Andi Pangerang Petta Rani
Andi Pangerang Petta Rani (juga dikenal sebagai Andiʼ Pangerang Daeng Rani bagi masyarakat Makassar) yang bernama lengkap Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe ri Panaikang (14 Mei 1903 – 12 Agustus 1975)[1][2] adalah birokrat, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari bangsawan Suku Makassar dan Bugis serta menjadi Gubernur Sulawesi terakhir. Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe Ri Panaikang adalah putra dari Raja Kesultanan Bone ke-32 yang bernama Andi Mappanyukki dan ibunya adalah seorang ningrat yang bernama I Batasai Daeng Taco. Ia juga merupakan cucu dari Kesultanan Gowa ke-34, I Makkulau Daeng Serang Karaengta Lembang Parang.[3] Ia adalah saudara tiri dari Andi Abdullah Bau Massepe Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang juga Datu Suppa ke-25 dari Kerajaan Suppa. Sebagai bentuk penghargaan kepada Indonesia, Andi Pangerang Pettarani dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar. Atas jasanya pula pemerintah setempat mengabadikan namanya sebagai nama jalan. Latar BelakangIa lahir dari seorang ibu yang bernama I Batasai Daeng Taco yang merupakan seorang ningrat yang ayahnya dikenal oleh masyarakat sebagai Gallarang Tombolo. Sebagai aristokrat, ayahnya menjabat sebagai anggota dewan Bate-Salapang, yang artinya Dewan Panji Sembilan. Suatu jabatan yang selain berperan dalam kehidupan adat, juga mempunyai peranan dalam dunia pemerintahan dari Kerajaan Gowa. Ayah anak itu adalah Andi Mappanyukki yang pada masa kelahiran anaknya tahun 1903 masih merupakan seorang bangsawan yang belum menduduki takhta kerajaan Bone. Jadi, sang ayah masih merupakan seorang bangsawan yang menjadi pemimpin informal rakyatnya dalam siklus pemerintahan kolonial Belanda, tetapi rakyat atau masyarakat pendukungnya telah menganggapnya sebagai raja yang dipatuhi nasihat dan perintahnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penobatan pada tanggal 2 April 1931 hanyalah bersifat formalitas belaka. Kemudian, ayah Andi Pangerang Petta Rani dinobatkan dengan gelar Sultan Ibrahim Raja Bone XXXII. Apabila kita bertolak dari sumber lokal ini, jelas nama Pengerang bukanlah berarti sama dengan Pangeran yang dikenal dalam bahasa Indonesia sekarang atau seperti dalam bahasa Belanda Prins dan dalam bahasa Inggris Prince. Selain itu, kata Pengerang bukan berasal dari kata Makassar atau Bugis. Asal mula kata ini berasal dari bahasa Jawa yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata Pangerang bermula dari kata erang-erang dan kemudian berkembang menjadi Pangerang, seperti yang dikenal di masyarakat sekarang ini. Andi Pangerang Petta Rani memiliki tiga istri antara lain:
Latar Belakang KeluargaKakek Andi Pangerang Petta Rani atau ayah dari Andi Mappanyukki adalah Raja Gowa yang ke 34 dikenal dalam sejarah dengan nama : I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tu Lenguka ri Bundu’na. Dari bagian terakhir namanya yang berbunyu Tu Lenguka ri Bundu’na, yang berarti “orang yang berlindung di balik peperangan”, dapat dibuat suatu rumusan bahwa Raja Gowa yg ke 34 ini adalah seorang heroik dan patriotik dalam melakukan perlawanan dan peperangan terhadap pemerintah jajahan Belanda yang menjajah tanah airnya. Apabila kita simak lagi gelar lain yang diberikan masyarakat kepadanya dengan sebutan Tumenangan ri Bundu’na, yang berart “ orang (raja) yang gugur dalam peperangannya”, maka tidaklah dapat dibantah fakta sejarah ini yang telah memberikan kesaksian kepada kita bahwa Raja Gowa ini adalah penguasa dan pemimpin masyarakat yang telah mengorbankan jiwanya untuk kehormatan bangsanya dalam konteks perjuangannya melawan pemerintah jajahan Belanda. Sekarang mari kita simak nenek dari Andi Pangerang Pettarani atau Ibu dari Andi Mappanyukki. Nenek Andi Pangerang, I Cella We Tenripada Arung Allita. Dia adalah anak Raja Bone yg ke 27 yang bernama atau bergelar La Parenrengi Ahmad Saleh Arunmpungi Matinroe ri Aja Benteng dan Istrinya bernama Pancai Tana Basse Kajuara Tenriawaru Matinroe ri Majennang. Pancai Tana Basse kemudian menggantikan suami menjadi Raja Ratu) Bone yg ke 28. Jadi dengan demikian , kakek dan Nenek Andi Mappanyukki keduanya adalah Raja Bone Bone 27 dan 28. PerjuanganAndi Pangerang Pettarani menjalani profesi sebagai tentara dan turut berjuang melawan penjajah yang pada masa itu tentara Hindia Belanda sempat mengusai kawasan di Sulawesi Selatan bahkan Pemerintah Hindia Belanda memiliki beberapa Benteng pertahanan di yang terletak di beberapa lokasi.Seperti Benteng Fort Rotterdam dan Benteng Somba opu Pada bulan Agustus 1945 ia ditunjuk sebagai anggota delegasi Sulawesi ke Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bersama Dr. Sam Ratulangi dan Andi Sultan Daeng Radja, dia mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (独立準備委員会 Dokuritsu Junbi Iinkai?) atau PPKI yang pada saat itu diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1945. Di lain sisi tepatnya pada saat sekutu mendarat di Makassar, Gubernur Ratulangi mengundang raja raja dan pemimpin partai untuk mendukung kesetiaan terhadap proklamasi kemerdekaan RI. Tawaran kerja sama dengan pemerintah Belanda pun ditolak mentah mentah.Dan pertemuan yang dihadiri raja raja termasuk Andi Pangerang Petta Rani ini kembali mengeluarkan pernyataan kalau rakyat sulawesi mendukung sepenuhnya NKRI. Dan atas dasar itulah Belanda dan para sekutunya menahan Andi Pangerang Petta Rani dan keluarganya di Rantepao. Andi Pangerang Petta Rani juga termasuk kategori pejuang, nasionalis, patriotik yang kokoh pada pendiriannya, konsekuen sebagai seorang raja dan putra raja dalam menyatakan dukungannya terhadap republik. Dukungan yang diberikan oleh kedua tokoh nasionalis ini tidak hanya dalam ucapan yang berapi-api, tetapi juga dengan perbuatan yang nyata. Masyarakat Sulawesi, khususnya masyarakat Sulawesi Selatan, mengetahui benar bagaimana sosok ini membina masyarakat, menggelorakan semangat rakyat, mengorbankan api perjuangan kaum muda Sulawei untuk melawan Belanda, bagaiman keduanya mengorbankan hartanya untuk kepentingan perjuangan demi kemerdekaan bangsanya. Fakta yang paling menarik dari keikhlasan membela republik adalah kerelaan hati Andi Mappanyukki untuk dipecat dari kedudukannya sebagai raja ketimbang menjadi pengkhianat, dan atas diri Andi Pangerang Petta Rani dipecat dari kedudukannya sebagai Kepala Afdeling Bone. Ini merupakan suatu pengorbanan yang tidak kecil artinya bagi kedua tokoh nasionalis itu dalam republik yang dicintainya. Mereka telah dihina oleh NICA dan dijatuhkan martabatnya di depan keluarga dan masyarakatnya. Akan tetapi, Sebagai seorang yang beriman dan kokoh pendirian serta prinsip perjuangannya, mereka memiliki kepercayaan bahwa atas kuasa Tuhan suatu ketika akhirnya kemenangan itu pasti datang juga. Dan memang, apa yang telah menjadi keyakinannya itu terbukti menjadi kenyataan sejarah. Yaitu, Indonesia diakui kedaulatannya, baik oleh Belanda maupun oleh dunia. Perkara yang menyebabkan NICA menjadi jengkel dan marah kepada Andi Mappanyukki dan Andi Pangerang Petta Rani adalah ditolaknya denga tegas rayuan dan bujukan NICA yang bernaung dibawah kekuasaan pasukan Australia. Bahkan Andi Mappanyukki dengan pengaruh yang dimilikinya menyelenggarakan pertemuan di kalangan kelompok aristokrat di rumahnya di Jongaya, Pertemuan ini dihadiri oleh kelompok aristokrat yang berpengaruh di daerahnya dan termasuk kategori bangsawan tinggi. Adapun kelompok bangsawan yang hadir itu, antara lain :
Pertemuan kelompok aristokrat itu mengeluarkan keputusan yang intinya menyatakan bahwa kelompok raja atau kelompok bangsawan di Sulawesi Selatan mendukung sepenuhnya NKRI yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Dan mendukung pula Dr. Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi. Pernyataan itu ditandatangani oleh semua peserta. Kemudian diserahkan oleh Andi Mappanyukki kepada Brigjen Iwan Dougherty yang menjabat Komandan Tentara Australia sebagai wakil tentara sekutu di Makassar. Mungkin suatu rahmat yang diperoleh Andi Pengerang Petta Rani dan saudaranya Andi Abdullah Bau Massepe serta ayahnya, Andi Mappanjukki, atas penangkapan serdadu NICA pada bulan November 1946. Sebab, sekitar tanggal 10 Desember 1946, Westerling yang didatangkan oleh pasukan NICA untuk membungkam dan mematikan perlawanan heroik dari para pejuang republik, melakukan operasi pembersihan dengan ganasnya.Jika seandainya, Andi Pangerang Petta Rani di penjarakan dan Andi Mappanyukki tidak ditangkap oleh serdadu NICA dan diasingkan ke Rantepao pada bulan November 1946, maka besar kemungkinan dia dan ayahnya juga akan mengalami nasib yang sama dengan kelompok bangsawan lainnya yang telah dibunuh dengan kejam oleh Westerling. Namun, Tuhan melindungi beliau bersama ayahandanya dari kekejaman Westerling. Mereka berdua telah diselamatkan oleh Tuhan karena perjalanan hidupnya di dunia telah diatur untuk diberi tanggung jawab memimpin rakyat Sulawei Selatan di zaman kemerdekaan.
Karier
PendidikanPendidikan umum yang pernah di tempuh oleh Andi Pangerang Pettarani yaitu ketika mengikuti pendidikan di HIS,MULO dan OSVIA di Makassar. Ia menamatkan pendidikan OSVIA Makassar. PeninggalanBeberapa tempat dan fasilitas umum di Sulawesi Selatan yang memakai nama Andi Pangerang Petta Rani sebagai penghormatan dalam perjuangannya, diantaranya: Nama Jalan
Patung
Aula Pertemuan
KepemimpinanBeliau juga dikenal sebagai pemimpin yang menyatu dengan rakyat, sehingga rakyat Sulsel terutama warga kota makassar memberi julukan Godfather. Dimana pada saat itu ketika dia menjabat sebagai Gubernur Sulawesi (1956-1960),dirinya pernah mengajak anaknya pergi ke tempat cukur.Sang anak langsung menyiapkan mobil sedan,tapi Andi Pangerang Pettarani kemudian memanggil becak. Diatas becak tersebutlah, Andi Pangerang Petta Rani menasihati anaknya bahwa, “Kita harus merasakan hidup sebagai orang biasa,jangan sombong walau seorang anak gubernur atau raja sekalipun.Tidak selamanya mempunyai mobil dan tidak selamanya menjadi anak gubernur atau raja. Dan suatu saat bila jabatan lepas dan tidak punya mobil kita tak harus canggung". Hidup Sederhana Hidup sederhana memang melekat dalam diri pemimpin yang satu ini. Tanah warisannya lebih banyak dia bagikan kepada rakyatnya. Dan suatu saat ia dihadiahkan sebuah rumah yang cukup mewah oleh seseorang. Tapi pemberian tersebut ditolaknya dengan bijak, dia mengatakan, “saya lebih suka tinggal dirumah sendiri”. Karena orang itu memang berniat memberikan hadiah dengan ikhlas. Sebagai gantinya, Petta Rani dihadiahkan sebuah jam tangan. “Untuk mengingatkan Petta bilamana waktu shalat tiba,” katanya memberi alasan, merasa berat untuk menolak lagi akhirnya Petta Rani menerimanya. Tanda Kehormatan
Referensi
|