Kabinet Natsir
Kabinet Natsir[1][2] adalah kabinet pertama yang dibentuk setelah pembubaran negara Republik Indonesia Serikat, dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabinet ini diumumkan pada 6 September 1950 dan bertugas sejak 7 September 1950 hingga 21 Maret 1951. Mohammad Natsir dilantik pada 7 September 1950 di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3] Pada masa Kabinet Natsir, terjadi beberapa pemberontakan di seluruh Indonesia dan permasalahan keamanan dalam negeri, seperti Gerakan DI/TII, Peristiwa Andi Azis, Pemberontakan APRA, dan separatis Republik Maluku Selatan. Negosiasi terhadap Irian Barat juga dilakukan namun menemui kebuntuan. Pada 22 Januari 1951, parlemen mengajukan mosi tidak percaya dan menang, yang berakibat Perdana Menteri Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 21 Maret 1951. Penyebab lain dibubarkannya Kabinet Natsir adalah diterimanya mosi dari Hadikusumo, yang mengajukan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang telah dibentuk. Menurut pemerintah, mosi tersebut seharusnya tidak dapat diajukan karena alasan hukum formil. Pimpinan
AnggotaBerikut ini adalah anggota Kabinet Natsir.
SejarahPembentukan kabinetPada 20 Agustus 1949, Presiden Soekarno melaksanakan hak prerogatifnya dengan menunjuk Mohammad Natsir untuk membentuk susunan kabinet baru. Kabinet Natsir kemudian merupakan kabinet koalisi dengan partai Masyumi sebagai inti utamanya.[butuh rujukan]Namun, PNI tidak mendapatkan posisi dalam kabinet tersebut. Sebagian besar anggota kabinet berasal dari Masyumi, namun tetap terdapat beberapa anggota kabinet non partai. Kabinet Natsir diisi oleh beberapa tokoh populer, seperti Hamengkubuwana IX, Djoeanda Kartawidjaja, dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Seringkali disebut sebagai 'Kabinet Zaken',[6] ide Natsir adalah untuk membentuk kabinet nasionalis yang diisi oleh partai-partai koalisi. Namun, ide tersebut tidak dapat diwujudkan karena adanya perebutan kursi kabinet antara PNI dan Masyumi yang menyebabkan ketidaksenangan dari sisi PNI serta menyulitkan PNI bergabung ke dalam kabinet. Dalam kasus tersebut, Natsir beralasan partainya memiliki hak yang lebih banyak dibandingkan partai lain. PNI tidak setuju dengan pernyataan Natsir, mereka menganggap bahwa setiap partai koalisi berhak mendapatkan minimal satu kursi di kabinet. PNI meminta partainya mendapatkan jatah posisi Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pendidikan. Setelah bernegosiasi, PNI merelakan posisi Menteri Luar Negeri kepada Masyumi dan Menteri Pendidikan kepada partai lain dengan syarat PNI mendapatkan posisi Menteri Dalam Negeri. Namun, harapan untuk mendapatkan posisi tersebut hilang ketika diputuskan Masyumi yang berhak atas posisi tersebut. PNI menganggap keputusan tersebut tidak adil mengingat posisi Perdana Menteri sendiri sudah diisi oleh Masyumi.[butuh rujukan] Selain kritik dari partai lain, Kabinet Natsir juga dikritisi oleh partainya sendiri, Masyumi. Kritik tersebut diarahkan terhadap keputusan Kongres pada Desember 1949 yang melarang ketua partai menjadi menteri.[7] Tujuan dari kongres tersebut adalah konsolidasi partai namun diubah oleh Dewan Partai di Bogor pada 3–6 Juni 1950 yang membahas mengenai sistem federal yang tidak dapat dilanjutkan. Dalam rangka tidak melanggar keputusan kongres terlalu banyak, Natsir dinonaktifkan dari posisinya sebagai ketua umum Masyumi dan posisinya digantikan oleh Jusuf Wibisono.[butuh rujukan] Penunjukan pertamaSetelah diratifikasi dan dilantik pada 6 September 1950, Kabinet Natsit dapat bekerja secara efektif setelah mendapatkan kepercayaan dan persetujuan program kerja dari parlemen dalam sesi 25 Oktober 1950, dengan 188 suara mendukung dan 73 suara menolak.[butuh rujukan] Program kerjaAdapun Program Kabinet Natsir adalah sebagai berikut:
Implementasi program kerja Kabinet NatsirWalaupun telah mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kabinet Natsir tidak mampu mengerjakan programnya. Parlemen yang diketuai oleh Sartono dari PNI, berperan sebagai oposisi dibandingkan sebagai pendukung pemerintah dalam perencanaan dan pengimplementasian program kabinet. Permasalahan pemilihan umumSalah satu program utama Kabinet Natsir adalah untuk melaksanakan pemilihan umum untuk membentuk sebuah Majelis konstituante yang bertugas merancang dan mengesahkan Konstitusi Indonesia yang sesuai dengan mandat Pasal 134 Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Untuk melaksanakan pemilihan umum, diperlukan pedoman yang diatur oleh hukum. Oleh karena itu, Kabinet Natsir melalui Menteri Kehakiman Wongsonegoro telah merancang sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum. Ketika Kabinet Natsir melalui Menteri Kehakiman mengirimkan rancangan tersebut kepada parlemen pada Februari 1951 untuk dibahas dan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pemilihan umum. Parlemen yang dipimpin oleh PNI yang merupakan oposisi pemerintahan, tidak langsung membahas RUU tersebut. Dengan tidak membahas RUU tersebut di parlemen, RUU tersebut terbengkalai dan tidak disahkan menjadi UU. Akibatnya, pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan dikarenakan tidak adanya pedoman hukum yang berlaku pada saat itu. Permasalahan keamanan dalam negeriGerilyawan BersenjataKetika Kabinet Natsir mengambil alih mandat pemerintah Indonesia, permasalahan keamanan dalam negeri belum sepenuhnya pulih. Banyak kelompok bersenjata tersebar di seluruh Indonesia. Mereka mendapatkan senjata secara legal dikarenakan senjata yang digunakan merupakan hasil rampasan dari Kolonial Jepang dan Kolonial Belanda yang sebelumnya digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bersenjata tersebut diantaranya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan kelompok DI/TII di Jawa Barat, kelompok komunis "Merapi-Merbabu Complex" (MMC) di Jawa Tengah, pengikut Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Laskar Hari Liar di Sumatera Utara. Selama senjata-senjata yang digunakan oleh kelompok tersebut tidak ditertibkan, keamanan dalam negeri tidak dapat dijamin. Republik Maluku Selatan (RMS)Permasalahan lainnya terkait keamanan dalam negeri adalah kelompok yang menyatakan kemerdekaan dari Indonesia, terutama Republik Maluku Selatan (RMS). Soumokil memproklamasikan RMS di Ambon, Maluku pada 25 April 1950. Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah meyakinkan RMS dengan mengirim Johannes Leimena, yang juga berasal dari Ambon untuk bernegosiasi dengan RMS, namun gagal. Pada 14 Juli 1950, RIS mengirim TNI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Rijadi untuk membasmi RMS. RMS didukung oleh mantan KNIL yang terlatih dan mampu bertahan. Ketika kabinet RIS digantikan oleh Kabinet Natsir, Pemberontakan RMS masih berlanjut. Pada 11 November 1950, pasukan TNI berhasil menguasai Benteng Victoria yang merupakan basis pertahanan RMS dan kemudian menguasai seluruh Kota Ambon.[8][9] Permasalahan AcehSatu permasalahan besar lainnya yang harus diselesaikan oleh Natsir ketika menjabat sebagai Perdana Menteri adalah permintaan wilayah Aceh sebagai daerah otonomi penuh. Permasalahan tersebut memerlukan perhatian khusus dan hati-hati. Permasalahan awalnya adalah adanya pergantian pemerintahan dari serikat menjadi persatuan. Wilayah Aceh dijadikan bagian dari Provinsi Sumatera Utara, padahal sebelumnya sejak Desember 1949 Aceh telah menjadi provinsi tersendiri yang berstatus Daerah Istimewa yaitu pada masa Kabinet Hatta II. Reintegrasi wilayah Aceh ke Provinsi Sumatera Utara menimbulkan kekecewaan yang besar dan mendalam dari masyarakat Aceh. Mereka tidak menerima keputusan penggabungan dan menuntut dibentuk kembali provinsi Aceh. Perdana Menteri Natsir mengutus Menteri Dalam Negeri, Assaat dan Menteri Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara ke Aceh untuk merundingkan penyelesaian masalah ini. Namun, tidak ada kesepakatan yang tercapai. Selanjutnya pada tanggal 27 November 1950, Wakil Presiden Mohammad Hatta datang ke Aceh untuk menyampaikan pandangannya mengenai otonomi daerah di gedung DPRD, namun pidatonya ditentang keras sehingga keesokan harinya ia harus kembali ke Jakarta karena tidak mendapat hasil. Tuntutan masyarakat Aceh semakin meningkat. Pada tanggal 22 Desember 1950, berdasarkan keputusan rapat Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Perdana Menteri Natsir menerima telegram dari Gubernur Militer Aceh yang berisi ancaman bahwa Gubernur dan seluruh utusan kantor akan mengundurkan diri dari jabatannya jika pada tanggal 1 Januari 1951 Aceh tidak dijadikan provinsi. Natsir menjawab telegram tersebut dengan menyatakan harus menunggu sampai dia datang ke Aceh. Namun Natsir tak bisa langsung datang ke Aceh karena anak keduanya yang berusia 13 tahun, Abu Hanifah, mengalami kecelakaan saat bermain di Kolam Renang Manggarai hingga meninggal dunia. Pada tanggal 23 Januari 1951, Natsir dan rombongannya berangkat ke Aceh. Malam harinya diadakan pertemuan formal yang dihadiri oleh 80 pejabat pemerintah daerah dan tokoh masyarakat Aceh. Tengku Muhammad Daud Beureu'eh (Gubernur Militer Aceh dan Tokoh PUSA), selaku pemimpin rapat menyampaikan kembali keinginan dan tuntutan masyarakat Aceh untuk memperoleh otonomi penuh. Natsir dalam sambutannya menjelaskan, pemerintah pusat tidak berkeberatan untuk memenuhi keinginan Aceh, hanya saja untuk implementasinya diperlukan undang-undang yang perlu disiapkan, kemudian diserahkan ke parlemen untuk disahkan. PendidikanGagasan Natsir mengenai integrasi nasional tidak hanya terbatas pada struktur negara saja tetapi juga pada bidang lain, salah satunya adalah bidang pendidikan. Natsir melihat salah satu permasalahan besar dalam sistem pendidikan saat itu adalah dualisme antara pendidikan agama dan sistem pendidikan umum. Secara struktural, sistemnya masing-masing berada di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Natsir mencoba memberantas dualisme tersebut, namun tidak dengan pendekatan struktural seperti penggabungan dua partai, melainkan dengan pendekatan dari sudut pendidikan itu sendiri. Kabinet Natsir tampil sebagai penggerak proses konvergensi pendidikan umum dan pendidikan agama di Indonesia. Melalui kedua menteri tersebut, Kabinet Natsir mengemukakan gagasan bahwa pendidikan agama harus dilengkapi dengan pelajaran ilmu pengetahuan umum dan pendidikan agama harus dilengkapi dengan pelajaran ilmu pengetahuan umum. Masalah Ekonomi dan PembangunanSalah satu program yang dinilai baik oleh Kabinet Natsir adalah di bidang ekonomi dan pembangunan. Pendukungnya antara lain adalah dua ekonom terkemuka Indonesia saat itu, yakni Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan dan Soemitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Kabinet Natsir memandang Indonesia yang baru selesai dari perang mempertahankan kemerdekaan tidaklah mudah untuk melaksanakan pembangunan dan pembangunan tidak dapat dilaksanakan dengan semangat romantisme kebangkitan nasional belaka. Untuk itu diperlukan pengkajian mendalam terhadap segala aspek, baik kelemahan maupun kelebihannya agar pembangunan dapat membuahkan hasil. Kabinet Natsir menugaskan perusahaan riset asal Amerika Serikat, J.C. White Engineering Corp untuk melakukan studi kelayakan pembentukan Badan Perancang Nasional (BPN). Perusahaan juga diminta mencermati potensi ekonomi yang terdapat di Indonesia. Namun karena Kabinet Natsir berumur pendek, penelitian tersebut tidak dapat diselesaikan melainkan dilanjutkan oleh menteri kabinet lainnya. Belakangan, BPN yang dirancang Kabinet Natsir berkembang menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang sangat berperan dalam pembangunan Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Masalah Irian BaratKabinet Natsir mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, Mohammad Roem pada konferensi tentang Irian Barat yang diselenggarakan di Den Haag pada tanggal 4 Desember 1950. Namun konferensi tersebut gagal karena Belanda menolak mengembalikan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia. Perundingan yang menemui jalan buntu dilanjutkan kembali pada 13-16 Desember 1950, setelah masing-masing delegasi berkonsultasi dengan pemerintah. Delegasi Indonesia mengajukan tiga rumusan, yaitu:
Ketiga rumusan tersebut ditolak Belanda sehingga perundingan kembali gagal. Memperhatikan bahwa Belanda tidak berniat menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia, Perdana Menteri Natsir menyatakan di hadapan DPR bahwa status Persatuan Belanda-Indonesia perlu ditinjau ulang. Upaya yang terus digagas Kabinet Natsir dilanjutkan oleh menteri kabinet lainnya namun bernasib sama dengan Belanda yang ingin terus menguasai wilayah Irian Barat.[butuh rujukan] PencapaianRencana SumitroRencana Sumitro merupakan program pengembangan ekonomi dan industri. Sasaran program ini adalah berkonsentrasi pada pengembangan industri dasar, seperti pabrik semen, perusahaan percetakan, pabrik karung, dan pabrik pemintalan.[butuh rujukan] Kesuksesan
Bergabungnya Indonesia ke Perserikatan Bangsa-BangsaIndonesia diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-60 pada tanggal 28 September 1950.[11] Pembubaran kabinet
Lihat jugaReferensi
Catatan
Pranala luar
|