Pertempuran Midway
Pertempuran Midway adalah pertempuran laut besar yang dianggap sebagai peristiwa paling penting dalam medan Perang Pasifik Perang Dunia II.[3][4][5] Pertempuran terjadi antara 4 Juni dan 7 Juni 1942, sekitar sebulan sesudah Pertempuran Laut Koral dan enam bulan setelah Pengeboman Pearl Harbor. Angkatan Laut Amerika Serikat dengan telak meredam serangan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang terhadap Atol Midway, dan mengakibatkan kerugian tidak ternilai dan merebut inisiatif strategis dari Angkatan Laut Jepang.[6] Serangan Jepang, seperti halnya serangan ke Pearl Harbor, dimaksudkan untuk melenyapkan Amerika Serikat sebagai kekuatan strategis di Pasifik, agar Jepang dapat bebas mendirikan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Pihak Jepang berharap kekalahan berikutnya akan mendemoralisasi Amerika Serikat hingga dapat dipaksa bernegosiasi mengakhiri Perang Pasifik dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang.[7] Rencana Jepang disusun untuk memancing kapal induk Amerika Serikat yang jumlahnya hanya sedikit hingga masuk ke dalam jebakan.[8] Jepang juga bermaksud menduduki Atol Midway sebagai bagian dari rencana menyeluruh memperluas garis luar pertahanan mereka sebagai respons dari Serangan Udara Doolittle. Operasi ini dianggap sebagai persiapan serangan Jepang selanjutnya ke Fiji dan Samoa. Rencana ini cacat akibat kesalahan asumsi Jepang tentang reaksi Amerika Serikat dan pengambilan keputusan yang kurang baik.[9] Pemecah kode Amerika berhasil memecahkan sandi Jepang tentang tanggal dan lokasi serangan, dan memungkinkan Angkatan Laut Amerika Serikat menyusun rencana penyergapan tiba-tiba. Empat kapal induk dan sebuah kapal penjelajah berat Jepang tenggelam, sementara pihak Amerika Serikat kehilangan sebuah kapal induk dan sebuah kapal perusak. Kerugian besar berupa tenggelamnya empat kapal induk dan tewasnya penerbang dalam jumlah besar melemahkan kekuatan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.[10] Jepang tidak mampu lagi menyaingi kecepatan Amerika Serikat dalam membangun kapal-kapal perang dan melatih penerbang baru. Arti strategisSebelumnya, Jepang dengan cepat berhasil mewujudkan semua sasaran awalnya dalam perang, termasuk pengambilalihan Filipina, invasi ke Malaya dan Singapura, mengamankan kawasan sumber daya penting di Pulau Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Hindia Belanda. Rencana pendahuluan untuk sasaran fase kedua dimulai pada awal Januari 1942. Namun, formulasi strategi yang efektif menjadi terhambat akibat perbedaan strategi antara Angkatan Darat Kekaisaran dan Angkatan Laut Kekaisaran, dan pertentangan internal antara GHQ dan Armada Gabungan Laksamana Isoroku Yamamoto. Strategi perang yang berikutnya baru dapat diselesaikan pada April 1942.[11] Semuanya berkat kemenangan perjuangan birokratis Laksamana Yamamoto dapat meletakkan konsep operasional yang lebih banyak menekankan kepada operasi-operasi militer lanjutan di Pasifik Tengah dibandingkan rencana-rencana lain. Rencana Yamamoto termasuk operasi militer langsung maupun tidak langsung yang ditujukan ke Australia dan Samudra Hindia. Pada akhirnya, Yamamoto secara tidak langsung mengancam untuk mengundurkan diri bila dirinya tidak berhasil melaksanakan agenda-agenda yang disusunnya.[12] Keprihatinan Yamamoto yang paling utama adalah kapal-kapal induk Amerika yang masih tersisa, dan menurutnya harus dihancurkan karena merupakan penghalang utama bagi kesuksean kampanye militer secara menyeluruh. Keprihatinan ini jelas terbukti setelah terjadi Serangan Udara Doolittle terhadap Tokyo (18 April 1942) yang dilakukan pesawat-pesawat B-25 USAAF dari kapal induk USS Hornet. Walaupun secara militer dianggap tidak penting, serangan udara ini sempat mengejutkan orang Jepang secara psikologis dan menunjukkan kelemahan pertahanan udara di sekeliling pulau-pulau utama di Jepang.[13] Satu-satunya cara menihilkan ancaman ini adalah dengan menenggelamkan kapal induk Amerika Serikat dan merebut Midway, satu-satunya kepulauan strategis di Pasifik timur selain Hawaii. Yamamoto beralasan bahwa operasi militer terhadap pangkalan kapal induk utama di Pearl Harbor akan mengurangi kemampuan Amerika Serikat untuk berperang. Namun, mengingat begitu kuatnya supremasi udara Amerika yang berpangkalan di Hawaii, pangkalan Amerika diputuskannya untuk tidak diserang secara langsung.[14] Sebagai gantinya, Yamamoto memilih Midway yang terletak di ujung barat laut rangkaian Kepulauan Hawaii, sekitar 1.300 mil (2.100 km) dari Oahu. Midway tidak begitu penting dalam rencana perang Jepang, tetapi pihak Jepang merasa Amerika Serikat akan menganggap Midway sebagai pos terdepan menuju Pearl Harbor yang dianggap penting, dan karena itu akan dipertahankan dengan kuat.[15] Amerika Serikat memang menganggap Midway sebagai pos yang penting; setelah pertempuran usai, pendirian pangkalan kapal selam Amerika Serikat di Midway memungkinkan kapal selam yang berpangkalan di Pearl Harbor untuk mengisi bahan bakar serta perbekalan, dan memperpanjang radius operasi hingga 1.200 mil (1.900 km). Sebuah lapangan udara di Midway dipakai untuk melayani titik perhentian paling depan untuk serangan pesawat pengebom ke Kepulauan Wake.[16] Rencana YamamotoSama halnya dengan perencanaan perang angkatan laut Jepang selama Perang Dunia II, rencana pertempuran Yamamoto sangatlah rumit.[17] Selain itu, rencana yang disusun Yamamoto didasarkan data intelijen yang optimis, dan memperhitungkan USS Enterprise dan USS Hornet (keduanya membentuk Gugus Tugas 16) sebagai kapal induk yang tersisa untuk Armada Pasifik Amerika Serikat waktu itu. Kapal induk USS Lexington sudah tenggelam, sementara USS Hornet rusak berat (dan pihak Jepang percaya sudah tenggelam) di Pertempuran Laut Koral sebulan sebelumnya. Pihak Jepang juga tahu bahwa USS Saratoga sedang menjalani perbaikan di Pantai Barat setelah menderita kerusakan akibat tertembak torpedo dari sebuah kapal selam. Meskipun demikian, hal yang paling penting adalah keyakinan Yamamoto bahwa Amerika Serikat sudah mengalami demoralisasi akibat kekalahan berturut-turut enam bulan sebelumnya. Yamamoto berpikir bahwa dirinya dapat memancing armada Amerika Serikat ke dalam situasi yang fatal.[18] Ia membuat kapal-kapalnya saling berpencar (terutama kapal tempur yang dimilikinya) hingga sangat kecil kemungkinan kapal-kapalnya ditemukan kapal-kapal Amerika sebelum pertempuran berlangsung. Kapal-kapal tempur dan kapal penjelajah Yamamoto akan membuntuti kapal induk di bawah Laksamana Nagumo Chūichi dalam jarak beberapa ratus mil. Armada Jepang dimaksudkan untuk menghancurkan semua kapal dalam armada Amerika Serikat yang mendekat ke Midway, setelah mereka sudah cukup menjadi lemah akibat serangan kapal induk di bawah komando Nagumo, dan siap dihabisi dalam duel meriam di tengah hari,[19] seperti halnya doktrin pertempuran yang umum dimiliki sebagian besar angkatan laut di dunia.[20] Tanpa sepengetahuan Yamamoto, Amerika Serikat telah memecahkan sandi angkatan laut Jepang (disebut JN-25 oleh Amerika Serikat). Penekanan Yamamoto pada formasi kapal yang saling terpencar juga berarti di antara formasi kapal tidak dapat saling membantu. Meskipun kapal induk diharapkan menjadi tulang punggung serangan dan harus mampu menahan serangan balasan Amerika, kapal-kapal perang yang jauh lebih besar dari kapal-kapal perusak yang melindungi armada Nagumo hanyalah dua kapal tempur dan tiga kapal penjelajah. Sebenarnya armada Yamamoto dan Kondo masih memiliki dua kapal induk ringan, lima kapal tempur, dan enam kapal penjelajah, tetapi tidak ada satu pun di antaranya yang dikirim ke Midway.[19] Jauhnya jarak antara kapal-kapal pengawal dan kapal induk juga berdampak serius terhadap pertempuran. Kapal-kapal perang berukuran besar dalam armada Yamamoto dan Kondo membawa pesawat pengintai yang tidak bisa dipakai oleh Nagumo.[21] Invasi Kepulauan AleutOperasi militer Jepang di Kepulauan Aleut (disingkat Operasi AL; AL singkatan untuk Aleutian Islands) juga mengurangi jumlah kapal-kapal yang sebenarnya bisa dipakai untuk menyerang Midway. Kalau sebelumnya buku-buku sejarah sering menyebut Operasi Aleut sebagai usaha Jepang untuk mengecoh dan mengundang kedatangan kapal-kapal perang Amerika Serikat, hasil penelitian yang lebih baru mengungkap bahwa Operasi Aleut sebetulnya menurut rencana dilancarkan secara bersamaan dengan serangan ke Midway.[22] Namun keterlambatan satu hari dalam perjalanan gugus tugas Nagumo menjadikan Operasi AL dilancarkan sehari lebih awal daripada serangan Midway.[23] Persiapan pertempuranPembangunan kekuatan Amerika SerikatDalam usaha menyiapkan diri melawan kekuatan musuh yang dapat mengerahkan empat hingga lima kapal induk sekaligus, Laksamana Chester W. Nimitz (Panglima Tertinggi, Kawasan Samudra Pasifik) membutuhkan semua kapal induk yang dimiliki Amerika Serikat. Ia telah menyiapkan gugus tugas dua kapal induk (Enterprise dan USS Hornet) di bawah komando Laksamana Madya William Halsey. Namun Halsey menderita psoriasis dan digantikan oleh Laksamana Muda Raymond A. Spruance (komandan kapal pengawal Halsey).[24] Nimitz juga secara tergesa-gesa memanggil kembali gugus tugas yang dipimpin Laksamana Muda Frank Jack Fletcher dari Kawasan Pasifik Barat Daya. Fletcher sampai di Pearl Harbor tepat waktu untuk mengisi perbekalan dan diberangkatkan kembali. Kapal induk USS Yorktown sudah rusak parah akibat Pertempuran Laut Koral. Meskipun kapal ini menurut perkiraan butuh beberapa bulan untuk perbaikan di Galangan Kapal Angkatan Laut Selat Puget, lift-lift pesawat yang dimilikinya masih utuh dan sebagian besar dek pesawat dalam kondisi baik.[25] Galangan Kapal Angkatan Laut Pearl Harbor bekerja nonstop, dan dalam 72 jam, Yorktown sudah kembali dalam keadaan siap tempur,[26] dan dianggap cukup layak untuk dua hingga tiga minggu di laut, seperti yang dibutuhkan Nimitz.[27] Dek landas pacu ditambal, dan seluruh bagian rangka dalam dipotong dan diganti, serta beberapa skuadron baru dikerahkan dari Saratoga, tetapi mereka tidak memiliki waktu untuk berlatih.[28] Nimitz mengabaikan prosedur yang sudah ada dalam usahanya mempersiapkan kapal induk ketiga sekaligus terakhir yang tersedia agar siap tempur. Bahkan setelah Yorktown diberangkatkan, pekerjaan perbaikan masih terus berlangsung. Perbaikan dilakukan oleh awak kapal reparasi USS Vestal (kapal ini juga rusak akibat Serangan Pearl Harbor enam bulan sebelumnya) yang ikut dibawa oleh Yorktown. Setelah tiga hari masuk dok kering di Pearl Harbor, Yorktown sudah kembali bertugas lagi.[29] Di Kepulauan Midway, USAAF menempatkan empat skuadron B-17 Flying Fortress bersama beberapa B-26 Marauder. Korps Marinir memiliki sembilan belas pesawat pengebom tukik SBD Dauntless, tujuh F4F-3 Wildcat, tujuh belas Vought SBU-3 Vindicators, dua puluh satu F2A-3 Brewster Buffalo, dan enam pesawat pengebom torpedo Grumman TBF-1 Avenger yang diambil dari Skuadron Torpedo 8 (VT-8) yang berpangkalan di USS Hornet. Kelemahan JepangSementara itu, Zuikaku yang selesai bertugas di Pertempuran Laut Koral, sedang berada di Kure sambil menanti datangnya awak pesawat pengganti. Awak pesawat yang tidak dapat dikumpulkan dengan segera merupakan kegagalan program pelatihan awak Angkatan Laut Jepang yang sudah menunjukkan tanda-tanda tidak bisa mengganti awak yang tewas atau luka.[30] Instruktur dari Korps Udara Yokosuka ikut dikerahkan untuk mengisi kekosongan.[30] Shōkaku rusak berat akibat kejatuhan bom di Laut Koral dan perlu waktu berbulan-bulan untuk memperbaikinya di dok kering. Walaupun ada kemungkinan pesawat-pesawat terbang dari kapal induk yang rusak bisa dikerahkan untuk Zuikaku, pihak Jepang tidak berusaha serius untuk menyiapkan kapal induknya untuk bertempur.[31] Sebagai akibatnya, Laksamana Nagumo hanya bisa mengerahkan empat kapal induk: Kaga dan Akagi sebagai Divisi Kapal Induk ke-1 sementara Hiryū dan Sōryū sebagai Divisi Kapal Induk ke-2. Kapal-kapal induk Jepang telah terus-menerus beroperasi sejak 7 Desember 1941, termasuk di antara Darwin dan penyerangan ke Colombo. Pesawat penyerang Jepang dikerahkan adalah pesawat pengebom tukik Aichi D3A1 dan Nakajima B5N2 yang dapat berfungsi sebagai pesawat pengebom torpedo atau sebagai pesawat pengebom biasa. Pesawat tempur utama yang dikerahkan adalah Mitsubishi A6M2 Zero yang bisa terbang cepat dan berkemampuan manuver yang tinggi.[32] Kapal-kapal induk Kido Butai memang sedang menderita kekurangan pesawat andalan. Berdasarkan berbagai alasan, produksi pesawat D3A telah dikurang drastis, sementara produksi pesawat B5N sudah dihentikan secara total. Sebagai akibatnya tidak ada pengganti untuk pesawat yang rusak atau hancur. Hal ini juga berarti sebagian besar pesawat yang digunakan sepanjang operasi-operasi bulan Juni 1942 adalah pesawat lama yang mulai digunakan sejak November 1941. Walaupun dipelihara dengan baik, pesawat-pesawat tersebut hampir usang dan makin tidak dapat diandalkan. Sebagai akibatnya, kapal-kapal induk Jepang dikerahkan dengan total pesawat yang kurang dari seharusnya dan hanya sedikit pesawat cadangan.[33] Persiapan intelijen strategis Jepang sebelum pertempuran juga dalam keadaan kacau. Kapal-kapal selam Jepang yang membentuk garis penjagaan terlambat tiba (sebagian di antaranya disebabkan ketergesa-gesaan Yamamoto). Akibatnya, kapal-kapal Amerika Serikat sampai di titik pertemuan mereka di timur laut Midway (disebut Point Luck), dan luput dari deteksi Jepang.[34] Usaha kedua untuk pengintaian dilakukan dengan kapal amfibi bermesin empat Kawanishi H8K juga dibatalkan. Menurut rencana yang merupakan bagian dari Operasi K, Kawanishi H8K ditugaskan mengamat-amati Pearl Harbor sebelum pertempuran dimulai (dan mendeteksi ada atau tidak adanya kapal induk Amerika Serikat di sana). Namun, kapal-kapal selam Jepang yang dikirim untuk mengisi bahan bakar pesawat pengintai mengetahui bahwa di lokasi yang direncanakan sebagai titik pengisian ulang bahan bakar (teluk di Gosong Fregat Prancis yang sebelumnya selalu sepi) sudah disatroni kapal-kapal perang Amerika Serikat (karena Jepang pernah melakukan misi serupa pada bulan Maret).[35] Oleh karena itu, sebelum pertempuran berlangsung, Jepang tidak punya informasi tentang pergerakan kapal-kapal induk Amerika Serikat. Walaupun demikian, intersepsi gelombang radio yang dilakukan Jepang mencatat peningkatan aktivitas dan lalu lintas pesan kapal selam Amerika Serikat. Informasi ini disampaikan ke Yamamoto sebelum pertempuran berlangsung. Namun rencana Jepang tetap tidak diubah. Yamamoto yang berada di atas Yamato tidak memberitahukan Nagumo tentang peningkatan aktivitas kapal selam Amerika Serikat karena tidak ingin mengungkap lokasi dirinya, dan mengasumsikan Nagumo sudah diberi tahu Tokyo tentang hal itu.[36] Namun antena radio Nagumo tidak dapat menerima transmisi gelombang panjang, dan ia sama sekali tidak tahu tentang pergerakan kapal-kapal Amerika Serikat.[37] Pemecah sandi SekutuLaksamana Nimitz memiliki aset yang tidak ternilai, analis kriptografi Amerika Serikat telah membongkar sandi angkatan laut Jepang JN-25.[38] Letnan Kolonel Laut Joseph J. Rochefort dan timnya di HYPO dapat melakukan konfirmasi bahwa Midway adalah target serangan Jepang yang berikutnya, dan 4 Juni atau 5 Juni sebagai Hari-H, serta memberi tahu Nimitz data lengkap order of battle (susunan kekuatan) Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.[39] Usaha Jepang memperkenalkan buku sandi yang baru ditunda, hingga cukup memberi waktu HYPO selama beberapa hari. Walaupun komunikasi Jepang dimatikan sebelum serangan dimulai, sandi-sandi Jepang sudah bocor lebih dulu.[40] Sebagai hasilnya, Amerika Serikat terjun dalam pertempuran dengan pengetahuan yang tepat tentang di mana, kapan, dan jumlah kekuatan pihak Jepang. Nimitz sudah tahu, misalnya, armada Jepang dibagi menjadi tidak kurang dari empat gugus tugas, dan serangan akan datang dari kapal induk yang hanya dilindungi sejumlah kecil kapal-kapal cepat. Berdasarkan alasan ini, mereka tahu senjata anti-pesawat yang melindungi kapal-kapal Jepang akan terbatas. Menurut perhitungan Nimitz, kekuatan kedua belah pihak akan seimbang. Empat kapal induk Yamamoto melawan tiga kapal induk Amerika Serikat ditambah pangkalan udara di Kepulauan Midway (terutama karena kekuatan udara kapal induk Amerika Serikat jauh lebih besar dibandingkan kekuatan lawan). Sebaliknya, Jepang tetap tidak tahu susunan kekuatan lawan yang sebenarnya, bahkan setelah pertempuran dimulai.[41] PertempuranSusunan kekuatan Pertempuran MidwaySerangan udara pertamaSembilan B-17 yang berpangkalan di Midway diberangkatkan pukul 12.30 tanggal 3 Juni. Empat jam kemudian mereka menemukan kelompok kapal-kapal angkut Jepang, 570 mil di sebelah barat.[42] Di bawah hujanan tembakan antipesawat, mereka menjatuhkan bom-bom. Walaupun ada yang terkena,[42] keseluruhan bom tidak ada yang mengenai sasaran, dan tidak ada kerusakan serius yang ditimbulkannya.[43] Selepas tengah malam, Akebono Maru menjadi korban pertama setelah dihantam sebuah torpedo dari pesawat amfibi PBY sekitar pukul 01.00.[43] Pukul 04.30, 4 Juni, Laksamana Madya Nagumo melancarkan serangan pertama ke Midway, diberangkatkannya 36 pesawat pengebom tukik Aichi D3A dan 36 pesawat pengebom torpedo Nakajima B5N di bawah pengawalan 36 pesawat tempur Zero. Pada saat yang sama, Nagumo meluncurkan patroli udara bersenjata (CAP) beserta delapan pesawat pengintai (satu pesawat dari kapal penjelajah berat Tone terlambat berangkat 30 menit akibat masalah teknis). Misi pengintaian Jepang disusun dengan ceroboh, terlalu sedikit pesawat yang dikerahkan untuk meliput wilayah pencarian. Di bawah cuaca buruk, mereka masing-masing terbang ke arah timur dan timur laut dari gugus tugas Jepang.[44] Disposisi salah Yamamoto telah menjadi penyebab masalah yang serius.[45] Radar Amerika Serikat mendeteksi musuh pada jarak beberapa mil dan beberapa pesawat pengadang segera diberangkatkan. Pesawat pengembom Amerika Serikat berangkat tanpa dikawal. Pesawat tempur yang mengawal mereka ditinggal untuk mempertahankan Midway. Pukul 06.20, pesawat terbang Jepang mengebom pangkalan Amerika Serikat di Midway hingga rusak berat. Pilot-pilot tempur Marinir yang berpangkalan di Midway menerbangkan pesawat-pesawat model lama yang terdiri dari Grumman F4F-3 Wildcats[46] dan Brewster F2A-3s Buffalo. Mereka mengadang pesawat-pesawat Jepang dan menderita kerugian besar, walaupun sempat menghancurkan empat pesawat pengebom Jepang dan paling sedikit tiga pesawat Zero. Sebagian besar pesawat-pesawat Amerika Serikat ditembak jatuh dalam beberapa menit pertama, beberapa pesawat rusak, dan hanya dua pesawat yang masih bisa terbang. Total tiga pesawat Wildcat dan 13 pesawat Buffalo ditembak jatuh. Tembakan senjata antipesawat Amerika Serikat begitu akurat dan intensif, banyak pesawat Jepang yang rusak dan sepertiga dari pesawat-pesawat Jepang hancur.[47] Satu kali lagi serangan udara diperlukan untuk melumpuhkan pertahanan Midway sebelum pasukan dapat didaratkan pada 7 Juni. Pesawat pengebom Amerika Serikat masih dapat menggunakan pangkalan udara di Midway untuk mengisi bahan bakar dan menyerang kekuatan invasi Jepang.[48] Pesawat pengebom Amerika Serikat yang diberangkatkan dari Midway sebelum lapangan udara diserang Jepang, melakukan beberapa kali serangan terhadap armada kapal induk Jepang. Mereka terdiri dari enam TBF Avenger yang awaknya baru pertama kali terjun dalam perang (dari VT-8 kapal induk Hornet) dan empat USAAC B-26 Marauder yang dipersenjatai dengan torpedo. Armada Jepang dapat mengatasi serbuan mereka tanpa masalah. Semua pesawat penyerang hancur, hanya tersisa satu TBF Avenger dan dua B-26. Hanya dua pesawat tempur Jepang yang tertembak jatuh. Satu pesawat B-26 yang menjadi korban tembakan antipesawat dari Akagi tidak berusaha menaikkan moncong pesawat, dan hampir menerjang anjungan Akagi. Serangan tersebut membuat Nagumo memutuskan untuk mengirim sebuah serangan lagi ke Midway. Keputusan Nagumo menyalahi perintah Yamamoto yang menetapkan kekuatan udara harus disiapkan untuk dikerahkan sewaktu-waktu dalam operasi antikapal.[49] Laksamana Nagumo mematuhi doktrin kapal induk Jepang waktu itu, setengah dari pesawat-pesawatnya tetap siap sedia. Pesawat cadangan Nagumo terdiri dari dua skuadron pesawat pengebom tukik dan dua skuadron pesawat pengebom torpedo yang disiapkan untuk menyerang kapal-kapal perang Amerika Serikat bila ditemukan. Pesawat pengebom torpedo sudah dipersenjatai dengan torpedo, sementara pesawat pengebom tukik belum dipersenjatai.[51] Setelah mengetahui hasil serangan ke Midway, serta rekomendasi dari pemimpin penerbangan pagi itu, pada pukul 07.15, Nagumo memerintahkan pesawat-pesawat cadangan dipersenjatai dengan bom darat. Beberapa sumber menulis bahwa pekerjaan memuat bom darat ke dalam pesawat sudah berlangsung selama 30 menit, ketika pada pukul 07.40,[52] pesawat pengintai dari kapal penjelajah Tone memberi isyarat ditemukannya sebuah armada angkatan laut Amerika yang cukup besar di sebelah timur. Namun, bukti-bukti baru menunjukkan laporan tersebut tidak sampai ke tangan Nagumo hingga pukul 08.00 sehingga pekerjaan mempersenjatai pesawat-pesawat dengan bom darat sudah berlangsung selama 45 menit.[53] Nagumo segera membatalkan perintahnya, dan meminta pesawat pengintai untuk memastikan rincian kekuatan Amerika Serikat. Empat puluh menit berlalu sebelum pesawat pengintai dari Tone membuka komunikasi radio tentang adanya sebuah kapal induk dari Gugus Tugas 16 (keberadaan satu kapal induk lainnya tidak diketahui kapal pengintai).[54] Nagumo berada dalam kebingungan. Laksamana Muda Yamaguchi Tamon yang memimpin Divisi 2 Kapal Induk (Hiryū dan Sōryū) meminta Nagumo segera menyerang dengan semua kekuatan yang dimiliki: 18 pesawat pengebom tukik Aichi D3A2 yang masing-masing dimiliki oleh Sōryū dan Hiryū, serta setengah dari pesawat patroli dipersenjatai (CAP) yang ada.[55] Kesempatan Nagumo untuk menyerang kapal-kapal Amerika,[56] telah terhalang oleh akan segera kembalinya pesawat-pesawat yang selesai menyerang Midway. Mereka perlu mendarat atau harus mendarat darurat di laut.[57] Operasi patroli bersenjata pada jam-jam sebelumnya menyebabkan kesibukan terus menerus di dek pesawat. Pihak Jepang tidak memiliki kesempatan untuk memberangkatkan pesawatnya. Beberapa pesawat yang ada di dek ketika serangan dimulai adalah pesawat tempur patroli, atau (dalam hal Sōryū) pesawat tempur yang dipakai untuk membantu patroli.[58] Mempersiapkan dek pesawat dan meluncurkan pesawat paling tidak butuh waktu 30–45 menit.[59] Selain itu, bila pesawat cadangan langsung diberangkatkan, Nagumo berarti menugaskan mereka tanpa persenjataan antikapal yang layak. Mereka baru saja menyaksikan betapa mudahnya menembak jatuh pesawat pengebom Amerika yang tidak dikawal.[60] (Dalam pertempuran ini, disiplin yang kurang dari pilot pesawat pengebom Jepang membuat mereka membuang bom-bom ke laut, dan mencoba meladeni pesawat buru sergap F4F Amerika Serikat dalam duel udara.)[61] Reaksi Nagumo sesuai dengan doktrin karena doktrin kapal induk Jepang menuntut serangan dilakukan bila telah direncanakan secara lengkap, dan tidak diterimanya konfirmasi (hingga pukul 08.20) tentang keberadaan kapal induk dalam armada Amerika Serikat.[62] Selain itu, serangan udara Amerika pada pukul 07.53 membuatnya merasa perlu untuk melakukan serangan tambahan ke Midway. Pada akhirnya Nagumo memilih untuk menanti hingga semua pesawat-pesawatnya mendarat, dan memberangkatkan pesawat cadangan yang sudah dipersenjatai.[63] Keputusan Nagumo tidak dapat mengubah jalannya pertempuran. Pesawat-pesawat Amerika Serikat yang siap memberi serangan fatal sudah dalam perjalanan. Mereka sudah diberangkatkan Fletcher pada pukul 07.00. Nagumo tidak lagi dapat berbuat apa-apa. Hal ini merupakan kelemahan fatal dari Yamamoto yang secara teguh memegang doktrin kapal perang tradisional.[64] Serangan ke armada JepangSementara pihak Jepang dalam dilema, pesawat-pesawat Amerika Serikat yang berpangkalan di kapal induk sudah diberangkatkan. Laksamana Fletcher yang memegang komando di Yorktown memerintahkan Spruance untuk menyerang Jepang saat dirasakan memungkinkan. Keputusan ini dibuat Fletcher berdasarkan laporan dari kapal pengebom patroli PBY yang melihat armada Jepang pada dini hari,[65] Spruance sudah memberi perintah "Lancarkan serangan" pada sekitar pukul 06.00, dan menugaskan Panglima Tertinggi Halsey dan Kapten Miles Browning untuk menyusun perincian dan mengawasi keberangkatan. Beberapa menit sesudah pukul 07.00, pesawat pertama berangkat dari kapal induk Enterprise dan Hornet di bawah komando Spruance. Sekembalinya dari misi penerbangan intai, Fletcher langsung mengikuti dengan memberangkatkan pesawat-pesawat dari Yorktown pada pukul 08.00.[66] Pada saat itu, Spruance memberi perintah kedua yang sangat krusial, hantam sasaran, menyerang musuh secepat mungkin dengan apa saja yang dimiliki lebih penting daripada serangan terkoordinasi berbagai jenis pesawat (pesawat tempur, pengebom, atau torpedo). Sebagai akibatnya, skuadron Amerika menyerang tidak memakai rencana, tetapi dilakukan berulang-ulang dalam berbagai cara, serta menyerang dalam berbagai kelompok yang berbeda. Hal ini mengurangi keefektifan serangan Amerika, dan memperbesar kerugian pihak Amerika Serikat. Namun secara tidak sengaja, kemampuan Jepang untuk melakukan serangan balasan juga berkurang. Nagumo beserta dek kapal-kapalnya berada dalam keadaan mudah diserang. Walaupun posisi musuh sudah diberi tahu, pesawat-pesawat dari kapal induk Amerika Serikat menemui kesulitan menemukan sasaran. Pada akhirnya, mereka melihat kapal induk Jepang dan mulai menyerang pada pukul 09.20, diawali oleh Skuadron Torpedo 8 (VT-8 dari Hornet), dan diikuti VT-6 (dari Enterprise) pada pukul 09.40.[67] Tanpa kawalan pesawat tempur, semua TBD Devastator dari VT-8 ditembak jatuh tanpa sempat membuat kerusakan pada kapal musuh. Satu-satunya awak yang selamat adalah Letnan Muda George H. Gay, Jr.. Skuadron Torpedo 6 menemui nasib yang sama, semua sasaran luput. Kemampuan torpedo yang kurang baik termasuk salah satu penyebab kegagalan.[68] Patroli udara bersenjata Jepang yang terdiri dari pesawat-pesawat Mitsubishi A6M2 "Zero" yang berkecepatan tinggi, hanya perlu waktu sebentar untuk menghabisi pesawat TBD Devastator yang kurang dipersenjatai, tidak dikawal, dan terbang lambat. Walaupun semua TBD Devastator ditembak jatuh, pertama, mereka membuat kapal-kapal induk Jepang sibuk, dan tidak sempat meluncurkan serangan balasan. Kedua, serangan mereka membuat patroli udara bersenjata Jepang keluar dari posisinya. Ketiga, pesawat-pesawat Zero menjadi kehabisan amunisi dan bahan bakar.[69] Munculnya serangan ketiga dari pesawat torpedo skuadron VT-3 yang datang dari tenggara pada pukul 10.00 dengan cepat menarik sebagian besar pesawat patroli bersenjata Jepang ke arah kuadran tenggara armada.[70] Disiplin yang lebih baik, dan pengerahan semua Zero yang dimiliki, mungkin dapat mendorong keberhasilan Nagumo.[71] Secara kebetulan, pada saat yang bersamaan dengan terlihatnya pesawat dari skuadron VT-3 oleh pihak Jepang, dua formasi terpisah (dari total tiga skuadron) pengebom tukik SBD Dauntless mendekati armada Jepang dari arah timur laut dan barat daya. Bahan bakar mereka sudah hampir habis karena harus berputar-putar mencari musuh. Walaupun demikian, komandan skuadron C. Wade McClusky, Jr. dan Max Leslie memutuskan untuk terus mencari musuh. Secara kebetulan, mereka menemukan kapal penjelajah Jepang Arashi yang sedang berlayar dengan kecepatan penuh untuk bergabung dengan armada kapal induk Nagumo setelah gagal meledakkan kapal selam Amerika Serikat Nautilus dengan bom laut. Sebelumnya, Nautilus menyerang kapal tempur Kirishima, tetapi gagal[72] Chester Nimitz memuji keputusan untuk meneruskan pencarian yang diambil McClusky, keputusannya "menentukan nasib gugus tugas kapal induk kita dan pasukan kita di Midway..."[73] Pesawat pengebom tukik Amerika tiba pada saat yang tepat untuk menyerang.[74] Pesawat-pesawat tempur Jepang lengkap dengan persenjataannya memenuhi dek hanggar, selang bahan bakar malang melintang di atas dek karena operasi pengisian bahan bakar dilakukan secara tergesa-gesa. Perubahan perintah yang dapat terjadi setiap saat menyebabkan bom dan torpedo ditumpuk di sekitar hanggar, dan bukan disimpan dengan aman di ruang amunisi.[75] Keadaan ini membuat kapal induk Jepang dalam keadaan rawan serangan. Mulai pukul 10.22, pesawat-pesawat dari Enterprise berulang kali mengenai Kaga yang mereka jadikan sasaran. Di sebelah utara, empat menit kemudian, Akagi terkena bom yang dijatuhkan pesawat pengebom dari Enterprise. Pesawat-pesawat dari Yorktown mengincar Sōryū. Secara bersamaan, skuadron torpedo VT-3 menjadikan Hiryū sebagai sasaran. Hiryū sedang terjepit di antara Sōryū, Kaga, dan Akagi, tetapi lagi-lagi pesawat torpedo Amerika gagal menghantam sasaran. Pesawat pengebom tukik ternyata lebih beruntung. Hanya dalam enam menit, pesawat-pesawat SBD menjadikan sasaran-sasaran mereka dilalap api. Akagi terkena satu bom yang melubangi dek hanggar bagian atas, dan meledakkan bahan bakar pesawat dan amunisi. Satu bom yang luput meledak di dalam air dekat buritan hingga dek pesawat melengkung ke atas, serta kemudi kapal rusak parah.[76] Sōryū kejatuhan tiga bom di dek hanggar, Kaga kejatuhan paling sedikit empat, mungkin lebih. Ketiga kapal induk tersebut segera tidak dapat lagi bertempur, ditinggalkan awak kapal, dan dibocorkan hingga tenggelam.[77] Serangan balasan JepangHiryū, satu-satunya kapal induk Jepang yang tersisa, tidak membuang-buang waktu, dan segera melancarkan serangan balasan. Serangan gelombang pertama pengebom tukik Jepang membuat Yorktown rusak berat. Tiga buah bom menghantam bagian boiler hingga Yorktown tidak lagi bisa bergerak. Namun tim pengendali kerusakan bisa mengatasinya (dalam waktu kira-kira satu jam) dengan efektif. Serangan gelombang kedua dari pesawat-pesawat pengebom torpedo kembali bisa dihadapi oleh Yorktown.[78] Walaupun pihak Jepang berharap dapat mengurangi kekalahan dengan mencoba menenggelamkan dua kapal induk Amerika Serikat dalam dua kali serangan, Yorktown masih bisa mengatasi serangan Jepang. Pesawat-pesawat Jepang yang datang dalam gelombang kedua bahkan menyangka Yorktown sudah tenggelam. Ketika menyerang Yorktown, mereka menyangka sedang menyerang Enterprise. Setelah terkena dua kali tembakan torpedo, mesin Yorktown mati, dan condong 26°ke arah lambung kiri. Yorktown tidak lagi bisa dipakai bertempur, dan memaksa Laksamana Fletcher untuk memindahkan staf komando ke kapal penjelajah berat Astoria. Dua kapal induk dari Gugus Tugas 16 di bawah komando Spruance selamat dari kerusakan. Berita tentang keberhasilan dua gelombang serangan yang "masing-masing" menenggelamkan sebuah kapal induk Amerika Serikat, meningkatkan moral prajurit Kido Butai. Pesawat-pesawat Jepang yang tersisa dikumpulkan di atas Hiryū. Mereka dipersiapkan untuk menyerang kapal induk Amerika Serikat yang menurut perkiraan pihak Jepang hanya satu yang tersisa. Menjelang sore, pesawat pengintai dari Yorktown menemukan lokasi Hiryū. Kapal induk Enterprise segera melancarkan serangan terakhir yang terdiri dari pesawat-pesawat pengebom tukik (termasuk 10 pesawat pengebom dari Yorktown). Serangan mereka tepat mengenai sasaran. Hiryū terbakar hebat. Lebih dari selusin pesawat Zero tidak mampu mempertahankan Hiryū. Laksamana Madya Yamaguchi memilih mati tenggelam bersama Hiryū, dan membuat Jepang harus kehilangan salah satu dari pelaut karier terbaiknya. Serangan pesawat-pesawat yang berpangkalan di Hornet terlambat diberangkatkan karena kesalahan komunikasi. Mereka berkonsentrasi pada kapal-kapal pengawal yang tersisa, tetapi tidak ada hasilnya. Setelah hari mulai gelap, kedua belah pihak menghitung kerugian dan membuat rencana sementara untuk kelanjutan pertempuran. Laksamana Fletcher yang terpaksa meninggalkan Yorktown karena sudah rusak berat, merasa tidak dapat menjalankan komando dari kapal penjelajah, dan mengalihkan komando operasi ke tangan Spruance. Walaupun tahu pihak Amerika Serikat telah menang, Spruance masih tidak tahu jumlah kapal-kapal Jepang yang tersisa. Ia memutuskan untuk tetap menjaga Midway dan kapal-kapal induknya. Mengingat para penerbang yang telah melakukan misi terbang jauh, ia berusaha menghadapi Nagumo saat siang, dan bertahan ketika malam tiba. Untuk menghindari kemungkinan bentrok dengan armada Jepang pada malam hari,[79] Spruance berubah haluan dan memundurkan armadanya ke timur, dan kembali ke arah barat menuju musuh pada tengah malam. Di lain pihak, Yamamoto mulanya memutuskan untuk meneruskan pertempuran, dan mengirim sisa-sisa kapalnya ke arah timur untuk mencari kapal induk Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, sebuah kapal induk ditugaskannya untuk membombardir Midway. Kapal-kapal Jepang gagal menemukan kapal-kapal Amerika karena Spruance memutuskan untuk mundur sementara ke arah timur. Setelah itu, Yamamoto memerintahkan armadanya untuk mundur ke arah barat. Kapal-kapal pencari Amerika Serikat gagal menemukan armada Jepang pada tanggal 5 Juni. Serangan sore hari hampir gagal menemukan armada Yamamoto dan tidak mengenai sasaran. Pesawat-pesawat penyerang kembali ke kapal induk setelah hari gelap, dan Spruance memerintahkan Enterprise dan Hornet menyalakan lampu-lampu sorot untuk membantu pendaratan.[80] Pada 02.15 tanggal 5 Juni–6 Juni, Tambor di bawah komando Letnan Kolonel Laut John Murphy memberikan kontribusi bagi hasil akhir pertempuran. Ia (bersama perwira pelaksana, Ray Spruance, Jr.) melihat sejumlah kapal, tetapi tidak bisa mengidentifikasi lawan atau kawan (khawatir mungkin bukan kapal lawan, hingga menahan tembakan). Tambor melapor ke Laksamana Robert English, Komandan Armada Kapal Selam, Armada Pasifik (COMSUBPAC) yang kemudian diteruskan ke Spruance via Nimitz. Spruance tidak tahu lokasi sebenarnya armada Yamamoto, dan menyangka kapal-kapal tersebut adalah armada invasi ke Midway. Ia berusaha mengadangnya di sekitar 100 mil laut (185 km) timur laut Midway. Malam berlalu tanpa terjadi bentrokan.[81] Kapal-kapal Jepang yang dilihat Tambor adalah unit bombardemen Yamamoto yang terdiri dari empat kapal penjelajah dan dua kapal perusak. Pada pukul 02.55, mereka diperintahkan untuk mundur ke barat.[82] Kehadiran Tambor juga diketahui kapal-kapal Jepang. Mogami dan Kapal penjelajah Jepang Mikuma (2) berbenturan ketika keduanya berbelok untuk menghindari Tambor. Kerusakan Mogami di bagian lunas[83] merupakan satu-satunya prestasi yang dicapai delapan belas kapal selam Amerika Serikat yang dikerahkan dalam pertempuran ini. Pada pukul 04.12 langit cukup terang bagi untuk mengenali kapal-kapal tersebut adalah kapal Jepang, tetapi Murphy memerintahkan Tambor untuk menyelam. Pada pukul 06.00, Murphy melaporkan dua kapal penjelajah kelas Mogami berlayar ke arah barat, dan menempatkan Spruance paling sedikit 100 mil laut (185 km) dari posisi kapal-kapal Jepang.[84] Spruance mungkin beruntung tidak mengejar kapal-kapal Jepang. Bila bertemu dengan kapal-kapal berat Yamamoto, termasuk Yamato dalam kegelapan, kapal-kapal penjelajah Spruce akan kewalahan, dan kapal-kapal induknya tidak berdaya.[85] Pada waktu itu, hanya Fleet Air Arm milik Britania yang dapat beroperasi di waktu malam.[86] Sepanjang dua hari berikutnya, sisa-sisa kapal Jepang mendapat serangan dari pesawat-pesawat yang berpangkalan di Midway, diteruskan oleh pesawat-pesawat dari kapal induk Spruance. Mikuma akhirnya tenggelam, sementara Mogami selamat dari kerusakan berat dan kembali ke Jepang untuk diperbaiki. Kapten Richard E. Fleming, penerbang dari Korps Marinir dianugerahi Medal of Honor secara anumerta atas keberaniannya menyerang Mikuma. Sementara itu, Amerika Serikat berusaha menyelamatkan Yorktown. USS Vireo sedang menariknya pada sore 6 Juni ketika Yorktown terkena dua torpedo yang diluncurkan dari kapal selam Jepang I-168. Hanya ada sedikit korban di atas Yorktown karena sebagian besar awak sudah diungsikan sebelumnya. Namun torpedo ketiga menghantam USS Hammann yang sedang memberikan listrik tambahan untuk Yorktown. Hammann pecah menjadi dua dan 80 awak gugur. Sebagian besar korban tewas disebabkan meledaknya bom laut yang dibawa Hammann. Yorktown bertahan hingga pukul 06.00 pagi 7 Juni sebelum akhirnya tenggelam. PascapertempuranSetelah menang telak, dan pengejaran terhadap kapal-kapal Jepang makin berbahaya di dekat Kepulauan Wake,[87] armada Amerika Serikat ditarik mundur. Sejarawan Samuel E. Morison pada tahun 1949 menulis bahwa Spruance menjadi sasaran kritik karena tidak mengejar kapal-kapal Jepang yang sedang mundur, dan memungkinkan mereka untuk melarikan diri.[88] Pada tahun 1975, Clay Blair menulis bila Spruance mengejar, kapal-kapalnya akan bertemu dengan armada Yamamoto, termasuk Yamato pada malam hari. Keadaan ini menguntungkan Jepang kapal-kapal penjelajah Jepang, sementara Spruance tidak dapat meluncurkan pesawat-pesawatnya.[87] Jepang kehilangan empat dari enam kapal induk yang dimiliki beserta sejumlah besar penerbang yang sangat terlatih hingga mengakhiri ekspansi Jepang di Pasifik. Kapal induk Jepang yang tersisa hanyalah Shōkaku dan Zuikaku. Kapal induk Jepang yang lainnya, Ryūjō, Jun'yō, dan Hiyō berasal dari kelas di bawahnya. Pada 10 Juni, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memberikan konferensi di hadapan perwira penghubung tentang hasil pertempuran secara tidak lengkap. Alasannya, kerugian yang sebenarnya merupakan rahasia militer yang tidak perlu diketahui semua perwira. Hanya Kaisar Hirohito yang diberi tahu tentang jumlah kapal induk yang tenggelam dan pilot yang gugur. Kaisar juga memilih untuk tidak segera menyampaikan hal ini ke angkatan darat. Para pimpinan angkatan darat untuk beberapa waktu masih percaya armada Jepang dalam keadaan siap tempur.[89] Tuduhan kejahatan perangTiga penerbang Amerika Serikat, Letnan Muda Wesley Osmus (pilot, Yorktown), Letnan Muda Frank O'Flaherty (pilot, Enterprise), dan Aviation Machinist's Mate B. F. (atau B. P.) Gaido (penembak/teknisi radio pesawat SBD yang terbang bersama O'Flaherty) ditangkap Jepang selama pertempuran berlangsung. Osmus ditahan di kapal perusak Arashi, sementara O'Flaherty dan Gaido ditahan di kapal perusak Nagara (atau kapal perusak Makigumo, keterangan berbeda-beda menurut sumber). Menurut tuduhan, ketiganya dibunuh pihak Jepang.[90] Laporan yang disampaikan Laksamana Nagumo tentang Letnan Muda Osmus menyatakan "Dia wafat tanggal 6 Juni dan dimakamkan di laut". Catatan Nagumo mencantumkan tujuh butir informasi, termasuk kekuatan armada Fletcher, tetapi tidak mencatat tentang kematian O'Flaherty atau Gaido.[91] DampakPertempuran ini sering disebut sebagai "titik balik dalam Perang Pasifik".[92] Namun Jepang terus mencoba bergerak maju di Pasifik Selatan. Amerika Serikat masih perlu waktu berbulan-bulan untuk mengubah kekuatan lautnya yang masih berimbang dengan Jepang menjadi supremasi di laut.[93] Midway sendiri tidak mengubah jalannya peperangan seperti halnya Pertempuran Salamis atau Pertempuran Trafalgar. Walaupun demikian, Midway merupakan kemenangan telak pertama Sekutu melawan Jepang yang sebelumnya tidak terkalahkan. Setelah Pertempuran Laut Koral berakhir dengan tidak jelas pemenangnya dan Pertempuran Midway, inisiatif strategi Jepang menjadi tumpul, dan Amerika Serikat merebut kemampuan ofensif Jepang.[6] Pertempuran Midway membuka jalan bagi kampanye militer berikutnya di sekitar Kepulauan Solomon dan Guadalkanal yang dimenangkan Sekutu setelah secara berkepanjangan menghabiskan tenaga musuh dengan segala kekuatan militer yang ada. Pertempuran Midway menunjukkan pentingnya usaha-usaha memecahkan sandi musuh dan pelatihan kriptologi angkatan laut sebelum pertempuran berlangsung. Usaha pemecahan sandi musuh terus berlanjut di medan perang Pasifik dan Atlantik. Pemecahan sandi musuh terbukti sangat penting, misalnya pesawat Laksamana Yamamoto dapat ditembak jatuh berkat bantuan analisis sandi angkatan laut. Pertempuran Midway secara permanen merusakkan daya serang Angkatan Laut Jepang, dan kehilangan kemampuan operasional pada tahap yang menentukan terbukti fatal. Secara khusus, pertempuran ini mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap armada kapal induk Jepang, begitu parah hingga mereka tidak dapat lagi membentuk armada kapal induk berukuran besar dengan awak pesawat yang terlatih baik. Pemimpin perang Jepang tidak memiliki persiapan untuk menggantikan kapal-kapal yang hancur, serta penerbang atau pelaut yang tewas. Di Midway, total penerbang Jepang yang tewas dalam sehari sama dengan total penerbang yang dihasilkan program pelatihan pilot sebelum perang dalam setahun.[94] Pengalaman tempur mereka juga tidak mungkin tergantikan. Setelah Pertempuran Solomon Timur dan Pertempuran Santa Cruz, jumlah awak pesawat veteran makin menipis.[95] Juga tidak kalah pentingnya, Jepang kehilangan empat kapal induk,[96] dan kekuatan kapal induk Jepang tidak pulih hingga 1944.[97] Pada Pertempuran Laut Filipina, walaupun Jepang sepertinya sudah membangun kembali kekuatan kapal induk mereka, pesawat-pesawat Jepang sebagian diterbangkan oleh pilot yang tidak berpengalaman sehingga kekuatan udara Jepang tidak seampuh sebelum Pertempuran Midway. Pada saat yang bersamaan, Angkatan Laut Amerika Serikat mengerahkan lebih dari dua lusin armada dan kapal induk ringan, serta berbagai kapal induk pengawal.[98] Pada 1942, program pembangunan kapal Amerika Serikat telah memasuki tahun ketiga. Program ini dimulai dengan adanya Undang-Undang Vinson Kedua yang bertujuan membangun angkatan laut Amerika Serikat yang lebih besar dari Jepang.[99] Berbeda halnya dengan Jepang, sebagian besar awak pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat selamat dari Pertempuran Midway dan pertempuran lainnya pada tahun 1942. Ditambah dengan adanya peningkatan program pelatihan, Amerika Serikat dapat menambah jumlah penerbang berpengalaman untuk mengimbangi jumlah kapal perang dan pesawat militer yang makin meningkat. Pencarian kapal-kapal yang tenggelamKedalaman laut di lokasi pertempuran bisa mencapai 5.200 m hingga sangat sulit mencari kapal-kapal yang karam. Pada 19 Mei 1998, Robert Ballard bersama tim ilmuwan dan veteran perang Midway (termasuk partisipan dari Jepang) menemukan dan memotret Yorktown di dasar laut. Kapal ini masih sangat utuh untuk sebuah kapal yang tenggelam pada tahun 1942. Walaupun sudah lama tenggelam, peralatan dan bahkan cat kapal masih bisa terlihat.[100] Usaha Ballard menemukan kapal induk Jepang tidak berhasil. Pada September 1999, ekspedisi gabungan antara Nauticos Corp. dan Kantor Oseanografi Angkatan Laut Amerika Serikat diberangkatkan untuk mencari kapal induk Jepang. Dengan memakai teknik renavigasi canggih sesuai log kapal selam USS Nautilus, ekspedisi ini menemukan potongan besar puing kapal yang kemudian diidentifikasi berasal dari dek hanggar bagian atas Kaga.[101] Namun puing kapal utama masih belum ditemukan. FilmPertempuran Midway telah beberapa kali diangkat ke layar lebar. Film yang pertama berupa dokumenter yang disutradarai John Ford, letnan kolonel laut dari Cadangan Angkatan Laut Amerika Serikat yang sedang ditugaskan untuk sementara di Kepulauan Midway sebagai perwira fotografi dan intelijen. Ketika sedang mengambil gambar memakai kamera 16 mm berwarna dari atas pembangkit listrik di pulau, Ford terkena tembakan musuh yang berasal dari pesawat tempur Jepang dan luka di bagian tangan karena pecahan peluru. Ia menerima bintang Purple Heart dan kemudian Legion of Merit. Film dokumenter yang diambil Ford dimasukkan ke dalam film dokumenter pemenang Academy Award tahun 1942, The Battle of Midway. Di Jepang, pertempuran ini diangkat sebagai dalam film berbiaya besar, Storm Over the Pacific produksi Toho tahun 1960. Sutradara Shūe Matsubayashi mengisahkan para penerbang muda pesawat Zero yang bertugas di kapal induk Hiryū dan partisipasi mereka dalam Pengeboman Pearl Harbor dan Pertempuran Midway. Setelah disulih suara, versi ringkas film ini diedarkan di Amerika Serikat dengan judul sensasional, I Bombed Pearl Harbor. Enam belas tahun kemudian Universal Studios menggunakan kapal-kapal miniatur dan efek piroteknik untuk film Midway (1976) yang dibintangi Charlton Heston. Sebagian cerita ini berdasarkan fiksi dan mengandalkan film dokumenter dari berbagai pertempuran Perang Dunia II, dan stok gambar dari film sebelumnya seperti Tora! Tora! Tora!, Thirty Seconds Over Tokyo, Away All Boats, dan Storm over the Pacific. Mengenang MidwayBandar Udara Munisipalitas Chicago yang berperan penting dalam Perang Dunia II diganti namanya pada tahun 1949 sebagai Bandar Udara Internasional Chicago Midway (atau disingkat Bandar Udara Midway). Kapal induk USS Midway (CV-41) mulai bertugas 10 September 1945 (delapan hari setelah upacara penyerahan Jepang di USS Missouri). Kapal induk ini sekarang bersandar di San Diego, California sebagai Museum USS Midway. Catatan kaki
Referensi
Bacaan selanjutnyaWikimedia Commons memiliki media mengenai Battle of Midway.
|