Suku Rampi
Suku Rampi (bahasa Rampi: To Rampi) adalah sebuah kelompok etnis yang mendiami wilayah pegunungan di Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kawasan yang dihuni oleh suku Rampi merupakan wilayah terisolir, yakni di Pegunungan Luwu Utara yang terletak di bagian utara dari Sulawesi Selatan.[2] KebudayaanTradisi berburuMasyarakat suku Rampi mempunyai tradisi berburu, yakni berburu anoa yang merupakan salah satu komoditas konsumsi utama bagi masyarakat yang mendiami pegunungan bagian tengah dari pulau Sulawesi.[3] Kondisi sosialSecara sosiologis masyarakat suku Rampi masih dapat digolongkan dalam kehidupan yang homogen. Ikatan kekerabatan antar desa dan tetangga masih sangat kental, hal ini terlihat pada hubungan komunikasi antar sesama masyarakat Rampi. Secara ekonomi, mata pencaharian utama masyarakat Rampi dominan dalam bertani. Hukum adatPeran lembaga adat yang dipimpin oleh Tokei Tongko Rampi masih dipegang teguh oleh masyarakat Rampi dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Mereka memberlakukan aturan adat yang berkaitan dengan kehidupan sosial, seperti melakukan perzinahan akan di denda memotong 3 ekor kerbau, yang setelah dipotong lalu di makan bersama. Setelah itu dilakukan powahe lori, yakni potong 1 ekor dari 3 ekor kerbau yang kemudian akan dimakan bersama. Setelah prosesi tersebut dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan proses 'mencuci aib' atau 'cuci tanah', lalu dilakukan kembali pehilu atau garing sebagai 'pengikat tangan' yang dimaksudkan agar pelaku pelanggaran sosial tidak mengulangi lagi perbuatannya. Pelanggaran adat lainnya disebut sebagai peruhe atau pebamba, yakni merebut suami atau istri orang akan didenda 1 ekor kerbau kepada orang yang suami atau istrinya direbut. Hal-hal tersebut bisa menimpa seseorang apabila melakukan kelalaian atau pelanggaran adat, hukuman ini merupakan peringatan untuk menyadarkan seseorang atas kesalahan yang dilakukannya sesuai dengan pelanggarannya. Aturan tersebut berlaku kepada seluruh masyarakat adat Rampi dengan maksud agar tidak mengulangi lagi pelanggaran tersebut yang dikenal dengan istilah powahe lori yang berarti 'harus bicara dahulu' atau 'mendapatkan ijin', yakni segala yang akan dipakai atau dimakan harus bersih dari segala hal, dan harus bisa menyampaikan dengan apa adanya. Pesta adatMasyarkat Rampi mempunyai sebuah pesta adat yang disebut sebagai mogombo, yakni musyawarah adat yang dianggap begitu sakral oleh masyarakat Rampi. Mogombo berhubungan tentang penetapan pengesahan aturan adat masyarakat di kecamatan Rampi. Pesta adat ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan ritus sakral ini masih dilakukan oleh masyarakat Rampi sekali dalam setahun. Ketua panitia kegiatan mogombo ada', Albert Lumeno menjelaskan acara ini juga secara perlahan dan pasti mulai diterima bukan saja oleh masyarakat Rampi, tetapi sebagai bagian budaya masyarakat adat di Tana Luwu. Dalam memeriahkan pesta adat ini, masyarakat adat Rampi menyiapkan berbagai kesenian dan tarian adatnya, termasuk juga mempersiapkan sebanyak 8 ekor kerbau untuk disembelih.[4] Pakaian adatMasyarakat Rampi memiliki sebuah pakaian adat yang terbuat dari kulit kayu beringin (sampollo) dengan proses pembuatannya memakan waktu sekitar 3 bulan. Pakaian adat khas Rampi ini pernah dipakai oleh peserta audisi Puteri Indonesia, yakni Dewi Anggraeni pada 2015 dan peserta Puteri Pariwisata, yakni Tita Kamila pada 2017 yang berasal dari Kabupaten Luwu Utara di tingkat provinsi dan nasional.[5] BahasaBahasa ibu yang digunakan oleh masyarakat Rampi adalah bahasa Rampi, yakni sebuah bahasa dari rumpun bahasa Kaili–Pamona. Bahasa ini dituturkan oleh sekitar 8.000 masyarakat di Kecamatan Rampi.[6] Lihat jugaReferensi
|