Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibu kotanya adalah Kota Palangka Raya. Berdasarkan sensus tahun 2010, provinsi ini memiliki populasi 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan. Data Kementerian Dalam Negeri pada pertengahan 2024 mencatat penduduk provinsi ini berjumlah 2.784.971 jiwa.[2][3] Kalimantan Tengah mempunyai 13 kabupaten dan 1 kota.[3] SejarahSejarah awalMenurut legenda suku Dayak yang berasal dari Panaturan Tetek Tatum yang ditulis oleh Tjilik Riwut mengisahkan orang pertama yang menempati bumi atau menginjakan kakinya di Kalimantan adalah Raja Bunu. Pada abad ke-14 Maharaja Supayaryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) yang berpusat di Candi Agung dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah batang sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang dengan kepala-kepala daerahnya masing-masing yang disebut Mantri Sakai (Kepala Distrik), sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.[6] Kerajaan Negara Dipa dilanjutkan oleh Kerajaan Negara Daha dengan raja pertamanya Miharaja Sari Babunangan Unro miharaja= maharaja. Raja tersebut telah mengantar salah seorang puteranya yang bernama Raden Sira Panji Kesuma alias Uria Gadung (Uria= Aria) untuk memegang kekuasaan wilayah Tanah Dusun [atau Barito Raya] yang berkedudukan di JAAR – SANGGARWASI. Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah: Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas secara otonom menjalankan hukum adat Dayak-Kaharingan, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para kesatria gagah perkasa, di antaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Wilayah KesultananPada abad ke-16, Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah mandala Kesultanan Banjar, penerus Negara Daha yang telah memindahkan ibu kota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang putri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok. Selain itu orang Biaju (sebutan Dayak pada zaman dahulu) juga pernah membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut takhta dari Sultan Ri'ayatullah. Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting.[6] Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.[7] Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin[8] Pendudukan Portugis dan Misionaris KristenOrang-orang Portugis dari Makau sudah berdagang ketika VOC-Belanda tiba di Banjarmasin pada tahun 1679 dengan maksud mengamankan perdagangan itu dan mengusir pedagang negara Makao dari pasar itu. Ambisi para pedagang negara Portugis yang terlibat dalam pasar ini lebih besar daripada yang dibayangkan oleh VOC-Belanda. Kompeni mengetahui bahwa karena perebutan kekuasaan internal, Sultan Dipati Anom (Raden Kasuma Lelana) ditantang oleh kedua keponakannya, dua putra Sultan Ratu Anom (Raden Kasuma Alam gelar Sultan Saidullah 1), yakni Suria Angsa dan Suria Negara, dan bantuan Portugis tersebut telah didaftar sebagai pemberontak melawan Sultan Dipati Anom (Raden Kasuma Lelana gelar Pangeran Suria Nata 2). Portugis dari Macao memulai upaya pertama mereka untuk memonopoli produksi lada Banjarmasin. Kebijakan intervensi Portugis dan mendukung penggulingan Sultan Dipati Anom akhirnya berhasil dengan Suria Angsa menjadi Sultan dan Portugis memperoleh hak-hak komersial. Hak-hak komersial ini tidak sama dengan monopoli tetapi cukup mengecewakan VOC-Belanda, yang sudah tidak senang dengan kerusuhan politik Banjarmasin yang tak berkesudahan, bahwa Perusahaan (Kompeni) berhenti berdagang di Banjarmasin pada tahun 1681; VOC-Belanda yakin bahwa dapat mengamankan stok lada tambahan dari peningkatan produksi lada di Palembang dan Banten.[9] Pada masa kekuasaan Sultan Saidillah sekitar tahun 1685, Portugis mengirim seorang pastor bernama Ventigmilia.[10] Jenderal Macau seperti Andrea Coelo Viera, Aloysius Francesco Cottigno, maupun Kapten Kapal Emmanuelle Araugio Graces, sama-sama ingin menjadi sponsor perjalanan pastor Antonio Ventimiglia ke tanah Borneo. Penjelajahannya dimulai per tanggal 16 Januari 1688 dari Macau. Pada tanggal 2 Februari 1688, Antonio Ventimiglia tiba di Banjarmasin dengan kapal Potugis (sekutu Sultan Suria Angsa dari Banjar), untuk mengembangkan agama Katolik di udik negeri Banjar di sepanjang sungai Barito dan akhirnya ia meninggal di udik pada tahun 1691.[11][12] Cay Deponattee (Kiai Dipanata), seorang pria dengan karakter kejujuran terbesar di antara mereka, mengatakan kepada Daniel Beeckman, bahwa beberapa tahun yang lalu datang ke bagian-bagian itu seorang pendeta Portugis, atau biarawan, yang dengan perilakunya yang sopan dan cara-caranya yang menawan telah memperoleh banyak manfaat bagi agama Kristen, tetapi tidak puas untuk berkhotbah di antara mereka, dia harus pergi ke pedesaan di antara orang-orang pedalaman yang kasar, yang disebut Byajos, yang oleh mereka dia dibunuh dengan kejam.[13][14] Perusahaan Hindia Timur BelandaPenyerahan Sunan BatuBerdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam (sunan batu) dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura, Hulu Sungai sampai Distrik Pattai, Distrik Sihoeng dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Sesuai traktat 1 Januari 1817, Sultan Sulaiman dari Banjar menyerahkan Kalimantan Timur, Kalimatan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada Hindia Belanda. CONTRACT MET DEN SULTAN VAN BANDJERMASIN 4 Mei 1826. / B 29 September 1826 No. 10, Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.[15][16] de factoSemenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894, secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah tunduk kepada Hindia Belanda. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda.[17] Sekitar tahun 1850, daerah Tanah Dusun (Barito Raya) terbagi dalam beberapa daerah pemerintahan yaitu: Kiaij Martipatie, Moeroeng Sikamat, Dermawijaija, Kiaij Dermapatie, Ihanjah dan Mankatip.[18][19] Sejak tahun 1845, Hindia Belanda membuat susunan pemerintahan untuk daerah zuid-ooster-afdeeling van Borneo [meliputi daerah sungai Kahayan, sungai Kapuas Murung, sungai Barito, sungai Negara serta Tanah Laut] selain Residen terdapat juga Rijksbestierder alias Kepala Pemerintahan Pangeran Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana. Di dalam hierarki pemerintahan tersebut terdapat nama kepala suku Dayak seperti Tumenggung Surapati dan Toemenggoeng Nicodemus Djaija Negara.[20][21] Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.[22] Daerah-daerah di Kalteng tergolong sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan Banjar.[23] Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktivitas secara leluasa di selatan Kalimantan. Pada 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris[24] Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit.[25] Pemerintahan dan Organisasi SosialTahun 1917, Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan Inlands Bestuur, dimana orang-orang Belanda mengangkat masyarakat pribumi untuk dijadikan petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu. Pada masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe, Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Eduard Loei Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak. Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Eduard Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, F.C. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia di bawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, dan masih banyak lainnya. Tahun 1942, Kalimantan Tengah disebut Afdeeling Kapoeas-Barito yang terbagi 6 divisi.[26] Pembentukan Provinsi Kalimantan TengahSejak terbentuknya Provinsi Administratif Kalimantan tahun 1950, aspirasi yang menghendaki Kalimantan dibentuk lebih dari satu provinsi secara terbuka muncul dari kalangan Rakyat Dayak dalam tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Kotawaringin yang menginginkan dibentuknya Provinsi Kalimantan Tengah.[27][28] Mulai tahun 1952, keinginan masyarakat dari tiga kabupaten agar dibentuk Provinsi Kalimantan Tengah terus disampaikan berupa pernyataan mosi, resolusi, dan lain-lain baik dari partai politik maupun organisasi sosial kemasyarakatan yang mendukung dan mendesak terbentuknya Provinsi Otonom Kalimantan Tengah.[27] Hal yang sama dilakukan oleh Ikatan Keluarga Dayak (IKAD) Banjarmasin yang memprakarsai pembentukan Panitia Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah (PPHRKT) di Banjarmasin yang mengeluarkan resolusi berisi tuntutan agar pemerintah pusat segera membentuk provinsi keempat yakni Provinsi Otonom Kalimantan Tengah.[27][28] Namun, tuntutan itu belum dapat direalisasikan karena pemerintah pusat pada saat itu menyetujui dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 yaitu tentang Pembentukan Tiga Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur yang berlaku terhitung tanggal 1 Januari 1957. Sementara itu, Kalimantan Tengah akan dibentuk menjadi Provinsi Otonom selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga tahun setelah UU tersebut berlaku.[27][28] Masyarakat tiga kabupaten yakni Kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin tidak puas dengan UU No. 25 Tahun 1956 dan memandangnya sebagai undang-undang yang tidak akomodatif dan tidak menjawab tuntutan mereka. Hal tersebut menyebabkan keamanan dan ketentraman di tiga kabupaten menjadi terganggu sehingga terjadi bentrokan bersenjata dan kesalahpahaman antara aparat keamanan dengan organisasi GMTPS (Gerakan Mandau Talawang Pantja Sila).[27] Upaya memperjuangkan Provinsi Kalimantan Tengah menjadi provinsi otonom terus dilakukan. Hingga pada puncaknya, Kongres Rakyat Kalimantan Tengah dilangsungkan di Banjarmasin pada tanggal 2-5 Desember 1956 yang dipimpin oleh Ketua Presidium M. Mahar M. dan dihadiri oleh para tokoh masyarakat Kalimantan Tengah lainnya serta oleh 600 orang utusan yang mewakili segenap rakyat dari seluruh Kalimantan Tengah. Kongres ini berhasil melahirkan resolusi dan mencetuskan ikrar bersama dengan diktum resolusi:[27][28]
Selain itu, Kongres tersebut pun membentuk Dewan Rakyat Kalimantan Tengah yang kemudian bersama Gubernur Provinsi Kalimantan saat itu R.T.A Milono menghadap pemerintahan pusat untuk menyampaikan keputusan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah serta memberikan penjelasan guna memperoleh pengertian dan kesesuaian pendapat dengan pihak pemerintah pusat.[27][28] Akhirnya, Menteri Dalam Negeri RI mengeluarkan keputusan pada tanggal 28 Desember 1956 yang menetapkan bahwa terhitung mulai 1 Januari 1957 Kantor Persiapan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk dan berkedudukan langsung di bawah Kementerian Dalam Negeri dan sementara ditempatkan di Banjarmasin. Gubernur R.T.A Milono selanjutnya ditugaskan Kementerian Dalam Negeri sebagai Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara itu, Tjilik Riwut sebagai Bupati Kepala Daerah Kotawaringin dinaikkan pangkatnya menjadi Residen di Kementerian Dalam Negeri dan mengemban tugas sebagai pembantu Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan George Obos sebagai Bupati Kepala Daerah Kapuas kemudian ditempatkan di Kantor Gubernur Kalimantan di Banjarmasin dan diangkat sebagai pembantu Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah di Banjarmasin serta sebagai Sekretaris Kantor Persiapan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah yang ditunjuk oleh Drs. F.A.D. Patianom.[27][28] Dengan terbentuknya Kantor Persiapan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, diskusi mengenai wacana tempat kedudukan pemerintah paerah atau ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pun dimulai. Warga dari tiga kabupaten masing-masing menginginkan agar ibu kota Kalimantan Tengah ditempatkan di daerah mereka masing-masing disertai argumentasi yang diikuti dengan silang pendapat. Dengan kondisi itu, Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah R.T.A Milono membentuk suatu Panitia untuk merumuskan dan mencari tempat yang tepat, pantas, dan layak untuk dijadikan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Panitia tersebut diketuai oleh M. Mahar yang didampingi oleh enam orang anggota yang dua di antaranya merupakan Tjilik Riwut dan G. Obos.[27][28] Sesudah Panitia mengadakan beberapa kali rapat dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh se-Kalimantan Tengah, para Pejabat TNI–POLRI, pejabat sipil tingkat Kalimantan di Banjarmasin, serta restu dari Kolonel Koesno Utomo Panglima Tentara dan Teritorium VI Tanjungpura, diperoleh kesimpulan bahwa wilayah sekitar desa Pahandut di kampung Bukit Jekan dan sekitar wilayah Bukit Tangkiling ditetapkan sebagai wilayah calon ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.[27][28] Pada akhir Januari 1957, Panitia berangkat menuju wilayah calon ibu kota tersebut. Keberangkatan ini dipimpin oleh Ketua Panitia M. Mahar seraya mengadakan penelitian, pengamatan, pembicaraan, dan rapat dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat yang pada akhirnya mendapat persetujuan sepenuhnya baik oleh Gubernur RTA Milono maupun pemerintah pusat bahwa daerah tersebut menjadi calon ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara itu, penamaan wilayah ibu kota Kalimantan Tengah belum menjumpai nama yang sesuai dengan maksud dan tujuan dari pembangunan kota tersebut. Namun untuk sementara, wilayah calon ibu kota Kalimantan Tengah dinamai sebagai Pahandut.[27][28] Empat bulan kemudian pada saat upacara adat GMTPS (Gerakan Mandau Talawang Pantja Sila) di lapangan Bukit Ngalangkang Pahandut tanggal 18 Mei 1957, Gubernur R.T.A Milono dalam pidatonya menyatakan pihaknya mempunyai cita-cita untuk menamai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah disesuaikan dengan jiwa pembangunan dan tujuan suci sehingga nama yang dipilih adalah Palangka Raya.[27] Palangka Raya artinya tempat yang suci, mulia, dan besar. Gubernur RTA Milono berpesan "...sesuaikanlah nama ini dengan cita-cita dilahirkannya Kalimantan Tengah...”. Selain itu, Gubernur RTA Milono pun berkata "...Kalimantan Tengah yang dilahirkan dalam suasana suci Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Paskah agar tetap memlihara kesucian dan kemuliaan(nya)...". Dengan demikian, Kota Palangka Raya secara resmi dipilih menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.[27][28] Selanjutnya, pengesahan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 ditetapkan dan diundangkan pada 23 Mei 1957, maka berakhirlah tugas R.T.A Milono sebagai Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah. Selanjutnya, pemerintah pusat menunjuk dan mengangkat kembali R.T.A Milono menjadi Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah definitif. Provinsi Kalimantan Tengah pada saat baru terbentuk hanya memiliki tiga Kabupaten Daerah Tingkat II, yaitu Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Kotawaringin yang selanjutnya dimekarkan berdasarkan UU nomor 27 tahun 1959 menjadi:[28]
Sesudah sarana dan prasarana untuk kantor dan perumahan di Palangka Raya telah terbangun, Kemendagri pada tanggal 22 Desember 1959 mengeluarkan surat keputusan mengenai pemindahan kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah yang sebelumnya berada di Banjarmasin, kemudian dipindahkan ke wilayah hukumnya sendiri yaitu Kota Palangka Raya terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960.[27] GeografiKondisi geografisProvinsi Kalimantan Tengah memiliki luas wilayah sebesar 153.564,5 km² yang menjadikannya sebagai provinsi terluas di Indonesia setelah Provinsi Papua dimekarkan menjadi beberapa provinsi baru pada tahun 2022.[29] Secara astronomis, Kalimantan Tengah terletak di antara 0°46' lintang utara hingga 3°33' lintang selatan dan 110°51' hingga 115°50' bujur timur. Bagian utara provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari Pegunungan Muller Schwaner yang terdiri atas 52 bukit dengan ketinggian bervariasi, yaitu dari ketinggian 343 mdpl seperti Bukit Ancah sampai 2278 mdpl seperti Bukit Raya. Bukit Batu Tatau dengan ketinggian 1652 mdpl berada di paling ujung timur berbatasan dengan Kalimantan Timur. Titik tertinggi wilayah Kalimantan Tengah terdapat di Gunung Batu Sambang dengan ketinggian 1660 mdpl. Sementara itu, bagian selatan Kalimantan Tengah terdiri atas dataran rendah, rawa, dan paya-paya. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki sebelas sungai besar dan tidak kurang dari 33 sungai kecil atau anak sungai. Keberadaan dari sungai-sungai tersebut menjadi salah satu ciri khas Provinsi Kalimantan Tengah. Sungai Barito dengan panjang mencapai 900 km dan berkedalaman mencapai delapan meter tersebut merupakan sungai terpanjang di Kalimantan Tengah sehingga dapat dilayari hingga sejauh 700 km.[30] Secara administratif, Kalimantan Tengah berbatasan dengan beberapa wilayah Indonesia lainnya, yaitu
Iklim dan cuaca
Oleh karena wilayahnya yang dilalui oleh garis khatulistiwa, Kalimantan Tengah beriklim tropis dengan tipe iklim tropis ekuatorial (Af) yang curah hujannya cenderung tinggi hampir sepanjang tahun dengan rerata curah hujannya >2.400 mm per tahun dan suhu udaranya cenderung konstan antara 23 °C hingga 33 °C. Keanekaragaman hayatiBanyak yang belum diketahui, dengan ragam wilayah pantai, gunung/bukit, dataran rendah dan paya, segala macam vegetasi tropis mendominasi alam daerah ini. Orang utan merupakan hewan endemik yang masih banyak di Kalimantan Tengah, khususnya di wilayah Taman Nasional Tanjung Puting yang memiliki areal mencapai 300.000 ha di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Terdapat beruang, landak, owa-owa, beruk, kera, bekantan, tenggiling, buaya, kungkang, paus air tawar (tampahas), arwana, manjuhan, biota laut, penyu, bulus, burung rangkong, betet/beo dan hewan lain yang bervariasi tinggi. Sumber daya alamHutan mendominasi wilayah 80%. Hutan primer tersisa sekitar 25% dari luas wilayah. Lahan yang luas saat ini mulai didominasi kebun Kelapa Sawit yang mencapai 700.000 ha (2007). Perkebunan karet dan rotan rakyat masih tersebar hampir diseluruh daerah, terutama di Kabupaten Kapuas, Katingan, Pulang Pisau, Gunung Mas dan Kotawaringin Timur. Kalimantan Tengah memiliki beragam potensi sumber daya alam.[butuh rujukan] Di Indonesia, wilayah Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan produksi bijih besih yang terbesar bersama dengan wilayah Kalimantan Selatan.[33] Sumber daya alam lain yang dihasilkan di wilayah Kalimantan Selatan melalui pertambangan meliputi batubara, emas, zirkon, tembaga, kaolin, dan batu permata. PemerintahanGubernurSaat ini, gubernur yang menjabat di provinsi Kalimantan Tengah ialah Sugianto Sabran, didampingi wakil gubernur Edy Pratowo.
Dewan PerwakilanDPRD Kalimantan Tengah beranggotakan 45 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pimpinan DPRD Kalimantan Tengah terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik pemilik jumlah kursi dan suara terbanyak. Anggota DPRD Kalimantan Tengah yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2019 yang dilantik pada 28 Agustus 2019 oleh Ketua Pengadilan Tinggi Palangkaraya, Mohammad Hatta, di Gedung DPRD Provinsi Kalimantan Tengah.[34][35][36] Komposisi anggota DPRD Kalimantan Tengah periode 2019-2024 terdiri dari 11 partai politik dimana PDI Perjuangan adalah partai politik pemilik kursi terbanyak yaitu 12 kursi. Pada Pemilu 2014, DPRD Kalimantan Tengah menempatkan 45 orang wakilnya yang tersebar ke dalam beberapa fraksi, dengan perolehan suara mayoritas diraih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.[37][38][39] Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Kalimantan Tengah pada awal reformasi hingga sekarang.[40][41][42]
Daftar kabupaten dan kota
DemografiSuku BangsaData Sensus Penduduk Indonesia 2010, dari 2.207.367 jiwa yang didata, tiga etnis dominan di Kalimantan Tengah yaitu Jawa sebanyak 21,68%, Banjar sebanyak 21,03% dan Dayak 20,42%. Sementara suku asal Kalimantan lainnya di luar Dayak sebanyak 26,67%.[45][46] Kawasan utama etnis Dayak yaitu daerah hulu dan pedalaman, Kawasan utama etnis Jawa yaitu daerah transmigrasi dan Kawasan utama etnis Banjar yaitu daerah pesisir, perbatasan Kalimantan Selatan dan perkotaan. Suku Dayak adalah suku terbesar di Kalteng. Beberapa subetnis Dayak yang terdapat di Kalteng yaitu Ngaju (mendiami daerah aliran sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing, Barito dan Katingan. ), Bakumpai (mendiami tepian daerah aliran sungai Barito ), Maanyan (mendiami bagian timur Kalteng seperti Barito Timur dan Barito Selatan), Ot Danum (mendiami daerah utara Kalteng), Siang Murung (mendiami Timur Laut Kalteng/Kabupaten Murung Raya), Taboyan (mendiami sepanjangan tepian aliran Sungai Teweh), Lawangan (mendiami bagian timur Kalteng/Barito Timur), Dusun (mendiami wilayah aliran sungai Barito dari Barito Selatan sampai Murung Raya), dan subetnis lainnya. Orang Dayak di Kalteng umumnya berprofesi sebagai petani dan pegawai pemerintahan. Suku Jawa merupakan suku terbesar kedua di Kalteng . Di beberapa kabupaten, seperti Kotawaringin Barat, Seruyan dan Pulang Pisau, etnis Jawa adalah penduduk mayoritas. Orang Jawa di Kalteng umumnya berprofesi sebagai petani, pegawai, TNI/Polri, pedagang makanan dan pekerja tambang/sawit. Kesenian Jawa seperti kuda lumping, reog, wayang kulit dan bahasa Jawa masih bertahan di kantong-kantong transmigrasi di Kalteng. Besarnya proporsi orang Jawa di Kalteng karena banyaknya transmigrasi asal Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur yang masuk ke Kalteng. Suku Banjar merupakan suku terbesar ketiga di Kalteng. Di Kalteng, orang Banjar banyak berada di wilayah perkotaan seperti Palangka Raya, Kotawaringin Timur, Kabupaten Barito Timur dan Kapuas yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Selatan. Orang Banjar di Kalteng umumnya bekerja sebagai pedagang dan wiraswasta, sehingga kuliner, masakan dan bahasa Banjar cukup dominan di Kalteng. Berbagai upacara adat Banjar, seperti pada upacara pernikahan, kelahiran (tasmiyah), batamat Al Qur'an, baayun mulud dan sebagian kesenian Banjar, seperti sinoman hadrah dan maulid habsyi masih sering ditampilkan di Kalteng. Suku Melayu merupakan suku terbesar keempat di Kalteng yang menempati pesisir Sukamara dan Kotawaringin Barat, perbatasan Kalimantan Barat juga sebagian wilayah di Kabupaten Lamandau. Melayu di Kalteng biasa disebut Melayu Kotawaringin atau Teringin yang adat budayanya tidak jauh berbeda dengan orang Melayu di Kalbar & Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Suku Madura merupakan suku terbesar kelima di Kalteng. Di Kalteng, orang Madura yang juga banyak berprofesi sebagai pedagang di pasar tradisional banyak mendiami daerah Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur. Setelah konflik etnis tahun 2001, sebagian warga Madura sudah berangsur-angsur kembali ke Kalteng. Komposisi suku bangsa di Kalimantan Tengah selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut :[45]
BahasaPada dasarnya bahasa yang digunakan secara luas di Kalimantan Tengah adalah Bahasa Dayak dan Bahasa Indonesia. Persebaran Bahasa Banjar ke Kalimantan Tengah karena besarnya jumlah perantauan Suku Banjar asal Kalimantan Selatan sehingga Bahasa Banjar digunakan sebagai bahasa perdagangan dan bahasa sehari-hari.[47] Masyarakat Suku Jawa di lokasi transmigrasi umumnya menuturkan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Dayak yang dominan digunakan oleh Suku Dayak di Kalimantan Tengah, di antaranya Bahasa Ngaju yang digunakan di daerah sungai Kahayan dan Kapuas.[48] Bahasa Bakumpai dan Bahasa Maanyan dituturkan oleh penduduk di sepanjang daerah aliran sungai Barito dan sekitarnya dan Bahasa Ot Danum yang digunakan oleh suku Dayak Ot Danum di hulu sungai Kahayan dan sungai Kapuas. AgamaSebelum masuknya agama Islam dan Kristen, sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah menganut Kaharingan. Kaharingan adalah kepercayaan asli suku Dayak Kalimantan Tengah. Pada Sensus Penduduk Indonesia 2010, Kaharingan digabungkan dalam kelompok lainnya. Penganut Kaharingan tersebar di daerah Kalimantan Tengah dan banyak terdapat di bagian hulu sungai, antara lain hulu sungai Kahayan, sungai Katingan dan hulu sungai lainnya.[49] Dan Kaharingan sudah masuk kedalam agama Hindu yang umumnya dianut oleh orang Bali. Saat ini, mayoritas masyarakat Kalimantan Tengah menganut agama Islam, umumnya dianut oleh orang Banjar, Jawa, Melayu, Madura, Sunda, yang memiliki jumlah signifikan di beberapa wilayah di Kalimantan Tengah. Kemudian, penduduk yang menganut agama Kekristenan sebanyak 20,03% dianut oleh sebagian besar orang Dayak, Minahasa, Flores, Papua, Batak. Rincian penganut agama Kekristenan yakni Protestan sebanyak 16,64% dan Katolik sebanyak 3,39%. Penganut agama Hindu, yang sebagian besar sebelumnya adalah Kaharingan sebanyak 5,45%, umumnya dianut orang Dayak dan Bali. Sebagian kecil menganut agama Buddha, Konghucu, dan kepercayaan lainnya.[2][50][51] Agama yang dianut masyarakat Kalimantan Tengah berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kalimantan Tengah 2010 dan 2024, yaitu:[2]
Catatan: * Pada sensus tahun 2010, Kaharingan sebagai kepercayaan asli suku Dayak dimasukkan pada kategori lainnya. Namun, sensus 2020 memasukkan Kaharingan dalam kategori agama Hindu. PendidikanGeliat dunia pendidikan di Kalimantan Tengah sekarang sedang berkembang dengan pesat. Hal tersebut ditandai dengan bermunculannya berbagai lembaga pendidikan serta keberadaan beberapa Universitas dan Sekolah Tinggi. Universitas Negeri Palangka Raya dan Untama merupakan Universitas-universitas Negeri yang ada di Kalimantan Tengah, selain itu terdapat Universitas Muhammadiyah serta beberapa perguruan tinggi lainnya yang ikut memberikan sumbangan dalam meningkatkan mutu pendidikan di Kalimantan Tengah, seperti Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Tambun Bungai serta Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Palangka Raya. Tak lupa pula berbagai Universitas maupun Sekolah Tinggi rintisan yang terdapat di Kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah. KesehatanRumah sakit
Pertahanan dan KeamananKalimantan Tengah merupakan wilayah KOREM 102/PJG, KODAM XII/Tanjungpura yang bermarkas di Palangka Raya. Kawasan TNI-AU terdapat di Lanud Iskandar (Pangkalan Bun). Polda Kalimantan Tengah membawahi 14 Kepolisian Resort (Polres). PerekonomianTenaga kerjaPenduduk Usia 15 Tahun Lebih Menurut Kegiatan[52]
Potensi perikananPotensi perikanan di Kalimantan Tengah sangat besar, khususnya perikanan air tawar. Hal itu dikarenakan luasnya wilayah perairan tawar seperti sungai, danau dan rawa di Kalimantan Tengah. Potensi laut Kalimantan Tengah 94.500 km2 dengan panjang garis pantai ± 750 km memiliki berbagai jenis ikan pelagis, udang, rajungan, dan lainnya. Pantai laut di selatan Kalimantan Tengah merangkai 7 (tujuh) kabupaten; yaitu Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Pulang Pisau, dengan panjang garis pantai ± 750 km. Sedangkan perairan umum dengan luas ± 2.29 juta Ha dengan potensi sumberdaya ikannya yang cukup besar perlu pengelolaan dan pemanfaatan secara baik. Produksi perikanan tangkap tahun 2013 sebesar 101.891,8 ton meningkat sebesar 7,31 % dibandingkan produksi perikanan tangkap tahun 2012 sebesar 94.954,1 ton. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) Tangkap adalah sebanyak 21.770 RTP yang terdiri dari 5.340 RTP Perikanan Laut dan 16.430 RTP Perikanan Darat. Jumlah produksi perikanan budi daya pada tahun 2013 sebesar 53.519,43 ton mengalami peningkatan sebesar 20,70 % dari produksi tahun 2012 sebesar 42.441,28 ton dengan luas lahan budi daya seluas 6.960,8 Ha. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) Budi daya pada tahun 2013 sebanyak 20.312 RTP. Pengembangan usaha pengolahan perikanan skala kecil dilakukan melalui peningkatan sarana dan prasarana pengolahan kepada Kelompok Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR). Pada tahun 2013, jumlah produksi olahan hasil perikanan sebesar 6.149,9 ton meningkat sebesar 0,73 % dari total produksi tahun 2012 sebesar 6.104,8 ton. Tingkat Konsumsi Ikan di Kalimantan Tengah cukup tinggi yaitu 46,03 kg/kapita/tahun, lebih besar daripada Tingkat Konsumsi Ikan Nasional sebesar 35,62 kg/kapita/tahun. Jumlah Unit Pengolahan di Kalimantan Tengah sebanyak 2.837 UPI sedangkan Unit Pemasaran sebanyak 7.994 UPI. PertambanganSebagian besar penduduk di wilayah Katingan, Khususnya Kecamatan Katingan Tengah bermata pencaharian sebagai petani dan penambang. Hasil tambang utama yang diperoleh adalah emas dan puya (pasir zirkon) yang berwarna merah. Masyarakat dalam melakukan penambangan masih bersifat tradisional sehingga hasil yang diperoleh tidak optimal. TransportasiBandar Udara Tjilik Riwut Palangka Raya melayani penerbangan dari dan ke Surabaya dan Jakarta direct, menggunakan pesawat jet jenis Boeing 737-200, 737-300 dan 737-400. Penerbangan ini dilayani oleh 4 maskapai, yaitu: Garuda Indonesia, Citilink, Lion Air, Batik Air, dan Wings Air. Bandar udara kesayangan masyarakat Palangka Raya ini memiliki pcn 29 fczu, bisa dilintasi dengan mobil maupun taksi. Jarak Palangka Raya dengan ibu kota kabupatenBerikut adalah beberapa jarak antar kota di kabupaten Kalimantan Tengah;[53]
Seni dan budayaSeni musikSeni musik yang dikenal di daerah ini antara lain:
Seni vokalSeni vokal yang populer di wilayah ini adalah:
TarianJenis-jenis tarian yang terdapat di daerah ini antara lain:
Seni KriyaSeni kriya yang berkembang di wilayah ini adalah:
Upacara Adat & Keagamaan
Pakaian pengantin
Busana pengantin pria Dayak Kalimantan Tengah memakai celana panjang sampai lutut, selempit perak atau tali pinggang dan tutup kepala. Perhiasan yang dipakai adalah inuk atau kalung panjang, cekoang atau kalung pendek dan kalung yang terbuat dari gigi binatang. Pengantin wanita memakai kain berupa rok pendek, rompi, ikat kepala dengan hiasan bulu enggang gading, kalung dan subang.
Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|