Kabinet Natsir

Kabinet Natsir

Kabinet Pemerintahan Indonesia ke-12
1950–1951
Dibentuk7 September 1950
Diselesaikan21 Maret 1951
Struktur pemerintahan
PresidenSoekarno
Wakil PresidenMohammad Hatta
Perdana MenteriMohammad Natsir
Wakil Perdana MenteriSri Sultan Hamengkubuwana IX
Jumlah menteri18
Partai anggota  Masyumi
  PSI
  Parkindo
  Katolik
  Faksi Demokratik
  PIR
  Parindra
  PSII
  Independen
Partai oposisi  PNI
Sejarah
PendahuluKabinet RIS
Kabinet Halim
PenggantiKabinet Sukiman-Suwirjo

Kabinet Natsir[1][2] adalah kabinet pertama yang dibentuk setelah pembubaran negara Republik Indonesia Serikat, dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabinet ini diumumkan pada 6 September 1950 dan bertugas sejak 7 September 1950 hingga 21 Maret 1951.

Mohammad Natsir dilantik pada 7 September 1950 di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3] Pada masa Kabinet Natsir, terjadi beberapa pemberontakan di seluruh Indonesia dan permasalahan keamanan dalam negeri, seperti Gerakan DI/TII, Peristiwa Andi Azis, Pemberontakan APRA, dan separatis Republik Maluku Selatan. Negosiasi terhadap Irian Barat juga dilakukan namun menemui kebuntuan. Pada 22 Januari 1951, parlemen mengajukan mosi tidak percaya dan menang, yang berakibat Perdana Menteri Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 21 Maret 1951. Penyebab lain dibubarkannya Kabinet Natsir adalah diterimanya mosi dari Hadikusumo, yang mengajukan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang telah dibentuk. Menurut pemerintah, mosi tersebut seharusnya tidak dapat diajukan karena alasan hukum formil.

Pimpinan

Presiden Wakil Presiden
Soekarno Mohammad Hatta

Anggota

Berikut ini adalah anggota Kabinet Natsir.

No. Jabatan Pejabat Periode Partai Politik
Mulai menjabat Selesai menjabat
Perdana dan Wakil Perdana Menteri
1 Perdana Menteri Mohammad Natsir 7 September 1950 21 Maret 1951 Masyumi
2 Wakil Perdana Menteri Sri Sultan Hamengkubuwana IX 7 September 1950 21 Maret 1951 Nonpartai
Menteri
3 Menteri Luar Negeri Mohammad Roem 7 September 1950 21 Maret 1951 Masyumi
4 Menteri Dalam Negeri Assaat 7 September 1950 21 Maret 1951 Nonpartai
5 Menteri Pertahanan Abdul Halim[4] 7 September 1950 17 Desember 1950 Nonpartai
Mohammad Natsir
(ad-interim)
17 Desember 1950 21 Maret 1951 Masyumi
6 Menteri Kehakiman Wongsonegoro 7 September 1950 21 Maret 1951 PIR
7 Menteri Penerangan Melkias Agustinus Pellaupessy 7 September 1950 21 Maret 1951 Demokrat
8 Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara 7 September 1950 21 Maret 1951 Masyumi
9 Menteri Pertanian Tandiono Manu 7 September 1950 21 Maret 1951 PSI
10 Menteri Perdagangan dan Perindustrian Sumitro Djojohadikusumo 7 September 1950 21 Maret 1951 PSI
11 Menteri Perhubungan Djuanda Kartawidjaja 7 September 1950 21 Maret 1951 Nonpartai
12 Menteri Tenaga dan Pekerjaan Umum Herman Johannes 7 September 1950 21 Maret 1951 PIR
13 Menteri Perburuhan Pandji Suroso 7 September 1950 21 Maret 1951 Parindra
14 Menteri Sosial Fredericus Soetrisno Harjadi 7 September 1950 21 Maret 1951 Katolik
15 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Bahder Djohan 7 September 1950 21 Maret 1951 Nonpartai
16 Menteri Agama Wahid Hasjim 7 September 1950 21 Maret 1951 Masyumi
17 Menteri Kesehatan Johannes Leimena 7 September 1950 21 Maret 1951 Parkindo
18 Menteri Negara
(jabatan dihapuskan sejak 31 Desember 1950)
Harsono Tjokroaminoto[5] 7 September 1950 31 Desember 1950 PSII

Sejarah

Pembentukan kabinet

Pada 20 Agustus 1949, Presiden Soekarno melaksanakan hak prerogatifnya dengan menunjuk Mohammad Natsir untuk membentuk susunan kabinet baru. Kabinet Natsir kemudian merupakan kabinet koalisi dengan partai Masyumi sebagai inti utamanya.[butuh rujukan]Namun, PNI tidak mendapatkan posisi dalam kabinet tersebut. Sebagian besar anggota kabinet berasal dari Masyumi, namun tetap terdapat beberapa anggota kabinet non partai. Kabinet Natsir diisi oleh beberapa tokoh populer, seperti Hamengkubuwana IX, Djoeanda Kartawidjaja, dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Seringkali disebut sebagai 'Kabinet Zaken',[6] ide Natsir adalah untuk membentuk kabinet nasionalis yang diisi oleh partai-partai koalisi. Namun, ide tersebut tidak dapat diwujudkan karena adanya perebutan kursi kabinet antara PNI dan Masyumi yang menyebabkan ketidaksenangan dari sisi PNI serta menyulitkan PNI bergabung ke dalam kabinet. Dalam kasus tersebut, Natsir beralasan partainya memiliki hak yang lebih banyak dibandingkan partai lain. PNI tidak setuju dengan pernyataan Natsir, mereka menganggap bahwa setiap partai koalisi berhak mendapatkan minimal satu kursi di kabinet. PNI meminta partainya mendapatkan jatah posisi Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pendidikan. Setelah bernegosiasi, PNI merelakan posisi Menteri Luar Negeri kepada Masyumi dan Menteri Pendidikan kepada partai lain dengan syarat PNI mendapatkan posisi Menteri Dalam Negeri. Namun, harapan untuk mendapatkan posisi tersebut hilang ketika diputuskan Masyumi yang berhak atas posisi tersebut. PNI menganggap keputusan tersebut tidak adil mengingat posisi Perdana Menteri sendiri sudah diisi oleh Masyumi.[butuh rujukan]

Selain kritik dari partai lain, Kabinet Natsir juga dikritisi oleh partainya sendiri, Masyumi. Kritik tersebut diarahkan terhadap keputusan Kongres pada Desember 1949 yang melarang ketua partai menjadi menteri.[7] Tujuan dari kongres tersebut adalah konsolidasi partai namun diubah oleh Dewan Partai di Bogor pada 3–6 Juni 1950 yang membahas mengenai sistem federal yang tidak dapat dilanjutkan. Dalam rangka tidak melanggar keputusan kongres terlalu banyak, Natsir dinonaktifkan dari posisinya sebagai ketua umum Masyumi dan posisinya digantikan oleh Jusuf Wibisono.[butuh rujukan]

Penunjukan pertama

Setelah diratifikasi dan dilantik pada 6 September 1950, Kabinet Natsit dapat bekerja secara efektif setelah mendapatkan kepercayaan dan persetujuan program kerja dari parlemen dalam sesi 25 Oktober 1950, dengan 188 suara mendukung dan 73 suara menolak.[butuh rujukan]

Program kerja

Adapun Program Kabinet Natsir adalah sebagai berikut:

  • Mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk Dewan Konstituante dalam waktu yang singkat.
  • Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan Pemerintahan serta membentuk peralatan Negara yang bulat berdasarkan Pasal 146 di dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
  • Menggiatkan berbagai usaha untuk mencapai keamanan dan ketenteraman.
  • Mengembangkan dan memperkokoh kekuatan perekonomian rakyat sebagai dasar bagi pelaksanaan kegiatan perekonomian nasional yang sehat serta melaksanakan keragaman dan kesamarataan hak antara buruh dan majikan.
  • Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas manusia dalam hal kesehatan dan kecerdasan.
  • Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan mantan anggota-anggota tentara dan gerilya ke dalam masyarakat.
  • Memperjuangkan dan mengusahakan penyelesaian masalah perebutan wilayah Irian Barat dalam waktu yang singkat.

Implementasi program kerja Kabinet Natsir

Walaupun telah mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kabinet Natsir tidak mampu mengerjakan programnya. Parlemen yang diketuai oleh Sartono dari PNI, berperan sebagai oposisi dibandingkan sebagai pendukung pemerintah dalam perencanaan dan pengimplementasian program kabinet.

Permasalahan pemilihan umum

Salah satu program utama Kabinet Natsir adalah untuk melaksanakan pemilihan umum untuk membentuk sebuah Majelis konstituante yang bertugas merancang dan mengesahkan Konstitusi Indonesia yang sesuai dengan mandat Pasal 134 Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Untuk melaksanakan pemilihan umum, diperlukan pedoman yang diatur oleh hukum. Oleh karena itu, Kabinet Natsir melalui Menteri Kehakiman Wongsonegoro telah merancang sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum.

Ketika Kabinet Natsir melalui Menteri Kehakiman mengirimkan rancangan tersebut kepada parlemen pada Februari 1951 untuk dibahas dan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pemilihan umum. Parlemen yang dipimpin oleh PNI yang merupakan oposisi pemerintahan, tidak langsung membahas RUU tersebut. Dengan tidak membahas RUU tersebut di parlemen, RUU tersebut terbengkalai dan tidak disahkan menjadi UU. Akibatnya, pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan dikarenakan tidak adanya pedoman hukum yang berlaku pada saat itu.

Permasalahan keamanan dalam negeri

Gerilyawan Bersenjata

Ketika Kabinet Natsir mengambil alih mandat pemerintah Indonesia, permasalahan keamanan dalam negeri belum sepenuhnya pulih. Banyak kelompok bersenjata tersebar di seluruh Indonesia. Mereka mendapatkan senjata secara legal dikarenakan senjata yang digunakan merupakan hasil rampasan dari Kolonial Jepang dan Kolonial Belanda yang sebelumnya digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bersenjata tersebut diantaranya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan kelompok DI/TII di Jawa Barat, kelompok komunis "Merapi-Merbabu Complex" (MMC) di Jawa Tengah, pengikut Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Laskar Hari Liar di Sumatera Utara. Selama senjata-senjata yang digunakan oleh kelompok tersebut tidak ditertibkan, keamanan dalam negeri tidak dapat dijamin.

Lambang Republik Maluku Selatan (RMS)

Permasalahan lainnya terkait keamanan dalam negeri adalah kelompok yang menyatakan kemerdekaan dari Indonesia, terutama Republik Maluku Selatan (RMS). Soumokil memproklamasikan RMS di Ambon, Maluku pada 25 April 1950. Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah meyakinkan RMS dengan mengirim Johannes Leimena, yang juga berasal dari Ambon untuk bernegosiasi dengan RMS, namun gagal. Pada 14 Juli 1950, RIS mengirim TNI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Rijadi untuk membasmi RMS. RMS didukung oleh mantan KNIL yang terlatih dan mampu bertahan.

Ketika kabinet RIS digantikan oleh Kabinet Natsir, Pemberontakan RMS masih berlanjut. Pada 11 November 1950, pasukan TNI berhasil menguasai Benteng Victoria yang merupakan basis pertahanan RMS dan kemudian menguasai seluruh Kota Ambon.[8][9]

Permasalahan Aceh

Satu permasalahan besar lainnya yang harus diselesaikan oleh Natsir ketika menjabat sebagai Perdana Menteri adalah permintaan wilayah Aceh sebagai daerah otonomi penuh. Permasalahan tersebut memerlukan perhatian khusus dan hati-hati. Permasalahan awalnya adalah adanya pergantian pemerintahan dari serikat menjadi persatuan. Wilayah Aceh dijadikan bagian dari Provinsi Sumatera Utara, padahal sebelumnya sejak Desember 1949 Aceh telah menjadi provinsi tersendiri yang berstatus Daerah Istimewa yaitu pada masa Kabinet Hatta II. Reintegrasi wilayah Aceh ke Provinsi Sumatera Utara menimbulkan kekecewaan yang besar dan mendalam dari masyarakat Aceh. Mereka tidak menerima keputusan penggabungan dan menuntut dibentuk kembali provinsi Aceh.

Perdana Menteri Natsir mengutus Menteri Dalam Negeri, Assaat dan Menteri Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara ke Aceh untuk merundingkan penyelesaian masalah ini. Namun, tidak ada kesepakatan yang tercapai. Selanjutnya pada tanggal 27 November 1950, Wakil Presiden Mohammad Hatta datang ke Aceh untuk menyampaikan pandangannya mengenai otonomi daerah di gedung DPRD, namun pidatonya ditentang keras sehingga keesokan harinya ia harus kembali ke Jakarta karena tidak mendapat hasil.

Tuntutan masyarakat Aceh semakin meningkat. Pada tanggal 22 Desember 1950, berdasarkan keputusan rapat Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Perdana Menteri Natsir menerima telegram dari Gubernur Militer Aceh yang berisi ancaman bahwa Gubernur dan seluruh utusan kantor akan mengundurkan diri dari jabatannya jika pada tanggal 1 Januari 1951 Aceh tidak dijadikan provinsi. Natsir menjawab telegram tersebut dengan menyatakan harus menunggu sampai dia datang ke Aceh. Namun Natsir tak bisa langsung datang ke Aceh karena anak keduanya yang berusia 13 tahun, Abu Hanifah, mengalami kecelakaan saat bermain di Kolam Renang Manggarai hingga meninggal dunia.

Pada tanggal 23 Januari 1951, Natsir dan rombongannya berangkat ke Aceh. Malam harinya diadakan pertemuan formal yang dihadiri oleh 80 pejabat pemerintah daerah dan tokoh masyarakat Aceh. Tengku Muhammad Daud Beureu'eh (Gubernur Militer Aceh dan Tokoh PUSA), selaku pemimpin rapat menyampaikan kembali keinginan dan tuntutan masyarakat Aceh untuk memperoleh otonomi penuh.

Natsir dalam sambutannya menjelaskan, pemerintah pusat tidak berkeberatan untuk memenuhi keinginan Aceh, hanya saja untuk implementasinya diperlukan undang-undang yang perlu disiapkan, kemudian diserahkan ke parlemen untuk disahkan.

Pendidikan

Gagasan Natsir mengenai integrasi nasional tidak hanya terbatas pada struktur negara saja tetapi juga pada bidang lain, salah satunya adalah bidang pendidikan. Natsir melihat salah satu permasalahan besar dalam sistem pendidikan saat itu adalah dualisme antara pendidikan agama dan sistem pendidikan umum. Secara struktural, sistemnya masing-masing berada di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Natsir mencoba memberantas dualisme tersebut, namun tidak dengan pendekatan struktural seperti penggabungan dua partai, melainkan dengan pendekatan dari sudut pendidikan itu sendiri. Kabinet Natsir tampil sebagai penggerak proses konvergensi pendidikan umum dan pendidikan agama di Indonesia. Melalui kedua menteri tersebut, Kabinet Natsir mengemukakan gagasan bahwa pendidikan agama harus dilengkapi dengan pelajaran ilmu pengetahuan umum dan pendidikan agama harus dilengkapi dengan pelajaran ilmu pengetahuan umum.

Masalah Ekonomi dan Pembangunan

Salah satu program yang dinilai baik oleh Kabinet Natsir adalah di bidang ekonomi dan pembangunan. Pendukungnya antara lain adalah dua ekonom terkemuka Indonesia saat itu, yakni Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan dan Soemitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Kabinet Natsir memandang Indonesia yang baru selesai dari perang mempertahankan kemerdekaan tidaklah mudah untuk melaksanakan pembangunan dan pembangunan tidak dapat dilaksanakan dengan semangat romantisme kebangkitan nasional belaka. Untuk itu diperlukan pengkajian mendalam terhadap segala aspek, baik kelemahan maupun kelebihannya agar pembangunan dapat membuahkan hasil.

Kabinet Natsir menugaskan perusahaan riset asal Amerika Serikat, J.C. White Engineering Corp untuk melakukan studi kelayakan pembentukan Badan Perancang Nasional (BPN). Perusahaan juga diminta mencermati potensi ekonomi yang terdapat di Indonesia. Namun karena Kabinet Natsir berumur pendek, penelitian tersebut tidak dapat diselesaikan melainkan dilanjutkan oleh menteri kabinet lainnya. Belakangan, BPN yang dirancang Kabinet Natsir berkembang menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang sangat berperan dalam pembangunan Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru.

Masalah Irian Barat

Kabinet Natsir mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, Mohammad Roem pada konferensi tentang Irian Barat yang diselenggarakan di Den Haag pada tanggal 4 Desember 1950. Namun konferensi tersebut gagal karena Belanda menolak mengembalikan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia. Perundingan yang menemui jalan buntu dilanjutkan kembali pada 13-16 Desember 1950, setelah masing-masing delegasi berkonsultasi dengan pemerintah. Delegasi Indonesia mengajukan tiga rumusan, yaitu:

  1. Penyerahan kedaulatan Irian Barat dilakukan kepada Indonesia.
  2. Penyerahan pada waktu tertentu yaitu pada pertengahan tahun 1951.
  3. Sebelum penyerahan dilakukan terlebih dahulu diadakan konferensi dalam rangka menjaga berbagai kepentingan Belanda di Irian Barat.

Ketiga rumusan tersebut ditolak Belanda sehingga perundingan kembali gagal. Memperhatikan bahwa Belanda tidak berniat menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia, Perdana Menteri Natsir menyatakan di hadapan DPR bahwa status Persatuan Belanda-Indonesia perlu ditinjau ulang. Upaya yang terus digagas Kabinet Natsir dilanjutkan oleh menteri kabinet lainnya namun bernasib sama dengan Belanda yang ingin terus menguasai wilayah Irian Barat.[butuh rujukan]

Pencapaian

Rencana Sumitro

Rencana Sumitro merupakan program pengembangan ekonomi dan industri. Sasaran program ini adalah berkonsentrasi pada pengembangan industri dasar, seperti pabrik semen, perusahaan percetakan, pabrik karung, dan pabrik pemintalan.[butuh rujukan]

Kesuksesan

  1. Berhasil melakukan reorganisasi Bank Indonesia menjadi Bank Devisa Pertama.
  2. Melaksanakan reorganisasi Bank Rakyat Indonesia sehingga dapat membantu kegiatan baru di bidang perdagangan dan produksi dalam negeri.
  3. Untuk mendirikan bank baru, Bank Industri Negara untuk membiayai pembangunan jangka panjang. Bank tersebut kemudian berganti nama menjadi Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).
  4. Dapat memberikan petunjuk pendirian perusahaan baru dalam memajukan industri kecil di bidang pertanian seperti pengolahan kulit, pembuatan payung, batu bata, ubin dan keramik.
  5. Berhasil membangun industri menengah dan besar, seperti percetakan, pengiriman ulang permen karet, pabrik kertas, dan pabrik pupuk.[10]

Bergabungnya Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa

Indonesia diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-60 pada tanggal 28 September 1950.[11]

Pembubaran kabinet

  1. PNI tidak menyetujui berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1950 tentang DPRD yang dianggap hanya menguntungkan Masyumi saja.
  2. Permohonan Hadikusumo dari PNI terkait pembekuan dan pembubaran DPRD.[12]

Lihat juga

Referensi

  • Simanjuntak, P. N. H. (2003), Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi (dalam bahasa Indonesian), Jakarta: Djambatan, hlm. 116–124, ISBN 979-428-499-8. 

Catatan

  1. ^ Kabinet Natsir dibentuk dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1950 tertanggal 6 September 1950.
  2. ^ Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1951 tanggal 21 Maret 1951, Kabinet Natsir demisioner sejak 21 Maret 1951.
  3. ^ Dzulfikridin, Mohammad (2010). Mohammad Natsir—Dalam Sejarah Politik Indonesia—Peran dan Jasa Natsir dalam Dua Orde Indonesia. Bandung, Indonesia: PT Mizan Pustaka. hlm. 18. 
  4. ^ Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2A Tahun 1951 tertanggal 9 Januari 1951, Abdul Halim berhenti menjabat sebagai Menteri Pertahanan mulai tanggal 17 Desember 1950 karena alasan kesehatan.
  5. ^ Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1950 tertanggal 20 Desember 1950, Harsono Tjokroaminoto berhenti menjabat sebagai Menteri Negara mulai tanggal 31 Desember 1950 karena partainya (PSII) keluar dari kabinet.
  6. ^ Afrianto, Dedy (18 July 2019). "Diorama Kabinet "Zaken"". Kompas.id. Diakses tanggal 10 October 2019. 
  7. ^ Subarkah, Muhammad (31 August 2018). "Sukarno-Natsir:Lawan Pendapat Bukan Musuh yang Harus Dihabis". Republika.co.id. Diakses tanggal 4 September 2019. 
  8. ^ "Invasion of Ambon". The Cairns Post. 23 October 1950. Diakses tanggal 5 March 2020. 
  9. ^ "First-Hand Accound of Ambon Invasion". The West Australian. 13 December 1950. Diakses tanggal 5 March 2020. 
  10. ^ Glassburner, Bruce (1962). "Economy Policy-Making in Indonesia,1950-57". Economic Development and Cultural Change. 10 (2): 113–133. doi:10.1086/449948. JSTOR 1151906. 
  11. ^ Qodariah, Khasanah. "Demokrasi Liberal". Versi Materi Oleh D. Endarto. 1: 5 – via academia.edu. 
  12. ^ Hakiki, Paizon (February 2014). "Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal 1949-1959" (PDF). Neliti. 1: 6. 

Pranala luar


Kabinet Pemerintahan Indonesia
Didahului oleh:
Kabinet RIS
Kabinet Halim
Kabinet Natsir
1950–1951
Diteruskan oleh:
Kabinet Sukiman-Suwirjo
Kembali kehalaman sebelumnya