Suku Banjar
Suku Banjar (Banjar: اورڠ بنجر) adalah suatu kelompok etnis yang berasal dari wilayah Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan.[1] Suku Banjar merupakan penutur Bahasa Banjar (dengan berbagai macam dialeknya), dan terikat dalam persamaan sejarah atau latar belakang serta kebudayaan. Suku Banjar merupakan salah satu etnis pribumi asli Kalimantan di Indonesia yang mana berbagai elemen kebudayaannya secara resmi diakui oleh pemerintah republik Indonesia dan dianggap sebagai salah satu komponen penting warisan kebudayaan nasional.[2] Dikarenakan faktor historis pengislaman pribumi Kalimantan, mayoritas masyarakat etnis Banjar pada umumnya kini merupakan pemeluk agama Islam (Muslim), masyarakat ini menunjukkan karakteristik yang agak berbeda dari kebanyakan Dayak di wilayah pedalaman Kalimantan; yang mana masyarakat etnis Banjar cenderung memiliki gaya hidup dan norma-norma yang berbasis Islami. Etnis Banjar juga terkenal akan kemampuannya dalam bidang perniagaan, pada masa kini populasi diaspora Banjar dapat ditemui pula secara global atau di seluruh belahan dunia; termasuk diantaranya dalam cakupan wilayah Asia Tenggara maupun hingga ke Timur Tengah (terutama di Arab Saudi). NomenklaturSecara etimologis, kata "Banjar" dari sudut pandang komunitas Dayak sebagai etnonim mulanya berasal dari terminologi bahasa Ma'anyan. Dalam bahasa Ma'anyan sendiri istilah ini disebut Ulun Hakey, yaitu sebutan untuk komunitas yang tidak makan daging babi dan mempunyai ritual pemakaman langsung dikubur ke dalam tanah tanpa digali lagi, hal ini berbeda dari Dayak Maanyan asli (Kaharingan) yang memiliki adat pemakaman sekunder (yaitu ijambe, ritual pembakaran tulang sisa jenazah dari hasil penggalian kuburan dari pemakaman pertama, untuk selanjutnya ditempatkan pada peti jenazah berkaki dua yang disebut Tambak). Secara hakikatnya, etnonim ini digunakan untuk mengidentifikasi golongan "Dayak" dari etno-lingusitik Ma'anyan, Meratus, Ngaju dan Paku-Karau (Luangan), 'rahasia umum' dalam masyarakat Kalimantan bahwa etnis Banjar sejatinya merupakan bagian dari masyarakat Dayak yang lebih besar yang telah mengalami asimilasi (baik itu dari segi agama, budaya, dan lain sebagainya) dengan pengaruh luar. Namun sebutan Dayak itu sendiri baru diperkenalkan di Kalimantan Selatan sesaat sebelum pendirian Geredja Dajak Evengelis pada tanggal 10 April 1839, untuk menyatukan berbagai komunitas menjadi satu identitas kultural yang dianggap sama tapi berasal dari beragam penutur bahasa yang berbeda-beda (etno-linguistik) sebagai basis penginjilan. Komunitas yang sudah dibaptis ini disebut Ulun Ungkup. Hal tersebut didahului dengan munculnya pula istilah geografis yang disebut Tanah Dayak pada awal pembentukan Hindia Belanda pada permulaan abad ke-19. Namun dalam Hikayat Banjar, istilah Banjar itu sendiri diambil dari nama sebuah kampung di tepi sungai Kuin. Komunitas Dayak Ngaju menyebut komunitas ini dengan sebutan Oloh-Masih. Oloh-Masih ini identik dengan komunitas sub-etnis Banjar Kuala (kuala= muara). SejarahPrasejarahDirunut dari genealoginya, masyarakat etnis Banjar pada zaman dahulu merupakan satu kesatuan entitas yang sama dengan masyarakat Dayak lainnya di sekitar wilayah Pegunungan Meratus (khususnya dengan etnis Bukit atau kerap dikenali sebagai Dayak Meratus). Penelitian arkeologi pada zaman modern di kawasan Geopark Meratus mengungkapkan bahwa wilayah ini telah dihuni oleh manusia purba sejak zaman masa prasejarah. PeradabanKerajaan DipaKerajaan Negara Dipa merupakan sebuah sebutan lokal oleh masyarakat etnis Banjar yang merujuk kepada suatu entitas kerajaan yang merupakan cikal bakal dinasti raja-raja Banjar yang didirikan seorang tokoh yang bernama Ampu Jatmaka, dianggap sebagai sumber sivilisasi atau peradaban yang memiliki pengaruh dominan bagi masyarakat Banjar. Namun kerajaan ini bukan kerajaan pertama di Tanah Banjar. Tutur lokal yang disebut Tutur Candi menyebut nama Kerajaan Kuripan dan Tanjungpuri yang terletak dilembah sungai Tabalong sebagai kerajaan orang-orang Banjar kuno (Pahuluan), sebagai pendahulu Kerajaan Negara Dipa yang dipengaruhi budaya Jawa tersebut. Kedua kerajaan ini bertetangga dengan komunitas "Dayak" Nan Sarunai. Kerajaan ini ditengarai merupakan sebuah cabang atau vassal state dari kerajaan utamanya di pulau Jawa; yakni kerajaan Banjar Negara. Kata dipa itu sendiri diserap dari istilah dwipa dalam bahasa Jawa yang memiliki arti "pulau", merujuk kepada Banjar Negara itu sendiri yang terletak di pulau Jawa. Kerajaan BanjarKerajaan Banjar merupakan bentuk lanjutan dari kekuasaan Dipa Negara atau Banjar Negara yang mana pada masa ini pemimpin monarki atau sang raja telah dilantik dari keturunan raja yang menetap di Kalimantan, dan tidak lagi mengikuti sentralisasi Jawa dan merupakan bentuk awal desentralisasi kekuasaan kemaharajaan Jawa. Kesultanan BanjarKemunculan Banjar sebagai kerajaan berbasis Islam didukung oleh Kesultanan Demak yang merupakan kerajaan didirikan komunitas Jawa-Melayu Palembang. Pedagang Banjar berhubungan dagang dengan kota-kota pelabuhan Tedunan, Jepara, Demak, Tuban, Giri, Surabaya, Arosbaya dan Sumenep. Oleh seorang ulama yang yang datang dari negeri Arab dan komunitas Melayu, Raja Banjar diberi gelar Sultan. Pada masa kegemilangan Mataram, seluruh kerajaan yang terkoneksi dengan Jawa mengalami pengaruh keislaman dengan disahkannya pengadopsian sistem pemerintahan ala Timur Tengah, yakni kesultanan. Sejak saat itu, kerajaan Banjar bertransformasi menjadi kesultanan Banjar; yang mana pemimpin monarkinya berupa seorang sultan (bukan lagi raja seperti sebelumnya). Sistem kekerabatan
Seperti sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam keluarga. Skema di samping berpusat dari ULUN sebagai penyebutnya. Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman muda/kecil) dan Makacil (bibi muda/kecil), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara datu. Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu: Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri. Dalam sistem kekerabatan, orang Banjar menganut prinsip garis keturunan bilateral (parental), artinya menarik garis keturunan pada pihak ayah dan pihak ibu. Diagramatik Y-DNA suku Banjar (DNA Southern Borneo)Agama dan kepercayaanAgama. Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Banjar, yang secara berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu sendiri.[3] Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya. Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah Banjar. Ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan Islam Banjar.[4] Di antara ketiga sub kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli dalam konteks Banjar adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada pola-pola agama pribumi pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan bubuhan, kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam.[3] Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan sejarah pembentukan entitas Banjar itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin Banjarmasin, meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi tonggak sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau Kalimantan. Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga abad kemudian merupakan babak baru dalam sejarah Islam Banjar yang pengaruhnya masih sangat terasa sampai dewasa ini. Bahasa dan kesusastraanBahasaBahasa yang dituturkan oleh masyarakat etnis Banjar adalah bahasa Banjar yang bertetangga dengan rumpun bahasa Barito Raya. Namun secara geneaologis linguistiknya, bahasa ini merupakan salah satu bahasa dalam rumpun bahasa Melayik (Dayak Laut) yang berserumpun dengan bahasa Iban, Seberuang, Kanayatn, Sambas, Keninjal, Tomun, Tamuan, Teringin, Meratus, Kutai, Berau, Kadayan, Brunei dan lain sebagainya. Pengaruh linguistikSerupa dengan rumpun bahasa Dayak lainnya yang dituturkan di wilayah, bahasa Banjar memiliki pengaruh linguistik yg paling dominan dari bahasa Dayak sendiri dan sedikit dari bahasa Jawa yang diduga mengalami pemesatan pengaruh pada masa kemaharajaan Majapahit. Namun demikian, selain mendapat pengaruh sedikit dari bahasa Jawa, terdapat juga pengaruh dari bahasa Arab yang menandakan sejarah linguistik bidang religiusitas dalam masyarakat etnis Banjar. KesusastraanHikayat BanjarFilosofiTerdapat beberapa unsur filsafat hidup suku Banjar, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, antara lain:[5]
Nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri dan manusia dengan alam:[6]
KebudayaanUmumnya adat kebudayaan Banjar berakar dari ritual keagamaan Kaharingan yang setelah pengislaman massal adat kebudayaan Kaharingan ini disunting untuk disesuaikan dengan keyakinan baru mereka yaitu Islam. Salah satu contohnya adalah adat baayun anak yang pada zaman dahulu adalah ritual pemberkatan anak penganut Kaharingan dengan dibacakan mantra-mantra Balian, sekarang dalam adat Banjar yang Islam baayun anak tidak lagi menggunakan mantra-mantra Balian akan tetapi dengan pembacaan ayat suci Al-Quran dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Keterampilan Mengolah Lahan Pasang SurutKehidupan orang Banjar terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu lekat dengan budaya sungai. Sebagai sarana transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam jukung (perahu) sesuai dengan fungsinya yakni Jukung Pahumaan, Jukung Paiwakan, Jukung Paramuan, Jukung Palambakan, Jukung Pambarasan, Jukung Gumbili, Jukung Pamasiran, Jukung Beca Banyu, Jukung Getek, Jukung Palanjaan, Jukung Rombong, Jukung/Perahu Tambangan, Jukung Undaan, Jukung Tiung dan lain-lain.[7] Kondisi geografis Kalimantan Selatan yang banyak memiliki sungai dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh orang Banjar, sehingga salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman.[8] Sistem irigasi khas orang Banjar yang dikembangkan masyarakat Banjar mengenal tiga macam kanal. Pertama, Anjir (ada juga yang menyebutnya Antasan) yakni semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi. Kedua, Handil (ada juga yang menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu. Ketiga, Saka merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi. Rumah Banjar
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar. Tradisi lisanTradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa.[9] Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.[9] TeaterSatu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.[10] Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[10] Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita. Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[10] MusikSalah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk mirip seperti gambus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun (gendang), agung (gong) dan piul (biola) dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.[11] Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura. Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.[12] Tarian
Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. MakananMasakan tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar,[13] soto Banjar, ketupat Kandangan, kue bingka dan lain-lain. Terdapat 41 macam kue (wadai) khas Banjar.[14]
PopulasiMenurut sensus BPS tahun 2010 populasi suku Banjar berjumlah 4.127.124.[15] Suku Banjar terdapat di seluruh provinsi Indonesia dengan 2.686.627 diantaranya tinggal di Kalimantan Selatan. Populasi suku Banjar dalam jumlah besar juga dapat ditemkan di Kalimantan Tengah (464.260) dan Kalimantan Timur (440.453) yang merupakan daerah perantauan primer orang Banjar. Di pulau Sumatra orang Banjar banyak terdapat di Riau (227.239), Sumatera Utara (125.707) dan Jambi (102.237) karena migrasi orang Banjar pada abad ke-19 ke pesisir timur Sumatra. Populasi suku Banjar diantaranya sebagai berikut:[16]
Subetnis dan diasporaSubetnisBerdasarkan sistem sosiokultural masyarakat Banjar, etnis Banjar dapat dibagi ke dalam tiga kelompok subetnis utama, diantaranya yakni:
Kelompok subetnis Banjar Batangbanyu secara hakikatnya merujuk kepada kelompok etnis Banjar yang mayoritas bermukim di wilayah kisaran sungai.
Banjar Kuala didefinisikan sebagai masyarakat etnis pribumi Banjar yang telah melakukan kawin campur dengan etnis lainnya yang berasal dari luar wilayah pulau Kalimantan, yang diantaranya mencakup etnis Bugis, etnis Jawa, dan sebagainya. Kata kuala atau kwala itu sendiri dalam bahasa Banjar bermakna "pertemuan" atau "percampuran".
Banjar Pahuluan merujuk kepada golongan etnis Banjar yang berasal dari wilayah dataran tinggi atau pegunungan, yang mana masyarakat Banjar Pahuluan masih memiliki banyak kedekatan dengan etnis serumpunnya yakni etnis Bukit (atau kerap disebut sebagai Dayak Meratus) yang mayoritas mendiami wilayah pegunungan Meratus. DiasporaSebagai etnis yang gemar melakukan perniagaan, etnis Banjar telah menyebar ke seluruh belahan dunia sejak zaman lampau untuk memperoleh peruntungan di berbagai wilayah. Dalam cakupan benua Asia, wilayah Asia Tenggara dan Timur Tengah merupakan dua wilayah yang memiliki populasi sebaran diaspora Banjar terbesar di dunia; dengan setidaknya ada kurang lebih sekitar 2–3 juta populasi di negara Brunei (khususnya di wilayah tenggara Brunei), Sabah, Sarawak, Singapura, maupun Malaysia (khususnya di Provinsi Perak). Namun demikian, terdapat pula komunitas minoritas diaspora masyarakat Banjar di belahan benua lainnya yang mencakup Australia, Amerika, maupun Afrika. Bahkan, beberapa studi genetik pada masa modern mengindikasikan bahwa leluhur masyarakat etnis Malagasi di wilayah barat pulau Madagaskar dan beberapa etnis lainnya di timur Afrika (utamanya wilayah Komoro) merupakan keturunan dari diaspora masyarakat Dayak yang berasal dari daerah Banjar di selatan Kalimantan.[17] Figur publik
Lihat pulaReferensi
CatatanBibliografi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai etnis Banjar.
|