Ali Sastroamidjojo
Mr. Raden Ali Sastroamidjojo (EYD: Ali Sastroamijoyo) (21 Mei 1903 – 13 Maret 1975) adalah Perdana Menteri Indonesia kedelapan dan kesepuluh selama dua periode yang berbeda, antara tahun 1953 sampai 1955 dan 1956 hingga 1957. Ketika berpolitik di Partai Nasional Indonesia, ia menjabat sebagai ketua umum. Ali merupakan tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Masa mudaRaden Ali Sastroamidjojo lahir di Grabag, Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tanggal 21 Mei 1903 dari keluarga bangsawan Kabupaten Magelang yang tergolong priyayi. Dia menghabiskan masa kecilnya di daerah setempat dan bermain dengan teman-temannya yang kebanyakan dari keluarga petani. Dengan harapan menemukan lingkungan yang layak bagi perkembangan anak-anaknya, maka keluarga Sastroamidjojo pindah ke kota di mana menjadi tempat Sastroamidjojo dikirim untuk mengenyam pendidikan Eropa, meskipun ia juga rutin belajar bahasa Jawa. Keluarga Sastroamidjojo mengabdikan diri untuk mengadvokasi pentingnya pendidikan Barat.[2][3][4] Seperti kebanyakan pemuda bangsawan lainnya di Hindia Belanda, Ali bersekolah di sekolah Belanda, Queen Wilhelmina School, dan melanjutkan studi hukum di Universitas Leiden di Belanda, di mana ia menerima gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) pada tahun 1927. Kemudian, ia pergi ke praktik swasta. Semasa sekolah, ia aktif dalam organisasi pemuda, seperti organisasi Jong Java, dari tahun 1918 hingga 1922 dan Perhimpoenan Indonesia, dari tahun 1923 hingga 1928. Karena aktivitasnya, ia ditangkap pada tahun 1927 oleh Belanda bersama dengan Mohammad Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat. Setelah enam bulan di penjara, Ali dibebaskan. Ia kemudian kembali ke Jawa pada tahun 1928.[4][5] KarierPada 1928, Ali bersama dengan Soejoedi membuka kantor pengacara, dan bersama Soekiman, menerbitkan majalah Djanget di Kota Surakarta. Kemudian ia berpolitik di Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Soekarno, lalu masuk Gerindo saat PNI dibubarkan oleh Sartono. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, ia kembali bergabung dalam organisasi PNI. Seusai Perang Dunia II, Ali meneruskan aktivitasnya di lapangan politik dan pemerintahan, antara lain menjadi Menteri Pengajaran dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I (Juli 1947) dan Kabinet Hatta (Januari 1948). Ia kemudian menjabat sebagai wakil ketua delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda (Februari 1948) dan menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar. Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, ia diangkat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko (1950–1955). Selain itu, ia juga diangkat menjadi Ketua Umum Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung pada 1955, wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (1957–1960), dan menjadi Ketua Umum PNI (1960–1966) Ali Sastroamidjoyo memimpin sebagai perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I dan kabinet Ali Sastroamidjojo II dalam periode yang berbeda, yaitu sejak 31 Juli 1953 hingga 24 Juli 1955 untuk kabinet pertama, dan untuk kabinet Ali Sastroamidjoyo ke-2 dari 24 Maret 1954 sampai dengan 14 Maret 1957. Beberapa program kerja yang terkenal dalam kedua kabinet ini adalah memberikan hak otonomi untuk daerah, normalisasi hubungan Indonesia dengan Belanda, mengupayakan pembebasan Irian Barat, dan membatalkan hasil Konferensi Meja Bundar.[6] WafatAli Sastroamijoyo wafat pada tanggal 13 Maret 1975 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan. Karya
PenghargaanTanda KehormatanAkademik
Referensi
Pranala luar
|