Museum Trinil
Museum Trinil adalah museum khusus yang mengoleksi beragam jenis fosil manusia purba dan hewan. Perintisan museum dilakukan oleh Wirodiharjo sejak tahun 1980. Pada tanggal 20 November 1991, Museum Trinil diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur, Soelarso. Pemilik museum adalah pemerintah Provinsi Jawa Timur, sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada Unit Pelakasana Teknis Museum Trinil Ngawi. Koleksi museum berasal dari situs Trinil. Situs tersebut diteliti oleh seorang dokter militer Hindia Belanda bernama Eugene Dubois. Ia melakukan penelitian selama tahun 1891-1893. Penemuannya ialah fosil manusia purba Pithecanthropus Erectus. Museum Trinil mengoleksi fosil-fosil yang kemudian ditemukan satu per satu. Beberapa koleksinya yaitu tulang panggul gajah jenis Stegodon Trigonochepslus dan fosil tulang pengumpil gajah. Museum Trinil beralamat di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Ngawi[1] Museum Trinil memiliki luas bangunan mencapai 24.010 m². Museum ini kelilingi oleh aliran Sungai Bengawan Solo.[2] Informasi UmumWaktu KunjunganPengunjung bisa datang ke Museum Trinil pada hari[3]:
TiketBiaya masuk ke Museum Trinil[3]:
Namun, pada Agustus 2017 pengunjung bisa ke Museum Trinil secara gratis.[2] FasilitasMuseum Trinil memiliki berbagai fasilitas, di antaranya memiliki informasi yang lengkap tentang diorama-diorama yang ditampilkan. Selain itu, museum ini dilengkapi dengan fasilitas musala, arena bermain untuk anak, tempat untuk istirahat, tempat berkemah, toilet, toko cinderamata, dan taman.[3] SejarahMuseum Trinil dan Situs Trinil memiliki sejarah yang erat. Situs Trinil, salah satu situs penting di Indonesia dari era Pleistosen, menyimpan banyak informasi penting tentang kehidupan prasejarah, termasuk manusia, budaya, dan lingkungan pada masa lampau. Situs ini mulai terkenal di dunia setelah Eugene Dubois memulai penelitiannya di wilayah Ngawi pada tahun 1891, meliputi tiga desa: Desa Kawu, Desa Gemarang, dan Desa Ngancar. Nama "Trinil" sendiri berasal dari tiga desa tersebut (tri) dan Sungai Bengawan Solo yang mengalir di sekitarnya, yang pada saat itu memiliki debit air melimpah seperti Sungai Nil (nil). Di Trinil, Eugene Dubois menorehkan penemuan penting. Pada tahun 1891, ia menemukan atap tengkorak dan gigi manusia yang mirip kera. Setahun kemudian, tulang paha kiri manusia purba pun ditemukan. Eugene Dubois kemudian menamai temuannya Pithecanthropus erectus, yang berarti "manusia kera yang berjalan tegak". Penemuan revolusioner ini menjadi tonggak awal penelitian situs-situs Pleistosen dan perkembangan paleoantropologi di Indonesia. Trinil pun mendunia sebagai situs penting dalam evolusi manusia pada akhir abad ke-19, menarik para peneliti lain untuk mengikuti jejak Eugene Dubois dan melakukan penelitian di sana.[4] Setelah penelitian Eugene Dubois dan Emil dan Lenore Selenka, para peneliti asing kembali mengunjungi Situs Trinil. Di masa ini, Wirodiharjo, seorang penduduk lokal, mulai tertarik dengan fosil yang ditemukan di sana. Kecintaannya terhadap fosil mendorongnya untuk menetap di Trinil, Dukuh Pilang, Desa Kawu, sejak tahun 1967. Kehadiran Wirodiharjo di Trinil menjadi sumber informasi penting bagi para pengunjung yang ingin mempelajari fosil di sana. Wirodiharjo tergerak untuk mengumpulkan dan melestarikan fosil yang ia temukan di tepi Sungai Bengawan Solo. Fosil-fosil ini kemudian disimpan di rumahnya hingga jumlahnya sangat banyak, bahkan mencapai sepertiga dari luas rumahnya. Kegemarannya mengumpulkan fosil atau "balung buto" ini kemudian membuatnya dikenal dengan sebutan Wiro Balung.[4] Museum Trinil didirikan atas dedikasi Wirodiharjo dalam mengumpulkan dan menyimpan fosil di rumahnya. Awalnya, pemerintah daerah Ngawi membantu Wirodiharjo dengan membangun gedung penyimpanan fosil pada tahun 1980/1981. Bangunan ini kemudian bertransformasi menjadi museum khusus pada tahun 1982. Pada tahun 1986, Museum Trinil mendapatkan bantuan lemari dan dana konservasi. Atas dukungan APBD Provinsi Jawa Timur, museum direhabilitasi pada tahun 1990/1991 dengan fasilitas untuk mendukung pariwisata. Museum Trinil diresmikan pada tanggal 20 November 1991 oleh Gubernur Soelarso.[4] Referensi
|