Orang Maluku

Orang Maluku
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia: 2.203.415 (sensus 2010)[1]
Maluku1.848.923
Maluku Utara687.003
Papua82.597
Papua Barat78.855
Jawa Barat47.886
Daerah Khusus Ibukota Jakarta45.146
Sulawesi Utara24.942
Jawa Timur17.756
Sulawesi Selatan15.884
Nusa Tenggara Timur11.633
Banten11.404
Kalimantan Timur6.746
Sulawesi Tengah6.399
Sumatera Utara4.611
Jawa Tengah4.517
 Belanda (2018)95.000 [2]
Bahasa
Bahasa asli dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Tengah–Timur seperti bahasa Dawera-Daweloor dan bahasa Taliabo dan bahasa Indonesia (untuk kepentingan resmi, sebagai perantara antarsuku bangsa Indonesia non-Maluku, dan bahasa rumah atau perantara perintah, khususnya untuk generasi muda, sedangkan yang tinggal di luar negeri menuturkan bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Belanda
Agama
Protestan (mayoritas Gereja Protestan Maluku dan Gereja Injili Maluku), Islam Sunni, Katolik Roma, dan Hindu
Kelompok etnik terkait
Austronesia

Orang Maluku adalah penduduk asli yang berasal dari Kepulauan Maluku. Orang Maluku adalah istilah yang mencakup banyak kelompok etnis yang mendiami gugusan kepulauan tersebut.

Orang Maluku memiliki darah Melanesia dan Melayu.[3] Namun, sejarah panjang perdagangan dan pelayaran telah mengakibatkan tingkat tinggi kawin campur dalam darah keturunan di antara orang Maluku.[4] Darah bangsa Austronesia ditambahkan ke penduduk Melanesia asli pada sekitar 2000 SM.[5] Ciri Melanesia yang terkuat terdapat di Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, dan antara orang-orang di pedalaman kepulauan di Seram dan Buru.[6]

Kemudian, suku-suku yang ditambahkan ke darah Austronesia-Melanesia melalui kawin campur adalah Belanda,[7] Tionghoa, Portugis,[7] Spanyol,[7] Arab,[7] dan Inggris karena penjajahan dan pernikahan dengan pedagang asing di Abad Pertengahan atau dengan tentara Eropa selama Perang Dunia. Keturunan Jerman dalam jumlah yang kecil ditambahkan ke penduduk Maluku khususnya di Ambon bersama dengan kedatangan para Misionaris Protestan sejak abad ke-15.

Sejarah

Umum

Orang yang pertama kali mendiami Kepulauan Maluku adalah bangsa Austonesia-Melanesia.[8] Pada mulanya, mereka menetap di pulau-pulau besar seperti Halmahera, Seram, Buru, Bacan, dan Obi.[8] Penduduk Pulau Seram tersebut dikenal sebagai suku Alifuru yang diartikan oleh penduduk setempat sebagai manusia awal.[8]

Menurut antropolog A.H. Keano, Pulau Seram dari dahulu telah didiami oleh suatu suku bangsa yaitu bangsa Alifuros, bangsa campuran antara bangsa Kaukasus-Mongoloid dan bangsa Papua.[8] Di Seram bangsa ini dikenal dengan suku Alune dan Wemale yang mendiami pedalaman Seram Barat.[8] Setelah itu, menurut antropolog F.J.P. Sache dan Dr. O.D. Tauern, suku Alune berasal kemungkinan berasal dari Sulawesi Utara atau Halmahera sebab di pulau Halamahera pun terdapat suku Alifruros.[8] Mereka pun memiliki cir-ciri fisik yang sama.[8] Sedangkan, menurut mereka, Suku Wemale berasal dari arah timur (Melanesia).[8] Di kalangan penduduk setempat suku Alune dan Wemale dianggap merupakan turunan langsung dari manusia Nunusaku, sebuah kerajaan kuno di Seram.[8][9]

Kemudian karena didesak oleh perkembangan, suku-suku Alifuru ini mulai meninggalkan tempat kediamannya, yaitu Seram dan Halmahera, lalu menyebar ke pulau-pulau kecil lainnya seperti Ambon, Haruku, Saparua, Ternate, Tidore, Bacan, dan Obi.[8]

Sampai saat ini, apabila asal orang Maluku ditanyakan pada orang dari Maluku Tengah, mereka akan menjelaskan bawah nenek moyang mereka berasal dari Nunusaku atau dengan kata lain dari keturunan suku Alune dan Wemale.[8] Demikian juga dengan orang dari Ternate dan Tidore.[8] Mereka akan menjelaskan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Halmahera.[8]

Teori keturunan Suku Israel

Beberapa orang menganggap bahwa nenek moyang orang Maluku adalah orang Yahudi. Hal ini dinyatakan oleh Rabi Resley, penulis buku “Pintu Gerbang Emas Israel Yang Tertinggal di Indonesia”.[10] Pada bagian akhir dari bukunya, ia mengatakan bahwa mayoritas orang Maluku adalah keturunan suku Gad, yaitu suku Israel yang disangka hilang, tak dapat ditemukan lagi, dan tidak memiliki perwakilan di Israel saat ini.[11] Resley mengistilahkan mereka dengan sebutan Yahudi Alfuros.[11]

Tempat menetapnya Orang Maluku

Populasi kecil orang Maluku (±45.000) tinggal di Belanda. Kelompok ini terutama terdiri dari keturunan dari tentara KNIL yang telah direncanakan untuk datang ke Belanda hanya untuk sementara,[12] tapi akhirnya terpaksa menetap. (Lihat diaspora Maluku.) Sisanya terdiri dari orang Maluku melayani di Angkatan Laut Belanda dan keturunan mereka, serta beberapa pun datang ke Belanda dari Irian Barat yang setelah itu diserahkan ke Indonesia.[13] Namun, sebagian besar orang Maluku masih tinggal di Maluku dan wilayah sekitarnya seperti Papua,[14] Timor Barat, Sulawesi Utara, Bali, dan Jawa.[15]

Orang Maluku di Belanda

Kedatangan Orang Maluku di Rotterdam, Belanda pada tahun 1951

Setelah pendudukan Jepang di Hindia Belanda selama Perang Dunia II, Belanda ingin mengembalikan status jajahan.[16] Masyarakat pribumi Indonesia menentangnya.[17] Namun, perjuangan untuk kemerdekaan yang dipimpin oleh pemberontak dan Soekarno terjadi antara tahun 1945 dan 1949.[18] Pelarutan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk menjaga ketertiban dan untuk melucuti senjata para pemberontak. Tentara profesional Maluku merupakan bagian penting dari pasukan ini. Komunitas Maluku dengan demikian dianggap oleh Belanda sebagai sekutu dan sebaliknya pula. Pemerintah Belanda telah berjanji kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan negara bebas tersendiri sebagai bayaran untuk membantu Belanda. Setelah upaya-upaya internasional tidak bisa mendukung Belanda untuk mempertahankan jajahan, pemerintah Belanda tidak bisa lagi menepati janjinya untuk orang Maluku untuk sebuah negara bebas.

Tahun 1951, 12.578 orang Maluku pindah ke Belanda.[19] Mereka adalah bekas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang saat itu diburu pasukan Indonesia ketika pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) berkobar.[19] Orang Maluku yang dipandang oleh masyarakat Indonesia lainnya sebagai kolaborator KNIL, harus pergi ke Belanda. Kedatangan mereka adalah solusi sementara untuk masalah-masalah politik di Indonesia yang berkembang setelah penyerahan kedaulatan dan pembubaran tentara kolonial Belanda (KNIL).[20] Orang Maluku yang bertugas di komando KNIL akan tinggal sementara di Belanda. Kemudian, orang Maluku ditempatkan di kamp-kamp di Belanda, termasuk bekas kamp transit Westerbork.

Assen merupakan tempat tinggal pertama yang disediakan pemerintah Belanda untuk anggota maupun simpatisan RMS beserta keluarga mereka.[21] Belakangan, ada beberapa tempat lainnya seperti Bovensmilde sekitar 6 km di pinggiran Assen atau di kota lain seperti Groningen.[21]

Orang Maluku Belanda telah berulang kali menarik perhatian pemerintah Belanda demi klaim mereka untuk membebaskan Republik Maluku Selatan (RMS) yang telah dijanjikan oleh pemerintah Belanda sebelumnya.[22] Padai tahun 1970-an jumlah pendukung meningkat lebih dan lebih. Salah satu cara untuk mendapatkan perhatian pada masalah tersebut melalui kekerasan pembajakan Krisis Sandera Kereta Api Belanda 1975[23] di De Punt, Wijster, di mana sandera itu diambil dan pembajak kereta tewas.

Sejarah

Medali peringatan kedatangan orang Maluku ke Belanda ("Medali Rietkerk"), bagi mantan tentara KNIL yang telah menjadi warganegara Belanda.

Menurut asal-usulnya, banyak orang Maluku yang bergabung sebagai anggota tentara Hindia Belanda (KNIL). Ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Belanda tidak mengakui dan mengklaim bahwa pemerintahan sipil Hindia Belanda (NICA) harus dipulihkan. Perselisihan ini memuncak pada dua "aksi polisional" yang dalam sejarah Indonesia dianggap sebagai agresi militer. Dalam kedua aksi ini, banyak orang-orang Maluku terlibat dalam peperangan di pihak Belanda.

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, 27 Desember 1949, tentara Belanda harus angkat kaki dari Indonesia, termasuk Maluku. Namun, banyak orang Maluku pro-Belanda enggan meninggalkan tanah asal-usulnya. Chris Soumokil, Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT), kemudian secara sepihak mengumumkan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April 1950, sebagai reaksi atas bergabungnya NIT (yang mencakup pula Maluku) ke dalam Republik Indonesia pada pertengahan April. Indonesia memandang RMS sebagai pemberontakan dan menjalankan ofensif militer.

Menghadapi perkembangan ini, banyak orang Maluku pro-Belanda/RMS mengajukan permohonan mengungsi ke Belanda karena merasa terancam keselamatannya. Belanda menyanggupi dan sekitar 12.500 orang, anggota KNIL asal Maluku beserta keluarganya, diangkut ke Belanda untuk sementara waktu. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal keberadaan etnik Maluku di Belanda.

Karena perkembangan hubungan Belanda-Indonesia yang memanas pada paruh akhir 1950-an, orang-orang Maluku ini tidak dapat dipulangkan dan mereka harus bertahan hidup di Belanda tanpa tunjangan. Pada akhirnya, mereka banyak yang memilih menetap di Belanda, walaupun kemudian hubungan kedua negara membaik.

Pada tahun 1970-an terjadi pergolakan yang dilakukan oleh sebagian keturunan Maluku di Belanda yang menuntut janji pemerintah Belanda untuk memperhatikan aspirasi mereka, khususnya mengenai pengakuan sebagai warga negara atau membantu mengadakan wilayah sendiri bagi mereka di Maluku. Peledakan kereta api serta penyanderaan staf konsulat Indonesia di Den Haag adalah beberapa dari aksi yang dilakukan mereka. Tindak kekerasan ini kemudian dapat diredam setelah dilakukan negosiasi dan Belanda bersedia mendirikan Museum Maluku di Utrecht.

Bahasa

Suku Maluku menuturkan lebih dari seratus bahasa yang berbeda, dengan mayoritas dari mereka menuturkan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia Tengah, khususnya bahasa-bahasa Maluku bagian tengah. Pengecualian penting adalah Pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya, di mana mayoritas penduduk berbahasa yang termasuk ke dalam rumpun Papua Barat. Pengecualian lain adalah bahasa Ambon Melayu atau bahasa Ambon, bahasa yang berasal dari kreol bahasa Melayu yang diucapkan terutama di Ambon dan sekitar Pulau Seram.

Agama

Orang Maluku di Maluku sebelah utara (sekarang Provinsi Maluku Utara) kebanyakan beragama Islam dan orang Maluku di Maluku bagian tengah dan selatan (sekarang Provinsi Maluku) kebanyakan beragama Kristen.

Agama yang paling banyak dianut oleh orang-orang Maluku di Belanda adalah Protestan dan pada tingkat lebih rendah, Islam.

Ada jumlah pengikut Hindu asli yang cukup tinggi di Kepulauan Kei, meskipun wilayah ini didominasi Katolik. Diperkirakan adanya agama Hindu berasal dari Kerajaan Majapahit. Ada juga yang menyatakan bahwa Kei memiliki hubungan cukup dekat dengan Bali.[24]

Budaya

Budaya Maluku adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni dan kebiasaan lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku.[25] Maluku adalah sekelompok pulau yang merupakan bagian dari Nusantara.[26] Maluku berbatasan dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur dan Palau di timur laut.[26] Maluku memiliki beragam budaya dan adat istiadat mulai dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni budaya.[25]

Budaya Kalwedo

Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo.[27] Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat adat di Maluku Barat Daya (MBD).[27] Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara.[28] Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan Babar dan MBD.[27] Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, adat istiadat, dan pewacanaan.[28]

Nilai Adat Kalwedo

Kalwedo adalah budaya yang memiliki nilai-nilai sosial keseharian, dan juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara.[28] Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, di mana mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama.[27] Nilai Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri, yaitu: inanara ama yali (saudara perempuan dan laki-laki).[28] Inanara ama yali menggambarkan keutamaan hidup dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku.[28]

Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik).[27] Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam hal potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD.[27]

Budaya Hawear

Sasi (Hawear) di Kepulauan Kei

Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Kei secara turun menurun.[29] Cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear.[28] Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya.[28] Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang dipakainya.[28] Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang raja (Raja Ahar Danar).[28] Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan.[28] Janur kuning tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak dikenal dalam perjalanannya.[28] Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai dengan maknanya hingga saat ini.[29]

Batu Pamali

Contoh: Batu Pamali Negeri Saparua

Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku.[30] Selain Baileo, rumah tua, dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati masyarakat adat Maluku.[30] Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo, sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat.[30] Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa.[28] Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda.[30] Seiring dengan perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali.[30] Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa.[30]

Upacara Fangnea Kidabela

Kepulauan Tanimbar yang sekarang menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela.[31] Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela.[31] Upacara Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak.[31]

Makna Upacara Fangnea Kidabela

Upacara Fangnea Kidabela mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi.[31] Upacara Fangnea Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial Kampung Sulung di pulau Enus yang terletak di Selaru bagian selatan pulau Yamdena.[31] Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara Panas Pela di Ambon, Lease, dan Maluku Tengah.[31] Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan masyarakat.[31]

Hibua Lamo

Hibua Lamo adalah rumah besar yang dijadikan simbol masyarakat adat di Halmahera Utara, sekaligus simbol Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara.[32] Di Halmahera Utara terdapat tiga etnis masyarakat yang memiliki rumah adat masing-masing, misalnya rumah adat etnis Tobelo disebut Halu.[32] Namun Hibua Lamo yang menjadi pemersatu semua etnis.[32] Hibua Lamo adalah konstruksi dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai komunitas Hibua Lamo.[33] Hibua Lamo merupakan konsep bersama yang disebut Nanga Tau Mahirete (rumah kita bersama).[33] Orang Tobelo, Galela dan Loloda tersegregasi secara geografis, dan terbelenggu dalam tradisi, agama dan kepercayaan yang berbeda.[33] Perbedaan tersebut dipahami dan dihayati dengan kesucian hati dan kemurnian pikiran, kemudian diterapkan dalam sebuah ungkapan filosofis Ngone O'Ria Dodoto yang bermakna satu ibu satu kandung.[32] Konsekuensi dari falsafah Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto adalah lahirnya sebuah komunitas asli Halmahera Utara daratan maupun kepulauan dalam satu kesatuan yang teridentifikasi sebagai komunitas Hibua Lamo dan kemudian disimbolkan dalam rumah adat Himua Lamo.[32]

Dalam konteks ini komunitas Tobelo, Galela, dan Loloda mengalami proses penyatuan dalam satu sosiokultural baru yang dinamis.[32] Sosiokultural ini berlandaskan pada nilai-nilai O'dora (saling kasih), O'hanyangi (saling sayang), O'baliara (saling peduli), O'adili (perikeadilan) dan O'diai (kebenaran) dalam bingkai Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto.[32]

Budaya Arumbae

Lomba Arumbae Manggurebe

Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun di pegunungan.[33] Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku.[33] Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya suatu masyarakat.[33] Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan.[33] Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran.[25] Kedatangan para leluhur dari pulau Seram, pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku Tenggara.[25] Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela Gandong antar negeri.[25] Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan.[25] Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang.[25]

Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa laut adalah medan kehidupan yang harus dihadapi.[25] Itulah sebabnya, masyarakat Maluku melihat laut sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya.[25] Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan jalinan hidup orang bersaudara sebagai pandangan dunia orang Maluku.[25] Kebiasaan papalele, babalu, maano, dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut dan arumbae sebagai simbol perjuangan ekonomi.[25]

Arumabe tampak dalam beragam karya seni.[25] Misalnya dalam syair kata tujuh ya nona, ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang parao[25] Banyak gapura negeri adat Maluku berbentuk Arumbae.[25] Lagu daerah banyak mengumpamakan keharmonisan dengan simbol perahu atau Arumbae.[25] Di bidang olahraga, Arumbae Manggurebe menjadi program pariwisata dan olahraga tahunan yang diselenggarakan di Teluk Ambon.[25]

Sasahil dan Nekora

Sasahil dan Nekora merupakan tradisi masyarakat adat di Negeri Siri Sori Islam dan Negeri Siri Sori Kristen di pulau Saparua.[34] Bagi masyarakat desa Telalora, Nekora memiliki basis nilai tolong-menolong antarwarga.[34] Nilai tradisi Sasahil dan Nekora terletak pada cara dan proses pelaksanaan.[34] Nilai tolong-menolong yang terdapat dalam tradisi Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan menciptakan relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan.[34] Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan dan dipelihara dengan baik.[34] Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial kelangsungan hidup bermasyarakat di masa mendatang.[34]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, Dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia". Badan Pusat Statistik. 2010. Diakses tanggal 2017-07-18. 
  2. ^ "Salinan arsip". Diakses tanggal 2023-11-30. 
  3. ^ "Irian Jaya - Anthropological and Historical Perspective". IRJA.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1999-10-09. 
  4. ^ Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. hlm. 818. ISBN 1-74059-154-2. 
  5. ^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 5–7. ISBN 0-300-10518-5. 
  6. ^ "Kepulauan Maluku". jufrisafarudin.blogspot.co.id. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  7. ^ a b c d "Suku Ambon Di Kepulauan Maluku". unj-pariwisata.blogspot.co.id. Diakses tanggal 2017-08-21. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m "Maluku Bersatu". www.facebook.com. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  9. ^ "Nunusaku, kerajaan / P. Seram – Prov. Maluku". Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2014-03-20. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  10. ^ Mollucastimes. "Maluku Suku Yahudi yang Hilang. Really ? (Kontroversi)". mollucastimes. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-06. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  11. ^ a b Kompasiana.com. "Ternyata Moyang Orang Maluku adalah Bangsa Yahudi oleh Mattula Ada - Kompasiana.com". www.kompasiana.com. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  12. ^ "Kisah Maluku di Negeri Belanda | Islands of Imagination". islandsofimagination.id. Diakses tanggal 2017-08-21. 
  13. ^ Beets et al., Demografische ontwikkeling van de Molukse bevolkingsgroep in Nederland
  14. ^ Pos.com, Pasific. "Orang Maluku di Papua Harus Bersatu". www.pasificpos.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-21. Diakses tanggal 2017-08-21. 
  15. ^ Rumpoko, Ganis. "Suka-Duka Anak Maluku yang Sekolah dan Mengadu Nasibnya di Pulau Jawa". Hipwee. Diakses tanggal 2017-08-21. 
  16. ^ "UPAYA BELANDA UNTUK KEMBALI MENGUASAI INDONESIA". Pendidikan IPS. 2016-04-07. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  17. ^ "PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA". fitria97 (dalam bahasa Inggris). 2011-11-06. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  18. ^ "Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Pada Tahun 1945-1949". www.gurusejarah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  19. ^ a b "Orang Maluku di Belanda: Mempertanyakan Nasionalisme". kumparan. Diakses tanggal 2017-09-02. 
  20. ^ 9, Wildo Fordy Lembong | February; Reply, 2011 at 20:58 | (2010-09-12). "Sejarah Orang Maluku di Belanda". Bpn16's Blog. Diakses tanggal 2017-09-02. 
  21. ^ a b Siregar, Liston P. (2017-03-15). "Warga keturunan Maluku dukung partai kiri di pemilu Belanda". BBC Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-09-02. 
  22. ^ Waluyanti, Walentina. "Mengapa Banyak Orang Maluku di Belanda?". walentina.waluyanti.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-21. Diakses tanggal 2017-08-21. 
  23. ^ "Teror RMS di Negeri Belanda- Pembajakan Kereta Du Pont". military18.blogspot.co.id. Diakses tanggal 2017-08-21. 
  24. ^ "TERUNGKAP! Sejarah Hubungan Bali dan Kepulauan Kei yang Tak Banyak Diketahui Orang". SIP (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-02. Diakses tanggal 2017-09-02. 
  25. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Berlayar dalam Ombak, Berkarya bagi Negeri. Ralahalu Institute, 2012
  26. ^ a b Juni, 2010. Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950
  27. ^ a b c d e f Budaya Kalwedo di Maluku Barat Daya. Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon, 2012
  28. ^ a b c d e f g h i j k l "Budaya Kalwedo di Maluku Barat Daya". Unpatti. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-13. Diakses tanggal 2 April 2014.01.00. 
  29. ^ a b Hawear di Kepulauan Kei. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012
  30. ^ a b c d e f Peranan Batu Pamali dalam Kehidupan Masyarakat Adat di Maluku. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012.
  31. ^ a b c d e f g Upacara Fangnea Kidabela. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, Jendela Buku, 2012
  32. ^ a b c d e f g Hibua Lamo dalam Kehidupan Masyarakat Adat Tobelo di Halmahera Utara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012
  33. ^ a b c d e f g "Hibua Lamo dalam Kehidupan Masyarakat Adat Tobelo di Halmahera Utara". Unpatti. Diakses tanggal 9 April 2014.11.15.  [pranala nonaktif permanen]
  34. ^ a b c d e f Sasahil dan Nekora Tradisi Tutup Rumah di Maluku. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012
Kembali kehalaman sebelumnya