John Lie
Laksamana Muda TNI (Purn.) John Lie atau yang dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma (9 Maret 1911 – 27 Agustus 1988) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Latar belakangIa lahir pada tanggal 9 Maret 1911 di Kanaka, Manado, Sulawesi Utara, dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio.[2] Ayahnya (Lie Kae Tae) pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai). Pada usia 7 tahun (1918), ia menempuh pendidikan sekolah dasar di Holland Chinese School (HCS) dan kemudian pindah ke Christelijke Lagere School.[2] Sebagaimana yang diceritakan oleh Rita Tuwasey Lie—keponakan John Lie—pada usia 17 tahun John Lie kabur ke Batavia karena ingin menjadi pelaut. Di kota ini ia mengikuti kursus navigasi sembari menjadi buruh pelabuhan. Setelah itu, John Lie menjadi klerk mualim III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, perusahaan pelayaran Belanda. Pada 1942, John Lie bertugas di Khorramshahr,Iran, dan mendapatkan pendidikan militer. Ketika Perang Dunia II berakhir dan Indonesia merdeka, ia pulang ke Indonesia dengan menumpang kapal Ophir pada bulan April 1946. Ia bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI pada bulan Mei 1946. Semula ia bertugas di Cilacap, Jawa Tengah, dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Kemudian dia memimpin misi menembus blokade Belanda guna menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan lainnya. Daerah operasinya meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila, dan New Delhi. Karier angkatan lautSebagai penyelundupIa lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Oetojo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat republik yang ada di Sumatra seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan The Outlaw pada bulan September 1947. Operasi perdana The Outlaw melayari rute Singapura, Labuan Bilik dan Port Swattenham pada Oktober 1947.[3] Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semi otomatis dari Johor ke Sumatra, ia dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi. Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Akhir karier militerPada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KASAL, Laksamana TNI R. Soebijakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Radjawali. Pada masa berikutnya ia aktif dalam penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.[3] Menurut kesaksian Jenderal Besar TNI AH. Nasution pada 1988, prestasi John Lie ”tiada taranya di Angkatan Laut” karena dia adalah ”panglima armada (TNI AL) pada puncak-puncak krisis eksistensi Republik”, yakni dalam operasi-operasi menumpas kelompok-kelompok separatis seperti Republik Maluku Selatan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Rakyat Semesta. Jabatan
Riwayat Pangkat [5]
Kehidupan pribadi dan kematianKesibukannya dalam perjuangan membuat ia baru menikah pada usia 55 tahun, dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya dengan Jahja Daniel Dharma. Ia meninggal dunia karena Stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 November 1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.[3] Terdapat beberapa buku dan liputan mengenai John Lie, sebagai berikut:
Tanda Jasa
Referensi
Daftar Pustaka
Pranala luar
|