diesel. Untuk perjalanan reguler terdapat jadwal kereta api yang berangkat pada pukul 10.00, 12.00, dan 14.00.[24] Pada budaya populerBeberapa film yang disyuting di Museum Kereta Api Ambarawa adalah Sang Pencerah (2010) dan Soekarno (2013) yang kedua-duanya disutradarai oleh Hanung Bramantyo.[25][26] Selain itu, film lainnya yang juga mengambil lokasi syuting di Ambarawa adalah Di Bawah Lindungan Ka'bah (2011) karya Hanny R. Saputra,[27] Soegija (2012) karya Garin Nugroho,[28] serta Buya Hamka (2023).[29] Galeri
Lihat pulaReferensi
|