Suku Dayak DesaSuku Dayak Desa mendiami beberapa desa Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat dan juga Kabupaten Sintang . Jumlah populasi sekitar 10.000 jiwa.[1] Pada zaman kependudukan Jepang di Indonesia pernah terjadi Perang Dayak Desa yang dilatarbelakangi oleh perlakuan Jepang yang sewenang-wenang pada masyarakat Dayak Desa. BahasaBahasa yang digunakan oleh masyarakat Dayak Desa adalah bahasa Dayak Desa. Terdapat perbedaan fonem antara bunyi-bunyi pada bahasa Dayak Desa dengan bahasa Indonesia, seperti fonem h, r, ng, dan s. Misal, fonem /h/ pada bahasa Dayak Desa mirip dengan bahasa Indonesia, tetapi pada bahasa Dayak Desa bunyi [h] bersuara. Fonem /r/ pada bahasa Dayak Desa tidak bergetar. Bunyi [ŋ] banyak ditemukan di awal dan di tengah suku kata. Apabila berada di akhir suku kata, bunyi [ŋ] menjadi bunyi semi vokal. Fonem /s/ bila ditemukan di suku kata pertama dan di tengah berbunyi sama dengan[s], jika berada di akhir suku kata, bunyi menjadi tidak berdesis.[2] KerajinanTenun IkatTenun ikat menjadi kain khas bagi suku Dayak Desa. Kain tenun di dalam Bahasa Dayak Desa disebut dengan kain Pantang dan kegiatan menenun disebut denan mantang. Pada zaman dahulu, tenun ikat diyakini oleh buyut-buyut sebagai bentuk pengambaran terhadap suatu peristiwa yang sedang terjadi. Kegiatan menenun pada Suku Dayak Desa hanya dilakukan oleh kaum perempuan, kaum pria hanya berperan dalam menyiapkan peralatan untuk menenun.[3] Kerajinan tenun ikat tradisional ini bisa digunakan dalam acara-acara tertentu, misalnya pertemuan adat, gawai dayak, dan acara-acara besar Suku Dayak antara lain pernikahan. Hasil dari tenun ikat dapat dijadikan sebagai bahan untuk membuat baju adat, songket, selendang, pengikat kepala dan lainnya. Tenun ikat dianggap masyarakat sebagai aset budaya yang harus tetap dijaga dan terus dipelihara keberadaannya. Dalam kerajinan tenun ikat Dayak Desa ini, banyak sekali makna yang terkadung dan setiap torehan motif yang dibuat. Sebagian besar motif menggambarkan kehidupan sehari-hari. Suku Dayak Desa meyakini bahwa dari segi warna mereka mempercayai terdapat tiga warna yang menjadi dasar, yaitu warna merah, putih, dan hitam. Warna merah menggambarkan mega atau alam semesta, putih mengambarkan awan atau nirwana yang terbentang luas di langit semesta, dan hitam mencerminkan kegelapan atau bagian dari sirkulasi alam. Unsur alam juga dianggap oleh masyarakat Suku Dayak Desa sebagai tanda atau lambang yang di tenun dan memiliki kekuatan magis. Alat tenun yang digunakan bukanlah mesin. Proses pembuatan tenun oleh Suku Dayak Desa dilakukan dengan cara membuat hiasan dasar pada kain tenun, kemudian mengikat rencana gambar untuk beberapa warna sesudah itu ditenun. Sebelum ditenun, helaian benang dibungkus (diikat) dengan tali plastik sesuai dengan corak atau pola hias yang diinginkan.[4] Untuk mendapatkan motif, benang yang sudah disusun sedemikian rupa diikat sesuai dengan motif yang dibutuhkan, kemudian dicelupkan ke wadah yang sudah mengandung zat pewarnaan. Bahan-bahan yang digunakan berasal dari akar kayu mengkudu, daun emarik, lemak berbagai binatang dan banyak bahan alam.[3] Proses menenun dalam budaya Dayak Desa tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, seseorang yang akan menenun harus melalui rangkaian syarat dan upacara adat. Khususnya, jika akan menenun beberapa motif “keramat” seperti motif manusia, buaya, dan ular penenun wajib melakukan ritual. Motif keramat ini hanya boleh ditenun oleh ibu-ibu yang sudah janda atau ditinggal mati oleh suaminya. Untuk penenun pemula, setelah selesai menenun satu buah kain, penenun tersebut harus memberikan sesaji kepada roh nenek moyang sebagai simbol penghormatan dan permohonan agar mereka tidak mengganggu manusia yang masih hidup.[3] Upacara AdatNyapik TanggaAcara adat Dayak Desa “Nyapik Tangga” atau dapat diartikan sebagai memberi tangga makan, dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Desa pada saat akan mendirikan tangga ke rumah adat/rumah panjai. Adat Nyapik Tangga dilakukan sesuai tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun. “Nyapik Tangga” mempunyai tujuan agar masyarakat yang menghuni rumah adat selalu dilindungi Tuhan/Petara.[5] Referensi
|