Suku Kei
Suku Kei adalah suku bangsa di Indonesia yang mendiami Kepulauan Kei di Provinsi Maluku. Masyarakat suku Kei bertutur menggunakan bahasa Kei yang berfungsi sebagai basantara bagi masyarakat di Kepulauan Kei. Populasi suku Kei berjumlah sekitar 180.000 orang.[1] Orang Tanimbar Kei merupakan salah satu sub-suku Kei yang mendiami pulau Tanimbar Kei; umumnya beragama Hindu. SejarahOrang Kei sendiri menyebut dirinya sebagai umag Evav, umag artinya "orang" atau "manusia" dan Evav artinya "pulau babi". Pendapat lain mengatakan bahwa "Kei" berasal dari bahasa Portugis kayos yang artinya "keras".[2] Mungkin dikarenakan pulau-pulau tersebut terbentuk dari batu-batu karang dan ditumbuhi berbagai jenis-jenis kayu yang keras. Dalam catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa Kepulauan Kei pada masa lampau sudah pernah dikunjungi oleh pelaut asing. Bukti-bukti sejarah ini sendiri menunjukkan bahwa kepulauan ini pernah dihuni oleh manusia-manusia yang berkebudayaan sama seperti di Australia bagian utara. Ada pula sisa-sisa peninggalan manusia berkebudayaan peralihan dari daratan Asia, antara lain dengan ditemukannya nekara dan kapak upacara dari perunggu di Kepulauan Kei.[3] Pendapat yang lebih kuat, suku Kei disinyalir mempunyai hubungan kekerabatan yang erat dengan salah satu komunitas di Bali. Hasil penelusuran sementara, diyakini nenek moyang suku Kei datang dari desa Pedawa. Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, Gede Komang mengatakan para peneliti dari Maluku Tenggara sangat yakin dan percaya bahwa asal usul mereka berasal dari Pedawa. Hal itu berlandaskan hikayat dan cerita rakyat yang diceritakan secara turun temurun, serta bentuk rumah adat antara suku Kei dengan warga di desa Pedawa juga sangat mirip. Dari segi arsitektur, terlihat rumah adat keduanya memiliki kesamaan diantaranya rumah adat sama-sama membelakangi jalan raya dan segenap kegiatan sehari-hari seperti beribadah dan memasak dilakukan di dalam rumah. Kemiripan lain yakni adanya kosakata tombak yang hingga kini di pegang teguh masyarakat Kei. Beredar cerita kata itu berarti "kita berasal dari Bali". Bahkan, orang Tanimbar Kei yang merupakan sub-suku Kei, mayoritas masyarakatnya beragama Hindu dan memiliki banyak kemiripan lainnya dengan masyarakat suku Bali. Lain daripada itu ada sejumlah adat istiadat serta ritual yang diyakini mempunyai kemiripan dengan ritual Bali pada umumnya. Salah satunya hukum adat mengenai sawen atau hak kepemilikan ulayat. yaitu apabila sebidang tanah atau seekor hewan ternak sudah memiliki tanda sawen, maka hak kepemilikan tidak bisa di ganggu gugat. Sama seperti hak sawen yang ada di kebudayaan Bali. Secara morfologi, wajah orang Kei dengan orang Pedawa di Bali juga mirip. Bahkan, tak menutup kemungkinan suku Kei sejatinya berasal dari Bali.[4][5] Agama dan kepercayaanSaat ini, umumnya orang Kei sudah memeluk agama seperti Islam atau Kekristenan (mayoritas Katolik), bahkan orang Tanimbar Kei yang mendiami pulau Tanimbar Kei mayoritas beragama Hindu sama seperti leluhurnya yang berasal dari Bali. Akan tetapi, sebagian masih meyakini konsep seperti roh-roh dan kekuatan-kekuatan sakti menurut religi leluhurnya. Roh (mitu) dianggap bisa mendatangkan kebahagiaan dan juga kesusahan. Panen yang berhasil atau gagal, kehidupan yang sejahtera atau malapetaka yang menimpa penduduk dianggap berasal dari kekuatan mitu. Karena itu, selain melaksanakan upacara-upacara kecil di lingkungan keluarga, setiap tahun mereka mengadakan pula upacara khusus 'membersihkan ohoi' secara massal. Upacara bersih desa (ohoi) ini disebut sob-sob. Mitu dapat pula diperalat oleh manusia melalui praktik ilmu gaib yang mereka sebut suanggi.[6] Menurut Yong Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur animisme, magi, dan totemisme.[7] Animisme berasal dari perkataan latin yakni anima artinya "nyawa" Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan sebagainya. Istilah animisme, peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor, melalui bukunya Primitive Culture. Baginya bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor mengenai evolusi agama, disamping arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu, muncul dewata; kemudian diantara para dewata itu salah satunya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi.[8] Sistem kekerabatanBentuk kekerabatanSuku Kei memiliki bentuk kekerabatan yang cukup kompleks, dengan Kesatuan kerabat yang terkecil dalam masyarakat Kei adalah keluarga inti yang disebut dengan riin rahan atau ub. Gabungan dari keluarga inti ini disebut rahayan atau fam (klen kecil) yang dapat berkembang semakin besar menjadi satu klen besar yang dikenal dengan nama soa. Sebuah kampung (ohoi) biasanya didiami oleh satu soa. Beberapa kampung bergabung menjadi satu desa yang disebut negeri. Soa-soa yang tergabung di dalam sebuah negeri yang terbagi kepada dua golongan, yaitu golongan Ursiwa dan Urlima. Kepemimpinan tradisional desa biasanya dipegang oleh orang-orang dari soa yang pertama sekali mendiami daerah itu. Garis keturunanOrang Kei menganut prinsip garis keturunan yang bersifat patrilineal (melalui pihak ayah atau laki-laki). Dalam hal perkawinan mereka mencari pasangan di lingkungan lapisan sosial yang sama. Peranan fam atau rahayan lebih menentukan kedudukan seseorang dan dalam hubungan kekerabatan mereka menganut azas primogenitur, di mana hak anak sulung atau golongan senior lebih diutamakan. Ursiu dan LorlimKetentuan-ketentuan adat warisan leluhurnya mereka sebut hukum Larvul Ngabal. Selain mengatur perilaku anggota masyarakat hukum adat ini juga menggariskan masyarakat Kei ke dalam dua kelompok adat. Pertama, kelompok Ursiu atau "persekutuan sembilan" yang sebagian besar berdiam di kecamatan Kei kecil. Kedua, kelompok Lorlim atau "persekutuan lima" yang berdiam di Kecamatan Kei besar. Simbol keberadaan kedua kelompok adat ini antara lain terlihat dari jumlah tiang balai adat (abua) di kampung-kampung mereka. Tiang balai adat pada kelompok adat. Ursiu berjumlah sembilan buah, sedangkan pada kelompok adat Lorlim berjumlah lima buah. Struktur sosialStruktur sosial masyarakat Kei terbagi menjadi tiga golongan atau lapisan sosial yaitu:
Sistem pelapisan sosial dari masa lalu sebagian masih terlihat pemgaruhnya dalam kehidupan sosial sehari-hari. Misalnya dalam menentukan jodoh, menentukan pimpinan masyarakat, tatakrama dalam pergaulan sehari-hari, dan keterlibatan dalam upacara tertentu. Kepemimpinan adat
Rat sendiri dalam pemerintahannya mendapat pertimbangan dari badan musyawarah adat, yaitu Badan Saniri Negeri yang terdiri dari unsur-unsur pemimpin adat di atas. Pada masa sekarang pengaruh Rat masih cukup besar, terutama dalam menentukan seorang Kepala desa menurut sistem pemerintahan nasional.[9] Lihat jugaReferensi
|