Suku Balantak
Suku Balantak adalah kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia. Masyarakat Balantak terbagi menjadi dua sub-suku yang terdiri dari orang Tanoturan dan Dale-Dale.[1] Sebagian besar masyarakat Balantak di Banggai tinggal di bagian semenanjung ujung Sulawesi Tengah.[2] EtimologiBalantak berasal dari kata Bala yang berarti pagar atau benteng dan Tak yang artinya kita, sehingga Balantak dapat diartikan sebagai pertahanan kita.[3] SejarahMenurut Kepercayaan, asal-usul suku bangsa Balantak bermula dari genangan air laut surut di tanah Balantak yang disebut Bokol Balu sebagai akibat dari perbuatan manusia yang melanggar hukum. Bokol balu kemudian memusnahkan sebagian penduduk dan sebagian lainnya yang selamat dan mampu bertahan hidup inilah yang kemudian menjadi kelompok Suku Bangsa Balantak.[3] Masyarakat Balantak pada masa lampau merupakan bagian dari Kerajaan Banggai. Namun, saat ini tidak ada lagi pengaruh kerajaan yang tersisa pada pelapisan sosialnya. Awalnya, masyarakat Balantak menjalankan sistem religi dengan memuja roh-roh nenek moyang dan tokoh dewa seperti dewa matahari yang disebut Mola serta dewa bumi yang disebut Kere. Saat ini, orang Balantak telah menganut agama Islam atau Kristen. Meski agama Islam dan Kristen sudah dikenal, sisa-sisa kepercayaan tradisional masih tetap tampak[1] Perubahan agama masyarakat Balantak bisa dipahami mengingat aktivitas penyebaran agama memang pernah dilakukan di Sulawesi Tengah pada masa lalu. Agama Islam pertama kali disebarkan di Sulawesi Tengah oleh seorang ulama dari Sumatera Barat bernama Abdullah Raqile alias Dato Karamah. Sementara itu agama Kristen dibawa oleh dua misionaris Belanda, A.C Cruyt dan Adrian di Poso selatan dan Donggala. Selain itu, ada pula agama Hindu dan Budha yang diperkenalkan oleh pendatang dari Bali.[4] BahasaMasyarakat Balantak mempunyai bahasa asli, yaitu bahasa Balantak.[2] Adapun bahasa Balantak dapat digolongkan ke dalam bahasa Loinang, yaitu kelompok bahasa Ingkar.[1] Untuk melestarikan bahasa lokalnya, masyarakat Balantak sudah memiliki Kamus Bahasa Balantak-Indonesia dalam bentuk elektronik. Kamus ini dapat diunduh untuk perangkat dengan sistem operasi Android melalui Google Play. Kamus ini diluncurkan pada acara perayaan Hari Jadi Kabupaten Banggai ke-57 pada tahun 2007 dengan dipimpin oleh Gubernur Sulawesi Tengah, H. Longki Janggola.[5] Kehidupan sosialMasyarakat Balantak bertumpu pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Kelompok ini menanam padi di lahan dengan sistem padang, bakar dan berpindah-pindah serta menanam ubi dan mengandalkan komoditas kelapa. Selain itu ada pula kegiatan meramu hasil hutan serta berburu ikan dan hewan liar sebagai pekerjaan di samping bertani.[1] Di Kabupaten Banggai, Suku Balantak tinggal dan mendiami daerah tersebut sebagai salah satu kelompok suku besar bersama dua suku bangsa lainnya, yaitu Suku Banggai dan Suku Saluan.[6] Sementara itu di Provinsi Sulawesi Tengah, Balantak menjadi satu dari 12 etnis atau suku bangsa yang mendiami wilayah tersebut. Kesebelas etnis atau suku bangsa selain Balantak yang ada yaitu Kali, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan, Banggai, Buol, dan Tolitolo.[4] Bagi orang Balantak, ada empat hal yang dianggap sebagai unsur paling penting dalam kebudayaannya. Keempat hal tersebut adalah martabat, kekeluargaan, keteraturan sosial, dan kemurahan hati. Dalam urusan kekeluargaan, masyarakat Balantak terbilang memiliki ikatan yang erat. Semangat gotong royong dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu perwujudannya.[7] BudayaSistem kekerabatanSeperti telah disebutkan sebelumnya, kekeluargaan merupakan salah satu hal paling penting dalam kebudayaan masyarakat Balantak. Ikatan kekeluargaan dalam kebudayaan Balantak bersifat bilateral dengan keluarga-keluarga inti yang tergabung dalam kesatuan yang disebut bense. Sebanyak dua atau tiga bense biasanya menghuni sebuah desa dan desa ini tergabung lagi dalam kesatuan pemukiman atau kampung yang disebut bosano. Istilah bosano juga digunakan untuk kepala kampung yang menjadi pemimpin suatu wilayah.[1] Masyarakat Balantak juga punya cara sendiri untuk menyatukan dua keluarga ke dalam suatu sistem kekerabatan melalui tradisi pernikahan yang disebut dengan Monsara no Ana Wiwin Nono yang berarti "penyelidikan diam-diam". Tradisi ini dilakukan saat seseorang akan menikahkan anak laki-lakinya. Tujuannya, mengetahui dari dekat bagaimana perilaku perempuan yang akan menjadi menantunya.[8] Sebelum resmi meminang, salah satu anggota keluarga pihak pria akan datang menyambangi rumah pihak perempuan untuk memberitahu maksud keluarganya yang ingin mempersuntingnya. Selanjutnya pihak pria akan menyampaikan rencana selanjutnya untuk meminang kepada orang tua si perempuan.[8] Tahap meminang dilakukan keluarga pria yang datang ke rumah orang tua si perempuan dengan membawa barang berupa sirih,pinang, kapur sirih, gambir, serta sejumlah uang. Tiga hari kemudian, barulah pihak dari kedua keluarga berkumpul kembali untuk menyampaikan detil mengenai rencana pernikahan.[8] Referensi
|