Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan gerakan oposisi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat yang melahirkan pemerintah tandingan pada 15 Februari 1958. Gerakan ini didahului oleh keluarnya ultimatum Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat, Indonesia. PRRI berawal dari tuntutan tokoh militer dan sipil Sumatra Tengah mengenai otonomi daerah dan desentralisasi. Ahmad Husein mendeklarasikan PRRI pada 15 Februari 1958 setelah merasa pemerintah tidak proaktif menanggapi tuntutan tersebut. Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai sebuah gerakan separatisme dan menumpasnya dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. PRRI yang tidak bersiap untuk perang terpaksa menghadapi operasi militer tersebut.[1] Operasi militer untuk menumpas PRRI memakan banyak korban di pihak PRRI. Jumlah korban akibat konflik PRRI yang singkat jauh lebih besar daripada korban perang dengan Belanda pada zaman Revolusi Nasional Indonesia.[2] Selain itu, banyak yang tak terlibat PRRI dibunuh dan menjadi korban kekerasan seperti penyiksaan, perampokan, dan pemerkosaan.[3][4][5] Pasca-PRRI, orang Minang menerima pukulan kejiwaan yang keras; dulu berada di barisan terdepan dalam perjuangan kemerdekaan nasional tetapi kini dicap sebagai pemberontak separatis. PRRI menandai tamatnya riwayat Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Kedua partai tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap terlibat dalam PRRI. Sementara itu, pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) makin menguat di Sumatera Barat. Banyak pegawai negeri yang mendukung PRRI diganti dengan orang-orang komunis.[6] Latar belakangPRRI dilatarbelakangi kekecewaan para pemimpin militer dan sipil Sumatra Tengah terhadap pemerintah pusat yang cenderung sentralis, sehingga menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Sejumlah warga dan tokoh menuntut adanya otonomi daerah desentralisasi. Tuntutan tersebut muncul pada acara reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20–25 November 1956. Dihadiri oleh 612 veteran, reuni menghasilkan kesepakatan yang disebut Piagam Banteng.[7] Lewat Piagam Banteng, para peserta reuni menuntut pelaksanaan perbaikan kepemimpinan nasional dan Angkatan Darat. Mereka juga menuntut komando pertahanan daerah dan menghidupkan kembali Divisi Banteng. Selain itu, mereka juga menuntut penghapusan sistem pemerintahan yang terpusat yang telah menyebabkan sistem birokrasi yang tidak sehat, kemacetan pembangunan daerah, dan hilangnya inisiatif daerah. Untuk memperjuangkan Piagam Banteng, maka dibentuk Dewan Banteng yang di bawah pimpinan Letkol Ahmad Husein. Dewan Banteng beranggotakan 17 orang, delapan di antaranya dari perwira aktif atau pensiun, dua dari polisi, dan tujuh lainnya dari kalangan sipil, ulama, pimpinan politik, dan pejabat.[8] Pembentukan Dewan Banteng diikuti dengan dewan serupa di berbagai daerah yakni: Dewan Gajah di Sumatera Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon; Dewan Garuda di Sumatera Selatan pimpinan Letkol Barlian; dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara pimpinan Letkol Ventje Sumual. Dewan-dewan ini kelak bergabung menjadi Dewan Perjuangan pada September 1957.[8] Dalam menghadapi berbagai pergolakan daerah, Presiden Soekarno semula masih mengutamakan diplomasi. Perdana Menteri Djuanda mengusulkan digelarnya Musyawarah Nasional (Munas) pada 10–14 September 1957 di Jakarta. Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution mengusulkan masalah di daerah dengan penggunaan kekerasan. Namun, usaha Nasution tersebut tidak berhasil dan Presiden Soekarno menyetujui pelaksanaan Munas. Nasution menyiasati pelaksanaan Munas tidak mengarah pada masalah yang mengancam posisinya. Ia mengadakan larangan pertemuan komandan-komandan militer tanpa seizin KSAD.[9] Larangan KSAD justru membuat pimpinan militer di daerah melakukan pertemuan yang tidak direncanakan. Pada 7–8 September 1957, menjelang dilaksanakannya Munas, beberapa pimpinan militer di daerah terlebih dulu mengadakan musyawarah di Palembang. Mereka menghasilkan apa yang dikenal dengan sebutan Piagam Palembang, yakni tuntutan kepada pemerintah pusat untuk mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta sesuai dengan kedudukan semula; mengganti KSAD Nasution dengan stafnya; membentuk senat; otonomi daerah; dan melarang aktivitas komunis. Namun, tuntutan pimpinan militer di daerah yang disampaikan di Munas tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Nasution berhasil meyakinkan kabinet dan Presiden Soekarno tentang adanya kepentingan terselubung dari para pimpinan militer tersebut.[9] Ultimatum dan deklarasi PRRIPada Januari 1958, berlangsung pertemuan di Sungai Dareh yang dihadiri pimpinan setiap militer di daerah dan tokoh sipil, di antaranya Ahmad Husein, Maludin Simbolon, Barlian, Ventje Sumual, Zulkifli Lubis, Dahlan Djambek, Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Sjarif Usman, Boerhanoedin Harahap, dan Soemitro Djojohadikusumo. Pertemuan hari pertama menghasilkan kesepakatan untuk melahirkan "gerakan koreksi terhadap pemimpin yang bertindak inkonstitusional" yang "bukan tindakan disintegrasi" dan mengangkat Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan.[8] Pada 10 Februari 1958, sebagai tindak lanjut dari pertemuan di Sungai Dareh, Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dengan waktu 5 x 24 jam dan Presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya. Ultimatum tersebut bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan.[10] Ultimatum PRRI tidak digubris oleh pemerintah pusat, sementara Ahmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat. Pada 15 Februari 1958, bertepatan dengan batas akhir ultimatum, Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai pemerintah tandingan di Padang.[11] PRRI membuat kabinet dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.[12] Adapun susunan kabinet yakni Sjafruddin Prawiranegara merangkap Menteri Keuangan; Assaat sebagai Menteri Dalam Negeri (Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Assaat sampai di Padang); Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri; Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran; Muhammad Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan; Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan; Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama; Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan; Abdul Gani Usman sebagai Menteri Sosial; serta Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi (setelah Assaat sampai di Padang). Deklarasi PRRI mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Pada 17 Februari 1958, kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI (gerakannya dikenal sebagai Permesta). Namun, pemerintah pusat melihat PRRI sebagai gerakan separatis dan KSAD Abdul Haris Nasution memberikan perintah operasi militer untuk menumpas PRRI.[5] Di Sumatera Barat, hampir semua partai politik yang ada, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), mendukung gagasan yang diperjuangkan PRRI. Namun, ketika pemerintah pusat merespons PRRI dengan tindakan represif dan perjuangan daerah mulai kalah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Partai Adat Rakyat mulai membelot dan akhirnya bergabung dengan partai yang berbasis nasional. Bila dibandingkan dengan partai-partai nasional itu lainnya, sikap mereka terhadap PRRI lebih kasar daripada PKI.[13] Operasi militerPemerintah pusat menganggap PRRI sebagai gerakan separatisme yang harus segera ditumpas dengan kekuatan senjata. Pemerintah pusat melalui Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI atau dijuluki "tentara pusat") melakukan operasi gabungan yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Operasi yang dilancarkan yakni Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus, Operasi Saptamarga, Operasi Sadar, dan Operasi Merdeka. Pada tahap awal berlangsungnya operasi militer, kegiatan administrasi pemerintahan lumpuh, pejabat dan pegawai melakukan pengungsian demi menyelamatkan diri. Untuk menghidupkan kembali pemerintahan, maka pemerintah pusat memecah Sumatra Tengah menjadi tiga provinsi, salah satunya Sumatera Barat. Pada tanggal 17 Mei 1958, Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa diangkat menjadi Gubenur Sumatera Barat pertama.[5][14] Di sisi lain, aksi tentara pusat berjalan tanpa kontrol. Tentara APRI melakukan tindak kekerasan. Ribuan orang yang dicurigai sebagai simpatisan PRRI ditangkap secara sewenang-wenang. Aksi pembunuhan massal terjadi di sejumlah tempat. Di bawah Jam Gadang, APRI membunuh sekitar 187 orang dengan cara ditembak. Hanya 17 orang dari jumlah tersebut yang merupakan tentara PRRI, sedangkan selebihnya merupakan rakyat sipil.[15] Para mayat lalu dijejer di halaman Jam Gadang.[16] Dari pertengahan April 1958 sampai 1960, semua sekolah SMP dan SMA tutup. Universitas Andalas yang baru berjalan dua tahun terpaksa ditutup karena hampir semua dosen dan mahasiswanya ikut PRRI. Menjelang akhir tahun 1960, seluruh wilayah Sumatera Barat berhasil dikuasai tentara APRI.[14] Abdul Haris Nasution mencatat, operasi militer PRRI memakan korban sebanyak 7.146 orang tewas di kedua pihak. Sebagian besar yang tewas, yakni 6.115 berasal "dari pihak PRRI". Saafroedin Bahar mencatat, jumlah korban akibat konflik PRRI yang singkat jauh lebih besar daripada korban perang dengan Belanda pada zaman revolusi kemerdekaan.[2] Selain operasi militer, pemerintah pusat melakukan pendekatan secara diplomatis dengan membujuk tentara PRRI untuk menyerah dan kembali setia pada NKRI. Peristiwa ini disebut Operasi Pemanggilan Kembali.[17] Pada 29 Mei 1961, Ahmad Husein secara resmi menyerah bersama sekitar 24.500 pengikutnya.[18] Selanjutnya, pemerintah memberi amnesti kepada elemen sipil dan militer yang pernah terlibat PRRI. Amnesti itu dituangkan melalui Keputusan Presiden No. 322 Tahun 1961 tanggal 22 Juni 1961. Meski seruan pemerintah direspon pimpinan PRRI, pada kenyataannya janji amnesti hanya sebatas retorika. Selama beberapa tahun, pimpinan sipil dan militer PRRI dikarantina. Masyarakat, terutama mahasiswa dan pelajar, mengalami tekanan hidup yang berat.[19] Keterlibatan Amerika SerikatSejarawan Asia Tenggara Audrey Kahin mengungkap adanya keterlibatan Badan Intelijen Pusat (CIA) milik Amerika Serikat dalam PRRI. PRRI tidak dapat dilepaskan dari rangkaian perebutan pengaruh dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Amerika Serikat yang sangat anti terhadap komunisme, merasa khawatir melihat perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia dan untuk mengimbangi semakin kuatnya komunisme, Amerika Serikat mencoba memberikan dukungan kepada daerah yang terang-terangan menyatakan anti terhadap komunisme.[19][20] Namun, dalam perkembangannya, Amerika Serkat meninggalkan PRRI dan memperbaiki hubungannya dengan Soekarno.[21] Hal itu terjadi setelah tertembaknya pesawat yang dikemudikan oleh Allen Pope pada 18 Mei 1958. Amerika Serikat menyadari bahwa mendukung PRRI bukan lagi merupakan langkah yang realistis untuk menghapuskan pengaruh komunisme dalam pemerintahan Indonesia. Alih-alih menahan pengaruh kelompok komunisme, Amerika Serikat berbalik mendukung Soekarno dan kebijakannya.[19][20] Pasca-PRRISejarawan Asia Tenggara Audrey Kahin menulis tindakan PRRI malah melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara yang hendak dicapai. Pasca-PRRI, demokrasi parlementer runtuh dan berganti dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang cenderung otoriter. Tiga kekuatan yang menghantam PRRI, yakni Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan tentara tampil ke permukaan menjadi kekuatan utama dalam perpolitikan di Indonesia.[19] Kekalahan PRRI mengakibatkan berakhirnya riwayat Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Kedua partai itu dibubarkan oleh Soekarno karena sebagian pemimpin dan pengikutnya terlibat dalam PRRI. Sementara itu, pengaruh PKI justru menguat. Di Sumatera Barat, PKI menguasai posisi strategis di birokrasi, kepala daerah, hingga jabatan wali nagari di penjuru Sumatera Barat. Boer Yusuf, yang berasal dari PKI dan menjadi Sekretaris Daerah Sumatera Barat, mengangkat simpatisan PKI untuk mengisi jabatan penting meskipun pendidikan mereka rendah dan pengalaman kerjanya minim.[14][23] PRRI menjadi dasar bagi pemerintah pusat untuk mengirim satuan tempur dalam jumlah yang besar dan menetapkan Sumatera Barat di bawah kontrol penguasa militer. Hadirnya penguasa militer mengubah wajah pemerintahan daerah menjadi sentralistis dan dominan dikontrol oleh pihak militer.[24] Bagi masyarakat Minangkabau, PRRI menimbulkan efek psikologis yang besar, yaitu melekatnya stigma pemberontak, padahal Minangkabau sejak zaman Hindia Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonialisme serta banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra-kemerdekaan.[25] Sampai hari ini, para pelaku PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.[26][27] Sementara itu, perlakuan tentara pusat seperti pembunuhan, penyiksaan, perampokan, dan pemerkosaan selama operasi penumpasan PRRI telah mengguncang harga diri dan meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat Minangkabau.[28] Harun Zain, yang kelak menjadi Gubernur Sumatera Barat, menggambarkan kondisi Sumatera Barat pasca-PRRI seperti "nagari dialahkan garudo". Saat tiba di Padang pada 1961, ia menangkap suasana mencekam dan membisu. Ia melihat wajah-wajah mahasiswa yang apatis dan tidak berani bicara karena sebagian besar mereka adalah eks-PRRI. Rakyat masih trauma terhadap perang. Masyarakat awam ketakutan melihat orang yang berbaju hijau. Jika berpapasan dengan tentara, mereka jalan pelan-pelan atau menghindar.[14]
PRRI menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran orang Minangkabau ke daerah lain.[26] Mochtar Naim dalam bukunya, Merantau (1984) mencontohkan, jumlah orang Minang di Jakarta sebelum terjadinya peristiwa PRRI diperkirakan kurang dari seratus ribu orang. Setelah PRRI, jumlah itu meningkat menjadi beberapa ratus ribu. Pada 1971, Gubernur Jakarta Ali Sadikin memperkirakan sudah terdapat sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta atau setara dengan 10% populasi.[30][31] Menurut sejarawan Gusti Asnan, kekalahan PRRI juga menyebabkan adanya kecenderungan orang Minang menamakan anaknya dengan "nama yang aneh".[32] Orang Minang di perantauan yang mengalami tindakan keras dan cenderung menindas dari pemerintah pusat juga berupaya mengubah identitas mereka. Penyebutan Padang sebagai ganti Minang menjadi marak sebagai bentuk pengaburan identitas yang dilakukan oleh orang Minang pasca-PRRI.[33] Dugaan genosidaPada 2 Maret 2000, Harian Mimbar Minang melaporkan temuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang tentang surat Soeharto selaku Panglima Kodam Diponegoro kepada anak buahnya yang memerintahkan genosida etnis Minang ketika peristiwa PRRI terjadi. Penemuan itu diungkapkan Ketua Tim Investigasi PRRI Yunizar Chaniago. Divisi Diponegoro sendiri menjadi momok hitam bagi masyarakat Sumatera Barat. Harlan Darwis menyebut kesatuan ini melakukan kekejaman luar biasa seperti membunuh, membantai, memperkosa, dan "berbagai kejahatan yang sulit dibayangkan".[34][35] Menurut Yunizar, fakta ini mendorong Soeharto ketika menjabat sebagai presiden untuk menutup wacana PRRI.[36] Menanggapi temuan LBH Padang, staf ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Muradi Yuti mengatakan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa PRRI belum bisa dibawa sampai ke persidangan HAM karena kekosongan undang-undang yang dapat mengaturnya.[37] Soeharto tercatat menjadi panglima di Jawa yang paling bersemangat untuk mengirimkan pasukan memberantas PRRI. Selama tahun 1958, ia telah mengirim sekitar enam batalion ke Sumatera Barat, termasuk Yoga Sugama dan Ali Moertopo yang merupakan dua orang kepercayaannya. Sikap Soeharto mengundang perhatian yang positif dari pemerintah pusat mengingat para panglima lain di daerah Jawa, menunjukkan sikap ragu-ragu dalam mengirimkan pasukan. Keraguan tersebut mungkin saja disebabkan oleh rasa enggan untuk saling bertempur melawan sesama rekan di kemiliteran.[38] Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar |