Suku Bawean
Suku Bawean, dikenal juga Boyan atau Bhebien adalah salah satu suku bangsa yang berasal dari Pulau Bawean, suku ini terbentuk karena terjadi percampuran antara orang Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, dan Makassar selama ratusan tahun di pulau Bawean.[2] Masyarakat Singapura dan Malaysia lebih mengenal dengan sebutan Boyan daripada Bawean. SejarahOrang-orang Bawean merupakan satu kelompok kecil dari masyarakat pulau di utara Jawa yakni Pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa antara dua pulau besar yaitu Pulau Kalimantan di utara dan Pulau Jawa di selatan. Pulau Bawean terletak sekitar 80 mil ke arah utara Kota Surabaya, dan masuk kedalam wilayah administrasi kabupaten Gresik.[3] Pulau Bawean terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Tambak. Diponggo adalah salah satu kelurahan dari 30 kelurahan di pulau Bawean yang bahasanya berbeda jauh dari desa-desa yang lain. Masyarakat Diponggo berbahasa semi Jawa berbanding terbalik dengan mayoritas masyarakat Bawean yang menggunakan dialek bahasa Madura yakni bahasa Bawean, hal mana merupakan warisan dari seorang ulama wanita yang pernah menetap di desa itu, yaitu Waliyullah Zainab, yang masih keturunan Sunan Ampel. Sulit untuk menentukan waktu yang tepat kedatangan orang-orang Bawean ke Malaka karena tidak ada bukti dan dokumentasi sejarah mengenai kedatangan mereka.[4] Tidak ada catatan resmi mengenai kedatangan mereka di Malaka. Berbagai pendapat yang dikemukakan tidak bisa menunjukkan waktu yang tepat. Pendapat pertama mengatakan bahwa ada orang yang bernama Tok Ayar datang ke Malaka pada tahun 1819.[5] Pendapat yang kedua mengatakan bahwa orang Bawean datang pada tahun 1824,[6] kira-kira semasa penjajahan Inggris di Malaka, dalam catatan Pemerintah Koloni Singapore pada tahun 1849 [7] terdapat 763 orang Bawean dan itu terus bertambah jumlahnya.[8] Sedangkan dalam catatan Persatuan Bawean Malaysia pada tahun 1891 terdapat 3.161 orang Bawean yang tersebar di Kuala Lumpur, Johor Bharu, Melaka, Seremban dan Ipoh. Pendapat yang ketiga mengatakan orang Bawean sudah ada di Malaka sebelum tahun 1900 dan pada tahun itu sudah banyak orang Bawean di Malaka. Masyarakat Bawean umumnya tinggal di kota atau daerah yang dekat dengan kota, seperti di Kampung Mata Kuching, Klebang Besar, Limbongan, Tengkera, dan kawasan sekitar Rumah Sakit Umum Malaka. Jarang ditemui orang Bawean yang tinggal di kawasan-kawasan yang jauh dari kota dan jumlah orang Bawean yang terdapat di Malaka diperkirakan tidak melebihi seribu orang. Selain di Malaka, orang Bawean juga tersebar di Lembah Klang, seperti di kawasan Ampang, Gombak, Balakong, dan juga Shah Alam. Mereka membeli tanah dan membangun rumah secara berkelompok. Di Gelugor, Pulau Pinang terdapat sekurang-kurangnya 2 keluarga besar orang Bawean. Mereka menggunakan bahasa Melayu dialek Pulau Pinang untuk bertutur dengan orang bukan Bawean. Anak-anak mereka yang lahir di Malaysia telah menjadi warga negara Malaysia.[9] Perantau-perantau yang datang dari tahun 90-an ada yang telah menerima status penduduk tetap. Orang Bawean terkenal dengan keahlian membuat bangunan dan rumah. Ada juga yang menjadi usahawan kecil seperti sub-kontraktor pembersih bangunan dan pedagang. Selain di negara Malaysia dan Singapura orang-orang Bawean juga bermigrasi ke Australia dan Vietnam.[10][11] Di Vietnam, pada tahun 2015 populasi mereka sekitar 400 orang, dengan generasi muda diantara mereka tidak lagi berbahasa Bawean melainkan bertutur menggunakan bahasa Vietnam, hanya orang-orang tua yang masih bisa berbahasa Bawean. Mereka umumnya dikenal sebagai Orang Bawean Vietnam.[1] Orang Bawean memasuki Australia sekitar tahun 1887[12] melalui jalur Singapura dan menetap di pulau Christmas. sebagian besar di antara mereka menyebar di Australia Barat diperkirakan terdapat tidak kurang dari 500 keturunan orang Bawean termasuk dari perkawinan campur dengan keturunan orang melayu, Kokos, Jawa, India, Arab, Eropa, dan sebagainya. Sedangkan orang Bawean di Vietnam tersebar di Kota Ho Chi Minh kedatangan mereka di Vietnam diperkirakan sekitar tahun 1885.[13][14] Di antara keturunan mereka yang lahir di Singapura, Vietnam dan Pulau Natal sudah tidak lagi bisa berbahasa Bawean, bahkan yang lahir di daratan Australia tidak bisa pula berbahasa Melayu, walau mereka mengerti. Orang-orang Bawean yang tinggal di negara tersebut kecuali yang tinggal di Vietnam masih menjalin hubungan dengan kerabatnya yang ada di Pulau Bawean. Budaya merantauSeperti halnya suku-suku lain di Nusantara, budaya merantau orang Bawean terutama ke Bandar Malaka dan sekitarnya berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu, karena pada abad ke-15 dan 16, Bandar Malaka menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara kepulauan. Mulanya orang Bawean merantau untuk alasan ekonomi maupun tradisi hingga akhirnya terjadi migrasi ke Semenanjung Malaya dan sekitarnya. Pada tahun 1849, jumlah orang Bawean di Singapura berjumlah 763 dan jumlahnya terus bertambah pada tahun 1957 sebanyak 22.167 jiwa.[15] Para perantau Bawean pada abad ke-19 menggunakan kapal jurusan Bawean ke Singapura yang dimiliki oleh pengusaha keturunan Palembang yang biasa disebut "kemas". Salah satu kemas tertua yang menetap di Pulau Bawean pada tahun 1876 bernama kemas Haji Jamaludin bin kemas Haji Said, seorang pedagang tekstil dan bahan makanan yang menjadi agen perusahaan pelayaran yang dikelola dengan kongsi Cina untuk jalur Surabaya - Bawean - Banjarmasin - Singapura meminjamkan modal kepada orang Bawean yang hendak merantau. Mereka membayar kembali pinjamannya setelah tiba di tempat tujuan dan telah mempunyai pekerjaan. Sistem pinjam modal ini menarik banyak penduduk Bawean untuk merantau sehingga kapal sebelumnya mengangkut penumpang dan barang, berubah fungsi menjadi kapal penumpang. Pada masa perang kemerdekaan tahun 1940-an ketika Jepang menduduki Indonesia pelayaran yang singgah ke Pulau Bawean mengalami gangguan. kegiatan merantau kembali menggunakan kapal layar tradisional yang berasal dari Madura dan Bugis.[16][17] Kebudayaan
Kercengan biasanya dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan. Masyarakat Madura menyebut nama kercengan dengan Hadrah.[18] Penari berbaris sebaris atau dua baris. Pemain kompang dan penyanyi duduk di barisan belakang. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pemain kercengan terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Bayi yang telah genap usianya 40 hari mengikuti acara bercukur jambul. Adat ini sama seperti adat orang Melayu dan Jawa. Bacaan berzanji bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan dicukur kepalanya.
Pencak Bawean sering ditampilkan dalam acara hari besar seperti hari kemerdekan 17 agustus maupun acara perkawinan orang bawean. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang.[19][20]
Alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang.[21]
Sejenis tari-tarian disertai dengan pantun.[22] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar |