Kerajaan Negara Dipa
Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan.[4] Pusat kerajaan Negara Dipa terletak dekat Amuntai sekitar Tabasan sekarang.[5] Pemerintahan Empu JatmikaAmpu Jatmaka atau Empu Jatmika merupakan saudagar kaya asal Keling dan Juga merupakan Bangsawan Majapahit, yang menurut Veerbek 1889:10 dan Munoz 2009:401-435, Keling merupakan negara bawahan Majapahit di barat daya Kediri.[6] Ia merupakan anak seorang saudagar bernama Mangkubumi atau disebut Saudagar Jantam. Berdasarkan saran ayahnya, Ampu Jatmaka melakukan perjalanan untuk mencari mencari negeri yang tanahnya suam dan berbau wangi.[7] Disebutkan Keling berjarak dua bulan perjalanan laut menuju pulau Hujung Tanah (Kalimantan).[8] Beberapa sejarawan berpendapat Ampu Jatmaka juga merupakan pengungsi dari Kediri akibat kondisi yang tidak mengenakan di Kediri pasca Pertempuran Genter abad ke-13 (1222 M).[9] Ada sejarawan yang meyakini pula perjalanan ekspedisinya ke Kalimantan merupakan kebijakan ekspansionis Hayam Wuruk yang pada tahun 1355 (ekspedisi ketiga) menyerang kerajaan Dayak Ma'anyan Nan Sarunai yang bercorak kaharingan, beberapa peninggalan pertempuran bisa ditemukan seperti pertempuran pertama terjadi tahun April 1358,[10] pertempuran kedua terjadi Desember 1362.[11] Serangan-serangan ini yang diingat dengan nama Nansarunai Usak Jawa oleh suku Dayak Ma'anyan mengakibatkan runtuhnya kerajaan Nan Sarunai.[12] Ampu Jatmika kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa bercorak Hindu tahun 1387[6] dengan mendirikan negeri Candi Laras yang terletak pada sebuah anak sungai Bahan (di sebelah hilir). Ia menjadi bawahan raja kerajaan Kuripan, kerajaan lokal yang sudah lebih dahulu berdiri. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan bentara kanan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah dengan menaklukan daerah batang Tabalong, batang Balangan, batang Pitap dan daerah perbukitannya sekitarnya (yang dihuni suku Dayak Meratus). Ia juga memerintahkan bentara kiri Arya Megatsari menaklukan daerah batang Alai, batang Labuan Amas, batang Amandit dan daerah perbukitan sekitar daerah-daerah tersebut. Setelah itu ia memindahkan ibu kota dari negeri Candi Laras ke negeri Candi Agung (candi kuno di hulu sungai Bahan) yang terletak di sebalik negeri Kuripan. Seperti yang dijelaskan Tutur Candi, Raja Kuripan yang tidak memiliki anak mengadopsi Ampu Jatmaka sebagai anak dan penerus takhta Kuripan.[7] Ampu Jatmaka merupakan penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan, namun Ampu Jatmaka mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja[13] (Sakai) dengan gelar Maharaja di Candi. Negeri Kuripan, Negeri Candi Laras dan Negeri Candi Agung dan ditambah negeri Batung Batulis dan Baparada (= Balangan) yang disebutkan di dalam Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka daerah-daerah inilah yang awal mula menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Negara Dipa. Empu Jatmika yang merupakan keturunan waisya (pedagang), membuatkan patung sepasang dewa dan dewi dari kayu jati di Candi Agung sebagai simbol raja yang disembah rakyat. Akan tetapi patung tersebut rusak sehingga diganti oleh patung gangsa (gangsa= besi) yang dibuat oleh orang Tiongkok.[14] Kalau nama Kuripan ini dipertentangkan dengan Negara-Daha kemudian, jelas keraton di atas Amuntai ini adalah Tanjungpuri. Pada saat Tanjungpuri masih Jaya, rupanya daerah Negara Dipa ini adalah bandar utamanya. Setelah Negara Dipa menjadi keraton dan pusat pemerintahan baru, bandar dipindahkan ke Nagara-Daha. Setelah Nagara-Daha diubah menjadi keraton dan pusat pemerintahan baru, bandar dipindahkan ke Muara Bahan (Marabahan). [15][16][17][18][19][20] Menurut Tutur Candi, Kerajaan Negara Dipa semula beribu kota di negeri Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibu kotanya pindah ke hulu sungai Bahan yaitu negeri Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibu kota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai Bahan (= sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara). Pemerintahan Lambung MangkuratAmpu Jatmika memiliki dua orang anak bernama Ampu Mandastana (atau Empu Mandastani) dan Lambung Mangkurat (atau Lembu Mangkurat yang dipercaya merupakan tokoh Dayak Ma'anyan bernama Dambung Mangkurap).[21] Berdasarkan sejarah lisan, sebelum Ampu Jatmika meninggal, dia memerintahkan kedua anaknya untuk membuang patung gangsa (simbol raja) ke laut tidak menjabat sebagai raja karena mereka keturunan waisya atau mereka akan mengalami malapetaka, dan bertapa untuk mencari raja sesungguhnya.[22][14] Lambung Mangkurat menggantikan Ampu Jatmaka sebagai penguasa ke-2 Negara Dipa dengan gelar Ratu Kuripan. Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat, ia berhasil memperluas wilayah Negara Dipa yang terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting. Kerajaan Negara Dipa saat itu memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut wilayah Sakai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Keberadaan wilayah Sakai (desa adat) yang sudah ditaklukan oleh Lambung Mangkurat meliputi wilayah dari Tanjung Puting sampai Tanjung Silat, diceritakan dalam Hikayat Banjar, (Rass:314) sebagai berikut: Maka orang piadak ampat puluh hari ampat puluh malam, makan dan minum. Sagala Sakai sama datang: orang batang Tabalong, orang batang Barito, orang Batang Alai, orang batang Hamandit, orang batang Balangan dan batang Pitap, orang batang Biaju Kecil, orang batang Biaju Besar dan orang Sabangau, orang Mandawai sarta orang Katingan, orang Sampit sarta orang takluknya, orang Pambuang sarta orang takluknya, sakaliannya itu datang dangan parsambahannya. Sukaramailah piadak itu, ada barwayang di Dalam, di Pagongan orang barwayang wong, di Paseban orang manopeng, di Sitilohor orang marakit.[23] Setelah perpindahan ibu kota kerajaan Negara Dipa dari Candi Laras (Margasari) ke Candi Agung (Amuntai), Lambung Mangkurat mengikuti saran dari ayahnya bertapa (balampah) di sungai (di tempat bernama Luhak Bagaya[14]) dan berhasil memperoleh Puteri Junjung Buih yang muncul dari buih. Berdasarkan penelitian J.J. Ras, dia merupakan putri dari Ngabehi Hileer dan dipercayai memiliki keturunan Dayak.[23] Dia kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang pangeran (keturunan kesatria) sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata I. Putri Junjung Buih dipercaya sebagai manifestasi Jata atau Tambun penguasa alam bawah yang dideskripsikan sebagai naga maha raksasa penyangga bumi. Pernikahan Pangeran Suryanata yang melambangkan Pengeran Matahari dengan Putri Junjung Buih memiliki dasar di kepercayaan lokal kaharingan akan persatuan langit dan air.[22] Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya. Negara bawahan Majapahit dan peralihan kekuasaan tahun 1437Mengikuti permintaan Ampu Jatmaka (pendiri Negara Dipa), putranya, Lambung Mangkurat, berhasil membawa keajaiban dengan muncul dari buih, Puteri Junjung Buih, seorang putri yang diangkat sebagai Raja putri, sementara Lambung Mangkurat menjadi mahapatih. Akan tetapi Puteri Junjung Buih yang saat itu belum menikah ternyata dekat dengan putra Empu Mandastani yaitu Bambang Padmaraga dan Bambang Sukmaraga. Karena kekhawatiran akan malapetaka akibat penguasa yang bukan keturunan raja seperti dipesankan oleh Ampu Jatmaka, Lambung Mangkurat membunuh kedua keponakannya tersebut. Mendengar kematian putra-putranya Empu Mandastana dan istrinya bela pati (bunuh diri) disekitar kawasan candi.[14] Setelah peristiwa ini, Lambung Mangkurat pergi ke Jawa untuk meminang seorang Raden Putra atau Jaka Kuwik atau Panji suranata (putra brawijaya V), pangeran Majapahit (keturunan kesatria) untuk dinikahkan dengan Raja Puteri Junjung Buih. Raden putra ini memerintah dengan nama Maharaja Suryanata. Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan Putri Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa leluhur para pangeran Banjarmasin. Kepercayaan tentang pentingnya keturunan raja untuk memimpin kerajaan akan berlanjut dari Negara Daha hingga Kerajaan Banjar.[14] Menurut beberapa sejarawan, Maharaja Suryanata ini tidak lain adalah Kuda Bandjaran Sari atau Tjakra Nagara, pangeran Majapahit putra Angka Wijaya (versi Serat Kanda), yang menurut Sejarah Pulau Jawa oleh Raffles, dikirim ke Banjarmasin dengan banyak kapal dan pasukan sebagai penguasa sekitar tahun 1437 -1438 AD (1360 Saka),[24] yang kerajaan sebelumnya telah ditundukkan oleh jenderal Ratu Pengging (Andayaningrat - kakek Hadiwijaya dari Pajang).[25] Nama Putra Brawijaya yang dijadikan raja di Banjar adalah Panji Suranata.[26] Raja Negara DipaPeriode Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II.
Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (= Aria Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (= Raden Aria Dewangsa?) mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja Majapahit?). Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.[butuh rujukan] Pada masa Maharaja Sari Kaburungan (alias Raden Sekar Sungsang), putera dari Putri Kabu Waringin (alias Putri Kalungsu), untuk menghindari bala bencana ibu kota kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian berganti nama menjadi Negara Daha (sekarang kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibu kotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara.[butuh rujukan] Rujukan
Referensi
Pranala luar
|