Soekarno
Ir. Soekarno (Ejaan Republik: Sukarno; 6 Juni 1901 – 21 Juni 1970),[cat. 1] biasa dipanggil dengan sebutan Bung Karno adalah seorang negarawan, orator, dan Presiden Indonesia pertama yang menjabat sejak tahun 1945 hingga tahun 1967. Ia menjabat sebagai presiden setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama wakilnya, Mohammad Hatta.[6][7] Selain dikenal sebagai Bapak Proklamator, Soekarno dikenal juga sebagai pencetus Pancasila, dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.[7][8] Soekarno adalah pemimpin perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari penjajah Belanda. Ia adalah pemimpin terkemuka gerakan nasionalis Indonesia selama masa kolonial dan menghabiskan lebih dari satu dekade di tahanan Belanda hingga dibebaskan oleh penjajah Jepang dalam Perang Dunia II. Soekarno dan rekan-rekan nasionalisnya berkolaborasi dengan Jepang untuk mendapatkan dukungan bagi upaya perang Jepang dari penduduk, sebagai imbalan atas bantuan Jepang dalam menyebarkan ide-ide nasionalis. Setelah Jepang menyerah, Soekarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Sukarno diangkat menjadi presiden. Ia memimpin perlawanan Indonesia terhadap upaya penjajahan kembali Belanda melalui cara diplomatik dan militer hingga pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Oleh karena itu, ia diberi gelar "Bapak Proklamasi."[9] Setelah Era Demokrasi Liberal Indonesia yang kacau, demokrasi parlementer, Soekarno mendirikan sistem otokrasi yang disebut "Demokrasi Terpimpin" pada tahun 1959 yang berhasil mengakhiri ketidakstabilan dan pemberontakan yang mengancam kelangsungan hidup negara yang beragam dan terpecah belah tersebut. Pada awal tahun 1960-an Soekarno memulai serangkaian kebijakan luar negeri yang agresif dengan tajuk anti-imperialisme dan secara pribadi memperjuangkan Gerakan Non-Blok. Perkembangan ini menyebabkan meningkatnya ketegangan dengan Barat dan hubungan yang lebih dekat dengan Uni Soviet. Setelah peristiwa seputar Gerakan 30 September tahun 1965, jenderal militer Soeharto mengambil alih kendali negara dalam penggulingan pemerintah yang dipimpin Soekarno oleh militer yang didukung Barat. Hal ini diikuti oleh penindasan terhadap kaum kiri yang nyata dan yang dianggap beraliran kiri, termasuk eksekusi terhadap anggota partai Komunis dan orang-orang yang diduga bersimpati pada beberapa pembantaian dengan dukungan dari CIA[10] dan SIS,[11] mengakibatkan sekitar 500.000 hingga lebih dari 1.000.000 kematian.[12][13][14][15] Pada tahun 1967, Soeharto resmi memangku jabatan presiden, menggantikan Soekarno, yang tetap berada dalam tahanan rumah hingga meninggal pada tahun 1970. Putri sulungnya Megawati Sukarnoputri, yang lahir pada masa pemerintahan ayahnya pada tahun 1947, kemudian menjabat sebagai presiden kelima Indonesia dari tahun 2001 hingga 2004. NamaSoekarno lahir di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur dengan nama Kusno (Koesno) yang diberikan oleh orangtuanya.[6] Akan tetapi, karena ia sering sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[6][16] Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[6][16] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[16] Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda).[16] Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun.[16] Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno. Achmed SoekarnoDi beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?"[17] karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian penamaan di Indonesia, terutama nama Jawa, yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Soekarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[18] Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Soekarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia[19] dijelaskan bahwa namanya hanya "Sukarno" saja, karena dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang tidak biasa memiliki nama yang terdiri satu kata. KehidupanMasa kecil dan remajaSoekarno dilahirkan di Surabaya, tanggal 6 Juni 1901, dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo (1873–1945) dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai (1881–1958).[6] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[6] Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam.[6] Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.[20] Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[6] Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.[6] Di Mojokerto, ayahnya memasukkan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.[20] Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS).[6] Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur.[6] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[6] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.[6] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[6] Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.[6] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.[6] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.[20] Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921,[21] bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921,[2] setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali[2] dan tamat pada tahun 1926.[22] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya.[2] Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa".[2] Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo,[23] selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.[23] Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[6] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. Silsilah keluargaSilsilah keluarga
Perjuangan awal kemerdekaanSoekarno pertama kali mengenal ide-ide nasionalis saat hidup di bawah pemerintahan Oemar Said Tjokroaminoto. Kemudian, ketika menjadi mahasiswa di Bandung, ia membenamkan dirinya dalam filsafat politik Eropa, Amerika, nasionalis, komunis, dan agama, yang pada akhirnya mengembangkan karyanya memiliki ideologi politik swasembada ala sosialis Indonesia. Ia mulai menata ide-idenya sebagai Marhaenisme, yang diambil dari nama Marhaen, seorang petani Indonesia yang ia temui di wilayah selatan Bandung, yang memiliki sebidang tanah kecil dan menggarapnya sendiri, sehingga menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Di universitas, Soekarno mulai mengorganisir klub belajar untuk mahasiswa Indonesia, Algemeene Studieclub, yang bertentangan dengan klub mahasiswa yang didominasi oleh mahasiswa Belanda. Keterlibatan dalam Partai Nasional IndonesiaPada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno bersama teman-temannya dari Algemeene Studieclub mendirikan partai pro-kemerdekaan, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Soekarno terpilih sebagai pemimpin pertama. Partai ini menganjurkan kemerdekaan bagi Indonesia, dan menentang imperialisme dan kapitalisme karena berpendapat bahwa kedua sistem tersebut memperburuk kehidupan rakyat Indonesia. Partai ini juga menganjurkan sekularisme dan persatuan di antara berbagai etnis di Hindia Belanda, untuk membentuk Indonesia yang bersatu. Soekarno juga berharap bahwa Jepang akan memulai perang melawan kekuatan barat dan Jawa kemudian dapat memperoleh kemerdekaannya dengan bantuan Jepang. PNI mulai menarik sejumlah besar pengikut, khususnya di kalangan pemuda lulusan universitas yang menginginkan kebebasan dan kesempatan yang lebih luas yang tidak diberikan kepada mereka dalam sistem politik kolonialisme Belanda yang rasis dan konstriktif. Hal ini terjadi segera setelah disintegrasi Sarekat Islam pada awal tahun 1920-an dan hancurnya Partai Komunis Indonesia setelah pemberontakan yang gagal pada tahun 1926.[24] Penangkapan, persidangan, dan pemenjaraanPenangkapan dan persidanganKegiatan PNI menarik perhatian pemerintah kolonial, dan pidato serta pertemuan Soekarno sering kali disusupi dan diganggu oleh agen polisi rahasia kolonial (Politieke Inlichtingendienst). Akhirnya, Soekarno dan para pemimpin penting PNI lainnya ditangkap pada tanggal 29 Desember 1929 oleh otoritas kolonial Belanda dalam serangkaian penggerebekan di seluruh Jawa. Soekarno sendiri ditangkap saat sedang berkunjung ke Yogyakarta. Selama persidangannya di gedung pengadilan Landraad Bandung dari bulan Agustus hingga Desember 1930, Soekarno menyampaikan serangkaian pidato politik panjang yang menyerang kolonialisme dan imperialisme, bertajuk Indonesia Menggoegat (Indonesia Accuses).[25] Hukuman dan penjaraPada bulan Desember 1930, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara, yang dijalani di penjara Sukamiskin di Bandung. Namun pidatonya mendapat liputan luas dari media, dan karena tekanan kuat dari unsur-unsur liberal di Belanda dan Hindia Belanda, Soekarno dibebaskan lebih awal pada tanggal 31 Desember 1931. Dengan ini Saat itu, ia telah menjadi pahlawan populer yang dikenal luas di seluruh Indonesia. Namun, selama ia dipenjara, PNI terpecah belah akibat penindasan pemerintah kolonial dan pertikaian internal. PNI yang asli dibubarkan oleh Belanda, dan mantan anggotanya membentuk dua partai berbeda; Partai Indonesia (Partindo) di bawah rekan Soekarno, Sartono yang mempromosikan agitasi massa, dan Pendidikan Nasionalis Indonesia (PNI Baru) di bawah Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir, dua orang nasionalis yang baru saja kembali dari studi di Belanda, dan mempromosikan strategi jangka panjang dalam menyediakan pendidikan modern kepada masyarakat Indonesia yang tidak berpendidikan untuk mengembangkan elit intelektual yang mampu memberikan perlawanan efektif terhadap pemerintahan Belanda. Setelah berusaha mendamaikan kedua partai untuk membentuk satu front persatuan nasionalis, Soekarno memilih menjadi ketua Partindo pada tanggal 28 Juli 1932. Partindo tetap mempertahankan keselarasan dengan strategi agitasi massa langsung yang dilakukan Soekarno, dan Soekarno tidak setuju dengan Perjuangan jangka panjang berbasis kader Hatta. Hatta sendiri meyakini kemerdekaan Indonesia tidak akan terjadi semasa hidupnya, sedangkan Soekarno meyakini strategi Hatta mengabaikan fakta bahwa politik hanya dapat melakukan perubahan nyata melalui pembentukan dan pemanfaatan kekuatan (machtsvorming en machtsaanwending).[24] Selama periode ini, untuk menghidupi dirinya dan partai secara finansial, Soekarno kembali ke dunia arsitektur, membuka biro Soekarno & Roosseno bersama junior universitasnya, Roosseno. Dia juga menulis artikel untuk surat kabar partai, Fikiran Ra'jat (Pikiran Rakyat). Saat bermarkas di Bandung, Soekarno sering bepergian ke seluruh Jawa untuk menjalin kontak dengan kaum nasionalis lainnya. Aktivitasnya semakin menarik perhatian PID Belanda. Pada pertengahan tahun 1933, Soekarno menerbitkan serangkaian tulisan berjudul Mentjapai Indonesia Merdeka (“Mencapai Indonesia Merdeka”). Karena tulisan ini, ia ditangkap oleh polisi Belanda saat mengunjungi rekan nasionalisnya, Mohammad Hoesni Thamrin di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1933. DiasingkanKali ini, untuk mencegah pemberian platform kepada Soekarno untuk menyampaikan pidato politik, gubernur jenderal garis keras Jonkheer, Bonifacius Cornelis de Jonge menggunakan kekuatan daruratnya untuk mengirim Soekarno ke pengasingan internal tanpa pengadilan. Pada tahun 1934, Soekarno dikapalkan bersama keluarganya (termasuk Inggit Garnasih), ke kota terpencil Ende, di pulau Flores. Selama berada di Flores, ia memanfaatkan kebebasan bergeraknya yang terbatas untuk mendirikan teater anak-anak. Di antara anggotanya adalah politisi masa depan Frans Seda. Karena wabah malaria di Flores, pemerintah Belanda memutuskan untuk memindahkan Soekarno dan keluarganya ke Bencoolen (sekarang Bengkulu) di pantai barat Sumatra, pada bulan Februari 1938. Di Bengkulu, Soekarno berkenalan dengan Hassan Din, ketua organisasi Muhammadiyah setempat, dan dia diizinkan untuk mengajar agama di sekolah lokal milik Muhammadiyah. Salah satu muridnya adalah Fatmawati yang berusia 15 tahun, putri Hassan Din. Ia menjalin hubungan asmara dengan Fatmawati, yang ia beralasan dengan menyatakan ketidakmampuan Inggit Garnasih menghasilkan anak selama hampir 20 tahun pernikahan mereka. Soekarno masih berada di pengasingan Bengkulu ketika Jepang menyerbu kepulauan pada tahun 1942. Perang Dunia II dan pendudukan JepangPendudukan JepangLatar belakang dan invasiPada awal tahun 1929, selama Kebangkitan Nasional Indonesia, Soekarno dan rekan pemimpin nasionalis Indonesia Mohammad Hatta (kemudian Wakil Presiden), pertama kali meramalkan Perang Pasifik dan Perang Pasifik. peluang yang mungkin diberikan oleh kemajuan Jepang di Indonesia demi tujuan kemerdekaan Indonesia.[26] Pada bulan Februari 1942, Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda dengan cepat mengalahkan pasukan Belanda yang berbaris, mengangkut bus dan truk Soekarno dan rombongannya tiga ratus kilometer dari Bengkulu ke Padang, Sumatera. Mereka bermaksud menahannya dan mengirimnya ke Australia namun tiba-tiba meninggalkannya untuk menyelamatkan diri ketika pasukan Jepang mendekat di Padang.[27] Kerjasama dengan JepangJepang mempunyai arsip mereka sendiri mengenai Soekarno, dan komandan Jepang di Sumatera mendekatinya dengan hormat, ingin memanfaatkannya untuk mengorganisir dan menenangkan rakyat Indonesia. Soekarno, sebaliknya, ingin memanfaatkan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan bagi Indonesia: "Terpujilah Tuhan, Tuhan menunjukkan kepadaku jalannya; di lembah Ngarai itu aku berkata: Ya, Indonesia Merdeka hanya bisa dicapai dengan Dai Nippon ... Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku, aku melihat diriku di cermin Asia."[28] Pada bulan Juli 1942, Soekarno dikirim kembali ke Jakarta, di mana ia bersatu kembali dengan para pemimpin nasionalis lainnya yang baru-baru ini dibebaskan oleh Jepang, termasuk Mohammad Hatta. Di sana, ia bertemu dengan Panglima Jepang Jenderal Hitoshi Imamura, yang meminta Soekarno dan kaum nasionalis lainnya untuk menggalang dukungan dari masyarakat Indonesia untuk membantu upaya perang Jepang. Soekarno bersedia mendukung Jepang, dengan imbalan platform bagi dirinya untuk menyebarkan ide-ide nasionalis kepada masyarakat luas.[29][30] Sebaliknya Jepang membutuhkan tenaga kerja dan sumber daya alam Indonesia untuk membantu upaya perangnya. Jepang merekrut jutaan orang, terutama dari Jawa, untuk melakukan kerja paksa romusha. Mereka terpaksa membangun rel kereta api, lapangan terbang, dan fasilitas lainnya untuk Jepang di Indonesia hingga Burma. Selain itu, Jepang meminta beras dan makanan lain yang diproduksi oleh petani Indonesia untuk memasok pasukan mereka, sekaligus memaksa petani untuk menanam tanaman minyak jarak untuk digunakan sebagai bahan bakar dan pelumas penerbangan.[31][32][33] Untuk mendapatkan kerja sama dari penduduk Indonesia dan untuk mencegah perlawanan terhadap tindakan tersebut, Jepang menempatkan Soekarno sebagai ketua [gerakan organisasi massa 3A Jepang (Tiga-A). Pada bulan Maret 1943, Jepang membentuk organisasi baru bernama Poesat Tenaga Rakjat (POETERA) di bawah Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansjoer. Organisasi-organisasi ini bertujuan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap perekrutan romusha, permintaan produk makanan, dan untuk mempromosikan sentimen pro-Jepang dan anti-Barat di kalangan masyarakat Indonesia. Soekarno yang menciptakan istilah Amerika kita setrika, Inggris kita linggis untuk mempromosikan sentimen anti-Sekutu. Pada tahun-tahun berikutnya, Soekarno merasa malu atas perannya dalam pemerintahan romusha. Selain itu, permintaan makanan oleh Jepang menyebabkan kelaparan yang meluas di Jawa, yang menewaskan lebih dari satu juta orang pada tahun 1944–1945. Menurutnya, hal ini merupakan pengorbanan yang perlu dilakukan demi kemerdekaan Indonesia di masa depan.[29][30] Ia juga terlibat dalam pembentukan Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho (Pasukan Tentara Relawan Indonesia) melalui pidato-pidato yang disiarkan di radio Jepang dan jaringan pengeras suara di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera. Pada pertengahan tahun 1945, unit-unit ini berjumlah sekitar dua juta dan bersiap untuk mengalahkan Pasukan Sekutu yang dikirim untuk merebut kembali Jawa. Sementara itu, Soekarno akhirnya menceraikan Inggit yang menolak keinginan suaminya untuk berpoligami. Dia diberi rumah di Bandung dan uang pensiun seumur hidupnya. Pada tahun 1943, ia menikah dengan Fatmawati. Mereka tinggal di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, yang disita dari pemilik Belanda sebelumnya dan diberikan kepada Soekarno oleh Jepang. Rumah ini nantinya menjadi tempat berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Pada tanggal 10 November 1943, Soekarno dan Hatta dikirim dalam tur 17 hari di Jepang, di mana mereka diberi penghargaan oleh Kaisar Hirohito dan minum anggur serta makan malam di rumah Perdana Menteri Hideki Tojo di Tokyo. Pada tanggal 7 September 1944, ketika perang tidak menguntungkan Jepang, Perdana Menteri Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, meskipun tanggalnya belum ditentukan.[34] Pengumuman ini, menurut sejarah resmi AS, dipandang sebagai pembenaran besar atas kolaborasi Soekarno dengan Jepang.[35] AS pada saat itu menganggap Soekarno sebagai salah satu "pemimpin kolaborator terkemuka."[36] Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan KemerdekaanPada tanggal 29 April 1945, ketika Filipina dibebaskan oleh pasukan Amerika, Jepang mengizinkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah kuasi legislatif yang terdiri dari 67 perwakilan dari sebagian besar kelompok etnis di Indonesia. Soekarno diangkat sebagai ketua BPUPKI dan ditugaskan memimpin pembahasan untuk mempersiapkan dasar negara Indonesia masa depan. Untuk memberikan platform yang umum dan dapat diterima untuk menyatukan berbagai faksi yang berselisih di BPUPKI, Soekarno merumuskan pemikiran ideologisnya yang dikembangkan selama dua puluh tahun sebelumnya ke dalam lima prinsip. Pada tanggal 1 Juni 1945, ia memperkenalkan seperangkat lima prinsip, yang dikenal sebagai Pancasila, dalam sidang gabungan BPUPKI yang diadakan di bekas Gedung Volksraad (sekarang disebut Gedung Pancasila). Pancasila, seperti yang disampaikan Soekarno dalam pidato BPUPKI, terdiri dari lima prinsip yang menurut Soekarno umum dianut oleh seluruh rakyat Indonesia:[37]
Pada tanggal 22 Juni, unsur-unsur Islam dan nasionalis dari BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil beranggotakan sembilan orang (Panitia Sembilan), yang merumuskan Gagasan Soekarno ke dalam lima butir Pancasila, dalam sebuah dokumen yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta:[38]
Karena adanya tekanan dari unsur Islam, maka sila pertama menyebutkan kewajiban umat Islam untuk mengamalkan syariat Islam (syariah). Namun Sila final sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak mengacu pada hukum Islam demi persatuan bangsa. Penghapusan syariah dilakukan oleh Mohammad Hatta berdasarkan permintaan perwakilan Kristen Alexander Andries Maramis, dan setelah berkonsultasi dengan perwakilan Islam moderat Teuku Mohammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.[39] Panitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaPada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang mengizinkan pembentukan badan yang lebih kecil, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebuah komite beranggotakan 21 orang yang bertugas menciptakan struktur pemerintahan khusus untuk negara Indonesia masa depan. Pada tanggal 9 Agustus, pimpinan tertinggi PPKI (Soekarno, Hatta, dan KRT Radjiman Wediodiningrat), dipanggil oleh Panglima Pasukan Ekspedisi Selatan Jepang, Marsekal Lapangan Hisaichi Terauchi, ke Da Lat, 100 km dari Saigon. Marsekal Lapangan Terauchi memberikan kebebasan kepada Soekarno untuk melanjutkan persiapan kemerdekaan Indonesia, bebas dari campur tangan Jepang. Setelah minum dan makan, rombongan Soekarno diterbangkan kembali ke Jakarta pada 14 Agustus. Tanpa sepengetahuan para tamu, bom atom telah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, dan Jepang sedang mempersiapkan penyerahan. Penyerahan JepangKeesokan harinya, pada tanggal 15 Agustus, Jepang menyatakan penerimaan mereka terhadap persyaratan Deklarasi Potsdam dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Sore hari itu, Soekarno menerima informasi ini dari para pemimpin kelompok pemuda dan anggota PETA Chairul Saleh, Soekarni, dan Wikana, yang telah mendengarkan siaran radio Barat. Mereka mendesak agar Soekarno segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, saat Jepang sedang kebingungan dan sebelum kedatangan pasukan Sekutu. Menghadapi pergantian peristiwa yang cepat ini, Soekarno menunda-nunda. Dia takut akan pertumpahan darah karena tanggapan bermusuhan dari Jepang terhadap tindakan tersebut dan prihatin dengan kemungkinan pembalasan Sekutu di masa depan. Penculikan ke RengasdengklokPada dini hari tanggal 16 Agustus, ketiga pemimpin pemuda tersebut, karena tidak sabar dengan keragu-raguan Soekarno, menculiknya dari rumahnya dan membawanya ke sebuah rumah kecil di Rengasdengklok, Karawang, milik sebuah keluarga Tionghoa dan ditempati oleh PETA. Di sana mereka memperoleh komitmen Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan keesokan harinya. Malamnya, para pemuda mengantar Soekarno kembali ke rumah Laksamana Tadashi Maeda, perwira penghubung angkatan laut Jepang di kawasan Menteng Jakarta, yang bersimpati dengan kemerdekaan Indonesia. Di sana, ia dan asistennya Sajoeti Melik menyiapkan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Revolusi Nasional (1945–1949)Proklamasi Kemerdekaan IndonesiaDini hari tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno kembali ke rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, di mana Mohammad Hatta bergabung dengannya. Sepanjang pagi, selebaran dadakan yang dicetak oleh PETA dan golongan pemuda menginformasikan kepada masyarakat bahwa proklamasi akan segera dilakukan. Akhirnya pada pukul 10 pagi, Soekarno dan Hatta melangkah ke teras depan, tempat Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia di hadapan 500 orang massa. Bangunan paling bersejarah ini kemudian diperintahkan untuk dibongkar oleh Soekarno sendiri, tanpa alasan yang jelas.[40] Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, PPKI mendeklarasikan susunan dasar pemerintahan Negara Republik Indonesia yang baru:
Visi Soekarno terhadap UUD Indonesia tahun 1945 terdiri dari Pancasila. Filsafat politik Soekarno pada dasarnya merupakan perpaduan unsur-unsur Marxisme, nasionalisme dan Islam. Hal ini tercermin dalam usulan Pancasila versinya yang diajukannya kepada BPUPKI dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.[39] Soekarno berpendapat, seluruh prinsip bangsa dapat terangkum dalam ungkapan gotong royong.[41] Parlemen Indonesia, yang didirikan berdasarkan konstitusi asli (dan kemudian direvisi), terbukti tidak dapat diatur. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang tidak dapat didamaikan antara berbagai faksi sosial, politik, agama dan etnis.[42] Revolusi dan Masa BersiapPada hari-hari setelah proklamasi, berita kemerdekaan Indonesia disebarkan melalui radio, surat kabar, selebaran, dan dari mulut ke mulut meskipun ada upaya dari tentara Jepang untuk meredam berita tersebut. Pada tanggal 19 September, Soekarno berpidato di hadapan satu juta orang di Lapangan Ikada Jakarta (sekarang bagian dari Lapangan Merdeka) untuk memperingati satu bulan kemerdekaan, yang menunjukkan tingginya tingkat dukungan rakyat terhadap Republik baru, setidaknya di Jawa dan Sumatra. Di kedua pulau ini, pemerintahan Soekarno dengan cepat membangun kendali pemerintahan sementara sebagian besar tentara Jepang yang tersisa mundur ke barak mereka menunggu kedatangan pasukan Sekutu. Periode ini ditandai dengan serangan terus menerus oleh kelompok bersenjata pribumi terhadap orang-orang Eropa, Tionghoa, Kristen, bangsawan pribumi dan siapa saja yang mereka anggap menentang kemerdekaan Indonesia.[43][44] Kasus yang paling serius adalah Revolusi Sosial di Aceh dan Sumatera Utara, di mana sejumlah besar bangsawan Aceh dan Melayu dibunuh oleh kelompok Islam (di Aceh) dan massa yang dipimpin komunis (di Sumatera Utara), dan "Perselingkuhan Tiga Wilayah" di pantai barat laut Jawa Tengah di mana sejumlah besar bangsawan Eropa, Tionghoa, dan pribumi dibantai oleh massa. Insiden berdarah ini berlanjut hingga akhir tahun 1945 hingga awal tahun 1946, dan mulai mereda ketika otoritas Partai Republik mulai mengerahkan dan mengkonsolidasi kendali.[45] Pemerintahan Soekarno awalnya menunda pembentukan tentara nasional, karena takut akan perlawanan terhadap pasukan pendudukan Sekutu dan keraguan mereka mengenai apakah mereka mampu membentuk aparat militer yang memadai untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang direbut. Anggota berbagai kelompok milisi yang terbentuk pada masa pendudukan Jepang seperti PETA dan Heiho yang dibubarkan, pada saat itu didorong untuk bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Baru pada bulan Oktober 1945 BKR direformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai respons terhadap meningkatnya kehadiran Sekutu dan Belanda di Indonesia. TKR sebagian besar mempersenjatai diri dengan menyerang pasukan Jepang dan menyita senjata mereka. Karena pemindahan tiba-tiba Jawa dan Sumatra dari Komando Pasifik Barat Daya pimpinan Jenderal Douglas MacArthur yang dikuasai Amerika ke Komando Asia Tenggara pimpinan Lord Louis Mountbatten yang dikuasai Inggris, tentara Sekutu pertama (Batalion 1 Seaforth Highlanders) baru tiba di Jakarta pada akhir September 1945. Pasukan Inggris mulai menduduki kota-kota besar di Indonesia pada bulan Oktober 1945. Komandan Divisi 23 Inggris, Letnan Jenderal Sir Philip Christison, mengatur komando di bekas istana gubernur jenderal di Jakarta. Christison menyatakan bahwa ia bermaksud untuk membebaskan seluruh tawanan perang Sekutu dan memungkinkan kembalinya Indonesia ke status sebelum perang, yaitu sebagai koloni Belanda. Pemerintah Republik bersedia bekerja sama dalam pembebasan dan pemulangan tawanan perang sipil dan militer Sekutu, dengan membentuk Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang (POPDA) untuk tujuan ini. POPDA, bekerja sama dengan Inggris, memulangkan lebih dari 70.000 tawanan perang dan interniran Jepang dan Sekutu pada akhir tahun 1946. Namun, karena kelemahan militer Republik Indonesia, Soekarno mencari kemerdekaan dengan mendapatkan pengakuan internasional atas negara barunya daripada terlibat dalam pertempuran dengan pasukan militer Inggris dan Belanda. Soekarno sadar bahwa masa lalunya sebagai kolaborator Jepang dan kepemimpinannya di Putera yang disetujui Jepang pada masa pendudukan akan membuat negara-negara Barat tidak mempercayainya. Untuk membantu mendapatkan pengakuan internasional serta untuk mengakomodasi tuntutan dalam negeri akan keterwakilan, Soekarno "mengizinkan" pembentukan sistem pemerintahan parlementer, di mana seorang perdana menteri mengendalikan urusan sehari-hari pemerintahan, sedangkan Soekarno sebagai presiden tetap menjadi tokoh boneka. Perdana menteri dan kabinetnya akan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat dan bukan kepada presiden. Pada tanggal 14 November 1945, Soekarno mengangkat Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri pertama; dia adalah seorang politikus lulusan Eropa yang tidak pernah terlibat dengan otoritas pendudukan Jepang. Pada akhir tahun 1945, para administrator Belanda yang memimpin pemerintahan di pengasingan Hindia Belanda dan tentara yang pernah melawan Jepang mulai kembali dengan nama Administrasi Sipil Hindia Belanda (NICA), dengan perlindungan Inggris. Mereka dipimpin oleh Hubertus Johannes van Mook, seorang administrator kolonial yang telah mengungsi ke Brisbane, Australia. Tentara Belanda yang pernah menjadi tawanan perang di bawah pemerintahan Jepang dibebaskan dan dipersenjatai kembali. Baku tembak antara tentara Belanda dan polisi pendukung pemerintahan Republik yang baru segera terjadi. Hal ini segera meningkat menjadi konflik bersenjata antara pasukan Republik yang baru dibentuk yang dibantu oleh sejumlah massa pro-kemerdekaan dan pasukan Belanda dan Inggris. Pada tanggal 10 November, pertempuran skala penuh pecah di Surabaya antara Brigade Infanteri ke-49 dari Angkatan Darat India Britania dan milisi nasionalis Indonesia. Pasukan Inggris-India didukung oleh angkatan udara dan angkatan laut. Sekitar 300 tentara India terbunuh (termasuk komandan mereka Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby), begitu pula ribuan anggota milisi nasionalis dan warga Indonesia lainnya. Baku tembak terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan di Jakarta, termasuk percobaan pembunuhan Perdana Menteri Sjahrir oleh orang-orang bersenjata Belanda. Untuk menghindari ancaman ini, Soekarno dan sebagian besar pemerintahannya berangkat ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Di sana, pemerintah Republik mendapat perlindungan dan dukungan penuh dari Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono IX. Yogyakarta akan tetap menjadi ibu kota Republik hingga akhir perang pada tahun 1949. Sjahrir tetap di Jakarta untuk melakukan perundingan dengan Inggris.[46] Rangkaian awal pertempuran pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946 membuat Inggris menguasai kota-kota pelabuhan besar di Jawa dan Sumatra. Pada masa pendudukan Jepang, pulau-pulau terluar (tidak termasuk Jawa dan Sumatra) diduduki oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun), yang tidak mengizinkan mobilisasi politik penduduk pulau. Akibatnya, hanya ada sedikit aktivitas Partai Republik di kepulauan ini pasca proklamasi. Pasukan Australia dan Belanda dapat dengan cepat menguasai pulau-pulau ini tanpa banyak pertempuran pada akhir tahun 1945 (tidak termasuk perlawanan I Gusti Ngurah Rai di Bali, pemberontakan di Sulawesi Selatan, dan pertempuran di wilayah Hulu Sungai Kalimantan Selatan). Sementara itu, wilayah pedalaman di Jawa dan Sumatra tetap berada di bawah kendali Partai Republik. Karena ingin menarik tentaranya keluar dari Indonesia, Inggris mengizinkan masuknya pasukan Belanda dalam jumlah besar ke Indonesia sepanjang tahun 1946. Pada bulan November 1946, semua tentara Inggris telah ditarik dari Indonesia. Mereka digantikan dengan lebih dari 150.000 tentara Belanda. Inggris mengirimkan Lord Archibald Clark Kerr, 1st Baron Inverchapel dan Miles Lampson, 1st Baron Killearn untuk membawa Belanda dan Indonesia ke meja perundingan. Hasil perundingan tersebut adalah Perjanjian Linggadjati yang ditandatangani pada bulan November 1946, di mana Belanda mengakui de facto kedaulatan Republik atas Jawa, Sumatera, dan Madura. Sebagai imbalannya, Partai Republik bersedia membahas masa depan Kerajaan Inggris, Belanda dan Indonesia yang mirip Persemakmuran. Perjanjian Linggadjati dan Agresi Militer Belanda IPerjanjian LinggadjatiKeputusan Soekarno untuk berunding dengan Belanda mendapat tentangan keras dari berbagai faksi di Indonesia. Tan Malaka, seorang politisi komunis, mengorganisir kelompok-kelompok ini menjadi sebuah front persatuan yang disebut Persatoean Perdjoangan (PP). PP menawarkan "Program Minimum" yang menyerukan kemerdekaan penuh, nasionalisasi seluruh properti asing, dan penolakan semua perundingan hingga seluruh pasukan asing ditarik. Program-program ini mendapat dukungan luas dari masyarakat, termasuk dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik, Jenderal Soedirman. Pada tanggal 4 Juli 1946, satuan militer yang terkait dengan PP menculik Perdana Menteri Sjahrir yang sedang berkunjung Yogyakarta untuk memimpin perundingan dengan Belanda. Soekarno, setelah berhasil mempengaruhi Soedirman, berhasil mengamankan pembebasan Sjahrir dan menangkap Tan Malaka serta para pemimpin PP lainnya. Ketidaksetujuan terhadap masa jabatan Linggadjati dalam KNIP menyebabkan Soekarno mengeluarkan dekrit yang menggandakan keanggotaan KNIP dengan memasukkan banyak anggota yang ditunjuk pro-perjanjian. Sebagai konsekuensinya, KNIP meratifikasi Perjanjian Linggadjati pada bulan Maret 1947.[47] Agresi Militer Belanda IPada tanggal 21 Juli 1947, Perjanjian Linggadjati dilanggar oleh Belanda, yang melancarkan Operatie Product, sebuah invasi militer besar-besaran ke wilayah yang dikuasai Republik. Meskipun TNI yang baru dibentuk tidak mampu memberikan perlawanan militer yang signifikan, namun pelanggaran terang-terangan yang dilakukan Belanda terhadap perjanjian yang ditengahi secara internasional membuat marah opini dunia. Tekanan internasional memaksa Belanda menghentikan pasukan invasi mereka pada bulan Agustus 1947. Sjahrir, yang jabatan perdana menterinya digantikan oleh Amir Sjarifuddin, terbang ke New York City untuk mengajukan banding atas kasus Indonesia di hadapan PBB. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera dan menunjuk Komite Jasa Baik (GOC) untuk mengawasi gencatan senjata tersebut. GOC yang berkedudukan di Jakarta terdiri dari delegasi Australia (dipimpin oleh Richard Kirby, dipilih oleh Indonesia), Belgia (dipimpin oleh Paul van Zeeland, dipilih oleh Belanda), dan Amerika Serikat (dipimpin oleh Frank Porter Graham, netral). Republik kini berada di bawah cengkeraman kuat militer Belanda, dengan militer Belanda menduduki Jawa Barat, dan pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta wilayah produktif utama Sumatra. Selain itu, angkatan laut Belanda memblokade wilayah Republik dari pasokan makanan penting, obat-obatan, dan senjata. Akibatnya, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin tidak punya pilihan selain menandatangani Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948, yang mengakui kendali Belanda atas wilayah yang diambil selama Agresi Militer, sementara Partai Republik berjanji untuk menarik semua kekuatan yang tersisa di sisi lain garis gencatan senjata (“Garis Van Mook”). Sementara itu, Belanda mulai mengorganisir negara boneka di wilayah-wilayah yang didudukinya, untuk melawan pengaruh Republik dengan memanfaatkan keragaman etnis di Indonesia. Perjanjian Renville dan Pemberontakan MadiunPenandatanganan Perjanjian Renville yang sangat merugikan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar dalam struktur politik Partai Republik. Di Jawa Barat yang diduduki Belanda, gerilyawan Darul Islam di bawah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mempertahankan perlawanan anti-Belanda dan mencabut kesetiaan apa pun kepada Republik; mereka menyebabkan pemberontakan berdarah di Jawa Barat dan daerah lain pada dekade pertama kemerdekaan. Perdana Menteri Sjarifuddin yang menandatangani perjanjian tersebut terpaksa mengundurkan diri pada bulan Januari 1948 dan digantikan oleh Mohammad Hatta. Kebijakan kabinet Hatta yang merasionalisasi angkatan bersenjata dengan mendemobilisasi sejumlah besar kelompok bersenjata yang berkembang biak di wilayah Republik juga menimbulkan ketidakpuasan yang parah. Elemen politik sayap kiri, yang dipimpin oleh kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Musso mengambil keuntungan dari ketidakpuasan masyarakat dengan melancarkan pemberontakan di Madiun, Jawa Timur, pada tanggal 18 September 1948. Pertempuran berdarah berlanjut pada akhir September hingga akhir Oktober 1948, ketika kelompok komunis terakhir dikalahkan, dan Musso ditembak mati. Kaum komunis terlalu melebih-lebihkan potensi mereka untuk menentang daya tarik kuat Soekarno di kalangan masyarakat. Operasi Kraai dan pengasinganInvasi dan pengasinganPada tanggal 19 Desember 1948, untuk mengambil keuntungan dari lemahnya posisi Republik setelah pemberontakan komunis, Belanda melancarkan Operatie Kraai, invasi militer kedua yang dirancang untuk menghancurkan Republik untuk selamanya. Invasi dimulai dengan serangan udara terhadap ibu kota Republik Yogyakarta. Soekarno memerintahkan angkatan bersenjata di bawah pimpinan Jenderal Soedirman untuk melancarkan kampanye gerilya di pedesaan, sementara ia dan para pemimpin penting lainnya seperti Hatta dan Sjahrir membiarkan diri mereka ditawan oleh Belanda. Untuk menjamin kelangsungan pemerintahan, Soekarno mengirimkan telegram kepada Sjafruddin Prawiranegara, yang memberinya mandat untuk memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), berdasarkan daerah pedalaman Sumatera Barat yang belum diduduki, posisi tersebut dipegang oleh Sjafruddin sampai Soekarno dibebaskan pada bulan Juni 1949. Belanda mengirim Soekarno dan para pemimpin Republik lainnya yang ditangkap ke Parapat, di bagian Sumatera Utara yang diduduki Belanda dan kemudian ke pulau Bangka. AkibatInvasi Belanda yang kedua menyebabkan kemarahan internasional yang lebih besar lagi. Amerika Serikat, yang terkesan dengan kemampuan Indonesia mengalahkan tantangan komunis tahun 1948 tanpa bantuan dari luar, mengancam akan memotong dana Marshall Aid ke Belanda jika operasi militer di Indonesia terus berlanjut. TNI tidak terpecah belah dan terus melakukan perlawanan gerilya terhadap Belanda, terutama penyerangan ke Yogyakarta yang dikuasai Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto pada tanggal 1 Maret 1949. Akibatnya, Belanda terpaksa menandatangani Perjanjian Roem-Roijen pada tanggal 7 Mei 1949. Berdasarkan perjanjian ini, Belanda melepaskan kepemimpinan Partai Republik dan mengembalikan wilayah sekitar Yogyakarta ke dalam kendali Partai Republik pada bulan Juni 1949. Hal ini disusul dengan Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag yang berujung pada penyerahan penuh kedaulatan oleh Ratu Juliana dari Belanda ke Indonesia, pada 27 Desember 1949. Pada hari itu, Soekarno terbang dari Yogyakarta ke Jakarta, menyampaikan pidato kemenangan di tangga istana gubernur jenderal yang kemudian berganti nama menjadi Istana Merdeka. Presiden Republik Indonesia SerikatSebagai bagian dari kompromi dengan Belanda, Indonesia mengadopsi konstitusi federal baru yang menjadikan negara ini negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS), terdiri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang perbatasannya ditentukan oleh "Garis Van Mook", beserta enam negara bagian dan sembilan wilayah otonom yang dibuat oleh Belanda.[48] Selama paruh pertama tahun 1950, negara-negara ini secara bertahap membubarkan diri seiring dengan ditariknya militer Belanda yang sebelumnya menopang mereka. Pada bulan Agustus 1950, dengan pembubaran negara terakhir, Negara Indonesia Timur, Soekarno mendeklarasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD Sementara 1950 yang baru saja dirumuskan.[49] KepresidenanSetelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya. Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat di kalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang memercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara. Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.[butuh rujukan] Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (Tiongkok). Bung Karno merencanakan kepada Presiden Kennedy ke Wisma Negara yang selesai dibangun pada tahun 1964 setelah Bung Karno menemui Kennedy di Gedung Putih, tetapi Presiden Kennedy dibunuh oleh Lee Harvey Oswald di Dealey Plaza, Dallas, Texas pada 22 November 1963. Kabar pembunuhan Presiden Kennedy oleh Lee Harvey Oswald sampai terdengar ditelinga-nya yang ditengah bersiap menggelar rapat dengan para menterinya di Istana Bogor, ia menyampaikan duka mendalam dan dia kehilangan salah satu sahabat dan sekutu terdekatnya, presiden Kennedy. Setelah pembunuhan Presiden Kennedy, Wisma Negara yang dikunjungi adalah Norodom Sihanouk, Raja Kamboja.[50] Masa marabahayaSoekarno, Presiden Indonesia pertama, sedikitnya pernah mengalami percobaan pembunuhan lebih dari satu kali, Putrinya, Megawati Soekarnoputri pernah menyebut angka 23. "Saya ingin mengambil satu contoh konkret, Presiden Soekarno itu mengalami percobaan pembunuhan dari tingkat yang namanya baru rencana sampai eksekusi (sebanyak) 23 kali," tutur Mega pada Juli 2009. Sementara itu, angka lebih kecil keluar dari mulut Sudarto Danusubroto. Dia ajudan presiden pada masa-masa akhir kekuasaan Soekarno. Sudarto pernah mengatakan ada 7 kali percobaan pembunuhan terhadap Soekarno. Jumlah ini pernah diamini oleh eks Wakil Komandan Tjakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan. Namun bekas pengawal pribadinya, hanya mampu mengingat 7 kali upaya percobaan pembunuhan.[51] Granat CikiniPada 30 November 1957, Presiden Soekarno datang ke Perguruan Cikini (Percik), tempat bersekolah putra-putrinya, dalam rangka perayaan ulang tahun ke-15 Percik. Granat tiba-tiba meledak di tengah pesta penyambutan presiden. Sembilan orang tewas, 100 orang terluka, termasuk pengawal presiden. Soekarno sendiri beserta putra-putrinya selamat. Tiga orang ditangkap akibat kejadian tersebut. Mereka perantauan dari Bima yang dituduh sebagai antek teror gerakan DI/TII.[51] Penembakan Istana PresidenPada 9 Maret 1960, Tepat siang bolong Istana presiden dihentakkan oleh ledakan yang berasal dari tembakan kanon 23 mm pesawat Mig-17 yang dipiloti Daniel Maukar. Maukar adalah Letnan AU yang telah dipengaruhi Permesta. Kanon yang dijatuhkan Maukar menghantam pilar dan salah satunya jatuh tak jauh dari meja kerja Soekarno. Untunglah Soekarno tak ada di situ. Soekarno tengah memimpin rapat di gedung sebelah Istana Presiden. Maukar sendiri membantah ia mencoba membunuh Soekarno. Aksinya hanya sekadar peringatan. Sebelum menembak Istana Presiden, dia sudah memastikan tak melihat bendera kuning dikibarkan di Istana – tanda presiden ada di Istana. Aksi ini membuat 'Tiger', call sign Maukar, harus mendekam di bui selama 8 tahun.[51] Pencegatan RajamandalaPada April 1960, Perdana Menteri Uni Soviet saat itu, Nikita Kruschev mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Dia menyempatkan diri mengunjungi Bandung, Yogya dan Bali. Presiden Soekarno menyertainya dalam perjalanan ke Jawa Barat. Tatkala, sampai di Jembatan Rajamandala, ternyata sekelompok anggota DI/TII melakukan pengadangan. Beruntung pasukan pengawal presiden sigap meloloskan kedua pemimpin dunia tersebut.[51] Granat MakassarPada 7 Januari 1962, Presiden Soekarno tengah berada di Makassar. Malam itu, ia akan menghadiri acara di Gedung Olahraga Mattoangin. Ketika itulah, saat melewati jalan Cendrawasih, seseorang melemparkan granat. Granat itu meleset, jatuh mengenai mobil lain. Soekarno selamat. Pelakunya Serma Marcus Latuperissa dan Ida Bagus Surya Tenaya divonis hukuman mati.[51] Penembakan Idul AdhaPada 14 Mei 1962, Bachrum sangat senang ketika berhasil mendapatkan posisi duduk pada saf depan dalam barisan jemaah salat Idul Adha di Masjid Baiturahim. Begitu melihat Soekarno, dia mencabut pistol yang tersembunyi di balik jasnya, moncong lalu diarahkan ke tubuh Soekarno. Dalam sepersekian detik ketika tersadar, arah pun melenceng, dan peluru meleset dari tubuh Soekarno, menyerempet Ketua DPR GR KH Zainul Arifin. Haji Bachrum divonis hukuman mati, namun kemudian dia mendapatkan grasi.[51] Penembakan mortir Kahar MuzakarPada 1960-an, Presiden Soekarno dalam kunjungan kerja ke Sulawesi. Saat berada dalam perjalanan keluar dari Lapangan Terbang Mandai, sebuah peluru mortir ditembakkan anak buah Kahar Muzakkar. Arahnya kendaraan Bung Karno, tetapi ternyata meleset jauh. Soekarno sekali lagi, selamat.[51] Granat CimanggisPada Desember 1964, Presiden Soekarno dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Rombongannya membentuk konvoi kendaraan. Dalam laju kendaraan yang perlahan, mata Soekarno sempat bersirobok dengan seorang lelaki tak dikenal di pinggir jalan. Perasaan Soekarno kurang nyaman. Benar saja, lelaki itu melemparkan sebuah granat ke arah mobil presiden. Beruntung, jarak pelemparannya sudah di luar jangkauan mobil yang melaju. Soekarno pun selamat.[51] Upaya pembunuhan karakterDekade 1950-an dan 1960-an, Amerika melalui perpanjangtanganannya Central Intelligence Agency melancarkan misi rahasia yang bertujuan membunuh karakter dan kewibawaan Presiden Soekarno melalui agitasi dan propaganda media popular via produksi film porno yang diperankan oleh pemeran yang mirip Soekarno. Tujuan dari kampanye hitam ini adalah mengubah persepsi masyarakat internasional terhadap Soekarno yang anti kapitalisme dan mengagumi kaum Hawa tetapi tunduk tak berdaya di bawah kendali agen rahasia Rusia.[52][53] "Kesuksesan itu menginspirasi para pejabat CIA membuat langkah lebih jauh lagi. Mereka berniat memproduksi film porno Soekarno dengan seorang wanita pirang yang dibuat seolah-olah pramugari Rusia itu," tulis Blum mengutip pengakuan mantan agen CIA, Joseph Burkholder Smith, yang menulis buku Portrait of a Cold Warrior. Kepala Kepolisian Los Angeles sampai turun tangan mencari pria berkulit gelap yang sedikit botak dan wanita pirang yang cantik. Tak ada yang mirip Soekarno, CIA membuat topeng khusus yang mirip Soekarno kemudian dikirim ke Los Angeles. Bintang porno disuruh memakai topeng Soekarno selama beradegan mesum. CIA merekam dan mengambil foto-foto adegan biru tersebut.[52] Menurut Kenneth J. Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957–1958, film porno itu dikerjakan di studio Hollywood yang dioperasikan Bing Crosby dan saudaranya. Film ini dimaksudkan sebagai bahan bakar tuduhan bahwa Soekarno (diperankan pria Chicano) mempermalukan diri dengan meniduri agen Soviet (diperankan perempuan pirang Kaukasia) yang menyamar sebagai pramugari maskapai penerbangan. “Proyek ini menghasilkan setidaknya beberapa foto, meski tampaknya tak pernah digunakan,” tulis William Blum dalam Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II.[53] Namun foto-foto itu akhirnya tak jadi disebarluaskan. Banyak versi kenapa CIA batal menyebarkan adegan mesum itu. Sebagian peneliti menilai kampanye hitam seperti itu tak mempan untuk menjatuhkan Soekarno. Apalagi ada mitos yang percaya jika seorang laki-laki "gagah" dan "berkuasa", maka dirasa sah-sah saja berhubungan dengan banyak wanita, terutama mengingat bahwa raja-raja di Nusantara pun dulu memiliki banyak istri dan selir.[52] Nasib akhir dari film yang berjudul Happy Days pada akhirnya tak pernah dilaporkan.[53] Masa embargo negara Adi KuasaPada masa pra maupun paska kemerdekaan, Indonesia terjepit pada dua blok negara Adi Kuasa dengan ideologi yang bertentangan satu sama lain. Blok kapitalis yang dikomandoi Amerika dan sekutu di satu sisi, dan blok kiri yang diperebutkan antara poros Rusia dan Tiongkok. Amerika melakukan kebijakan embargo terhadap Indonesia karena menilai kecenderungan Soekarno dekat dengan blok rival. Amerika tidak dapat berkutik ketika Allen Lawrence Pope, agen Central Intelligence Agency tertangkap tangan. Tawar-menawar penangkapan Allen Pope, Amerika Serikat akhirnya menyudahi embargo ekonomi dan menyuntik dana ke Indonesia, termasuk menggelontorkan 37 ribu ton beras dan ratusan persenjataan yang dibutuhkan Indonesia saat itu setelah diplomasi tingkat tinggi antara John F. Kennedy dengan Soekarno.[54] Sementara Uni Soviet menerapkan embargo militer terhadap Indonesia karena genosida terhadap elemen kiri, orang Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965–1967.[55] Indonesia sendiri terjepit di antara geopolitik Asia Tenggara, Malaysia yang dianggap Soekarno adalah negara boneka Inggris, juga Singapura yang memisahkan diri sebagai negara baru pada 9 Agustus 1965. Soekarno mengumumkan sikap konfrontatif terhadap pembentukan negara federasi Malaysia pada Januari 1963. Sehingga pada 1964–1965 negara federasi Malaysia yang dideklarasikan 16 September 1963 tersebut diembargo Soekarno.[56] Singapura membuka keran kerja sama dan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan perdagangan dengan Indonesia meski telah diboikot dan diembargo. Hal ini dianggap merugikan aspek ekonomi bagi Singapura akibat konfrontasi tersebut.[57] Masa keterpurukanPada masa akhir jabatan Soekarno, di pertengahan tahun 1960-an, Indonesia mengalami stagnasi produksi, kemiskinan dan kelaparan yang merajalela, infrastruktur yang tidak terurus, dan hiperinflasi mencapai hampir 600 persen.[8] Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965.[22][58] Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya.[22] Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.[58] Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).[7][58] Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik.[7][22] Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani oleh Soekarno.[58] Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.[58] Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.[58] Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.[59] Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS.[58] Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22 Juni 1966.[7] MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.[58] Pidato "Pelengkap Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.[58] Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.[59] Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.[59] Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.[59] KematianKesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.[59] Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.[59] Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.[59] Ia bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.[6][59] Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.[59] Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.[59] Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal TNI dr. Roebiono Kertopati.[59] Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:[59]
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.[59] Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.[59] Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya.[59] Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean sebagai inspektur upacara.[59] Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.[59] WarisanJalan Proklamasi, yang dulunya bernama Jalan Pegangsaan Timur,[60] merupakan letak bekas kediaman Soekarno yang berada di Jakarta Pusat. Rumah tersebut diberikan oleh Syech Faradj bin Martak.[butuh rujukan] Rumah tersebut menjadi saksi bisu Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan di sana.[61] Kediaman Bung Karno yang dijadikan tempat pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan pun sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan kehadiran Tugu Proklamasi dengan patung Soekarno-Hatta yang menggambarkan suasana pembacaan teks Proklamasi pada tahun 1945 dahulu.[62] Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada 6 Juni 2001, maka Kantor Filateli Jakarta menerbitkan prangko "100 Tahun Bung Karno".[20] Prangko yang diterbitkan merupakan empat buah prangko berlatar belakang bendera Merah Putih serta menampilkan gambar diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.[20] Prangko pertama memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp800 dan gambar Soekarno ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920-an terpampang di atasnya. Sementara itu, prangko yang ketiga memiliki nominal Rp900 serta menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi kemerdekaan RI. Prangko yang terakhir memiliki gambar Soekarno ketika menjadi Presiden dan bernominal Rp1000. Keempat prangko tersebut dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum Peruri.[20] Selain prangko, Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam kemasan prangko, album koleksi prangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung Karno.[20] Prangko yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada tanggal 19 Juni 2008. Prangko tersebut menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.[63] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba. Nama Soekarno diabadikan sebagai nama gelanggang olahraga pada tahun 1958. Bangunan tersebut, yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai sarana keperluan penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde Baru, kompleks olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan Presiden Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung Karno.[64] Setelah kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di antaranya adalah Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk membangun universitas dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno. Yayasan ini dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri, anak ke tiga Soekarno dan Fatmawati. Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meresmikan Universitas Bung Karno yang secara resmi meneruskan pemikiran Bung Karno, Nation and Character Building kepada mahasiswa-mahasiswanya.[65] Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-benda seni maupun nonseni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.[66] Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni 1978 oleh delapan putra-putri Soekarno yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, dan Kartika Sari Dewi Soekarno.[66] Pada tahun 2003, Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.[20] Di stan tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia Menggugat" yang disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno menjadi presiden.[20] Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cenderamata Soekarno dijual di stan tersebut.[20] Di antaranya adalah kaus, jam emas, koin emas, CD berisi pidato Soekarno, serta kartu pos Soekarno.[20] Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda warisan Soekarno.[20] Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang.[20] Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu kepada sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi, Bogor.[20] Benda-benda tersebut antara lain sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat yang terdaftar dalam register emas JM London, emas putih dengan cap tapal kuda JM Mathey London serta plakat logam berwarna kuning dengan tulisan ejaan lama berupa deposito hibah.[20] Selain itu terdapat pula uang UBCN (Brasil) dan Yugoslavia serta sertifikat deposito obligasi garansi di Bank Swiss dan Bank Netherland.[20] Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar yang memastikan keaslian dari emas tersebut.[67] ArsitekturSelain sebagai presiden, Soearno juga dikenal sebagai arsitek alumni dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926. [cat. 2][cat. 3][68] Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli pada tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.[69] Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan pada masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Friedrich Silaban dan Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara.[70]
PenghargaanDalam NegeriLuar Negeri
Karya tulis
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Pidato
MusikSoekarno menciptakan lagu Bersuka Ria, yang muncul dalam album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso pada tahun 1965. Lagu ini dibawakan oleh Rita Zahara, Bing Slamet, Titiek Puspa, dan Nien Lesmana. Dalam budaya populerBuku
Lagu
Film, televisi, dan panggung pertunjukanDi kancah perfilman, hiburan televisi, dan panggung teater Indonesia dan negara lain, ada beberapa aktor yang memerankan sosok Bung Karno. Semua aktor tersebut, tentu saja bermain dalam film dan panggung pertunjukan dan judul yang berbeda. Kebanyakan aktor itu, ketika mendapatkan tawaran main, merasa bangga karena memerankan tokoh besar, pahlawan proklamator, bapak pendiri bangsa, sekaligus presiden pertama Republik Indonesia. Catatan
Galeri
Referensi
Lihat pula
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Sukarno. Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|