Suku Dayak

Suku Dayak
Jumlah populasi
sekitar 7 juta jiwa
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Sensus 2010)3.100.000[1]
Kalimantan Barat1.260.000
Kalimantan Tengah1.000.000
Kalimantan Selatan60.000
Kalimantan Timur360.000
Kalimantan Utara400.000[2]
 Malaysia (Sabah & Sarawak)ca 4,167,496 (Sabah dan Sarawak)[3]
Brunei Brunei Darussalam51.000
Bahasa
Dayak, Banjar, Melayu, dan Indonesia.
Agama
Kelompok etnik terkait
Banjar · Bulungan · Kutai · Tidung · Melayu · Bajau · Taūsug · Minahasa dan orang-orang Austronesia lainnya

Suku Dayak (/ˈd.ək/ simak; ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah suku bangsa atau kelompok multi etnik yang mendiami pedalaman Pulau Kalimantan. Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu".[5][6][7][8][9][10][11][12][13][14][15]

Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Gua Niah (Sarawak) dan Gua Babi (Kalimantan Selatan), penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei Darussalam, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan). Ada 3 suku pokok atau 5 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, dan Tidung[16]

Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokkan menjadi 3 suku pokok yaitu: suku Dayak Indonesia (268 sub etnik/sub suku di Indonesia), Suku Banjar, Suku Melayu, dan kelompok suku asal Kalimantan lainnya.

Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun antara lain: rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:[17]

Etimologi

Masyarakat Dayak Bakumpai beragama Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai di sungai Barito tempo dulu terlihat bahwa mereka banyak menyerap unsur kebudayaan Melayu.

Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.[28][29] Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa di antaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata darat, sebuah kata dari bahasa Melayu yang merujuk ke daratan tinggi yang mana kontras dengan wilayah tempat tinggal Melayu yang cenderung pada pesisir sungai dan pantai. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.[30][31]

Istilah lain juga dipakai di Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).[32] Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yang tinggal dipedalaman. Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya,[33] khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[34] Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan untuk secara kolektif menyebut kelompok multi etnik tersebut.[35] Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.

Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.[36] Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.[37] Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini dan tidak menyebut diri mereka sebagai Dayak, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.[38]

Asal mula

Penggambaran pria suku Dayak Long Wai/Long We dengan pakaian perang lengkap di Longwai, Kutai Barat, Kalimantan Timur pada ca 1879-1880 oleh Carl Bock ketika melakukan ekspedisi dari Kutai ke Kota Banjarmasin.

Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.

Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan 70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.

Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.[39] Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.

Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa,[40] yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[41] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak.

Suku Dayak

Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).[42]Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.[43]

Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga ada bangsa Eropa.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkuk dan guci.[44]

Pembagian sub-sub etnis

Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Dikarenakan arus migrasi dan pengaruh yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak yang berakulturasi akhirnya melahirkan kebudayaan baru dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.

Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.[45]

Y-DNA Sub Suku Dayak

Genetika Y-DNA Meratus dalam tabel

  C (3.1%)
  D (3.1%)
  F (3.1%)
  K (6.3%)
  M (3.1%)
  O (9.4%)
  O1a (9.4%)
  O1b (34.4%)
  O2 (21.9%)
  R1a (3.1%)
  G (3.1%)


Genetika Y-DNA suku Ngaju dalam tabel

  C (0%)
  F (6.7%)
  O1a - Austronesia-Thai (20%)
   O1a2 - keturunan O1a (26.6%)

Dayak pada masa kini

Tradisi suku Dayak Kanayatn.

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: (1) Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), (2) Ot Danum-Ngaju, (3) Iban, (4) Murut, (5) Klemantan atau Bidayuh dan (6) Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.

Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi:

Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.

Sebaran di wilayah Indonesia

Orang Dayak umumnya berada di Kalimantan. Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah penduduk Indonesia dari suku Dayak sebanyak 2.347.474 jiwa, atau 1,27% dari seluruh penduduk Indonesia, dan jumlah terbanyak berada di provinsi Kalimantan Barat. Suku Dayak dalam Sensus Penduduk 2010, mencakup semua subsuku Dayak, dan jumlah di luar pulau Kalimantan sebanyak 3,96%. Berikut ini jumlah orang Dayak di Indonesia menurut provinsi berdasarkan Sensus 2010:[46]

No Provinsi Jumlah 2010 %
1 Kalimantan Barat [47] 1.531.989 65.26%
2 Kalimantan Tengah [48] 450.682 19,59%
3 Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara [49] 212.056 9,37%
4 Kalimantan Selatan [50] 68.051 2,90%
5 Provinsi lain 84.696 3,96%
Indonesia 2.347.474 100%

Catatan: Data di Kalimantan Utara tidak tersedia, karena data masih bergabung dengan Kalimantan Timur.

Tradisi Penguburan

Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud adalah Selokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.

Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan:

  • penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat
  • penguburan di dalam peti batu (dolmen)
  • penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan:

  1. wadah (peti) mayat--> bukan peti mati: lungun,[51] selokng dan kotak
  2. wadah tulang-beluang: tempelaaq[52] (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci

berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan)[53] Suku Dayak Benuaq:

  1. lubekng (tempat lungun)
  2. garai (tempat lungun, selokng)
  3. gur (lungun)
  4. tempelaaq dan kererekng

Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:

  1. penguburan tahap pertama (primer)
  2. penguburan tahap kedua (sekunder)

Penguburan primer

  1. Parepm Api (Dayak Benuaq)
  2. Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni:

  • dikubur dalam tanah
  • diletakkan di pohon besar
  • dikremasi dalam upacara tiwah

Prosesi penguburan sekunder

  1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
  2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
  3. Marabia
  4. Mambatur (Dayak Maanyan)
  5. Kwangkai[54][55][56][57]/Wara (Dayak Benuaq)

Agama

Sebagian kecil suku dayak masih menganut agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang (Ijambe) dalam ritual penguburan sekunder, namun adapula ritual kematian lainnya yang disebut Tiwah, Wara, Kwangkey, Dallo, dan lain-lain. Masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen. Kerajaan Tanjung Pematang Sawang adalah kerajaan Kaharingan yang didirikan oleh Suku Dayak Ngaju, selain itu juga ada Kerajaan Nan Sarunai yang merupakan kerajaan Kaharingan dan didirikan oleh suku Dayak Maanyan. Dalam sejarahnya, Kerajaan Nan Sarunai dipercaya pernah diserang oleh kerajaan Majapahit dari pulau Jawa, dan kejadian ini divalidkan oleh Suku Maanyan dengan nyanyian kidung yang sampai saat ini dikenal dengan istilah "Wadian"(nyanyian ratap tangis) untuk meratapi hancurnya Nan Sarunai akibat Majapahit.[58] Sejak saat itu munculah istilah "Nan Sarunai Usak Jawa" dikalangan suku dayak Maanyan, yang artinya "Nan Sarunai dirusak oleh (suku) Jawa".

Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.[59]

Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.

Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum agama Kaharingan.

Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.

Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak, tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.

Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum agama Kaharingan. Belakangan penyebaran agama Kristen mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Kristen dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.

Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal, Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[60] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.[61] Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Kristen dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Kristen selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh agama leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, sering kali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktivitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.[62][63][64][65][66]

Konflik

Keterlibatan

Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat pedalaman Kalimantan) telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber independen.[67] Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Tionghoa memerangi para pendatang Madura; 114 orang tewas.[68].[69] Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak.

Lihat pula

Galeri

Referensi

  1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. Diakses tanggal 27 Agustus 2012. 
  2. ^ Taburan Penduduk dan Ciri-ciri Asas Demografi (PDF). Jabatan Perangkaan Malaysia. 2011. ISBN 9789839044548 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-05-22. Diakses tanggal 27 Agustus 2012. 
  3. ^ "Population Distribution and Demography" (PDF). Malaysian Department of Statistics. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 13 November 2013. 
  4. ^ Ananta, Aris; Arifin, Evi; Hasbullah, M.; Handayani, Nur; Pramono, Wahyu (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: ISEAS Publishing. hlm. 272. ISBN 978-981-4519-87-8. Diakses tanggal 8 May 2020. 
  5. ^ "Ethnicity and territory in the late colonial imagination". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-07. Diakses tanggal 2011-07-23. 
  6. ^ Sellato, Bernard (2002). Innermost Bornéo: studies in Dayak cultures. NUS Press. hlm. 19. ISBN 2914936028. ISBN 978-2-914936-02-6
  7. ^ Davis, Joseph Barnard (1867). Thesaurus craniorum: Catalogue of the skulls of the various races of man, in the collection of Joseph Barnard Davis. Printed for the subscribers. 
  8. ^ Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. Malayan miscellanies. 
  9. ^ MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733. ISBN 0-945971-73-7
  10. ^ East India Company (1821). The Asiatic journal and monthly miscellany. 12. Wm. H. Allen & Co. 
  11. ^ "Dayak (suku)". kbbi.kemdikbud.go.id. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 17 Juni 2021. Dayak merupakan suku bangsa yang mendiami daerah Kalimantan 
  12. ^ University of Calcutta (1869). Calcutta review. 48-49. University of Calcutta. hlm. 171. 
  13. ^ The London review of politics, society, literature, art, & science. 11. J.K. Sharpe (1865). hlm. 121. 
  14. ^ Wood, John George (1870). Uncivilized races of men in all countries of the world: being a comprehensive account of their manners and customs, and of their physical, social, mental, moral and religious characteristics. 2. J. B. Burr & co. hlm. 1110. 
  15. ^ "The London Saturday journal (1841)": 80. 
  16. ^ Haris, Syamsuddin (2004). Desentralisasi dan otonomi daerah: Naskah akademik dan RUU usulan LIPI. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 188. ISBN 979-98014-1-9. ISBN 978-979-98014-1-8
  17. ^ Indonesia, Kalimantan
  18. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/greater-barito
  19. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04.html
  20. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s02.html
  21. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/land-dayak
  22. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s05.html
  23. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/north-borneo
  24. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/tamanic
  25. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s04.html
  26. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/malayic
  27. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s03.html
  28. ^ King, 1993:29
  29. ^ Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the world: an encyclopedia. 1 (edisi ke-2). ABC-CLIO. hlm. 99. ISBN 1598841742. ISBN 978-1-59884-174-9
  30. ^ King, 1993:30
  31. ^ Maunati, Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 8. ISBN 979949298X. ISBN 978-979-9492-98-2
  32. ^ Tegg, Thomas (1829). London encyclopaedia; or, Universal dictionary of science, art, literature and practical mechanics: comprising a popular view of the present state of knowledge. 4. Printed for Thomas Tegg. hlm. 338. 
  33. ^ Foreign missionary chronicle. s.n. (1838). hlm. 261. 
  34. ^ King, 1993.
  35. ^ Rousseau, 1990
  36. ^ Commans, 1987: 6
  37. ^ Lahajir et al., 1993:4
  38. ^ Lahajir et al., 1993:3
  39. ^ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978
  40. ^ "Usak Jawa". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-26. Diakses tanggal 2011-04-21. 
  41. ^ Fridolin Ukur, 1971
  42. ^ Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. hlm. 216. ISBN 9792116575. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-01. Diakses tanggal 2011-06-16. ISBN 978-979-21-1657-1
  43. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-18. Diakses tanggal 2011-07-17. 
  44. ^ Sarwoto Kertod ipoero, 1963
  45. ^ Hukum Adat dan Istiadat Kalimantan Barat, J.U. Lontaan. 1975
  46. ^ "Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, Bahasa 2010" (PDF). demografi.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 23, 31, 36–41. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-07-12. Diakses tanggal 28 Oktober 2021. 
  47. ^ Kalimantan Barat - Suku Bangsa
  48. ^ Kalimantan Tengah - Suku Bangsa
  49. ^ Kalimantan Timur - Suku Bangsa
  50. ^ Kalimantan Selatan - Suku Bangsa
  51. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-07. Diakses tanggal 2011-06-26. 
  52. ^ http://berita.liputan6.com/read/42277/tempelaaq_tempat_tulang_belulang_leluhur_suku_dayak
  53. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2011-06-26. 
  54. ^ Lathief. H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
  55. ^ http://catalogue.nla.gov.au/Record/1156006
  56. ^ http://www.youtube.com/watch?v=kThegt6b3CE
  57. ^ http://budimasnet.blogspot.com/2011/03/adat-kematian.html
  58. ^ dracus_visues. "Majapahit Penjajah dari Jawa (Nan Sarunai Usak Jawa)". KASKUS. Diakses tanggal 2023-04-09. 
  59. ^ "Kawi and Pallawa inscriptions, 4th-12th centuries". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-05. Diakses tanggal 2011-12-06. 
  60. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 61. ISBN 9798451163. ISBN 978-979-8451-16-4
  61. ^ Kong, Yuanzhi (2000). Hembing Wijayakusuma, ed. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 54. ISBN 9794613614. ISBN 978-979-461-361-0
  62. ^ Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. hlm. 42. ISBN 9789799290588.  ISBN 979-9290-58-9
  63. ^ Evangelical (1836). "Evangelical magazine and missionary chronicle,". 14. s.n: 578. 
  64. ^ End, Th. van den (1987). Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah gereja di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-188-2. ISBN 978-979-415-188-4
  65. ^ Foreign missionary chronicle. 5. Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian Church. hlm. 87. 
  66. ^ Steenbrink, Karel A. (2003). Catholics in Indonesia, 1808-1942: A modest recovery 1808-1903. KITLV Press. hlm. 149. ISBN 9067181412. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-01. Diakses tanggal 2011-07-05. ISBN 978-90-6718-141-9
  67. ^ MacDougall, 1999
  68. ^ Mac Dougall, 1999
  69. ^ lihat, misalnya Manuntung, 22 Maret 1999

Bacaan lanjutan

  • Cfr. Tom Harrisson, "The Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1984), hlm. 299-322
  • Bellwood, Peter, “The Prehistory of Borneo”, Borneo Research Bulletin, 24/9 (1992), hlm. 7-13
  • Kathy MacKinnon, The Ecology of Indonesian Series Volume III: The Ecology of Kalimantan, (Singapore: Periplus Editions Ltd., 1996), hlm. 255-363
  • bdk. P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121
  • Fridolin Ukur, "Kebudayaan Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992), hlm. 3-10
  • Keragaman Suku Dayak di Kalimantan, Institut Dayakologi, Pontianak
  • Edi Petebang, Dayak Sakti, Institut Dayakologi
  • Edi Petebang, Eri Sutrisno, Konflik Etnis di Sambas, ISAI, Jakarta

Pranala luar


Kembali kehalaman sebelumnya