Guadalcanal
Guadalcanal (Isatabu) adalah pulau seluas 6.500 km² di barat daya Samudra Pasifik. Pulau beriklim tropis ini merupakan pulau terbesar di Kepulauan Solomon. Semasa Perang Dunia II Guadalcanal merupakan lokasi pertempuran sengit antara tentara Sekutu (terutama Amerika Serikat) dan tentara Kekaisaran Jepang dalam Kampanye Guadalcanal. Seusai perang, Honiara yang terletak di pesisir utara Guadalcanal dijadikan ibu kota Kepulauan Solomon Protektorat Britania yang baru. Sebagian besar wilayah Pulau Guadalcanal terdiri dari hutan hujan tropis yang lebat. Daerah pedalaman bergunung-gunung, dan salah satunya adalah Gunung Popomanaseu yang merupakan gunung berapi aktif. SejarahPenemuan GuadalcanalEkspedisi Spanyol dari Peru di bawah pimpinan Álvaro de Mendeña de Neira menemukan Pulau Guadalcanal pada tahun 1568. Pengikut Mendaña yang bernama Pedro de Ortega menamakan pulau ini sesuai nama kota asalnya, Guadalcanal di Andalusia. Nama Guadalcanal berasal dari bahasa Arab wadi (lembah, jurang, dasar sungai) ditambah bahasa Latin canal.[2] Setelah ditemukan orang Spanyol, Guadalcanal di kemudian hari sering disebut dengan nama lain seperti Guadarcana, Guarcana, Guadalcana, dan Guadalcanar. Pendatang Eropa dan misionaris mulai tiba pada abad ke-18 dan ke-19. Pada tahun 1893, Guadalcanal termasuk ke dalam pulau-pulau di Kepulauan Solomon yang diproklamasikan sebagai Protektorat Britania. Pada tahun 1932, Inggris secara resmi menyebutnya Guadalcanal seperti halnya nama kota di Andalusia, Spanyol. Perang Dunia IIBeberapa bulan setelah Pengeboman Pearl Harbor pada Desember 1941, tentara Jepang berhasil mengusir Amerika Serikat dari Filipina, Inggris dari Malaya, dan Belanda dari Hindia Timur. Jepang kemudian mulai memperluas wilayah hingga ke Pasifik Barat, dan menduduki sebanyak mungkin pulau dalam usahanya membangun garis pertahanan bagi wilayah taklukannya, sekaligus mengancam jalur komunikasi antara Amerika Serikat dan Australia-Selandia Baru. Jepang tiba di Guadalcanal pada Mei 1942. Ketika misi pengintaian Sekutu memergoki Jepang sedang membangun lapangan udara di Tanjung Lunga yang berada di pesisir timur Guadalcanal, situasi berubah menjadi genting. Lapangan terbang Jepang yang baru ini dianggap sebagai ancaman bagi Australia. Sebagai akibatnya, Amerika Serikat dengan segera, meskipun tidak benar-benar siap, melakukan pendaratan amfibi pertama di Guadalcanal untuk mengusir Jepang. Pendaratan awal Marinir Amerika Serikat pada 7 Agustus 1942 berhasil merebut lapangan udara Jepang tanpa banyak kesulitan. Namun mempertahankan lapangan udara tersebut merupakan tugas berat. Amerika Serikat selama enam bulan berikutnya berusaha mempertahankannya dalam kampanye paling sengit untuk memperebutkan supremasi darat, laut, dan udara. Guadalcanal menjadi titik balik utama dalam Perang Pasifik untuk menghentikan ekspansi Jepang. Setelah enam bulan berperang, Jepang menghentikan usahanya merebut kembali Guadalcanal. Tentara Jepang yang terakhir akhirnya dievakuasi dari pulau di Tanjung Esperance yang berada di pantai barat laut Guadalcanal pada Februari 1943.[3] Segera setelah mendarat di Guadalcanal, Sekutu mulai menyelesaikan pembangunan lapangan udara yang dimulai oleh Jepang. Lapangan udara tersebut kemudian disebut Sekutu sebagai Lapangan Udara Henderson untuk mengenang penerbang Marinir yang tewas dalam Pertempuran Midway. Pesawat-pesawat yang beroperasi dari Lanud Henderson terdiri dari berbagai macam pesawat dari Korps Marinir, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan pesawat Sekutu yang dikenal sebagai Cactus Air Force. Selain mempertahankan pangkalan mereka, Angkatan Udara Kaktus menyerang kapal-kapal Jepang yang berani mendekat ke Guadalcanal pada siang hari. Namun ketika malam tiba, kapal-kapal Angkatan Laut Jepang membombardir lapangan udara serta mengantarkan pasukan bala bantuan dan pasokan, dan segera menghilang ketika hari mulai terang. Kapal-kapal cepat yang dipakai Jepang untuk mengantar pasukan ke Guadalcanal dikenal Sekutu sebagai Tokyo Express. Di dasar laut Kepulauan Solomon dan Selat Ironbottom menyimpan kapal-kapal dari kedua belah pihak yang tenggelam selama perang. Pertempuran Tanjung Esperance berlangsung 11 Oktober 1942 di lepas pantai barat laut Guadalcanal. Dalam pertempuran, kapal Angkatan Laut Amerika Serikat berhasil mencegat dan mengalahkan formasi kapal-kapal Jepang yang sedang berlayar membawa tambahan pasukan dan materiel ke Guadalcanal. Dalam Pertempuran Laut Guadalcanal yang berlangsung bulan berikutnya, armada Angkatan Laut Sekutu berhasil mengalahkan armada Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Setelah enam bulan bertempur di Guadalcanal dan sekitarnya, ditambah perjuangan melawan penyakit di hutan, kedua belah pihak menderita kerugian besar. Pasukan Sekutu akhirnya berhasil mengusir tentara Jepang yang terakhir dari Guadalcanal pada 15 Januari 1942. Pihak Amerika menyatakan Guadalcanal dalam keadaan aman pada 9 Februari 1943. Dua kapal Angkatan Laut Amerika Serikat yang diberi nama Guadalcanal:
Pasca-Perang Dunia IITidak lama setelah Perang Dunia II, ibu kota Kepulauan Solomon Protektorat Britania yang sebelumnya ada di Tulagi, Kepulauan Florida dipindah ke Honiara di Guadalcanal. Pada tahun 1952, Komisi Tinggi Pasifik Barat dipindahkan dari Fiji ke Honiara, dan jabatan tersebut dirangkap oleh Guburnur Kepulauan Solomon. Lapangan Udara Henderson yang menjadi sebab pertempuran sengit tahun 1942 kemudian diberi nama Bandar Udara Internasional Honiara. Perang saudaraPada awal 1999, ketegangan yang sudah lama terjadi antara orang Gwale yang asli Guadalcanal dan kaum pendatang dari Pulau Malaita yang bertetangga berpuncak dengan kekerasan. lebih baru dari pulau tetangga Malaita meledak menjadi kekerasan. Tentara Revolusioner Guadalcanal yang kemudian disebut Gerakan Kemerdekaan Isatabu (Isatabu Freedom Movement, disingkat IFM) mulai meneror orang Malaitan di daerah pedalaman pulau untuk memaksa mereka meninggalkan rumah mereka. Sekitar 20.000 orang Malaitan melarikan diri ke ibu kota dan lainnya kembali ke pulau asal mereka. Penduduk orang Gwale di Honiara melarikan diri. Kota Honiara berubah menjadi sebuah enklave orang Malaitan, dan milisi Malaita Eagle Force mengambil alih pemerintahan. Angkatan Laut Diraja Australia dan Angkatan Laut Diraja Selandia Baru mengerahkan kapal-kapal mereka untuk melindungi ekspatriat yang terutama tinggal di Honiara. Pada kunjungan kedua ke ibu kota, HMNZS Te Kaha dipakai sebagai tempat serangkaian perundingan damai yang berpuncak pada penandatanganan Perjanjian Perdamaian Townsville. FaunaGuadalcanal merupakan habitat asli untuk binatang marsupial phalanger (kuskus abu-abu). Mamalia lainnya yang ada pulau ini hanya kelelawar dan hewan pengerat. Ada berbagai macam spesies burung bayan yang berwarna-warni serta buaya air tawar. Sekarang ini buaya hanya dapat ditemui di pantai selatan pulau, tetapi selama Perang Dunia II, buaya dapat dijumpai sepanjang pesisir utara dekat lapangan udara tempat terjadinya pertempuran. Nama-nama tempat seperti Alligator Creek (Sungai Alligator) dapat dijadikan bukti. Ular berbisa sangat jarang dan tidak dianggap ancaman serius. Meskipun demikian ada sejenis kelabang yang memiliki sengatan yang menyakitkan. Marinir Amerika Serikat selama perang di Guadalcanal menyebut kelabang sebagai "serangga penyengat". Referensi
Daftar pustaka
Pranala luarMedia tentang Guadalcanal di Wikimedia Commons |