Kerajaan Negara Dipa

Kerajaan Negara Dipa
1380/87[1]–1495.[1]
Ibu kotaNegeri Candi Laras (ibu kota I)
Negeri Candi Agung (ibu kota II)
Bandar Muara Rampiau (Bandar Perdagangan)
Bahasa yang umum digunakanBanjar Kuno
Agama
Siwa-Buddha
Kaharingan
PemerintahanMonarki
Maharaja 
• sejak ±1387[2]
Ampu Djatmaka
• ?-1495[3]
Putri Kalungsu
Sejarah 
• Didirikan
1380/87[1]
• Dibubarkan
1495.[1]
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Kuripan
krjKerajaan
Nan Sarunai
krjKerajaan
Negara Daha
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan.[4] Pusat kerajaan Negara Dipa terletak dekat Amuntai sekitar Tabasan sekarang.[5]

Pemerintahan Empu Jatmika

Ampu Jatmaka atau Empu Jatmika merupakan saudagar kaya asal Keling dan Juga merupakan Bangsawan Majapahit, yang menurut Veerbek 1889:10 dan Munoz 2009:401-435, Keling merupakan negara bawahan Majapahit di barat daya Kediri.[6] Ia merupakan anak seorang saudagar bernama Mangkubumi atau disebut Saudagar Jantam. Berdasarkan saran ayahnya, Ampu Jatmaka melakukan perjalanan untuk mencari mencari negeri yang tanahnya suam dan berbau wangi.[7] Disebutkan Keling berjarak dua bulan perjalanan laut menuju pulau Hujung Tanah (Kalimantan).[8]

Beberapa sejarawan berpendapat Ampu Jatmaka juga merupakan pengungsi dari Kediri akibat kondisi yang tidak mengenakan di Kediri pasca Pertempuran Genter abad ke-13 (1222 M).[9] Ada sejarawan yang meyakini pula perjalanan ekspedisinya ke Kalimantan merupakan kebijakan ekspansionis Hayam Wuruk yang pada tahun 1355 (ekspedisi ketiga) menyerang kerajaan Dayak Ma'anyan Nan Sarunai yang bercorak kaharingan, beberapa peninggalan pertempuran bisa ditemukan seperti pertempuran pertama terjadi tahun April 1358,[10] pertempuran kedua terjadi Desember 1362.[11] Serangan-serangan ini yang diingat dengan nama Nansarunai Usak Jawa oleh suku Dayak Ma'anyan mengakibatkan runtuhnya kerajaan Nan Sarunai.[12]

Ampu Jatmika kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa bercorak Hindu tahun 1387[6] dengan mendirikan negeri Candi Laras yang terletak pada sebuah anak sungai Bahan (di sebelah hilir). Ia menjadi bawahan raja kerajaan Kuripan, kerajaan lokal yang sudah lebih dahulu berdiri. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan bentara kanan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah dengan menaklukan daerah batang Tabalong, batang Balangan, batang Pitap dan daerah perbukitannya sekitarnya (yang dihuni suku Dayak Meratus). Ia juga memerintahkan bentara kiri Arya Megatsari menaklukan daerah batang Alai, batang Labuan Amas, batang Amandit dan daerah perbukitan sekitar daerah-daerah tersebut. Setelah itu ia memindahkan ibu kota dari negeri Candi Laras ke negeri Candi Agung (candi kuno di hulu sungai Bahan) yang terletak di sebalik negeri Kuripan.

Seperti yang dijelaskan Tutur Candi, Raja Kuripan yang tidak memiliki anak mengadopsi Ampu Jatmaka sebagai anak dan penerus takhta Kuripan.[7] Ampu Jatmaka merupakan penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan, namun Ampu Jatmaka mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja[13] (Sakai) dengan gelar Maharaja di Candi. Negeri Kuripan, Negeri Candi Laras dan Negeri Candi Agung dan ditambah negeri Batung Batulis dan Baparada (= Balangan) yang disebutkan di dalam Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka daerah-daerah inilah yang awal mula menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Negara Dipa. Empu Jatmika yang merupakan keturunan waisya (pedagang), membuatkan patung sepasang dewa dan dewi dari kayu jati di Candi Agung sebagai simbol raja yang disembah rakyat. Akan tetapi patung tersebut rusak sehingga diganti oleh patung gangsa (gangsa= besi) yang dibuat oleh orang Tiongkok.[14]

Kalau nama Kuripan ini dipertentangkan dengan Negara-Daha kemudian, jelas keraton di atas Amuntai ini adalah Tanjungpuri. Pada saat Tanjungpuri masih Jaya, rupanya daerah Negara Dipa ini adalah bandar utamanya. Setelah Negara Dipa menjadi keraton dan pusat pemerintahan baru, bandar dipindahkan ke Nagara-Daha. Setelah Nagara-Daha diubah menjadi keraton dan pusat pemerintahan baru, bandar dipindahkan ke Muara Bahan (Marabahan). [15][16][17][18][19][20] Menurut Tutur Candi, Kerajaan Negara Dipa semula beribu kota di negeri Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibu kotanya pindah ke hulu sungai Bahan yaitu negeri Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibu kota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai Bahan (= sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara).

Artefak yang ditemukan di situs Candi Laras koleksi Museum Lambung Mangkurat.

Pemerintahan Lambung Mangkurat

Ampu Jatmika memiliki dua orang anak bernama Ampu Mandastana (atau Empu Mandastani) dan Lambung Mangkurat (atau Lembu Mangkurat yang dipercaya merupakan tokoh Dayak Ma'anyan bernama Dambung Mangkurap).[21] Berdasarkan sejarah lisan, sebelum Ampu Jatmika meninggal, dia memerintahkan kedua anaknya untuk membuang patung gangsa (simbol raja) ke laut tidak menjabat sebagai raja karena mereka keturunan waisya atau mereka akan mengalami malapetaka, dan bertapa untuk mencari raja sesungguhnya.[22][14]

Lambung Mangkurat menggantikan Ampu Jatmaka sebagai penguasa ke-2 Negara Dipa dengan gelar Ratu Kuripan. Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat, ia berhasil memperluas wilayah Negara Dipa yang terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting. Kerajaan Negara Dipa saat itu memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut wilayah Sakai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Keberadaan wilayah Sakai (desa adat) yang sudah ditaklukan oleh Lambung Mangkurat meliputi wilayah dari Tanjung Puting sampai Tanjung Silat, diceritakan dalam Hikayat Banjar, (Rass:314) sebagai berikut:

Maka orang piadak ampat puluh hari ampat puluh malam, makan dan minum. Sagala Sakai sama datang: orang batang Tabalong, orang batang Barito, orang Batang Alai, orang batang Hamandit, orang batang Balangan dan batang Pitap, orang batang Biaju Kecil, orang batang Biaju Besar dan orang Sabangau, orang Mandawai sarta orang Katingan, orang Sampit sarta orang takluknya, orang Pambuang sarta orang takluknya, sakaliannya itu datang dangan parsambahannya. Sukaramailah piadak itu, ada barwayang di Dalam, di Pagongan orang barwayang wong, di Paseban orang manopeng, di Sitilohor orang marakit.[23]

Setelah perpindahan ibu kota kerajaan Negara Dipa dari Candi Laras (Margasari) ke Candi Agung (Amuntai), Lambung Mangkurat mengikuti saran dari ayahnya bertapa (balampah) di sungai (di tempat bernama Luhak Bagaya[14]) dan berhasil memperoleh Puteri Junjung Buih yang muncul dari buih. Berdasarkan penelitian J.J. Ras, dia merupakan putri dari Ngabehi Hileer dan dipercayai memiliki keturunan Dayak.[23] Dia kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang pangeran (keturunan kesatria) sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata I. Putri Junjung Buih dipercaya sebagai manifestasi Jata atau Tambun penguasa alam bawah yang dideskripsikan sebagai naga maha raksasa penyangga bumi. Pernikahan Pangeran Suryanata yang melambangkan Pengeran Matahari dengan Putri Junjung Buih memiliki dasar di kepercayaan lokal kaharingan akan persatuan langit dan air.[22]

Candi Agung
Candi Agung

Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya.

Negara bawahan Majapahit dan peralihan kekuasaan tahun 1437

Mengikuti permintaan Ampu Jatmaka (pendiri Negara Dipa), putranya, Lambung Mangkurat, berhasil membawa keajaiban dengan muncul dari buih, Puteri Junjung Buih, seorang putri yang diangkat sebagai Raja putri, sementara Lambung Mangkurat menjadi mahapatih. Akan tetapi Puteri Junjung Buih yang saat itu belum menikah ternyata dekat dengan putra Empu Mandastani yaitu Bambang Padmaraga dan Bambang Sukmaraga. Karena kekhawatiran akan malapetaka akibat penguasa yang bukan keturunan raja seperti dipesankan oleh Ampu Jatmaka, Lambung Mangkurat membunuh kedua keponakannya tersebut. Mendengar kematian putra-putranya Empu Mandastana dan istrinya bela pati (bunuh diri) disekitar kawasan candi.[14]

Setelah peristiwa ini, Lambung Mangkurat pergi ke Jawa untuk meminang seorang Raden Putra atau Jaka Kuwik atau Panji suranata (putra brawijaya V), pangeran Majapahit (keturunan kesatria) untuk dinikahkan dengan Raja Puteri Junjung Buih. Raden putra ini memerintah dengan nama Maharaja Suryanata. Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan Putri Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa leluhur para pangeran Banjarmasin. Kepercayaan tentang pentingnya keturunan raja untuk memimpin kerajaan akan berlanjut dari Negara Daha hingga Kerajaan Banjar.[14]

Menurut beberapa sejarawan, Maharaja Suryanata ini tidak lain adalah Kuda Bandjaran Sari atau Tjakra Nagara, pangeran Majapahit putra Angka Wijaya (versi Serat Kanda), yang menurut Sejarah Pulau Jawa oleh Raffles, dikirim ke Banjarmasin dengan banyak kapal dan pasukan sebagai penguasa sekitar tahun 1437 -1438 AD (1360 Saka),[24] yang kerajaan sebelumnya telah ditundukkan oleh jenderal Ratu Pengging (Andayaningrat - kakek Hadiwijaya dari Pajang).[25] Nama Putra Brawijaya yang dijadikan raja di Banjar adalah Panji Suranata.[26]

Raja Negara Dipa

Periode Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II.

  1. Ampu Jatmaka (Atau Empu Jatmika) bergelar Maharaja di Candi, merupakan keturunan saudagar kaya raya dari negeri Keling, Kediri, yang melakukan ekspedisi ke Kalimantan dan membentuk Negara Dipa dan membangun Candi Agung.[6]
  2. Lambung Mangkurat ( merupakan logat Banjar untuk Lembu Mangkurat, menurut Dayak Ma'anyan adalah Dambung Mangkurap) pemangku/penjabat raja. Ia bergelar Ratu Kuripan (karena wilayah tempat tinggalnya adalah bekas negeri Kuripan). Ia putera kedua Ampu Djatmaka. Ia bertindak sebagai Penjabat Raja menggantikan ayahnya. Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat (Tanjung Selatan) hingga ke Tanjung Puting yaitu wilayah dari sungai Barito sampai sungai Seruyan.
  3. Raden Galuh Ciptasari alias Puteri Ratna Janggala Kadiri gelar anumerta Puteri Junjung Buih/Puteri Tunjung Buih (sebagai perwujudan puteri buih/puteri bunga air menurut mitos Melayu) yaitu gadis pribumi yang menjadi saudari (kakak) angkat Lambung Mangkurat. Ketika Raja Puteri Junjung Buih menjadi kepala negara maka Lambung Mangkurat menjabat sebagai Patih (kepala pemerintahan). Pendapat lain[butuh rujukan] menduga Puteri Junjung Buih sama dengan Bhre Tanjungpura dari Majapahit. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura yaitu Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 (= abangnya Suhita) dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura (= Bhre Kalimantan) dan Bhre Pajang III Sureswari 1429-1450 (= adik bungsu Manggalawardhani) keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III 1400-1440 (= ayahnya Sripura) tetapi perkawinan ini tidak memiliki keturunan (menurut Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut Prasasti Trailokyapuri Manggalawardhani kemudian menjadi Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
  4. Raden (Rahadyan) Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar anumerta Maharaja Suryanata (sebagai perwujudan raja dewa matahari) yang dilamar/dijemput dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan dijodohkan dengan Putri Junjung Buih. Raja ini berhasil menaklukan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang besar/penguasa Batang Lawai (= sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut Hikayat Banjar Versi II, pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa (adi-vamsa = pengasas dinasti). Ketiga putera ini memerintah di daerah yang berlainan (a) Undan Besar dan Undan Kuning, (b) Undan Kulon dan Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada (= Batu Piring?) serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah (pada tahun 1464?) Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putera-puteranya. Nama Rajasa yang digunakan raja ini kemungkinan kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel III Dyah Kertawijaya 1429-1447. Dyah Wijayakumara (= Bhre Kahuripan VI) memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak, yaitu Samarawijaya [= Bhre Kahuripan VII], Wijayakarana, [= Bhre Mataram V], Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (= Bhre Kertabhumi= Kartapura?= Tanjungpura?).[butuh rujukan]
  5. Aria Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata (Hikayat Banjar versi II), menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan bergelar Putri Kabu (Kebo) Waringin (karena minum air susu kerbau putih yang terikat pada pohon beringin) yaitu puteri dari Lambung Mangkurat (alias Ratu Kuripan) dengan Dayang Diparaja yang meninggal ketika melahirkan Putri Huripan.
  6. Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung Mangkurat adalah putera dari pasangan Pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat Banjar versi I adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden Sekar Sungsang (alias Panji Agung Rama Nata) pernah merantau ke Jawa (diduga sudah memeluk Islam) dan di pulau Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putera bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar. Panji Sekar kemudian bergelar Sunan Serabut karena menikahi puteri Raja Giri. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari/Ratu Lamak (puteri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian digantikan adiknya Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti.

Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (= Aria Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (= Raden Aria Dewangsa?) mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja Majapahit?). Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.[butuh rujukan]

Pada masa Maharaja Sari Kaburungan (alias Raden Sekar Sungsang), putera dari Putri Kabu Waringin (alias Putri Kalungsu), untuk menghindari bala bencana ibu kota kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian berganti nama menjadi Negara Daha (sekarang kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibu kotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara.[butuh rujukan]

Rujukan

  • Paul Michel Munoz, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, Mitra Abadi, Maret 2009.

Referensi

  1. ^ a b Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Geschiedkundige aanteekcningen omtrent zuidelijk Borneo)". 23. Ter Lands-drukkerij: 199. 
  2. ^ (Inggris) Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Editions Didier Millet. hlm. 281. ISBN 981-4155-67-5. ISBN 978-981-4155-67-0
  3. ^ "Sułtani Banjarmasinu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-18. Diakses tanggal 2010-06-01. 
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-30. Diakses tanggal 2012-05-19. 
  5. ^ (Indonesia) Yusuf, Yumsari (1987). Unsur sejarah dalam naskah Melayu koleksi Museum Nasional. Museum Nasional. hlm. 25. 
  6. ^ a b c Munoz, P.M.; Tim Media Abadi (2009). Kerajaan-kerajaan awal kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia: perkembangan sejarah dan budaya Asia Tenggara (Jaman pra sejarah - abad xvi). Mitra abadi. Diakses tanggal 2022-02-20. 
  7. ^ a b "Candi Agung, Negara Dipa dalam Perspektif Dokumen Tanah Jawa (2)". jejakrekam.com. 2018-11-02. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-28. Diakses tanggal 2022-10-28. 
  8. ^ (Prancis)von Siebold, Philipp Franz (1847). Le moniteur des Indes orientales et occidentales: recueil de mémoires et de notices scientifiques et industriels... concernant les possessions néerlandaises d'Asie et d'Amérique. Belinfante frères. hlm. 164. 
  9. ^ "Candi Agung, Negara Dipa dalam Perspektif Dokumen Tanah Jawa (1)". jejakrekam.com. 2018-11-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-28. Diakses tanggal 2022-10-28. 
  10. ^ Kusmartono dan Widianto (1998) berdasarkan analisis penanggalan radiokarbon arang pada tahun 1996 yang diyakini korban pasukan Majapahit ( korban perang dibakar dan dikubur di tempat yg bernama Tambak ) di Tambak Wasi dan Candi Agung, Amuntai, yang memberikan tanggal April 1358.
  11. ^ Effrata, Effrata (2021-02-27). "JEJAK NANSARUNAI DAN TANTANGAN GLOBALISASI". JURNAL SOCIOPOLITICO. 3 (1): 26–33. doi:10.54683/sociopolitico.v3i1.38. ISSN 2656-1026. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-08. Diakses tanggal 2022-02-20. 
  12. ^ "Nansarunai Ditaklukkan dengan Tiga Misi Militer Majapahit". jejakrekam.com. 2018-02-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-08. Diakses tanggal 2022-02-20. 
  13. ^ Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984
  14. ^ a b c d e Sadono, Didit; Endriawan (2021-10-29). "Jejak Akulturasi Budaya Jawa dan Kalimantan di Taman Purbakala Candi Agung di Amuntai, Kalimantan Selatan". Naditira Widya. 15 (2): 87–98. Archived from the original on 2022-07-04. Diakses tanggal 2023-02-20. 
  15. ^ (Indonesia) Yusuf, Yumsari (1987). Unsur sejarah dalam naskah Melayu koleksi Museum Nasional. Museum Nasional. hlm. 24. ISBN 9794617784, 9789794617786 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-12. Diakses tanggal 2017-12-25. 
  16. ^ (Indonesia) Dr. Liaw Yock Fang (2011). Sejarah Kesusastraan Melayu Kelasik. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 492. ISBN 9789794617786. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-12. Diakses tanggal 2019-01-21.  ISBN 9794617784
  17. ^ (Inggris) Dr. Liaw Yock Fang (2013). A History of Classical Malay Literature. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 392. ISBN 9789794618103. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-12. Diakses tanggal 2019-01-21.  ISBN 9794618101
  18. ^ (Inggris) R. Soekmono (1995). The Javanese Candi: Function and Meaning. 17. BRILL. ISBN 9789004102156. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-12. Diakses tanggal 2019-01-21.  ISBN 9004102159
  19. ^ (Inggris) Michael R. Dove (1 Jan 2012). The Banana Tree at the Gate: A History of Marginal Peoples and Global Markets in Borneo. NUS Press. ISBN 9789971696177. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-12. Diakses tanggal 2019-01-21.  ISBN 9971696177
  20. ^ (Melayu) Hikayat Banjar. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka. 2004. ISBN 9789836280145. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-12. Diakses tanggal 2019-01-21.  ISBN 9836280146
  21. ^ Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. hlm. 216. ISBN 978-9792116571. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-01. Diakses tanggal 2011-09-06.  ISBN 978-979-21-1657-1
  22. ^ a b Pikriadi, Nor (2014-10-10). "Perjalanan Kesultanan Banjar dari Legitimasi Politik hingga Indentitas Kultural". Naditira Widya. 8 (2). Archived from the original on 2019-04-29. Diakses tanggal 2022-10-28. 
  23. ^ a b (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  24. ^ Sir Thomas Raffles (1817). History of Java (Chapter X) (dalam bahasa Inggris). II. John Murray. hlm. 123. 
  25. ^ Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1860). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (dalam bahasa Belanda). 9. Lange. hlm. 94. 
  26. ^ Monique Zaini-Lajoubert (2008). Karya lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri: Bayan al-asmaʼ, Hikayat Mareskalek, ʻArsy al-muluk, Cerita Siam, Hikayat tanah Bali. Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 114. ISBN 9798116135.  ISBN 9789798116131

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya