Bahder Djohan
Prof. Dr. (H.C.) dr. Bahder Djohan (30 Juli 1902 – 8 Maret 1981) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada Kabinet Natsir dan Kabinet Wilopo. Bahder Djohan merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara pasangan Mohamad Rapal gelar Sutan Boerhanoedin orang Koto Gadang, Agam, dengan Lisah yang berasal dari Alang Laweh, Padang. Ayahnya berprofesi sebagai jaksa. Bahder Djohan menerima gelar Marah Besar pada pernikahannya dengan Siti Zairi Yaman. Riwayat HidupLatar belakangDjohan bersekolah pertama kali pada sekolah Melayu di Kampung Pondok, Padang. Pada tahun 1910, dia pindah sekolah ke Payakumbuh, mengikuti penempatan ayahnya. Pada tahun 1913, Djohan masuk sekolah 1e Klasse Inlandsche School di Bukittinggi. Di kota inilah Djohan berkenalan dengan Mohammad Hatta, yang kelak menjadi sahabat baiknya semasa sekolah maupun perjuangan. Hanya dua tahun ia bersekolah di Bukittinggi, sebelum akhirnya pindah ke HIS Padang. Pada tahun 1917, Djohan menyelesaikan pendidikannya di HIS dan melanjutkan ke MULO di kota yang sama. Tahun 1919, Djohan diterima di STOVIA, Batavia dan tinggal di asrama yang terdapat dalam kompleks sekolah itu. Pendidikan di STOVIA dilaluinya lebih kurang 8 tahun. Pada tanggal 12 November 1927, ia menyelesaikan ujian akhir dan lulus dengan memperoleh gelar “Indish Arts”. Kehidupan Setelah SekolahPada masa muda, Djohan merupakan salah satu pimpinan Jong Sumatranen Bond. Dia aktif terlibat dalam kepanitiaan Kongres Pemuda. Dalam Kongres Pemuda I, Djohan menyampaikan pidato tentang kedudukan wanita. Pidatonya yang berjudul "Di Tangan Wanita," dilarang beredar oleh pemerintah Hindia Belanda.[1] Dr. Bahder Djohan adalah salah satu anggota panitia yang terdiri dari lima orang yang mempersiapkan terbentuknya Palang Merah Indonesia pada tanggal 17 September 1945, sebagai penulis, bersama Dr. R. Mochtar sebagai ketua dan Dr. Djoehana Wiradikarta, Dr. Marzuki dan Dr. Sitanala sebagai anggota.[2][3] Setelah periode kemerdekaan, Djohan diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada Kabinet Natsir (1950-1951) dan Kabinet Wilopo (1952-1953). Pada tahun 1953 dia duduk sebagai direktur RSUP Jakarta (sekarang RSCM). Kemudian Djohan dipilih untuk menjabat Rektor Universitas Indonesia. Namun pada tahun 1958 sebelum masa jabatannya habis, Djohan mengundurkan diri. Dia tak setuju dengan pemerintah, yang menyelesaikan peristiwa PRRI dengan cara peperangan.[4] KepanduanPada bulan September 1951, tiga belas organisasi Pramuka yang lebih kuat bertemu dan memutuskan untuk membentuk badan federasi untuk memenuhi kebutuhan nasional dan internasional. Ikatan Pandu Indonesia—disingkat Ipindo—muncul. Tuan Soemardjo terpilih sebagai komisaris utama, dan Dr. Djohan, seorang Pramuka tua, menjadi Presiden kehormatan.[5] Bibliografi
Penghargaan
Catatan kaki
Pranala luar
|