Perang Dunia II atau Perang Dunia Kedua (bahasa Inggris: World War II) (biasa disingkat menjadi PDII atau PD2) adalah sebuah perang global yang berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945. Perang ini melibatkan puluhan negara di seluruh penjuru dunia —termasuk semua kekuatan besar—yang pada akhirnya membentuk dua aliansi militer yang saling bertentangan: Sekutu dan Poros. Perang ini merupakan perang terluas dalam sejarah yang melibatkan lebih dari 100 juta orang di berbagai pasukan militer. Dalam keadaan "perang total", negara-negara besar memaksimalkan seluruh kemampuan ekonomi, industri, dan pengetahuan ilmiahnya untuk keperluan perang, sehingga menghapus perbedaan antara sumber daya sipil dan militer. Ditandai oleh sejumlah peristiwa penting yang melibatkan kematian massal warga sipil, termasuk Holokaus dan pemakaian senjata destruktif dalam peperangan, perang ini memakan korban jiwa sebanyak 50 juta sampai 70 juta jiwa. Jumlah kematian ini menjadikan Perang Dunia II konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia.[1]
Banyak ahli berpendapat bahwa Perang Dunia 2 dimulai saat invasi Kerajaan Italia menuju Kerajaan Ethiopia pada tanggal 3 Oktober 1935 dan berakhir dengan kapitulasi Kerajaan Ethiopia pada tanggal 5 Mei 1936
Ada juga yang berpendapat bahwa Perang Dunia 2 dimulai dengan Perang Sino-Jepang 2, dengan tujuan mendapatkan lebih banyak pengaruh di kawasan asia dan mendapatkan SDA Tiongkok.
Tetapi perang dunia secara umum pecah pada tanggal 1 September 1939 dengan invasi ke Polandia oleh Jerman yang diikuti serangkaian pernyataan perang terhadap Jerman oleh Prancis dan Britania Raya pada tanggal 3 September 1939. Sejak akhir tahun 1939 hingga awal 1941, dalam serangkaian kampanye dan perjanjian, Jerman membentuk aliansi Poros bersama Italia, menguasai atau menaklukkan sebagian besar benua Eropa. Setelah Pakta Molotov–Ribbentrop, Jerman dan Uni Soviet berpisah dan menganeksasi wilayah negara-negara tetangganya sendiri di Eropa, termasuk Polandia. Britania Raya, dengan imperium dan Persemakmurannya, menjadi satu-satunya kekuatan besar Sekutu yang terus berperang melawan blok Poros, dengan mengadakan pertempuran di Afrika Utara dan Pertempuran Atlantik. Bulan Juni 1941, Poros Eropa melancarkan invasi terhadap Uni Soviet yang menandakan terbukanya invasi darat terbesar sepanjang sejarah, yang melibatkan sebagian besar pasukan militer Poros sampai akhir perang. Pada bulan Desember 1941, Jepang bergabung dengan blok Poros, menyerang Amerika Serikat dan teritori Eropa di Samudra Pasifik, dan dengan cepat menguasai sebagian besar Pasifik Barat.
Serbuan Poros berhenti pada tahun 1942, setelah Jepang kalah dalam berbagai pertempuran laut seperti Pertempuran Midway serta mengalami kemunduran di front China. Tentara Poros Eropa dikalahkan di Afrika Utara, Normandy dan Stalingrad. Pada tahun 1943, melalui serangkaian kekalahan Jerman di Eropa Timur, invasi Sekutu ke Italia, dan kemenangan Amerika Serikat di Pasifik, Poros kehilangan inisiatif mereka dan mundur secara strategis di semua front. Tahun 1944, pihak Sekutu menyerbu Prancis, sementara Uni Soviet merebut kembali semua teritori yang pernah dicaplok di Eropa Timur dan menyerbu Jerman beserta sekutunya. Perang di Eropa berakhir dengan pendudukan Berlin oleh tentara Soviet dan Polandia dan penyerahan tanpa syarat Jerman pada tanggal 8 Mei 1945. Sepanjang 1944 dan 1945, Amerika Serikat mengalahkan Angkatan Laut Jepang dan menduduki beberapa pulau di Pasifik Barat, menjatuhkan bom atom di negara itu menjelang invasi ke Kepulauan Jepang. Uni Soviet kemudian mengikuti dengan menyatakan perang terhadap Jepang dan menyerbu Manchuria. Kekaisaran Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, sehingga mengakhiri perang di Asia dan memperkuat kemenangan total Sekutu atas Poros.
Perang Dunia II mengubah haluan politik dan struktur sosial dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan untuk memperkuat kerja sama internasional dan mencegah konflik-konflik yang akan datang. Para kekuatan besar yang merupakan pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetapDewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[1] Uni Soviet dan Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan super yang saling bersaing dan mendirikan panggung Perang Dingin yang kelak bertahan selama 46 tahun selanjutnya. Sementara itu, pengaruh kekuatan-kekuatan besar Eropa mulai melemah, dan dekolonisasi Asia dan Afrika dimulai. Kebanyakan negara yang industrinya terkena dampak buruk mulai menjalani pemulihan ekonomi. Integrasi politik, khususnya di Eropa, muncul sebagai upaya untuk menstabilkan hubungan pascaperang.
Awal terjadinya perang umumnya disetujui pada tanggal 1 September 1939, dimulai dengan invasi Jerman ke Polandia; Britania dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman dua hari kemudian. Tanggal lain mengenai awal perang ini adalah dimulainya Perang Tiongkok-Jepang Kedua pada 7 Juli 1937.[2][3]
Lainnya mengikuti sejarawan Britania Raya A. J. P. Taylor, yang percaya bahwa Perang Tiongkok-Jepang dan perang di Eropa beserta koloninya terjadi bersamaan dan dua perang ini bergabung pada tahun 1941. Artikel ini memakai penanggalan konvesional. Tanggal-tanggal awal lainnya yang sering dipakai untuk Perang Dunia II juga meliputi invasi Italia ke Abisinia pada tanggal 3 Oktober 1935.[4] Sejarawan Britania Raya Antony Beevor memandang awal Perang Dunia Kedua terjadi saat Jepang menyerbu Manchuria bulan Agustus 1939.[5]
Tanggal pasti akhir perang juga tidak disetujui secara universal. Dari dulu disebutkan bahwa perang berakhir saat gencatan senjata 14 Agustus 1945 (V-J Day), alih-alih penyerahan diri resmi Jepang (2 September 1945); di sejumlah teks sejarah Eropa, perang ini berakhir pada V-E Day (8 Mei 1945). Meski begitu, Perjanjian Damai dengan Jepang baru ditandatangani pada tahun 1951,[6] dan dengan Jerman pada tahun 1990.[7]
Meski muncul gerakan pasifissetelah Perang Dunia I,[8][9] kekalahan ini masih membuat nasionalisme iredentis dan revanchis pemain utama di sejumlah negara Eropa. Iredentisme dan revanchisme punya pengaruh kuat di Jerman karena kehilangan teritori, koloni, dan keuangan yang besar akibat Perjanjian Versailles. Menurut perjanjian ini, Jerman kehilangan 13 persen wilayah dalam negerinya dan seluruh koloninya di luar negeri, sementara Jerman dilarang menganeksasi negara lain, harus membayar biaya perbaikan perang dengan jumlah besar, dan membatasi ukuran dan kemampuan angkatan bersenjata negaranya hingga menjadi 100.000 tentara tanpa angkatan udara serta ukuran tonase kapal perang maksimal ⅓ dari kapal terbesar Britania Raya
Kekaisaran Jerman bubar melalui Revolusi Jerman 1918–1919 dan kemenangan tentara merah dan menuju sebuah pemerintahan demokratis yang kemudian dikenal dengan nama Republik Weimar dibentuk. Periode antarperang melibatkan kerusuhan antara pendukung republik baru ini dan penentang garis keras atas sayap kanan maupun kiri. Walaupun Italia selaku sekutu Entente berhasil merebut sejumlah wilayah, kaum nasionalis Italia marah mengetahui janji-janji Britania dan Prancis yang menjamin masuknya Italia ke kancah perang tidak dipenuhi dengan penyelesaian damai. Sejak 1922 sampai 1925, gerakan Fasis pimpinan Benito Mussolini berkuasa di Italia dengan agenda nasionalis, totalitarian, dan kolaborasionis kelas yang menghapus demokrasi perwakilan, penindasan sosialis, kaum sayap kiri dan liberal, dan mengejar kebijakan luar negeri agresif yang berusaha membawa Italia sebagai kekuatan dunia—"Kekaisaran Romawi Baru".[10]
Di Jerman, Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler berupaya mendirikan pemerintahan fasis di Jerman. Setelah Depresi Besar dimulai, dukungan dalam negeri untuk Nazi meningkat dan, pada tahun 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Setelah kebakaran Reichstag, Hitler menciptakan negara satu partai totalitarian yang dipimpin Partai Nazi.[11]
Terlalu lemah melawan Jepang, Tiongkok meminta bantuan Liga Bangsa-Bangsa. Jepang menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa setelah dikecam atas tindakannya terhadap Manchuria. Kedua negara ini kemudian bertempur di Shanghai, Rehe, dan Hebei sampai Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani tahun 1933. Setelah itu, pasukan sukarelawan Tiongkok melanjutkan pemberontakan terhadap agresi Jepang di Manchuria, dan Chahar dan Suiyuan.[15]
Berharap mencegah Jerman, Britania Raya, Prancis, dan Italia membentuk Front Stresa. Uni Soviet, khawatir akan keinginan Jerman mencaplok wilayah luas di Eropa Timur, membuat perjanjian bantuan bersama dengan Prancis. Sebelum diberlakukan, pakta Prancis-Soviet ini perlu melewati birokrasi Liga Bangsa-Bangsa, yang pada dasarnya menjadikannya tidak berguna.[17][18] Akan tetapi, pada bulan Juni 1935, Britania Raya membuat perjanjian laut independen dengan Jerman, sehingga melonggarkkan batasan-batasan sebelumnya. Amerika Serikat, setelah mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di Eropa dan Asia, mengesahkan Undang-Undang Netralitas pada bulan Agustus.[19] Pada bulan Oktober, Italia menginvasi Ethiopia, dan Jerman adalah satu-satunya negara besar Eropa yang mendukung tindakan tersebut. Italia langsung menarik keberatannya terhadap tindakan Jerman menganeksasi Austria.[20]
Hitler menolak Perjanjian Versailles dan Locarno dengan meremiliterisasiRhineland pada bulan Maret 1936. Ia mendapat sedikit tanggapan dari kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.[21] Ketika Perang Saudara Spanyol pecah bulan Juli, Hitler dan Mussolini mendukung pasukan Nasionalis yang fasis dan otoriter dalam perang saudara mereka melawan Republik Spanyol yang didukung Soviet. Kedua pihak memakai konflik ini untuk menguji senjata dan metode peperangan baru,[22] berakhir dengan kemenangan Nasionalis pada awal 1939. Bulan Oktober 1936, Jerman dan Italia membentuk Poros Roma-Berlin. Sebulan kemudian, Jerman dan Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern, namun kelak diikuti Italia pada tahun berikutnya. Di Tiongkok, setelah Insiden Xi'an, pasukan Kuomintang dan komunis menyetujui gencatan senjata untuk membentuk front bersatu dan sama-sama melawan Jepang.[23]
Perang Italia-Abisinia Kedua adalah perang kolonial singkat mulai bulan Oktober 1935 sampai Mei 1936. Perang ini terjadi antara angkatan bersenjata Kerajaan Italia (Regno d'Italia) dan angkatan bersenjata Kekaisaran Ethiopia (juga disebut Abisinia). Perang ini berakhir dengan pendudukan militer di Ethiopia dan aneksasinya ke koloni baru Afrika Timur Italia (Africa Orientale Italiana, atau AOI); selain itu, perang ini membuka kelemahan Liga Bangsa-Bangsa sebagai kekuatan pelindung perdamaian. Baik Italia dan Ethiopia adalah negara anggota, tetapi Liga ini tidak berbuat apa-apa ketika negara pertama jelas-jelas melanggar Artikel X yang dibuat oleh Liga ini.[24]
Jerman dan Italia memberi dukungan kepada para pemberontak Nasionalis yang dipimpin Jenderal Francisco Franco di Spanyol. Uni Soviet mendukung pemerintah yang sudah berdiri, Republik Spanyol, yang memiliki kecenderungan sayap kiri. Baik Jerman dan Uni Soviet memakai perang proksi ini sebagai kesempatan menguji senjata dan taktik baru mereka. Pengeboman Guernica yang disengaja oleh Legiun Condor Jerman pada April 1937 berkontribusi pada kekhawatiran bahwa perang besar selanjutnya akan melibatkan serangan bom teror besar-besaran terhadap warga sipil.[25][26]
Pada bulan Juni 1938, pasukan Tiongkok menghentikan serbuan Jepang dengan membanjiri Sungai Kuning; manuver ini memberikan waktu bagi Tiongkok untuk mempersiapkan pertahanan di Wuhan, namun kota ini berhasil direbut pada bulan Oktober.[28] Kemenangan militer Jepang gagal menghentikan pemberontakan Tiongkok yang menjadi tujuan Jepang. Pemerintahan Tiongkok pindah ke pedalaman di Chongqing dan melanjutkan perang.[29]
Pada tanggal 29 Juli 1938, Jepang menyerbu Uni Soviet dan kalah di Pertempuran Danau Khasan. Meski pertempuran tersebut dimenangkan Soviet, Jepang menyebutnya seri dan buntu, dan pada tanggal 11 Mei 1939, Jepang memutuskan memindahkan perbatasan Jepang-Mongolia sampai Sungai Khalkhin Gol melalui pemaksaan. Setelah serangkaian keberhasilan awal, serangan Jepang di Mongolia digagalkan oleh Pasukan Merah yang menandakan kekalahan besar pertama Angkatan Darat Kwantung Jepang.[30][31]
Pertempuran ini meyakinkan sejumlah faksi pemerintahan Jepang bahwa mereka harus fokus berkonsiliasi dengan pemerintah Soviet demi menghindari ikut campur Soviet dalam perang melawan Tiongkok dan mengalihkan perhatian militer mereka ke selatan, yaitu ke jajahan Amerika Serikat dan Eropa di Pasifik, serta mencegah penggulingan pemimpin militer Soviet berpengalaman seperti Georgy Zhukov, yang kelak memainkan peran penting dalam mempertahankan Moskow.[32]
Bulan Agustus 1939, Jerman dan Uni Soviet menandatangani Pakta Molotov–Ribbentrop,[39] sebuah perjanjian non-agresi dengan satu protokol rahasia. Setiap pihak memberikan haknya satu sama lain, "andai terjadi penyusunan wilayah dan politik," terhadap "cakupan pengaruh" (antara Polandia dan Lituania untuk Jerman, dan Polandia timur, Finlandia, Estonia, Latvia, dan Bessarabia untuk Uni Soviet). Pakta ini juga memunculkan pertanyaan tentang keberlangsungan kemerdekaan Polandia.[40]
Sekitar 100.000 personel militer Polandia diungsikan ke Rumania dan negara-negara Baltik; sebagian besar tentara tersebut kemudian berperang melawan Jerman di teater perang yang lain.[48]Pemecah kode Enigma Polandia juga diungsikan ke Prancis.[49] Pada saat itu pula, Jepang melancarkan serangan pertamanya ke Changsha, sebuah kota Tiongkok yang strategis, tetapi digagalkan pada akhir September.[50]
Di Eropa Barat, tentara Britania dikerahkan ke benua ini, namun pada fase yang dijuluki Perang Phoney oleh Britania dan "Sitzkrieg" (perang duduk) oleh Jerman tak satupun pihak yang melancarkan operasi besar-besaran terhadap satu sama lain sampai April 1940.[56] Uni Soviet dan Jerman membuat pakta dagang pada bulan Februari 1940, yang berarti Soviet menerima bantuan militer dan industri dengan imbalan menyediakan bahan mentah untuk Jerman agar bisa mengakali pemblokiran oleh Sekutu.[57]
Jerman menyerbu Prancis, Belgia, Belanda, dan Luksemburg pada tanggal 10 Mei 1940.[62]Belanda dan Belgia kewalahan menghadapi taktik blitzkrieg dalam beberapa hari dan minggu.[63]Jalur Maginot yang dipertahankan Prancis dan pasukan Sekutu di Belgia diakali dengan bergerak secara mengapit melintasi hutan lebat Ardennes,[64] yang disalahartikan oleh perencana perang Prancis sebagai penghalang alami bagi kendaraan lapis baja.[65]
Tentara Britania terpaksa keluar dari Eropa melalui Dunkirk, meninggalkan semua peralatan beratnya pada awal Juni.[66] Disini Hitler memerintahkan untuk tidak menyerang tentara yang terkepung di Pelabuhan Dunkirk, mengakibatkan kurang lebih 300.000 tentara berhasil mengevakuasi diri menuju daratan Britania Raya, hal ini dianggap sebagai blunder Hitler pertama. Tanggal 10 Juni, Italia menyerbu Prancis, menyatakan perang terhadap Prancis dan Britania Raya;[67] dua belas hari kemudian Prancis menyerah dan langsung dibelah menjadi zona pendudukan Jerman dan Italia,[68] dan sebuah negara sisa yang tak diduduki di bawah Rezim Vichy yang dipimpin oleh Phillipe Petain. Pada tanggal 3 Juli, Britania menyerang armada Prancis di Aljazair untuk mencegah pengambil alihan kapal perang prancis oleh Jerman.[69]
Dengan Prancis dinetralkan, Jerman memulai kampanye superioritas udara atas Britania (Pertempuran Britania) untuk mempersiapkan sebuah invasi.[75]Awalnya Luftwaffe menargetkan lapangan udara dan industri Angkatan Udara Kerajaan (RAF). Namun, serangkaian pengeboman Berlin yang dirancang oleh Churchill membuat Hitler murka dan memerintahkan untuk mengebom Kota London yang menjadi blunder Hitler kedua. Kampanye ini gagal, dan rencana invasi tersebut dibatalkan pada bulan September.[75] Menggunakan pelabuhan-pelabuhan Prancis yang baru dicaplok, Angkatan Laut Jerman menikmati kesuksesan melawan Angkatan Laut Kerajaan dengan memakai kapal-U untuk menyerang kapal-kapal Britania di Atlantik.[76] Italia memulai operasinya di Mediterania, memulai pengepungan Malta bulan Juni, menguasai Somaliland Britania bulan Agustus, dan menerobos wilayah Mesir Britania bulan September 1940. Jepang meningkatkan pemblokirannya terhadap Tiongkok pada bulan September dengan merebut sejumlah pangkalan di wilayah utara Indochina Prancis yang saat ini terisolasi.[77]
Sepanjang periode ini, Amerika Serikat yang netral melakukan sejumlah hal untuk membantu Tiongkok dan Sekutu Baratnya. Pada bulan November 1939, Undang-Undang Netralitas diamendemen untuk memungkinkan pembelian "beli dan angkut" oleh Sekutu.[78] Tahun 1940, setelah pencaplokan Paris oleh Jerman, ukuran Angkatan Laut Amerika Serikatmeningkat pesat dan, setelah serbuan Jepang ke Indochina, Amerika Serikat memberlakukan embargo besi, baja, dan barang-barang mekanik terhadap Jepang.[79] Pada bulan September, Amerika Serikat menyetujui penukaran kapal penghancur AS dengan pangkalan Britania Raya.[80] Tetap saja, mayoritas rakyat Amerika Serikat menentang intervensi militer langsung apapun terhadap konflik ini sampai tahun 1941.[81]
Pada akhir September 1940, Pakta Tiga Pihak menyatukan Jepang, Italia, dan Jerman untuk meresmikan Kekuatan Poros. Pakta Tiga Pihak ini menegaskan bahwa negara apapun, kecuali Uni Soviet, yang tidak terlibat dalam perang yang menyerang Kekuatan Poros apapun akan dipaksa berperang melawan ketiganya.[82] Pada waktu itu, Amerika Serikat terus mendukung Britania Raya dan Tiongkok dengan memperkenalkan kebijakan Lend-Lease yang mengizinkan pengiriman material dan barang-barang lain[83] dan membuat zona keamanan yang membentang hingga separuh Samudra Atlantik agar Angkatan Laut Amerika Serikat bisa melindungi konvoi Britania.[84] Akibatnya, Jerman dan Amerika Serikat terlibat dalam peperangan laut di Atlantik Utara dan Tengah pada Oktober 1941, bahkan meski Amerika Serikat secara resmi tetap netral.[85][86]
Di Asia, meski sejumlah serangan dari kedua pihak, perang antara Tiongkok dan Jepang buntu pada tahun 1940. Demi meningkatkan tekanan terhadap Tiongkok dengan memblokir rute-rute suplai, dan untuk memposisikan pasukan Jepang dengan tepat andai pecah perang dengan negara-negara Barat, Jepang merebut kendali militer di Indochina selatan[101] Pada Agustus 1940, kaum komunis Tiongkok melancarkan serangan di Tiongkok Tengah; sebagai balasan, Jepang menerapkan kebijakan keras (Kebijakan Serba Tiga) di daerah-daerah pendudukan untuk mengurangi sumber daya manusia dan bahan mentah untuk pasukan komunis.[102] Antipati yang terus berlanjut antara pasukan komunis dan nasionalis Tiongkok memuncak pada pertempuran bersenjata pada bulan Januari 1941, secara efektif mengakhiri kerja sama mereka.[103]
Dengan stabilnya situasi di Eropa dan Asia, Jerman, Jepang, dan Uni Soviet mempersiapkan diri. Dengan kekhawatiran Soviet terhadap meningkatnya ketegangan dengan Jerman dan rencana Jepang untuk memanfaatkan Perang Eropa dengan merebut jajahan Eropa yang kaya sumber daya alam di Asia Tenggara, kedua kekuatan ini menandatangani Pakta Netralitas Soviet–Jepang pada bulan April 1941.[104] Kebalikannya, Jerman bersiap-siap menyerang Uni Soviet dengan menempatkan pasukan dalam jumlah besar di perbatasan Soviet.[105]
Perang global (1941)
Pada tanggal 22 Juni 1941, Jerman, bersama anggota Poros Eropa lainnya dan Finlandia, menyerbu Uni Soviet dalam Operasi Barbarossa. Target utama serangan kejutan ini[106] adalah kawasan Baltik, Moskow dan Ukraina dengan tujuan utama mengakhiri kampanye 1941 dekat jalur Arkhangelsk-Astrakhan yang menghubungkan Laut Kaspia dan Laut Putih. Tujuan Hitler adalah menghancurkan Uni Soviet sebagai sebuah kekuatan militer, menghapus komunisme, menciptakan Lebensraum ("ruang hidup")[107] dengan memiskinkan penduduk asli[108] dan menjamin akses ke sumber daya strategis yang diperlukan untuk mengalahkan musuh-musuh Jerman yang tersisa.[109]
Meski Angkatan Darat Merah mempersiapkan serangan balasan strategis sebelum perang,[110]Barbarossa memaksa komando tertinggi Soviet mengadopsi pertahanan strategis. Sepanjang musim panas, Poros berhasil menerobos jauh ke dalam wilayah Soviet, mengakibatkan kerugian besar dalam hal personel dan material. Dengan kacaunya koordinasi Moskow dengan tentara di Medan perang, Uni Soviet dibuat babak belur oleh tentara poros. Pada pertengahan Agustus, Komando Tinggi Angkatan Darat Jerman memutuskan menunda serangan oleh Army Group Centre yang kecil dan mengalihkan Satuan Panzer ke-2 untuk membantu tentara yang maju melintasi Ukraina tengah dan Leningrad.[111]Serangan Kiev sukses besar dan berakhir dengan pengepungan dan penghancuran empat unit pasukan Soviet, serta memungkinkan pergerakan lebih lanjut di Krimea dan Ukraina Timur yang industrinya maju (Pertempuran Kharkov Pertama).Sayangnya, pembagian kekuatan ini membuat momentum serangan ke Moscow hilang, dan Sovyet memiliki waktu untuk memperkuat diri.[112]
Pada bulan Oktober, ketika tujuan operasional Poros di Ukraina dan Baltik tercapai, dengan pengepungan Leningrad[118] dan Sevastopol yang masih berlanjut,[119] sebuah serangan besar ke Moskow dilancarkan kembali. Setelah dua bulan bertempur sengit, pasukan Jerman hampir mencapai pinggiran terluar Moskow, tempat tentara-tentaranya yang lelah[120] terpaksa menunda serangan mereka.[121] Pencaplokan teritorial besar dilakukan oleh pasukan Poros, tetapi kampanye mereka gagal mencapai tujuan utamanya: dua kota utama masih dikuasai Soviet, kemampuan memberontak Soviet gagal dipadamkan, dan Uni Soviet mempertahankan banyak sekali potensi militernya. Faseblitzkrieg perang di Eropa telah berakhir.[122]
Pada awal Desember, pasukan cadangan yang baru dimobilisasi[123] memungkinkan Soviet menyamakan jumlah tentaranya dengan Poros.[124] Hal ini, bersama data intelijen yang menetapkan jumlah minimum tentara Soviet di Timur yang cukup untuk mencegah serangan apapun oleh Angkatan Darat Kwantung Jepang,[125] memungkinkan Soviet memulai serangan balasan massal yang dimulai tanggal 5 Desember di front sepanjang 1.000 kilometer (620 mi) dan mendesak tentara Jerman mundur 100–250 kilometer (62–155 mi) ke barat.[126]
Keberhasilan Jerman di Eropa menggugah Jerman untuk meningkatkan tekanannya terhadap pemerintah-pemerintah Eropa di Asia Tenggara. Pemerintah Belanda setuju menyediakan minyak untuk Jepang dari Hindia Timur Belanda, namun menolak menyerahkan kendali politik atas koloninya. Prancis Vichy, sebaliknya, menyetujui pendudukan Jepang di Indochina Prancis.[127] Pada bulan Juli 1941, Amerika Serikat, Britania Raya, dan pemerintah Barat lainnya bereaksi terhadap pendudukan Indochina dengan membekukan aset-aset Jepang, sementara Amerika Serikat (yang menyediakan 80 persen minyak Jepang[128]) merespon dengan menerapkan embargo minyak secara penuh.[129] Ini berarti Jepang terpaksa memilih antara mengabaikan ambisinya di Asia dan perang melawan Tiongkok, atau merebut sumber daya alam yang diperlukan melalui kekuatan; militer Jepang tidak menganggap yang pertama sebagai pilihan, dan banyak pejabat menganggap embargo minyak sebagai pernyataan perang tidak langsung.[130]
Serangan-serangan ini mendorong Amerika Serikat, Britania Raya, Tiongkok, Australia, dan beberapa negara lain secara resmi menyatakan perang terhadap Jepang, sementara Uni Soviet, karena sedang terlibat dalam perang besar-besaran dengan blok Poros Eropa, memilih untuk tetap netral dengan Jepang.[134][135] Jerman dan negara-negara Poros menanggapi dengan menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Pada bulan Januari, Empat Besar (Amerika Serikat, Britania Raya, Uni Soviet, Tiongkok),[136] dan 22 pemerintahan kecil atau terasingkan mengeluarkan Deklarasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga memperkuat Piagam Atlantik,[137] dan melakukan kewajiban untuk tidak menandatangani perjanjian damai terpisah dengan negara-negara Poros. Sejak 1941, Stalin terus meminta Churchill, dan kemudian Roosevelt, untuk membuka 'front kedua' di Prancis.[138] Front Timur menjadi teater perang besar di Eropa dan jumlah korban Soviet yang berjumlah jutaan menciutkan jumlah korban Sekutu Barat yang hanya ratusan ribu orang; Churchill dan Roosevelt mengatakan mereka butuh lebih banyak waktu untuk persiapan, sehingga memunculkan klaim bahwa mereka sengaja buntu untuk menyelamatkan orang-orang Barat dengan mengorbankan orang-orang Soviet.[139]
Jerman juga mewujudkan inisiatifnya. Dengan mengeksploitasi keputusan komando laut Amerika Serikat yang ragu-ragu, Angkatan Laut Jermanmengacaukan jalur kapal Sekutu di lepas pesisir Atlantik Amerika Serikat.[145] Meski kalah besar, anggota Poros Eropa menghentikan serbuan Soviet di Rusia Tengah dan Selatan, sehingga melindungi sebagian besar jajahan yang mereka peroleh pada tahun sebelumnya.[146] Di Afrika Utara, Jerman melancarkan sebuah serangan pada bulan Januari yang memukul Britania kembali ke posisinya di Garis Gazala pada awal Februari,[147] diikuti oleh meredanya pertempuran untuk sementara yang dimanfaatkan Jerman untuk mempersiapkan serangan mereka selanjutnya.[148]
Kebuntuan serbuan Poros (1942)
Pada awal Mei 1942, Jepang memulai operasi untuk menduduki Port Moresby dengan serangan amfibi dan memutuskan komunikasi dan jalur suplai antara Amerika Serikat dan Australia. Akan tetapi, Sekutu berhasil mencegah invasi ini dengan mencegat dan mengalahkan pasukan laut Jepang pada Pertempuran Laut Koral.[149] Rencana Jepang selanjutnya, termotivasi oleh Serangan Doolittle sebelumnya, adalah merebut Atol Midway dan memancing kapal induk Amerika Serikat ke kancah perang untuk dihancurkan; sebagai aksi pengalihan, Jepang juga mengirimkan pasukan untuk menduduki Kepulauan Aleut di Alaska.[150] Pada awal Juni, Jepang melaksanakan operasinya, tetapi Amerika Serikat, setelah berhasil memecahkan kode laut Jepang pada akhir Mei, mengetahui semua rencana dan pemindahan pasukan mereka dan memakai pengetahuan ini untuk memperoleh kemenangan telak di Midway atas Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.[151]
Dengan kapasitasnya untuk bertindak secara agresif hilang akibat Pertempuran Midway, Jepang memilih fokus pada upaya menduduki Port Moresby melalui kampanye darat di Teritori Papua.[152] Amerika Serikat merencanakan serangan balasan terhadap posisi Jepang di selatan Kepulauan Solomon, terutama Guadalcanal, sebagai tahap pertama menduduki Rabaul, pangkalan utama Jepang di Asia Tenggara.[153]
Kedua rencana ini dimulai bulan Juli, namun pada pertengahan September, Pertempuran Guadalcanal dimenangkan Jepang, dan tentara-tentara di Nugini diperintahkan mundur dari Port Moresby ke bagian utara pulau, tempat mereka menghadapi tentara Australia dan Amerika Serikat dalam Pertempuran Buna-Gona.[154] Guadalcanal segera menjadi titik fokus bagi kedua pihak dengan komitmen besar tentara dan kapal dalam pertempuran Guadalcanal. Pada awal 1943, Jepang dikalahkan di pulau ini dan menarik tentara mereka.[155] Di Burma, pasukan Persemakmuran melancarkan dua operasi. Pertama, ofensif ke wilayah Arakan pada akhir 1942 gagal dan memaksa pasukan mundur ke India bulan Mei 1943.[156] Kedua, penyisipan pasukan ireguler ke belakang garis depan Jepang bulan Februari yang, pada akhir April, memperoleh hasil yang diragukan.[157]
Pada bulan November 1941, pasukan Persemakmuran mengadakan serangan balasan, Operasi Crusader, di Afrika Utara dan mengklaim kembali semua wilayah yang direbut Jerman dan Italia.[164] Di Barat, kekhawatiran bahwa Jepang mungkin memakai pangkalan di Madagaskar Vichy mendorong Britania menyerbu pulau ini pada awal Mei 1942.[165] Kesuksesan ini tidak bertahan lama setelah Poros berhasil memukul Sekutu kembali ke Mesir dalam serangan di Libya sampai pasukan Poros dihentikan di El Alamein.[166] Di Eropa, serangan komando Sekutu terhadap target-target strategis, berakhir dengan Serangan Dieppe yang menghancurkan,[167] menunjukkan ketidakmampuan Sekutu Barat untuk melancarkan invasi ke daratan Eropa tanpa persiapan, perlengkapan, dan keamanan operasional yang lebih baik.[168]
Di Uni Soviet, baik Jerman dan Soviet menghabiskan musim semi dan awal musim panas 1943 dengan bersiap-siap untuk serangan besar di Rusia Tengah. Tanggal 4 Juli 1943, Jerman menyerang pasukan Soviet di sekitar Kursk Bulge. Dalam satu minggu, pasukan Jerman lelah menghadapi pertahanan Soviet yang sangat teratur[178][179] dan, untuk pertama kalinya dalam perang ini, Hitler membatalkan sebuah operasi sebelum memperoleh kesuksesan taktis atau operasional.[180] Keputusan ini sebagian dipengaruhi oleh invasi Sisilia oleh Sekutu Barat pada 9 Juli yang, bersama kegagalan-kegagalan Italia sebelumnya, berujung pada penggulingan dan penahanan Mussolini pada akhir bulan itu.[181]
Tanggal 12 Juli 1943, Soviet melancarkan serangan balasannya sendiri, sehingga memupuskan harapan apapun bagi Angkatan Darat Jerman untuk memenangkan pertempuran atau buntu di timur. Kemenangan Soviet di Kursk menandai kejatuhan superioritas Jerman[182] dan memberi Uni Soviet inisiatif di Front Timur.[183][184] Jerman berusaha menstabilkan front timur mereka di sepanjang garis Panther-Wotan yang sangat dipertahankan, namun Soviet berhasil mendobraknya di Smolensk dan Serangan Dnieper Hilir.[185]
Operasi Jerman di Atlantik juga terganggu. Pada Mei 1943, dengan efektifnya serangan balasan Sekutu, kerugian kapal selam Jerman yang besar memaksa kampanye laut Atlantik Jerman ditunda.[191] Pada bulan November 1943, Franklin D. Roosevelt dan Winston Churchill bertemu dengan Chiang Kai-shekdi Kairo[192] dan Joseph Stalin di Teheran.[193] Konferensi pertama menentukan pengembalian teritori Jepang pascaperang,[192] sementara yang terakhir menghasilkan perjanjian bahwa Sekutu Barat akan menyerbu Eropa pada tahun 1944 dan Uni Soviet akan menyatakan perang terhadap Jepang dalam tiga bulan setelah kekalahan Jerman.[193]
Sekutu mengalami berbagai keberhasilan di daratan Asia. Bulan Maret 1944, Jepang melancarkan invasi pertama dari dua rencananya, operasi melawan posisi Britania di Assam, India,[201] dan kemudian mengepung posisi Persemakmuran di Imphal dan Kohima.[202] Bulan Mei 1944, pasukan Britania melakukan serangan balasan yang mendorong tentara Jepang kembali ke Burma,[202] dan pasukan Tiongkok yang menyerbu Burma utara pada akhir 1943 mengepung tentara Jepang di Myitkyina.[203]Invasi Jepang kedua berupaya menghancurkan pasukan tempur utama Tiongkok, melindungi jalur kereta api di antara teritori dudukan Jepang dan menduduki lapangan udara Sekutu.[204] Bulan Juni, Jepang telah menguasai provinsi Henan dan memulai serangan baru terhadap Changsha di provinsi Hunan.[205]
Pada awal Juli, pasukan Persemakmuran di Asia Tenggara menggagalkan pengepungan Jepang di Assam, memukul pasukannya kembali hingga Sungai Chindwin[216] sementara Tiongkok mencaplok Myitkyina. Di Tiongkok, Jepang menuai kesuksesan besar, berhasil mencaplok Changsha pada pertengahan Juni dan kota Hengyang pada awal Agustus.[217] Selepas itu, mereka menyerbu provinsi Guangxi, memenangkan pertempuran besar melawan pasukan Tiongkok di Guilin dan Liuzhou pada akhir November[218] dan berhasil menyatukan pasukan mereka di Tiongkok dan Indochina pada pertengahan Desember.[219]
Di Pasifik, pasukan Amerika Serikat terus menekan mundur perimeter Jepang. Pada pertengahan Juni 1944, mereka memulai serangan ke Kepulauan Mariana dan Palau, dan dengan telak mengalahkan pasukan Jepang pada Pertempuran Laut Filipina. Kekalahan-kekalahan ini memaksa Perdana Menteri Jepang Tōjō mengundurkan diri dan memberi Amerika Serikat keunggulan atas pangkalan udara baru untuk melancarkan serangan bom besar-besaran di kepulauan utama Jepang. Pada akhir Oktober, pasukan Amerika Serikat menyerbu pulau Leyte, Filipina; tidak lama kemudian, angkatan laut Sekutu mencetak kemenangan besar pada Pertempuran Teluk Leyte, salah satu pertempuran laut terbesar sepanjang sejarah.[220]
Poros runtuh, Sekutu menang (1945)
Tanggal 16 Desember 1944, Jerman mengupayakan kesuksesan terakhirnya di Front Barat dengan mengerahkan sisa-sisa pasukan cadangannya untuk melancarkan serangan balasan massal di Ardennes untuk memecah belah Sekutu Barat, mengepung sebagian besar tentara Sekutu Barat dan menaklukkan pelabuhan suplai utama mereka di Antwerp demi mencapai penyelesaian politik.[221] Pada Januari, serangan ini digagalkan tanpa satu tujuan strategis pun yang tercapai.[221] Di Italia, Sekutu Barat tetap buntu di garis pertahanan Jerman. Pada pertengahan Januari 1945, Soviet menyerbu Polandia, bergerak dari Sungai Vistula ke Sungai Oder di Jerman, dan menduduki Prusia Timur.[222] Tanggal 4 Februari, para pemimpin A.S., Britania Raya, dan Soviet bertemu di Konferensi Yalta. Mereka menyetujui pendudukan di Jerman pascaperang,[223] dan Uni Soviet bergabung dalam perang melawan Jepang.[224]
Bulan Mei 1945, tentara Australia mendarat di Kalimantan dan menduduki ladang minyak di sana. Pasukan Britania, Amerika Serikat, dan Tiongkok mengalahkan Jepang di Burma utara pada bulan Maret, dan Britania mencapai Rangoon pada tanggal 3 Mei.[233] Pasukan Tiongkok mulai balas menyerang pada Pertempuran Hunan Barat yang pecah antara 6 April dan 7 Juni 1945. Pasukan Amerika Serikat juga bergerak ke Jepang, mencaplok Iwo Jima pada bulan Maret, dan Okinawa pada akhir Juni.[234] Pesawat pengebom Amerika Serikat menghancurkan kota-kota Jepang dan kapal selam Amerika Serikat memutuskan impor Jepang.[235]
Sekutu mendirikan pemerintahan pendudukan di Austria dan Jerman. Negara pertama menjadi negara netral dan tidak memihak dengan blok politik manapun. Negara terakhir dibelah menjadi zona pendudukan barat dan timur yang dikuasai Sekutu Barat dan Uni Soviet. Program denazifikasi di Jerman melibatkan pengadilan penjahat perang Nazi dan penggulingan mantan Nazi dari kekuasaan, meski kebijakan ini lebih condong ke amnesti dan reintegrasi mantan Nazi ke masyarakat Jerman Barat.[241]
Jerman kehilangan seperempat wilayahnya sebelum perang (1937), wilayah timur: Silesia, Neumark dan sebagian besar Pomerania diambil alih Polandia; Prusia Timur dibagi antara Polandia dan Uni Soviet, diikuti dengan pengusiran 9 juta warga Jerman dari provinsi-provinsi tersebut, serta 3 juta warga Jerman dari Sudetenland di Cekoslowakia ke Jerman. Pada 1950-an, satu dari lima orang Jerman Barat adalah pengungsi dari timur. Uni Soviet juga menduduki provinsi milik Polandia di sebelah timur Garis Curzon (melibatkan pengusiran 2 juta warga Polandia),[242] Rumania Timur,[243][244] dan sebagian Finlandia timur,[245] serta tiga negara Baltik.[246][247]
Demi mempertahankan perdamaian,[248] Sekutu mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang resmi berdiri tanggal 24 Oktober 1945,[249] dan mengadopsi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 sebagai standar umum bagi semua negara anggotanya.[250] Kekuatan-kekuatan besar yang menjadi pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.[1] Kelima anggota tetap ini masih ada sampai sekarang, meski terjadi perubahan dua kursi, antara Republik Tiongkok dan Republik Rakyat Tiongkok tahun 1971, dan antara Uni Soviet dan negara penggantinya, Federasi Rusia, setelah pembubaran Uni Soviet. Aliansi antara Sekutu Barat dan Uni Soviet mulai memburuk, bahkan sejak sebelum perang berakhir.[251]
Pembagian dunia pascaperang diresmikan oleh dua aliansi militer internasional, NATO pimpinan Amerika Serikat dan Pakta Warsawa pimpinan Soviet;[258] periode panjang ketegangan politik dan persaingan militer di antara mereka, Perang Dingin, akan dilengkapi oleh perlombaan senjata dan perang proksi yang tidak terduga.[259]
Ekonomi global menderita akibat perang, meski negara-negara yang terlibat terpengaruh dengan berbagai cara. Amerika Serikat tampil lebih kaya daripada negara lain; negara ini mengalami ledakan bayi dan pada tahun 1950 produk domestik bruto per orangnya lebih tinggi daripada negara-negara besar lain dan Amerika Serikat mendominasi ekonomi dunia.[265][266] Britania Raya dan Amerika Serikat menerapkan kebijakan pelucutan industri di Jerman Barat pada tahun 1945–1948.[267] Akibat perdagangan internasional yang saling tergantung, hal ini menciptakan stagnasi ekonomi di Eropa dan menunda pemulihan Eropa selama beberapa tahun.[268][269]
Pemulihan dimulai dengan reformasi mata uang di Jerman Barat pada pertengahan 1948 dan dipercepat oleh liberalisasi kebijakan ekonomi Eropa yang dipengaruhi Rencana Marshall (1948–1951) baik secara langsung maupun tidak langsung.[270][271] Pemulihan Jerman Barat pasca-1948 disebut-sebut sebagai keajaiban ekonomi Jerman.[272] Selain itu, ekonomi Italia[273][274] dan Prancis juga meroket.[275] Kebalikannya, Britania Raya berada dalam fase kekacauan ekonomi,[276] dan terus memburuk selama beberapa dasawarsa.[277]
Uni Soviet, meski menderita kerugian manusia dan material yang luar biasa, juga mengalami peningkatan pesat produksi pada masa-masa pascaperang.[278] Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat, menjadi salah satu ekonomi terkuat dunia pada tahun 1980-an.[279] Tiongkok kembali ke produksi industrinya sebelum perang pada tahun 1952.[280]
Perkiraan total korban perang bervariasi, karena banyak kematian yang tidak tercatat. Kebanyakan pihak memperkirakan sekitar 60 juta orang tewas dalam perang, termasuk 20 juta tentara dan 40 juta warga sipil.[281][282][283]
Banyak warga sipil tewas akibat wabah, kelaparan, pembantaian, pengeboman, dan genosida yang disengaja. Uni Soviet kehilangan sekitar 27 juta rakyatnya sepanjang perang,[284] termasuk 8,7 juta personel militer dan 19 juta warga sipil. Pangsa korban jiwa militer terbesar adalah etnis Rusia (5.756.000), diikuti etnis Ukraina (1,377,400).[285] Satu dari empat warga sipil Sovet dibunuh atau terluka dalam perang ini.[286] Jerman mengalami 5,3 juta kematian militer, kebanyakan di Front Timur dan sepanjang pertempuran terakhir di Jerman.[287]
Dari total korban tewas pada Perang Dunia II, sekitar 85 persen—kebanyakan Soviet dan Tiongkok—berada di pihak Sekutu dan 15 persen sisanya di pihak Poros. Sebagian besar kematian ini diakibatkan oleh kejahatan perang yang dilakukan pasukan Jerman dan Jepang di wilayah pendudukan. Sekitar 11[288] sampai 17 juta[289] warga sipil tewas akibat kebijakan ideologi Nazi secara langsung maupun tidak langsung, termasuk genosida sistematis sekitar enam juta kaum Yahudi sepanjang Holocaust ditambah lima juta bangsa Roma, homoseksual, serta Slav dan suku bangsa atau kaum minoritas lainnya.[290]
Kekejaman Jepang yang paling terkenal adalah Pembantaian Nanking, yaitu ketika sekian ratus ribu warga sipil Tiongkok diperkosa dan dibunuh.[293] Antara 3 juta hingga lebih dari 10 juta warga sipil, kebanyakan etnis Tiongkok, dibunuh oleh pasukan pendudukan Jepang.[294] Mitsuyoshi Himeta melaporkan 2,7 juta korban jiwa selama dilaksanakannya Sankō Sakusen. Jenderal Yasuji Okamura menerapkan kebijakan ini di Heipei dan Shantung.[295]
Sejumlah sejarawan, seperti Jörg Friedrich, menegaskan bahwa pengeboman massal kawasan berpenduduk di wilayah musuh, termasuk Tokyo dan terutama kota-kota Jerman di Dresden, Hamburg, dan Koln oleh Sekutu Barat, yang mengakibatkan kehancuran lebih dari 160 kota dan kematian 600.000 warga sipil Jerman, bisa dianggap sebagai kejahatan perang.[305]
Nazi bertanggung jawab atas terjadinya Holocaust, yaitu pembunuhan sekitar enam juta (meskipun jumlahnya diragukan) kaum Yahudi (kebanyakan Ashkenazim), serta dua juta etnis Polandia dan empat juta orang lainnya yang dianggap "tidak layak hidup" (termasuk orang cacat dan sakit jiwa, tahanan perang Soviet, homoseksual, Freemason, Saksi-Saksi Yehuwa, dan Romani) sebagai bagian dari program pemusnahan dengan sengaja. Sekitar 12 juta orang, kebanyakan penduduk Eropa Timur, dipekerjakan sebagai buruh paksa di ekonomi perang Jerman.[306] Terlepas dari semua itu, ada beberapa pihak yang meragukan jumlah korban Holocoust. Mereka beranggapan bahwa korban Holocoust tidak sampai mencapai 6 juta orang, melainkan hanya ratusan ribu saja. Peristiwa ini juga dianggap oleh pihak-pihak tertentu sebagai propaganda untuk menarik simpati terhadap berdirinya negara Israel. Banyaknya negara-negara Eropa memberikan hukuman bagi siapa saja yang tidak percaya pada peristiwa Holocoust dan seringnya peristiwa ini ditunjukkan dalam film-film dan dalam buku-buku sejarah, membuat pihak-pihak tersebut ragu akan kebenaran peristiwa ini. Namun, terlepas dari semua keraguan itu, peristiwa pembantaian dan penyiksaan terhadap Yahudi benar-benar ada, meskipun jumlah korbannya masih kontroversial.
Selain kamp konsentrasi Nazi, gulag (kamp buruh) Soviet mengakibatkan kematian warga sipil negara-negara yang diduduki seperti Polandia, Lituania, Latvia, dan Estonia, serta tahanan perang Jerman dan bahkan warga sipil Soviet yang dianggap mendukung Nazi.[307] Enam puluh persen tahanan perang Jerman di Soviet tewas sepanjang perang.[308]Richard Overy memberi jumlah 5,7 juta tahanan perang Soviet. Dari jumlah tersebut, 57 persen meninggal dunia atau dibunuh dengan jumlah 3,6 juta orang.[309] Mantan tahanan perang Soviet dan warga sipil yang pulang diperlakukan dengan kecurigaan luar biasa sebagai pendukung Nazi yang potensial, dan beberapa di antara mereka dikirim ke Gulag setelah diperiksa NKVD.[310]
Kamp tahanan perang Jepang, kebanyakan dipakai sebagai kamp buruh, juga memiliki tingkat kematian tinggi. Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh menemukan tingkat kematian tahanan Barat adalah 27,1 persen (37 persen untuk tahanan perang Amerika Serikat),[311] tujuh kali lebih tinggi daripada tahanan perang di Jerman dan Italia.[312] Sementara 37.583 tahanan dari Britania Raya, 28.500 dari Belanda, dan 14.743 dari Amerika Serikat dilepaskan setelah penyerahan diri Jepang, tahanan Tiongkok yang dilepas hanya 56 orang.[313]
Menurut sejarawan Zhifen Ju, sedikitnya lima juta warga sipil Tiongkok dari Tiongkok utara dan Manchukuo diperbudak antara 1935 dan 1941 oleh Dewan Pembangunan Asia Timur, atau Kōain, untuk bekerja di pertambangan dan industri perang. Setelah 1942, jumlah ini mencapai 10 juta orang.[314] U.S. Library of Congress memperkirakan bahwa di Jawa, antar 4 dan 10 juta romusha (bahasa Indonesia: "buruh manual"), dipaksa bekerja oleh militer Jepang. Sekitar 270.000 buruh Jawa dikirim ke wilayah pendudukan Jepang lain di Asia Tenggara, dan hanya 52.000 orang yang pulang ke Jawa.[315]
Pada tanggal 19 Februari 1942, Roosevelt menandatangani Perintah Eksekutif 9066 yang menahan ribuan orang Jepang, Italia, Jerman Amerika, dan sejumlah emigran dari Hawaii yang mengungsi setelah pengeboman Pearl Harbor sampai perang berakhir. Pemerintah A.S. dan Kanada menahan 150.000 warga Jepang Amerika.[316][317] Selain itu, 14.000 penduduk Jerman dan Italia di A.S. yang dianggap sebagai risiko keamanan juga ditahan.[318]
Di Eropa, sebelum pecah perang, Sekutu memiliki keunggulan signifikan dalam hal populasi dan ekonomi. Pada tahun 1938, Sekutu Barat (Britania Raya, Prancis, Polandia, dan Jajahan Britania) memiliki populasi 30 persen lebih besar dan produk domestik bruto 30 persen lebih besar daripada Poros Eropa (Jerman dan Italia); jika koloni disertakan dalam hitungan, Sekutu mendapatkan keunggulan 5:1 dalam jumlah penduduk dan 2:1 dalam PDB.[321] Di Asia pada saat yang sama, Tiongkok memiliki jumlah penduduk enam kali lebih banyak daripada Jepang, tetapi PDB yang 89 persen lebih tinggi; jumlah ini berkurang menjadi populasi tiga kali lebih banyak dan PDB 38 persen lebih tinggi jika koloni-koloni Jepang disertakan dalam hitungan.[321]
Meski keunggulan ekonomi dan populasi Sekutu dimanfaatkan besar-besaran selama serangan blitzkrieg awal Jerman dan Jepang, mereka menjadi faktor penentu pada tahun 1942, setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet bergabung dengan Sekutu, setelah sebagian besar perang ini menjadi perang atrisi.[322] Sementara kemampuan Sekutu untuk melampaui produksi Poros sering dikaitkan dengan akses Sekutu yang besar ke sumber daya alam, faktor-faktor lain, seperti keengganan Jerman dan Jepang untuk mempekerjakan wanita dalam tenaga kerja,[323][324]pengeboman strategis oleh Sekutu,[325][326] dan peralihan terbaru Jerman ke ekonomi perang[327] sangat berkontribusi besar. Selain itu, baik Jerman maupun Jepang tidak berencana mengadakan perang yang berkepanjangan, dan tidak sanggup melakukannya.[328][329] Untuk meningkatkan produksi mereka, Jerman dan Jepang memanfaatkan jutaan buruh budak;[330]Jerman memanfaatkan 12 juta orang, kebanyakan dari Eropa Timur,[306] sementara Jepang memanfaatkan lebih dari 18 juta orang di Asia Timur Jauh.[314][315]
Di Eropa, pendudukan muncul dalam dua bentuk yang sangat berbeda. Di Eropa Barat, Utara, dan Tengah (Prancis, Norwegia, Denmark, Negara-Negara Hilir, dan wilayah Cekoslowakia yang dianeksasi), Jerman menerapkan kebijakan ekonomi yang berhasil mengumpulkan 69,5 miliar reichmark (27,8 miliar dolar AS) pada akhir perang; jumlah ini tidak meliputi perampokan produk industri, perlengkapan militer, bahan mentah, dan barang-barang lain.[331] Dari situ, pendapatan yang muncul dari negara-negara pendudukan mencapai 40 persen dari pendapatan yang dikumpulkan Jerman dari pajak, jumlah yang meningkat hampir 40 persen dari total pendapatan Jerman sepanjang perang.[332]
Di Timur, keuntungan yang diharapkan dari Lebensraum tidak pernah didapatkan karena garis depan yang berfluktuasi dan kebijakan bumi hangus Soviet memusnahkan sumber daya bagi para penjajah Jerman.[333] Tidak seperti di Barat, kebijakan ras Nazi mengizinkan kekejaman berlebihan terhadap "orang inferior" keturunan Slavik; sebagian besar serbuan Jerman disertai dengan eksekusi massal.[334] Meski kelompok pemberontak berdiri di hampir semua teritori pendudukan, mereka tidak mengganggu operasi Jerman baik di Timur[335] maupun Barat[336] sampai akhir tahun 1943.
Di Asia, Jepang menyebut negara-negara di bawah pendudukannya sebagai bagian dari Lingkup Persemakmuran Asia Timur Raya, yang pada dasarnya merupakan hegemoni Jepang yang diklaim bertujuan membebaskan bangsa yang dikolonisasi.[337] Meski pasukan Jepang awalnya disambut sebagai pembebas dari dominasi Eropa di sejumlah daerah, kekejaman mereka yang berlebihan mengubah opini publik menjadi menentang mereka dalam hitungan minggu.[338] Selama penaklukan awal Jepang, negara ini mencaplok 4.000.000 barel (640.000 m3) minyak (~5.5×105 ton) yang ditinggalkan oleh pasukan Sekutu yang mundur, dan pada tahun 1943 Jepang mampu merebut produksi minyak di Hindia Timur Belanda hingga 50 milliar barel, 76 persen dari tingkat produksinya tahun 1940.[338]
Pesawat terbang dimanfaatkan sebagai alat mata-mata, pesawat tempur, pengebom, dan bantuan darat, dan masing-masing perannya memperoleh kemajuan yang berarti. Inovasi-inovasi yang muncul meliputi pengangkutan udara (kemampuan memindahkan suplai, perlengkapan, dan personel berprioritas tinggi dan terbatas dalam waktu singkat);[339] dan pengeboman strategis (pengeboman kawasan berpenduduk untuk menghancurkan industri dan moral).[340]Persenjataan antipesawat juga dikembangkan, termasuk pertahanan radar dan artileri darat-ke-udara, seperti senjata 88 mm Jerman. Pemakaian pesawat jet dimulai dan meski pengenalannya yang terlambat memberi sedikit pengaruh, pesawat jet kelak menjadi standar angkatan udara di seluruh dunia.[341]
Kemajuan dibuat di hampir segala aspek pertempuran laut, terutama kapal angkut pesawat (kapal induk) dan kapal selam. Meski sejak awal perang, peperangan udara menuai sedikit kesuksesan, berbagai aksi di Taranto, Pearl Harbor, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Koral membuat kapal induk dianggap mampu menggantikan kapal perang.[342][343][344]
Di Atlantik, kapal induk pengawal terbukti memainkan peran penting dalam konvoi Sekutu dan meningkatkan radius perlindungan efektif serta membantu menutup celah Atlantik Tengah.[345] Kapal induk juga lebih ekonomis daripada kapal perang karena biaya produksi pesawat yang relatif rendah[346] dan tidak perlu diperkuat habis-habisan.[347] Kapal selam, terbukti merupakan senjata efektif pada Perang Dunia Pertama,[348] diantisipasi oleh semua pihak sebagai sesuatu yang terpenting nomor dua. Britania memfokuskan pengembangan persenjataan dan taktik antikapal selam, seperti sonar dan konvoi, sementara Jerman berfokus pada memperbarui kemampuan serangannya dengan desain seperti kapal selam Tipe VII dan taktik wolfpack.[349] Secara perlahan, teknologi baru Sekutu seperti sinar Leigh, hedgehog, squid, dan torpedo pintar terbukti unggul.
Peperangan darat berubah dari garis depan statis pada Perang Dunia I ke peningkatan mobilitas dan senjata gabungan. Tank, yang sering dipakai untuk membantu infanteri saat Perang Dunia Pertama, berubah menjadi senjata utama.[350] Pada akhir 1930-an, desain tank lebih maju dibandingkan saat Perang Dunia I,[351] dan kemajuan terjadi sepanjang perang melalui peningkatan kecepatan, pertahanan, dan daya tembak.
Saat perang dimulai, kebanyakan komandan menduga tank musuh harus bertemu tank dengan spesifikasi yang lebih hebat.[352] Ide ini ditantang oleh performa buruk senjata tank awal yang relatif ringan melawan kendaraan lapis baja, dan doktrin Jerman menghindari pertempuran tank-versus-tank. Hal ini, bersama pemakaian senjata gabungan oleh Jerman, termasuk di antara elemen kunci kesuksesan taktik blitzkrieg mereka di Polandia dan Prancis.[350] Banyak cara untuk menghancurkan tank, termasuk dengan artileri tidak langsung, senjata antitank (baik yang ditarik maupun gerak sendiri), ranjau, senjata antitank infanteri jarak pendek, dan bahkan tank lain pun diikutsertakan.[352] Bahkan dengan mekanisasi besar-besaran, infanteri masih merupakan tulang punggung seluruh pasukan,[353] dan sepanjang perang, sebagian besar infanteri memiliki perlengkapan yang sama seperti saat Perang Dunia I.[354]
Senapan mesin portabel meluas, seperti MG34 Jerman dan berbagai senapan submesin yang dimodifikasi untuk pertempuran jarak dekat di perkotaan dan hutan.[354]Senapan serbu, sebuah pengembangan akhir perang yang mencakup berbagai fitur bedil dan senjata submesin, menjadi senjata standar infanteri pascaperang untuk sebagian besar angkatan bersenjata.[355][356]
^23 Agustus 1939, Uni Soviet dan Jerman menandatangani pakta nonagresi, diam-diam membelah Eropa Timur menjadi beberapa cakupan pengaruh. Gencatan senjata Uni Soviet dengan Jepang 16 September 1939; menyerbu Polandia 17 September 1939; menyerang Finlandia 30 September 1939; memaksa aneksasi negara-negara Baltik Juni 1940; mencaplok Rumania Timur 4 Juli 1940. 22 Juni 1941, Uni Soviet diserbu Poros Eropa; Uni Soviet memihak dengan negara-negara yang memerangi Poros.
^Setelah kejatuhan Republik Ketiga tahun 1940, pemerintahan de facto-nya adalah Rezim Vichy. Rezim ini melaksanakan kebijakan pro-Poros sampai November 1942 namun tetap netral secara resmi. Pasukan Prancis Merdeka, berbasis di London, diakui oleh semua negara Sekutu sebagai pemerintah resmi pada bulan September 1944.
^Ben-Horin, Eliahu (1943). The Middle East: Crossroads of History. W. W. Norton & Co. p. 169; Taylor, A. J. P (1979). How Wars Begin. Hamilton. p. 124. ISBN 0-241-10017-8; Yisreelit, Hevrah Mizrahit (1965). Asian and African Studies, p. 191. For 1941 see Taylor, A. J. P (1961). The Origins of the Second World War. Hamilton. p. vii; Kellogg, William O (2003). American History the Easy Way. Barron's Educational Series. p. 236 ISBN 0-7641-1973-7. There also exists the viewpoint that both World War I and World War II are part of the same "European Civil War" or "Second Thirty Years War": Canfora, Luciano; Jones, Simon (2006). Democracy in Europe: A History of an Ideology. Wiley-Blackwell. p. 155. ISBN 1-4051-1131-3; Prin, Gwyn (2002). The Heart of War: On Power, Conflict and Obligation in the Twenty-First Century. Routledge. p. 11. ISBN 0-415-36960-6.
^Beevor, Antony (2012). The Second World War. London: Weidenfeld & Nicolson. hlm. 10. ISBN9780297844976.
^"Pacifism in the Twentieth Century". "pacifism". Columbia Electronic Encyclopedia. Diakses tanggal 22 June 2012. During the 1920s and early 30s pacifism enjoyed an upsurge
^Coogan, Anthony (July 1993). "The Volunteer Armies of Northeast China". History Today. 43. Diakses tanggal 14 November 2009. Although some Chinese troops in the Northeast managed to retreat south, others were trapped by the advancing Japanese Army and were faced with the choice of resistance in defiance of orders, or surrender. A few commanders submitted, receiving high office in the puppet government, but others took up arms against the invader. The forces they commanded were the first of the volunteer armies
^Fairbank, John King; Feuerwerker, Albert; Twitchett, Denis Crispin (1986). The Cambridge history of China. Cambridge University Press. hlm. 547–551. ISBN0-521-24338-6.
^Fairbank, John King; Feuerwerker, Albert; Twitchett, Denis Crispin (1986). The Cambridge history of China. Cambridge University Press. hlm. 566. ISBN0-521-24338-6.
^Dear, I. C. B.; Foot, M. R. D, ed. (2002). "Nazi-Soviet Pact". Oxford University Press. hlm. 608. ISBN0-19-860446-7.Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
^Fritz, Martin (2005). "Economic Warfare". Dalam Dear, I.C.B; Foot, M.R.D. The Oxford Companion to World War II. Oxford University Press. hlm. 248. ISBN978-0-19-280670-3.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)
^Overy, Richard (1999). The Road to War (edisi ke-Revised and updated). London: Penguin. hlm. 207. ISBN0-14-028530-X.Parameter |coauthor= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Overy, Richard (1999). The Road to War (edisi ke-Revised and updated). London: Penguin. hlm. 288–289. ISBN0-14-028530-X.Parameter |coauthor= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Overy, Richard (1999). The Road to War (edisi ke-Revised and updated). London: Penguin. hlm. 328–330. ISBN0-14-028530-X.Parameter |coauthor= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Morison, Samuel Eliot (2002). History of United States Naval Operations in World War II. University of Illinois Press. hlm. 60. ISBN0-252-07065-8.
^Dear, I.C.B and Foot, M.R.D. (editors), ed. (2005). "Blitz". The Oxford Companion to World War II. Oxford: Oxford University Press. hlm. 108–109. ISBN978-0-19-280670-3.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: editors list (link)
^Overy, Richard (1999). The Road to War (edisi ke-Revised and updated). London: Penguin. hlm. 289. ISBN0-14-028530-X.Parameter |coauthor= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Bueno de Mesquita, Bruce; Smith, Alastair; Siverson, Randolph M.; Morrow, James D (2005). The Logic of Political Survival. MIT Press. hlm. 425. ISBN0-262-52440-6.
^Louis, William Roger (1998). More Adventures with Britannia: Personalities, Politics and Culture in Britain. University of Texas Press. hlm. 223. ISBN0-292-74708-X.
^Kleinfeld, Gerald R (1983). "Hitler's Strike for Tikhvin". Military Affairs. 47 (3): 122–128. doi:10.2307/1988082. JSTOR1988082.
^Shukman, Harold (2001). Stalin's Generals. Phoenix Press. hlm. 113. ISBN1-84212-513-3.
^Glantz 2001, hlm. 26, "By 1 November [the Wehrmacht] had lost fully 20% of its committed strength (686,000 men), up to 2/3 of its ½-million motor vehicles, and 65 percent of its tanks. The German Army High Command (OKH) rated its 136 divisions as equivalent to 83 full-strength divisions."
^Reinhardt, Klaus; Keenan, Karl B (1992). Moscow-The Turning Point: The Failure of Hitler's Strategy in the Winter of 1941–42. Berg. hlm. 227. ISBN0-85496-695-1.
^Peattie, Mark R.; Evans, David C. (1997). Kaigun: Strategy, Tactics, and Technology in the Imperial Japanese Navy. Naval Institute Press. hlm. 456. ISBN0-87021-192-7.
^Dunn, Dennis J (1998). Caught Between Roosevelt & Stalin: America's Ambassadors to Moscow. The University Press of Kentucky. hlm. 157. ISBN0-8131-2023-3.
^According to Ernest May (May, Ernest (1955). "The United States, the Soviet Union and the Far Eastern War". The Pacific Historical Review. 24 (2): 156. JSTOR3634575.) Churchill stated: "Russian declaration of war on Japan would be greatly to our advantage, provided, but only provided, that Russians are confident that will not impair their Western Front".
^Rees, Laurence (2009). World War Two Behind Closed Doors, BBC Books, p. 99 ISBN 1-4481-4045-5.
^ abRees, Laurence (2009). World War Two Behind Closed Doors, BBC Books, pp. 406–7 ISBN 1-4481-4045-5. "Stalin always believed that Britain and America were delaying the second front so that the Soviet Union would bear the brunt of the war"
^Klam, Julie (2002). The Rise of Japan and Pearl Harbor. Black Rabbit Books. hlm. 27. ISBN1-58340-188-1.
^Shukman, Harold (2001). Stalin's Generals. Phoenix Press. hlm. 142. ISBN1-84212-513-3.
^Gannon, James (2002). Stealing Secrets, Telling Lies: How Spies and Codebreakers Helped Shape the Twentieth Century. Brassey's. hlm. 76. ISBN1-57488-473-5.
^Read, Anthony; Fisher, David (1992). The Fall of Berlin. Hutchinson. hlm. 129. ISBN0-09-175337-6.
^Padfield, Peter (1998). War Beneath the Sea : Submarine Conflict During World War II (edisi ke-paperback.). New York: John Wiley. hlm. 335–336. ISBN0-471-24945-9.
^ abPolley, Martin (2000). A-Z of modern Europe since 1789. Taylor & Francis. hlm. 148. ISBN0-415-18598-X.
^ed. Hsiung, James C. and Steven I. Levine China's Bitter Victory: The War with Japan 1937–1945, p. 161
^Hsu Long-hsuen and Chang Ming-kai (1971) History of The Sino-Japanese War (1937–1945) 2nd Ed. Translated by Wen Ha-hsiung. Chung Wu Publishing. pp. 412–416, Map 38
^Craven, Wesley Frank; Cate, James Lea (1953). The Army Air Forces in World War II, Volume Five—The Pacific, Matterhorn to Nagasaki. Chicago University Press. hlm. 207.
^Berend, Ivan T. (1999). Central and Eastern Europe, 1944–1993: Detour from the Periphery to the Periphery. Cambridge University Press. hlm. 8. ISBN0-521-55066-1.
^"Armistice Negotiations and Soviet Occupation". US Library of Congress. Diakses tanggal 14 November 2009. The coup speeded the Red Army's advance, and the Soviet Union later awarded Michael the Order of Victory for his personal courage in overthrowing Antonescu and putting an end to Romania's war against the Allies. Western historians uniformly point out that the Communists played only a supporting role in the coup; postwar Romanian historians, however, ascribe to the Communists the decisive role in Antonescu's overthrow
^Hastings, Max; Paul Henry, Collier (2004). The Second World War: a world in flames. Osprey Publishing. hlm. 223–4. ISBN1-84176-830-8.
^Wiest, Andrew A; Barbier, M. K (2002). Strategy and Tactics Infantry Warfare. Zenith Imprint. hlm. 65–6. ISBN0-7603-1401-2.
^Norbert Frei. Adenauer's Germany and the Nazi Past: The Politics of Amnesty and Integration. Translated by Joel Golb. New York: Columbia University Press. 2002. ISBN 0-231-11882-1, pp. 41–66.
^"The Universal Declaration of Human Rights, Article 2". United Nations. Diakses tanggal 14 November 2009. * Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty
^Wettig, Gerhard (2008). Stalin and the Cold War in Europe. Rowman & Littlefield. hlm. 96–100. ISBN0-7425-5542-9.
^Trachtenberg, Marc (1999). A Constructed Peace: The Making of the European Settlement, 1945–1963. Princeton University Press. hlm. 33. ISBN0-691-00273-8.
^Granville, Johanna (2004). The First Domino: International Decision Making during the Hungarian Crisis of 1956. Texas A&M University Press. ISBN1-58544-298-4.
^Bellamy, Christopher (2001). "Cold War". Dalam Holmes, Richard. The Oxford Companion to Military History (edisi ke-Oxford Reference Online). Oxford: Oxford University Press. ISBN0-19-860696-6.
^Weinberg, Gerhard L. (2005). A World At Arms. Cambridge University Press. p. 911
^Connor, Mary E. (2009). "History". Dalam Connor, Mary E. The Koreas. Asia in Focus. Santa Barbara: ABC-CLIO. hlm. 43–45. ISBN1-59884-160-2.
^Lynch, Michael (2010). The Chinese Civil War 1945–49. Botley: Osprey Publishing. hlm. 12–13. ISBN978-1-84176-671-3.
^Harrison, Mark (1998). "The economics of World WarII: an overview". Dalam Harrison, Mark. The Economics of World War II: Six great powers in international comparison. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 34–35. ISBN0-521-62046-5.
^Dear, I.C.B and Foot, M.R.D., ed. (2005). "World trade and world economy". The Oxford Companion to World War II. Oxford: Oxford University Press. hlm. 1006. ISBN978-0-19-280670-3.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)
^Nicholas Balabkins, "Germany Under Direct Controls: Economic Aspects of Industrial Disarmament 1945–1948", Rutgers University Press, 1964 p. 207
^Vladimir Petrov, Money and conquest; allied occupation currencies in World War II. Baltimore, Johns Hopkins Press (1967) p. 263
^Nicholas Balabkins, "Germany Under Direct Controls: Economic Aspects of Industrial Disarmament 1945–1948", Rutgers University Press, 1964 p. 208, 209
^Dornbusch, Rüdiger; Nölling, Wilhelm; Layard, P. Richard G (1993). Postwar Economic Reconstruction and Lessons for the East Today. Massachusetts Institute of Technology Press. pp. 190, 191, ISBN 0-262-04136-7.
^Nicholas Balabkins, "Germany Under Direct Controls: Economic Aspects of Industrial Disarmament 1945–1948", Rutgers University Press, 1964 p. 212
^Dornbusch, Rüdiger; Nölling, Wilhelm; Layard, P. Richard G (1993). Postwar Economic Reconstruction and Lessons for the East Today. Massachusetts Institute of Technology Press. p29 -p30, 32, ISBN 0-262-04136-7.
^Herf, Jeffrey (2003). "The Nazi Extermination Camps and the Ally to the East. Could the Red Army and Air Force Have Stopped or Slowed the Final Solution?". Kritika: Explorations in Russian and Eurasian History. 4 (4): 913–930. doi:10.1353/kri.2003.0059.
^Florida Center for Instructional Technology (2005). "Victims". A Teacher's Guide to the Holocaust. University of South Florida. Diakses tanggal 2 February 2008.
^Rummell, R. J. "Statistics". Freedom, Democide, War. The University of Hawaii System. Diakses tanggal 25 January 2010.
^Himeta, Mitsuyoshi (姫田光義) (日本軍による『三光政策・三光作戦をめぐって』) (Concerning the Three Alls Strategy/Three Alls Policy By the Japanese Forces), Iwanami Bukkuretto, 1996, Bix, Hirohito and the Making of Modern Japan, 2000
^Tucker, Spencer C.; Roberts, Priscilla Mary Roberts (2004). Encyclopedia of World War II: A Political, Social, and Military History. ABC-CLIO. hlm. 319. ISBN1-57607-999-6.
^Gold, Hal (1996). Unit 731 testimony. Tuttle. hlm. 75–7. ISBN0-8048-3565-9.
^Tucker, Spencer C.; Roberts, Priscilla Mary Roberts (2004). Encyclopedia of World War II: A Political, Social, and Military History. ABC-CLIO. hlm. 320. ISBN1-57607-999-6.
^Zemskov V.N. On repatriation of Soviet citizens. Istoriya SSSR., 1990, No.4, (in Russian). See also [1] (online version), and Edwin Bacon (1992). "Glasnost' and the Gulag: New Information on Soviet Forced Labour around World War II". Soviet Studies. 44 (6): 1069–1086. JSTOR152330.; Michael Ellman (2002). "Soviet Repression Statistics: Some Comments"(PDF). Europe-Asia Studies. 54 (7): 1151–1172. doi:10.1080/0966813022000017177. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2012-11-22. Diakses tanggal 2012-12-07.copy
^Department of Labour of Canada (24 January 1947). Report on the Re-establishment of Japanese in Canada, 1944–1946. Department of Labour. Office of the Prime Minister. hlm. 23. ISBN0-405-11266-1.
^Kennedy, David M. (2001). Freedom From Fear : The American People in Depression and War, 1929–1945. New York City: Oxford University Press. hlm. 749–750. ISBN0-19-514403-1.
^ abHarrison, Mark (2000). The Economics of World War II: Six Great Powers in International Comparison. Cambridge University Press. hlm. 3. ISBN0-521-78503-0.
^Harrison, Mark (2000). The Economics of World War II: Six Great Powers in International Comparison. Cambridge University Press. hlm. 2. ISBN0-521-78503-0.
^Griffith, Charles (1999). The Quest: Haywood Hansell and American Strategic Bombing in World War II. DIANE Publishing. hlm. 203. ISBN1-58566-069-8.
^Overy, R.J (1995). War and Economy in the Third Reich. Oxford University Press, USA. hlm. 26. ISBN0-19-820599-6.
^Lindberg, Michael; Daniel, Todd (2001). Brown-, Green- and Blue-Water Fleets: the Influence of Geography on Naval Warfare, 1861 to the Present. Praeger. hlm. 126. ISBN0-275-96486-8.
^Cox, Sebastian (1998). The Strategic Air War Against Germany, 1939–1945. Frank Cass Publishers. hlm. 84. ISBN0-7146-4722-5.
^Liberman, Peter (1998). Does Conquest Pay?: The Exploitation of Occupied Industrial Societies. Princeton University Press. hlm. 42. ISBN0-691-00242-8.
^Perrie, Maureen; Lieven, D. C. B; Suny, Ronald Grigor (2007). The Cambridge History of Russia. Cambridge University Press. hlm. 232. ISBN0-521-86194-2.
^Hill, Alexander (2005). The War Behind The Eastern Front: The Soviet Partisan Movement In North-West Russia 1941–1944. Routledge. hlm. 5. ISBN0-7146-5711-5.
^Christofferson, Thomas R; Christofferson, Michael S (2006). France During World War II: From Defeat to Liberation. Fordham University Press. hlm. 156. ISBN978-0-8232-2563-7.
^ abBoog, Horst; Rahn, Werner; Stumpf, Reinhard; Wegner, Bernd (2001). Militärgeschichtliches Forschungsamt Germany and the Second World War—Volume VI: The Global War. Oxford: Clarendon Press. hlm. 266. ISBN0-19-822888-0.
^Tucker, Spencer C.; Roberts, Priscilla Mary Roberts (2004). Encyclopedia of World War II: A Political, Social, and Military History. Sanata Barbara, CA: ABC-CLIO. hlm. 76. ISBN1-57607-999-6.
^Sauvain, Philip (2005). Key Themes of the Twentieth Century: Teacher's Guide. Wiley-Blackwell. hlm. 128. ISBN1-4051-3218-3.
^Tucker, Spencer C.; Roberts, Priscilla Mary Roberts (2004). Encyclopedia of World War II: A Political, Social, and Military History. ABC-CLIO. hlm. 163. ISBN1-57607-999-6.
^Bishop, Chris; Chant, Chris (2004). Aircraft Carriers: The World's Greatest Naval Vessels and Their Aircraft. Wigston, Leics: Silverdale Books. hlm. 7. ISBN1-84509-079-9.
^Chenoweth, H. Avery; Nihart, Brooke (2005). Semper Fi: The Definitive Illustrated History of the U.S. Marines. New York: Main Street. hlm. 180. ISBN1-4027-3099-3.
^Gardiner, Robert; Brown, David K (2004). The Eclipse of the Big Gun: The Warship 1906–1945. London: Conway Maritime. hlm. 52. ISBN0-85177-953-0.
^Rydill, Louis (1995). Concepts in Submarine Design. Cambridge University Press. hlm. 15. ISBN0-521-55926-X.
^Rydill, Louis (1995). Concepts in Submarine Design. Cambridge University Press. hlm. 16. ISBN0-521-55926-X.
^ abTucker, Spencer C.; Roberts, Priscilla Mary Roberts (2004). Encyclopedia of World War II: A Political, Social, and Military History. ABC-CLIO. hlm. 125. ISBN1-57607-999-6.
^ abTucker, Spencer C.; Roberts, Priscilla Mary (2004). Encyclopedia of World War II: A Political, Social, and Military History. ABC-CLIO. hlm. 108. ISBN1-57607-999-6.
^Tucker, Spencer C.; Roberts, Priscilla Mary Roberts (2004). Encyclopedia of World War II: A Political, Social, and Military History. ABC-CLIO. hlm. 734. ISBN1-57607-999-6.
^"Infantry Weapons Of World War 2". Grey Falcon (Black Sun). Diakses tanggal 14 November 2009. These all-purpose guns were developed and used by the German army in the 2nd half of World War 2 as a result of studies which showed that the ordinary rifle's long range is much longer than needed, since the soldiers almost always fired at enemies closer than half of its effective range. The assault rifle is a balanced compromise between the rifle and the sub-machine gun, having sufficient range and accuracy to be used as a rifle, combined with the rapid-rate automatic firepower of the sub machine gun. Thanks to these combined advantages, assault rifles such as the American M-16 and the Russian AK-47 are the basic weapon of the modern soldier
^ abSchoenherr, Steven (2007). "Code Breaking in World War II". History Department at the University of San Diego. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-09. Diakses tanggal 15 November 2009.
^Macintyre, Ben (10 December 2010). "Bravery of thousands of Poles was vital in securing victory". The Times. London. hlm. 27.
^"Konrad Zuse (1910–1995)". Istituto Dalle Molle di Studi sull'Intelligenza Artificiale. Diakses tanggal 14 November 2009. Konrad Zuse builds Z1, world's first programme-controlled computer. Despite mechanical engineering problems it had all the basic ingredients of modern machines, using the binary system and today's standard separation of storage and control. Zuse's 1936 patent application (Z23139/GMD Nr. 005/021) also suggests a von Neumann architecture (re-invented in 1945) with programme and data modifiable in storage
Adamthwaite, Anthony P. (1992). The Making of the Second World War. New York: Routledge. ISBN0-415-90716-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Aksar, Yusuf (2004). Implementing Intnl Humanitaria: From the AD Hoc Tribunals to a Permanent International Criminal Court. London and New York, NY: Routledge. ISBN978-0-7146-5584-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Anderson, Irvine H., Jr. (1975). "The 1941 De Facto Embargo on Oil to Japan: A Bureaucratic Reflex". The Pacific Historical Review. 44 (2). JSTOR3638003.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Bacon, Edwin (1992). "Glasnost' and the Gulag: New Information on Soviet Forced Labour around World War II". Soviet Studies. 44 (6): 1069–1086. doi:10.1080/09668139208412066. JSTOR152330.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Barber, John; Harrison, Mark (2006). "Patriotic War, 1941–1945". In Ronald Grigor Suny, ed.,' The Cambridge History of Russia, Volume III: The Twentieth Century (pp. 217–242). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-81144-6.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Bilinsky, Yaroslav (1999). Endgame in NATO's Enlargement: The Baltic States and Ukraine. Westport, CT: Greenwood Publishing Group. ISBN978-0-275-96363-7.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Borstelmann, Thomas (2005). "The United States, the Cold War, and the color line". In Melvyn P. Leffler and David S. Painter, eds., Origins of the Cold War: An International History (pp. 317–332) (edisi ke-2nd). Abingdon & New York, NY: Routledge. ISBN978-0-415-34109-7.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Brayley, Martin J. (2002). The British Army 1939–45, Volume 3: The Far East. Oxford: Osprey Publishing. ISBN978-1-84176-238-8.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
British Bombing Survey Unit (1998). The Strategic Air War Against Germany, 1939–1945. London and Portland, OR: Frank Cass Publishers. ISBN978-0-7146-4722-7.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Brown, David (2004). The Road to Oran: Anglo-French Naval Relations, September 1939 – July 1940. London & New York, NY: Frank Cass. ISBN978-0-7146-5461-4.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Christofferson, Thomas R.; Christofferson, Michael S. (2006). France During World War II: From Defeat to Liberation. New York, NY: Fordham University Press. ISBN978-0-8232-2562-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Cienciala, Anna M. (2010). "Another look at the Poles and Poland during World War II". The Polish Review. 55 (1): 123–143. JSTOR25779864.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Coble, Parks M. (2003). Chinese Capitalists in Japan's New Order: The Occupied Lower Yangzi, 1937–1945. Berkeley & Los Angeles, CA: University of California Press. ISBN978-0-520-23268-6.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Collier, Paul (2003). The Second World War (4): The Mediterranean 1940–1945. Oxford: Osprey Publishing. ISBN978-1-84176-539-6.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Commager, Henry Steele (2004). The Story of the Second World War. Brassey's. ISBN978-1-57488-741-9.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Davidson, Eugene (1999). The Death and Life of Germany: An Account of the American Occupation. University of Missouri Press. ISBN0-8262-1249-2.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Dawood, Mary; Mitra, Anu (2012). "Hidden agendas and hidden illness". Diversity and Equality in Health and Care. 9 (4): 297–298.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Drea, Edward J. (2003). In the Service of the Emperor: Essays on the Imperial Japanese Army. Lincoln, NE: University of Nebraska Press. ISBN978-0-8032-6638-4.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
de Grazia, Victoria; Paggi, Leonardo (1991). "Story of an Ordinary Massacre: Civitella della Chiana, 29 June, 1944". Cardozo Studies in Law and Literature, Vol. 3, No. 2 (Autumn, 1991): 153–169. JSTOR743479.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Dunn, Dennis J. (1998). Caught Between Roosevelt & Stalin: America's Ambassadors to Moscow. Lexington, KY: University Press of Kentucky. ISBN978-0-8131-2023-2.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Emadi-Coffin, Barbara (2002). Rethinking International Organization: Deregulation and Global Governance. London and New York, NY: Routledge. ISBN978-0-415-19540-9.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Förster, Stig; Gessler, Myriam (2005). "The Ultimate Horror: Reflections on Total War and Genocide". In Roger Chickering, Stig Förster and Bernd Greiner, eds., A World at Total War: Global Conflict and the Politics of Destruction, 1937–1945 (pp. 53–68). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-83432-2.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Gardiner, Robert; Brown, David K., ed. (2004). The Eclipse of the Big Gun: The Warship 1906–1945. London: Conway Maritime Press. ISBN978-0-85177-953-9.Parameter |editorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Harrison, Mark (1998). "The economics of World War II: an overview". In Mark Harrison, ed., The Economics of World War II: Six Great Powers in International Comparison (pp. 1–42). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-62046-8.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hedgepeth, Sonja; Saidel, Rochelle (2010). Sexual Violence against Jewish Women During the Holocaust. Lebanon, NH: University Press of New England. ISBN9781584659044.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hempel, Andrew (2005). Poland in World War II: An Illustrated Military History. New York, NY: Hippocrene Books. ISBN978-0-7818-1004-3.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Herbert, Ulrich (1994). "Labor as spoils of conquest, 1933–1945". In David F. Crew, ed., Nazism and German Society, 1933–1945 (pp. 219–273). London and New York, NY: Routledge. ISBN978-0-415-08239-6.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hill, Alexander (2005). The War Behind The Eastern Front: The Soviet Partisan Movement In North-West Russia 1941–1944. London & New York, NY: Frank Cass. ISBN978-0-7146-5711-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Holland, James (2008). Italy's Sorrow: A Year of War 1944–45. London: HarperPress. ISBN978-0-00-717645-8.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hsu, Long-hsuen; Chang, Ming-kai (1971). History of The Sino-Japanese War (1937–1945) 2nd Ed. Chung Wu Publishers. ASIN B00005W210.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Joes, Anthony James (2004). Resisting Rebellion: The History And Politics of Counterinsurgency. Lexington, KE: University Press of Kentucky. ISBN978-0-8131-2339-4.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Jowett, Philip S. (2001). The Italian Army 1940–45, Volume 2: Africa 1940–43. Oxford: Osprey Publishing. ISBN978-1-85532-865-5.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Kennedy-Pipe, Caroline (1995). Stalin's Cold War: Soviet Strategies in Europe, 1943–56. Manchester: Manchester University Press. ISBN978-0-7190-4201-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Klavans, Richard A.; Di Benedetto, C. Anthony; Prudom, Melanie J. (1997). "Understanding Competitive Interactions: The U.S. Commercial Aircraft Market". Journal of Managerial Issues. 9 (1): 13–361. JSTOR40604127.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Kleinfeld, Gerald R. (1983). "Hitler's Strike for Tikhvin". Military Affairs. 47 (3): 122–128. doi:10.2307/1988082. JSTOR1988082.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Lee, En-han (2002). "The Nanking Massacre Reassessed: A Study of the Sino-Japanese Controversy over the Factual Number of Massacred Victims". In Robert Sabella, Fei Fei Li and David Liu, eds., Nanking 1937: Memory and Healing (pp. 47–74). Armonk, NY: M. E. Sharpe. ISBN978-0-7656-0816-1.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Levine, Alan J. (1992). The Strategic Bombing of Germany, 1940–1945. Westport, CT: Praeger. ISBN978-0-275-94319-6.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Lindberg, Michael; Todd, Daniel (2001). Brown-, Green- and Blue-Water Fleets: the Influence of Geography on Naval Warfare, 1861 to the Present. Westport, CT: Praeger. ISBN978-0-275-96486-3.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Lowe, C. J.; Marzari, F. (2002). Italian Foreign Policy 1870–1940. London: Routledge. ISBN978-0-415-26681-9.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Maddox, Robert James (1992). The United States and World War II. Boulder, CO: Westview Press. ISBN978-0-8133-0437-3.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Milner, Marc (1990). "The Battle of the Atlantic". In John Gooch, ed., Decisive Campaigns of the Second World War (pp. 45–66). Abingdon: Frank Cass. ISBN978-0-7146-3369-5.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Minford, Patrick (1993). "Reconstruction and the UK Postwar Welfare State: False Start and New Beginning". In Rudiger Dornbusch, Wilhelm Nölling and Richard Layard, eds., Postwar Economic Reconstruction and Lessons for the East Today (pp. 115–138). Cambridge, MA: MIT Press. ISBN978-0-262-04136-2.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Mitcham, Samuel W. (2007) [1982]. Rommel's Desert War: The Life and Death of the Afrika Korps. Mechanicsburg, PA: Stackpole Books. ISBN978-0-8117-3413-4.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Molinari, Andrea (2007). Desert Raiders: Axis and Allied Special Forces 1940–43. Oxford: Osprey Publishing. ISBN978-1-84603-006-2.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Neary, Ian (1992). "Japan". In Martin Harrop, ed., Power and Policy in Liberal Democracies (pp. 49–70). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-34579-8.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Newton, Steven H. (2004). Retreat from Leningrad: Army Group North, 1944/1945. Atglen, PA: Schiffer Books. ISBN978-0-88740-806-9.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
O'Hara, Vincent (2004). The German Fleet at War, 1939–1945. Naval Institute Press. ISBN9781591146513.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Padfield, Peter (1998). War Beneath the Sea: Submarine Conflict During World War II. New York, NY: John Wiley. ISBN978-0-471-24945-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Polley, Martin (2000). An A–Z of Modern Europe Since 1789. London and New York, NY: Routledge. ISBN978-0-415-18597-4.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Portelli, Alessandro (2003). The Order Has Been Carried Out: History, Memory, and Meaning of a Nazi Massacre in Rome. Basingstoke & New York, NYPalgrave Macmillan978-1403980083.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Radtke, K. W. (1997). "'Strategic' concepts underlying the so-called Hirota foreign policy, 1933–7". In Aiko Ikeo, ed., Economic Development in Twentieth Century East Asia: The International Context (pp. 100–120). London and New York, NY: Routledge. ISBN978-0-415-14900-6.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Rahn, Werner (2001). "The War in the Pacific". In Horst Boog, Werner Rahn, Reinhard Stumpf and Bernd Wegner, eds., Germany and the Second World War, Volume VI: The Global War (pp. 191–298). Oxford: Clarendon Press. ISBN978-0-19-822888-2.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Read, Anthony; Fisher, David (2002) [1992]. The Fall Of Berlin. London: Pimlico. ISBN978-0-7126-0695-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Reinhardt, Klaus (1992). Moscow – The Turning Point: The Failure of Hitler's Strategy in the Winter of 1941–42. Oxford: Berg. ISBN978-0-85496-695-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Rich, Norman (1992) [1973]. Hitler's War Aims, Volume I: Ideology, the Nazi State, and the Course of Expansion. New York, NY: W. W. Norton & Company. ISBN978-0-393-00802-9.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ritchie, Ella (1992). "France". In Martin Harrop, ed., Power and Policy in Liberal Democracies (pp. 23–48). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-34579-8.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ross, Steven T. (1997). American War Plans, 1941–1945: The Test of Battle. Abingdon and New York, NY: Routledge. ISBN978-0-7146-4634-3.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Rottman, Gordon L. (2002). World War II Pacific Island Guide: A Geo-Military Study. Westport, CT: Greenwood Press. ISBN978-0-313-31395-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Rotundo, Louis (1986). "The Creation of Soviet Reserves and the 1941 Campaign". Military Affairs. 50 (1): 21–8. doi:10.2307/1988530. JSTOR1988530.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Salecker, Gene Eric (2001). Fortress Against the Sun: The B-17 Flying Fortress in the Pacific. Conshohocken, PA: Combined Publishing. ISBN978-1-58097-049-5.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Schain, Martin A., ed. (2001). The Marshall Plan Fifty Years Later. London: Palgrave Macmillan. ISBN978-0-333-92983-4.Parameter |editorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Smith, J.W. (1994). The World's Wasted Wealth 2: Save Our Wealth, Save Our Environment. Institute for Economic Democracy. ISBN0-9624423-2-1.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Smith, Peter C. (2002) [1970]. Pedestal: The Convoy That Saved Malta (edisi ke-5th). Manchester: Goodall. ISBN978-0-907579-19-9.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Smith, Winston; Steadman, Ralph (2004). All Riot on the Western Front, Volume 3. Last Gasp. ISBN978-0-86719-616-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Swain, Bruce (2001). A Chronology of Australian Armed Forces at War 1939–45. Crows Nest: Allen & Unwin. ISBN978-1-86508-352-0.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Taylor, A. J. P. (1961). The Origins of the Second World War. London: Hamish Hamilton.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Thomas, Nigel; Andrew, Stephen (1998). German Army 1939–1945 (2): North Africa & Balkans. Oxford: Osprey Publishing. ISBN978-1-85532-640-8.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Tucker, Spencer C.; Roberts, Priscilla Mary (2004). Encyclopedia of World War II: A Political, Social, and Military History. ABC-CLIO. ISBN1-57607-999-6.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Umbreit, Hans (1991). "The Battle for Hegemony in Western Europe". In P. S. Falla, ed., Germany and the Second World War, Volume 2: Germany's Initial Conquests in Europe (pp. 227–326). Oxford: Oxford University Press. ISBN978-0-19-822885-1.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Wettig, Gerhard (2008). Stalin and the Cold War in Europe: The Emergence and Development of East-West Conflict, 1939–1953. Lanham, MD: Rowman & Littlefield. ISBN978-0-7425-5542-6.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Wiest, Andrew; Barbier, M. K. (2002). Strategy and Tactics: Infantry Warfare. St Paul, MN: MBI Publishing Company. ISBN978-0-7603-1401-2.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Wolf, Holger C. (1993). "The Lucky Miracle: Germany 1945–1951". In Rudiger Dornbusch, Wilhelm Nölling and Richard Layard, eds., Postwar Economic Reconstruction and Lessons for the East Today (pp. 29–56). Cambridge, MA: MIT Press. ISBN978-0-262-04136-2.Parameter |authorformat= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)