Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014 (disingkat Pilpres 2014) dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk masa bakti 2014-2019. Pemilihan ini menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia. Presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat maju kembali dalam pemilihan ini karena dicegah oleh undang-undang yang melarang periode ketiga untuk seorang presiden.[1][2] Menurut UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau memenangi 25% suara populer dapat mengajukan kandidatnya. Undang-undang ini sempat digugat di Mahkamah Konstitusi, tetapi pada bulan Januari 2014, Mahkamah memutuskan undang-undang tersebut tetap berlaku.[3][4] Pemilihan umum ini akhirnya dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan memperoleh suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85% sesuai dengan keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014.[5] Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Latar belakangPasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut, 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Calon
Kandidat dari Koalisi Merah Putih
Prabowo Subianto yang menjadi calon wakil presiden bagi Megawati pada 2009 menyatakan maju dalam pemilihan presiden berikutnya.[9] Dia diusulkan Partai Gerindra sebagai kandidat presiden melalui kongres luar biasa.[10] Usai pencalonannya, PKS turut mendukung Prabowo dengan mendorong kader internalnya sebagai pendamping.[11] Pada akhirnya, ia memilih Menteri Koordinator Bidang Perekonomian periode 2009–2014 yang juga Mensesneg (2007–2009), Menhub (2004–2007), Menristek (2001–2004), dan mantan anggota DPR RI, yaitu Hatta Rajasa dari PAN.[12] Keduanya dideklarasikan pada 19 Mei 2014 dengan didukung oleh Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PBB.[13] Mayoritas partai pengusung adalah partai anggota sekretariat gabungan di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Gerindra yang selama ini beroposisi membentuk koalisi bersama partai propemerintah yang dinamai Koalisi Merah Putih. Saat itu, Golkar mengusungnya tidak lain karena akan diberi mandat pada posisi "menteri utama" yang diisi oleh Aburizal Bakrie, ketua umum partai ketika itu.[14][15] Selain menteri, mereka juga akan memberi mandat kepada Mahfud MD selaku ketua tim kampanye sebagai jaksa agung apabila terpilih.[16] Kandidat dari Koalisi Indonesia Hebat
Megawati Soekarnoputri secara potensial masuk bursa pencalonan presiden 2014. Ia menyatakan kesediaannya untuk maju menjadi kandidat presiden jika dikehendaki rakyat.[17] Begitu pula anaknya yang juga anggota DPR RI, Puan Maharani yang turut berpotensi dicalonkan PDI-P.[18] Pada akhirnya, nama Jokowi ditetapkan sebagai calon presiden sejak akhir 2013 oleh ketua umumnya, Megawati.[19] Joko Widodo merupakan Wali Kota Surakarta periode 2005–2012 dan Gubernur petahana DKI Jakarta saat itu dicalonkan oleh PDI-P sebagai kandidat presiden.[20] Sebelumnya, nama Jokowi tidak diperhitungkan dalam pencalonan presiden. Namun, spekulasi muncul pasca kemenangan Jokowi di DKI Jakarta pada pemilihan gubernur 2012 yang mendorong pencalonannya di tingkat nasional.[21] Pencalonannya ditanggapi oleh mantan Wakil Presiden ke-10 Indonesia, Jusuf Kalla yang mengkritik Jokowi agar menuntaskan tugas dan tanggung jawabnya di Jakarta.[22] Kelak justru Jusuf Kalla didorong oleh PKB sebagai pendamping bagi Jokowi.[23] Kemudian, ia dipilih menjadi wakil Jokowi yang justru tidak didukung oleh partainya, Golkar.[24] Mereka dicalonkan oleh koalisi yang mayoritas partai pengusung merupakan oposisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kandidat dari Partai Demokrat
Pada 2013, Partai Demokrat menggelar konvensi calon presiden secara semi terbuka untuk menjaring kandidat yang layak diusung sebagai calon presiden dari Demokrat, baik dari kader internal maupun eksternal.[25] Saat itu, Demokrat menjadi partai pemenang pemilihan umum tahun 2009 dengan memperoleh 13,4% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu peserta konvensi, Dahlan Iskan ditetapkan sebagai pemenang konvensi, beberapa hari setelah pemilihan legislatif berakhir. Namun, Partai Demokrat memutuskan tidak mencalonkan Dahlan setelah gagal mencapai ambang batas presiden sebesar 20% kursi atau 25% suara pada pemilihan umum 2014.[26] Pasca pemilihan legislatif, Demokrat menetapkan pilihan untuk netral dalam pemilihan presiden 2014.[27] Pada akhirnya, Demokrat mendukung pencalonan Prabowo-Hatta.[7] LainnyaSebelum pemilihan umum legislatif tanggal 9 April 2014, tokoh-tokoh berikut telah terlebih dahulu menyatakan pencalonan diri sebagai calon Presiden. Setelah pemilihan umum legislatif selesai digelar, mereka mengurungkan niat setelah partainya gagal mencapai batas suara/kursi yang diperlukan agar bisa mencalonkan seorang Presiden. Beberapa di antaranya akhirnya memutuskan untuk mendukung salah satu pasangan calon resmi yang ditetapkan KPU.
PotensialBerikut ini adalah tokoh-tokoh selain calon resmi yang pernah disebut-sebut potensial sebagai calon Presiden. Tokoh yang disebut sebagai calon potensial (per awal tahun 2014) adalah:
Beberapa di antaranya memutuskan untuk tidak mencalonkan diri sebagai calon Presiden. Namun, ada juga yang akhirnya bergabung ke salah satu calon Presiden dan calon Wakil Presiden resmi yang ditetapkan KPU. Garis waktuCatatan: Garis waktu berikut ini mencakup pemilihan umum legislatif pada pertengahan 2014 dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pemilihan umum presiden.
Gugatan Pra PilpresPada tanggal 23 Januari 2014, Yusril Ihza Mahendra dan Effendi Ghazali melakukan gugatan atas peraturan pengajuan calon presiden dan syarat penetapan calon presiden ke Mahkamah Konstitusi. Awalnya calon presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat suara setelah pelaksanaan Pemilu legislatif. Menurut Yusril, seharusnya pengajuan ini tidak disertai ambang batas presiden (presidential threshold). Namun MK menolak sebagian gugatan, dan mengabulkan sebagian tuntutan dengan melaksanakan Pilpres dan Pileg serentak mulai 2019.[41] Koalisi Partai PolitikKontroversi Koalisi Merah Putih Pra Pilpres 2014Partai Golongan Karya
Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional) Golkar pada tanggal 18 Mei 2014 memutuskan untuk mengusung Aburizal Bakrie sebagai Calon Presiden ataupun Calon Wakil Presiden serta memberikan kewenangan kepada Aburizal Bakrie untuk menentukan arah kebijakan politik dan koalisi.[42] Golkar sebagai parpol yang menempati tempat kedua dalam Pileg 2014 (setelah PDIP) dengan perolehan 91 kursi (14,75%), di prediksi akan membangun poros tengah bersama partai Demokrat untuk mengimbangi kekuatan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta,[43] namun kenyataannya, ketua umum Golkar Aburizal Bakrie lebih memilih bergabung dengan koalisi Prabowo-Hatta dengan meminta jatah "Menteri Senior" sehingga bertentangan dengan hasil Rapat Pimpinan Nasional Golkar 2014.[44] Keputusan Aburizal Bakrie untuk bergabung dengan Prabowo-Hatta membuat kecewa banyak kader Golkar di daerah, yang beranggapan bahwa sebagai salah satu partai pemenang Pemilu seharusnya Golkar mengajukan calon Presiden ataupun calon Wakil Presiden, tetapi malah tidak menjadi apa-apa. Keputusan itu juga menghancurkan impian akan terbentuknya "Poros Tengah" dan meninggalkan Partai Demokrat sebagai partai terakhir yang masih belum menentukan arah pilihan koalisi.[butuh rujukan] Pada tanggal 30 Juni 2014, melalui ketua harian Partai Demokrat Syarief Hasan menyatakan siap mendukung dan memenangkan Prabowo-Hatta.[butuh rujukan] Muhammad Jusuf Kalla yang notabene adalah kader senior dari partai Golkar dicalonkan sebagai Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo terbukti mempengaruhi solidaritas di internal "Partai Beringin" ini.[butuh rujukan] Jusuf Kalla yang mempunyai segudang pengalaman di pemerintahan mulai dari jabatan menteri hingga Wakil Presiden, mempunyai pengaruh besar terhadap simpatisan dan kader Golkar di tingkat provinsi dan daerah.[butuh rujukan] Walaupun elit Golkar menyatakan dukungan resmi dan terbuka terhadap kubu Prabowo-Hatta, kenyataan berkata lain karena kader Golkar di daerah banyak yang memilih Jokowi-JK sebagai pilihan Presiden. Kuatnya sosok Jusuf Kalla karena ia sangat dihormati dan disegani di intenal partai Golkar. Aburizal Bakrie yang memutuskan untuk bergabung dengan Prabowo-Hatta melihat Jusuf Kalla sebagai ancaman akan ketidak kompakan dan krisis solidaritas di internal partai Golkar. Konflik muncul bermula saat ia memecat 3 kader golkar yang tidak mendukung Prabowo-Hatta, mereka adalah anggota DPR dari Partai Golkar, Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Bendahara DPP Golkar Nusron Wahid, serta Poempida Hidayatulloh.[45] Pemecatan terhadap 3 kader muda Golkar itu merupakan awal benih perpecahan di internal partai beringin yang berakumulasi menjadi rencana pemecatan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar. Banyak internal kader Golkar yang menilai pemecatan terhadap 3 kader golkar tersebut tidak sesuai dengan AD/ART dan prosedur partai. Sosok Aburizal Bakrie yang fenomenal dengan kasus "luapan Lumpur Lapindo" di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur merupakan beban yang harus di tanggung oleh Koalisi Merah Putih. Saat Aburizal Bakrie bergabung dalam kubu Prabowo-Hatta, masyarakat Jawa Timur enggan memberikan dukungannya kepada pasangan tersebut.[46] Berdasarkan data pemilihan legislatif 2014, kubu Prabowo Hatta diramalkan unggul di Jawa Timur dengan total 46 kursi parlemen (PKS 2 kursi; Golkar 11; Gerindra 11 kursi; Demokrat 11 kursi; PAN 7 kursi; PPP 4 kursi) dan kubu Jokowi-JK hanya 41 kursi parlemen (Nasdem 7 kursi; PKB 15 kursi; PDI Perjuangan 17 kursi; Hanura 2 kursi).[47] Berdasarkan data resmi KPU, Pasangan Jokowi-JK menang di Jawa Timur dengan perolehan 53.17%. Partai Persatuan PembangunanSebelum Koalisi Merah Putih terbentuk, Partai Persatuan Pembangunan mempunyai masalah dalam hal krisis kepemimpinan di dalam internal partai berlambang Kabah tersebut. Polemik di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berawal dari kedatangan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali dalam kampanye akbar Partai Gerindra di Gelora Bung Karno, Senayan pada tanggal 23 Maret 2014.[48] Kehadiran Suryadharma Ali untuk mendukung Prabowo adalah keputusan sepihak tanpa melalui prosedur parpol, sehingga menimbulkan polemik di lapisan bawah kader PPP di mana Prabowo tidak masuk dalam satu di antara delapan bakal capres yang ditetapkan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PPP di Bandung.[49] Atas sikap tersebut, sebanyak 27 dewan pimpinan wilayah (DPW) PPP mendesak agar Suryadharma segera dijatuhi sanksi, mulai dari pemberhentian sementara hingga pemecatan. Pengurus wilayah PPP protes lantaran sikap Suryadharma itu dianggap melecehkan usaha yang tengah dibangun kader di akar rumput di mana saat para kader PPP berjuang untuk memenangkan PPP, Suryadharma justru membelot ke partai lain.[50] Atas desakan tersebut, Suryadharma memecat Waketum PPP dan empat Ketua DPW, yaitu Suharso Monoarfa dari jabatan Wakil Ketua Umum PPP, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP Jawa Barat Rachmat Yasin, Ketua DPW Jawa Timur Musyaffa Noer, Ketua DPW Sumatera Utara Fadli Nursal, Ketua DPW Sulawesi Selatan Amir Uskara, dan Sekretaris DPW Kalimantan Tengah Awaludin Noor.[51] Setelah pemecatan dilontarkan oleh Suryadharma Ali, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terbagi menjadi dua kubu yakni kubu yang mendukung keputusan Suryadharma Ali untuk menjalin koalisi dengan Prabowo dan kubu yang menentang. Internal PPP menganggap bahwa Suryadharma Ali telah bertindak otoriter dengan memecat kader tanpa prosedur yang jelas dan membuat arah koalisi tanpa melalui proses rapimnas.[52] Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi menjelaskan PPP merupakan sebuah partai yang memiliki aturan dan konstitusinya sendiri. Menurutnya, tidak ada seorang pun di dalam partai yang bisa menempatkan dirinya di atas aturan dan konstitusi tersebut.[53] Rapat Pimpinan Nasional (rapimnas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berakhir Minggu pada tanggal 20 April 2014 dini hari memutuskan untuk memberhentikan sementara Suryadharma Ali dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP PPP. Alasan pemberhentian Suryadharma karena dia tidak bersedia menghadiri Rapimnas.[54] Pada tanggal 24 April 2014, Partai Persatuan Pembangunan mengadakan Musyawarah Kerja Nasional III (Mukernas III) PPP di Hotel Seruni, Cisarua, Bogor. Suryadharma Ali tidak disambut oleh para petinggi PPP yang sudah berada di meja pimpinan rapat. Tak terdengar juga ada tepuk tangan atau antusiasme dari para peserta. Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi, yang dalam mukernas ini didaulat sebagai pelaksana tugas ketua umum sekaligus penyelenggara mukernas. Emron terlihat mendapatkan sambutan yang berbeda. Saat masuk ke ruang mukernas, Emron terlihat langsung disambut tepuk tangan para peserta. Dia juga langsung dipersilakan untuk naik ke meja pimpinan rapat.[55] Dalam pertermuan itu Kubu Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali dan kubu Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy alias Romy kembali bersepakat untuk melakukan islah. Dalam kesempatan itu, Suryadharma Ali mengungkapkan permintaan maafnya kepada semua kader PPP yang hadir dalam Mukernas dan kepada mayarakat atas kisruh yang terjadi di internal PPP. Ia mengaku salah karena telah melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Namun jabatan ketua umum Suryadharma Ali di persingkat dan akan berakhir pada Oktober 2015. Pada tanggal 12 Mei 2014, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melaksanakan rapat pimpinan nasional yang akhirnya resmi memutuskan arah koalisinya ke Prabowo Subianto. Keputusan koalisi PPP ke Prabowo dilakukan secara musyawarah mufakat yang melibatkan 33 Dewan Pimpinan Wilayah PPP seluruh Indonesia.[56] Pada masa kampanye pemilihan Presiden 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013.[57] Sebelumnya, bakal calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, memuji kinerja Suryadharma sebagai Menteri Agama. Prabowo menilai, penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama setiap tahunnya sudah sangat baik.[58] Penetapan Suryadharma Ali sebagai tersangka dalam masa kampanye menambah sentimen negatif terhadap Koalisi Merah Putih. Partai DemokratPartai Demokrat merupakan partai pemenang pemilu 2009 di mana Partai Demokrat mengantongi 20,85% suara atau 150 anggota legislatif, akan tetapi pada pemilihan legislatif 2014, Demokrat hanya mampu mengantongi 10,19% suara atau 61 anggota legislatif. Suara partai demokrat berguguran di setiap lini lumbung suara Demokrat, akibatnya partai Demokrat tidak mampu mengajukan calon presiden tetapi harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengajukan capres. Terlepas dari suara Demokrat yang terjun bebas tidak dapat dipisahkan dengan rentetan kasus korupsi yang melibatkan pentolan kader demokrat di saat itu,[59] sebut saja:
SBY yang kala itu menjabat sebagai ketua umum demokrat menyatakan akan bersikap netral atau tidak akan bergabung secara formal dengan kubu capres Jokowi atau kubu capres Prabowo dalam pemilu presiden nanti, tetapi SBY meminta kepada kader Demokrat untuk tidak golput. Pernyataan resmi Partai Demokrat ini sesuai dengan hasil Rapimnas Partai Demokrat pada 17 Mei 2014 lalu, di mana Demokrat akan bersikap netral dalam pemilu presiden Juli nanti.[61] Demokrat gagal membentuk poros baru lantaran perolehan suara di pemilu legislatif hanya sekitar 10 persen, sehingga konvensi partai Demokrat untuk mengusung calon Presiden menjadi tidak relevan. Partai Demokrat kemudian berusaha membuka wacana untuk membangun poros tengah bersama partai Golkar demi mengimbangi kekuatan Jokowi-JK ataupun Prabowo-Hatta, tetapi keinginan itu harus kandas di tengah jalan karena Demokrat ditinggalkan partai Golkar yang lebih memilih menerima tawaran "Menteri Senior" dari kubu Prabowo-Hatta.[43] Ini berakibat pada partai Demokrat menjadi partai terakhir yang belum menentukan sikap akan arah pilihan politik. Dukungan informil partai Demokrat terhadap Prabowo-Hatta mengalir saat Pasangan capres-cawapres dari koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta memaparkan visi misinya di depan elite dan kader Partai Demokrat di Hotel Sahid Jaya, Bogor. Akan tetapi SBY tidak hadir dalam acara tersebut demi menjaga netralitas sebagai seorang Presiden.[62] Akan tetapi, beberapa tokoh Demokrat justru merapat ke pasangan Jokowi-JK atas nama dukungan pribadi, antara lain:
SBY sebagai ketua umum Demokrat menghargai hak setiap kader untuk menentukan pilihan politik masing-masing, oleh karena itu tidak ada kader yang di pecat karena berbeda haluan dan tidak ada benih perpecahan dalam kader internal Demokrat. Dengan demikian terlihat jelas bahwa Partai Demokrat tidak solid dalam mendukung koalisi merah putih. Kontroversi Koalisi Tanpa Syarat Pra Pilpres 2014Muhammad Jusuf Kalla (JK)Pada tanggal 19 Mei 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hanura mendeklarasikan penetapan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan calon wakil presiden di Gedung Joang 45, Menteng.[63] Jusuf Kalla terpilih menjadi Calon Wakil Presiden dengan menyingkirkan kandidat kuat lainnya yakni Mahfud MD dan Ryamizard Ryacudu. Pada saat itu, partai Golkar belum resmi memutuskan sikap politiknya apakah akan mengusung capres atau bergabung dengan koalisi. Melalui proses negosiasi yang panjang dan berliku, pada akhirnya Ketua umum Golkar Aburizal Bakrie memutuskan untuk bergabung dengan kubu Prabowo-Hatta dengan meminta jatah "Menteri Senior" daripada mendukung rekan separtainya yang maju sebagai Cawapres. Jusuf Kalla dianggap sebagai sosok yang fenomenal karena karena ia tidak di dukung secara resmi oleh partai yang membesarkannya (partai Golkar), akan tetapi Jusuf Kalla mampu memecah kekuatan Golkar dengan mendapat dukungan dari kader dan simpatisan Golkar di akar rumput. Penetapan Jusuf Kalla sebagai Calon Wakil Presiden mendapat beragam kritik dari pengamat politik, salah satu nya adalah pengamat politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit. Arbi Sanit menyatakan bahwa Jokowi dan Jusuf Kalla akan sulit bekerja sama dan bahkan berpotensi untuk menyandera Jokowi. Ia menambahkan, Jusuf Kalla suka bertindak sendiri tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan pasangannya, sehingga berpotensi memunculkan "matahari kembar". Arbi Sanit memperkirakan JK akan mengulangi skenario pemerintahan 2004-2009 di saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.[64] Dalam pernyataan resminya, Jusuf Kalla menampik hal tersebut, "Kalau kami ibarat kereta, kami kereta yang mesinnya lebih kuat. Dan bagaikan matahari, kami matahari yang sinarnya lebih kuat bukan dua matahari".[65] Pada saat masa kampanye, beredar video wawancara Jusuf Kalla dengan salah satu stasiun televisi swasta yang menyatakan "Kalau Jokowi Tiba-Tiba Jadi Presiden Bisa Hancur Negeri Ini", video inilah dijadikan alat propaganda oleh pihak lawan dengan menayangkannya berulang kali di beberapa stasiun swasta dan media cetak.[butuh rujukan] Namun, dalam pernyataan resminya, Jusuf Kalla menyatakan bahwa pernyataan itu dia keluarkan saat Jokowi baru 3-4 bulan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sehingga Jokowi dianggapnya belum memiliki kapasitas mumpuni sebagai calon Presiden.[66] Jusuf Kalla terbukti mempunyai kepiawaian dalam menangani masalah konflik di beberapa daerah di Indonesia, antara lain Poso, Ambon, dan Aceh, sehingga diduga penduduk setempat mempunyai ikatan emosional dengan sosok Jusuf Kalla.[67] Namun kenyataannya perolehan suaranya tidak menang di Aceh dan Maluku Utara. SurveiSurvei yang dilakukan beberapa waktu sebelum pemungutan suara Pemilu Presiden dilakukan oleh lembaga survei yang terdaftar maupun tidak terdaftar Komisi Pemilihan Umum (KPU). Survei dilakukan untuk mengukur pandangan publik terhadap para bakal / calon Presiden.
KampanyeKampanye Pemilu Presiden 2014 dimulai pada 4 Juni hingga 5 Juli 2014 dalam rapat umum terbuka dan debat calon. Dana KampanyeDi bawah ini adalah dana kampanye para calon Presiden selama kampanye Pilpres 2014 yang dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum pada 19 Juli 2014.
Debat CalonBerikut adalah daftar debat calon yang diselenggarakan selama kampanye Pilpres 2014.
Beberapa isu menjadi kontroversi dalam debat-debat tersebut. Antara lain saat Jokowi memunculkan istilah tol laut yang disalahpahami sebagai jalan tol di atas laut yang melintasi seluruh nusantara.[68] Prabowo memunculkan kontroversi mengenai kebocoran anggaran yang kemudian diralat kembali sebagai kerugian potensial.[69] Selain itu, Prabowo juga membuat sebuah kejutan ketika ia menyatakan dukungan kepada Jokowi ketika berbicara tentang pengembangan ekonomi kreatif.[70] Jusuf Kalla menimbulkan kontroversi setelah meralat sendiri bahwa UN tidak akan dibatalkan.[71] Sementara Hatta Rajasa menimbulkan kontroversi setelah salah membedakan penghargaan Kalpataru dengan Adipura dalam debat putaran terakhir.[72] Kampanye di GBKRespon masyarakat terhadap kedua calon terlihat saat kampanye terbuka di Gelora Bung Karno. Kubu Prabowo pada 22 Juni 2014 memilih untuk mengadakan orasi di panggung dengan menggunakan identitas baju putih dan mengumpulkan massa dari berbagai perwakilan partai politik dan organisasi buruh.[73] Sementara Kubu Jokowi pada 5 Juli 2014 memilih kampanye dalam bentuk konser yang mengundang relawan dari siang hingga malam hari dengan diisi penampilan berbagai selebriti. Jokowi sendiri hanya muncul di saat akhir dengan memberi sambutan pendek.[74] Fenomena PanasbungKedua pihak saling bertukar tuduhan adanya relawan berbayar, khususnya di media sosial, atau populer dengan akronim panasbung, pasukan nasi bungkus.[75][76][77] Tim Prabowo pada beberapa kesempatan mengakui adanya bantuan dana operasional,[78] sementara kubu Jokowi - JK konsisten menyatakan relawannya tidak dibayar hingga hari-hari terakhir kampanye[79] Setelah pemilihan, juga terungkap pengakuan dari Perhimpunan Kebangkitan Suara Indonesia (PKSI) di Kabupaten Jember, Jawa Timur yang mendukung Hatta Rajasa, bahwa mereka tidak menerima bayaran yang dijanjikan.[80] Penghitungan dan hasilSetelah pilpres 9 Juli 2014, Joko Widodo atau Jokowi mengklaim kemenangannya berdasarkan hitung cepat suara dari beberapa wilayah. Banyak lembaga survei independen yang mengunggulkan Jokowi (52-53% suara versus 46-48% suara untuk Prabowo).[81] Prabowo juga mengklaim kemenangannya sambil mengutip lembaga survei lain.[82] Menjelang pengumuman hasil resmi oleh Komisi Pemilihan Umum, Prabowo meminta KPU menunda pengumumannya selama dua minggu agar partainya bisa memeriksa dugaan manipulasi proses pemungutan suara. Permintaan ini ditolak oleh KPU.[83] Kubu Prabowo juga menuntut diadakannya pemungutan suara ulang di sejumlah wilayah.[84] Namun demikian, beberapa pendukung Prabowo mengucapkan selamat kepada Jokowi atas pemilihannya. Politikus PAN, Hanafi Rais, tiga hari sebelum hasil resmi diumumkan, mengirimkan sebuah pernyataan pers yang isinya, "kami mengucapkan selamat kepada Bapak Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang akan memegang tampuk kepemimpinan nasional dalam waktu 5 tahun mendatang".[85] Pada hari yang sama, ketua tim kampanye Prabowo, Mahfud M.D., mengembalikan mandatnya kepada Prabowo dan menyatakan bahwa pemilihan umum sudah berakhir.[85] Khawatir karena ketegangan antarpartai pernah mengakibatkan kerusuhan yang berujung pada jatuhnya mantan presiden Soeharto, pemerintah Indonesia mengerahkan lebih dari 250.000 personel polisi di seluruh Indonesia. Di Jakarta Pusat, ratusan polisi ditempatkan di sekitar gedung KPU. Kerumunan pendukung Prabowo melakukan unjuk rasa damai di dekat gedung KPU.[86] Hitung cepatProses hitung cepat dimulai pada tanggal 9 Juli 2014 oleh berbagai lembaga survei. Hasil hitung cepat
Perbedaan hasil hitung cepat menghasilkan perdebatan mengenai keabsahan beberapa lembaga yang melakukan perhitungan. Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI) merasa harus mengadakan audit terhadap metode yang digunakan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah naungannya. JSI dan Puskaptis mengabaikan panggilan ini. Hasilnya, JSI dan Puskaptis dikeluarkan dari keanggotaan Persepi karena dianggap tidak memiliki itikad baik untuk mempertanggungjawabkan kegiatan ilmiah yang sudah menimbulkan kontroversi di masyarakat.[90] Sementara RRI yang juga ikut mengadakan hitung cepat dengan hasil yang hampir mendekati hasil rekapitulasi KPU, baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, juga mendapatkan tekanan politis dari Komisi I DPR RI yang mempertanyakan aktivitas RRI dalam melakukan survei yang dianggap "tidak sesuai" dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Oleh karena itu, Komisi I berencana akan melakukan pemanggilan terhadap direksi RRI[91] yang akhirnya menimbulkan kecaman dari masyarakat dan jurnalis.[92] Real countSelain hitung cepat, beberapa kelompok independen maupun organisasi dan partai mendukung juga melakukan perhitungan yang di media disebut real count (dari bahasa Inggris yang artinya "hitung sesungguhnya"). Berbeda dengan hitung cepat yang mengambil sampel secara statistik, real count berusaha mengumpulkan data dari seluruh pemilih atau TPS, atau mendekati seluruhnya. Ada yang menggunakan data dari KPU, dan ada juga yang menggunakan input dari saksi-saksi relawan partai dan tim sukses di TPS. Situs KawalPemilu.org termasuk salah satu situs yang memulai melansir hasil real count. Situs ini dibuat oleh sekelompok ahli teknologi informasi Indonesia yang berdomisili di luar negeri, dan meluncurkan hasil awalnnya pada 14 Juli. Input situs ini berasal dari hasil TPS di formulir C1 yang dilansir oleh KPU, dan didigitalisasi oleh sekitar 700 relawan.[93] Beberapa hari kemudian, hasil rekapitulasi KPU dalam bentuk data DA1, DB1 dan DC1 dilansir KPU dalam bentuk digital, dan beberapa situs lain dan media juga melakukan real count berdasarkan data-data ini. Pihak Prabowo-Hatta menggunakan real count yang dilakukan oleh PKS. Berbeda dengan hasil hitung cepat maupun real count lainnya, perhitungan ini menunjukkan keunggulan tipis Prabowo-Hatta. Namun sempat terjadi kontroversi karena publikasi hasil real count sementara pada 9 Juli 2014 sama persis dengan publikasi hasil exit poll yang dilakukan pada tanggal 5 Juli 2014.[94] Setelahnya, kubu Prabowo Hatta tidak pernah lagi mempublikasikan hasil real count. Mahfud MD menyatakan hasil perhitungan tersebut rahasia,[95] meskipun kemudian ia mengakui tidak pernah melihat data itu.[96] Di lain pihak, Sekretaris Jenderal DPP Partai Keadilan Sejahtera Taufik Ridho beralasan menghentikan publikasi Real Count karena ingin mematuhi himbauan Komisi Penyiaran Indonesia.[97] Sementara dari pihak Jokowi-Jusuf Kalla, real count dilakukan baik oleh internal PDIP[98] maupun di gedung DPP Partai Nasdem.[99] Berikut adalah perbandingan hasil perhitungan beberapa kelompok relawan dibandingkan dengan hasil rekapitulasi KPU.
Penarikan diri PrabowoPada tanggal 22 Juli 2014, hari pengumuman hasil resmi oleh KPU, Prabowo menyatakan menarik diri dari proses pemilihan umum setelah sebelumnya menegaskan kemenangannya sejak hasil hitung cepat dirilis. Ia mengatakan bahwa rakyat Indonesia "kehilangan hak-hak demokrasi" karena "telah terjadi kecurangan masif dan sistematis",[100] dan menyatakan bahwa ia dan Hatta "menggunakan hak konstitusional kami yaitu menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum".[83] Pidatonya yang disiarkan langsung berimplikasi bahwa ia akan menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi.[100][100] Beberapa laporan memperdebatkan seputar apakah Prabowo mengundurkan diri dari proses pemilu atau menolak hasil resminya saja.[84] Menurut Douglas Ramage dari Bower Asia Group Jakarta, legitimasi proses pemilihan umum dipertanyakan untuk pertama kalinya sejak era reformasi dimulai tahun 1998. Ramage menyatakan bahwa Indonesia sedang memasuki "wilayah tak terjamah".[83] Keabsahan penolakan Prabowo belum jelas karena apabila ia menyatakan mundur, maka ia tidak lagi dianggap sebagai calon presiden.[83] Menurut The Jakarta Post, selisih suara sebesar 6,3 persen akan menyulitkan Prabowo menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.[101] Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo bisa dipidana dengan kurungan penjara paling lama 6 tahun dan denda 100 miliar rupiah karena mengundurkan diri.[83][100] Seusai pengumuman tersebut, nilai tukar rupiah Indonesia jatuh 0,3 persen, dan JSX Composite jatuh 0,9 persen.[84] Para pengamat menolak tuduhan kecurangan yang dilemparkan Prabowo dan mengatakan bahwa pemilihan umum berlangsung "adil dan bebas". Maswadi Rauf dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa "tidak ada tanda-tanda kecurangan" dan pengunduran Prabowo mencerminkan "sikap asli kalangan elit yang tidak siap kalah".[102] PengumumanMenyusul pengunduran Prabowo, saksi-saksinya juga meninggalkan acara pengumuman hasil pemilu oleh KPU. Akan tetapi, penghitungan resmi terus berlanjut, dan Ketua KPU, Husni Kamil Manik, mengatakan bahwa mereka sudah memenuhi kewajibannya untuk mengundang para saksi.[103] Kemenangan Jokowi sudah diprediksi[84] dan terbukti beberapa jam kemudian karena jadwal pengumuman yang awalnya ditetapkan pukul 16:00 mundur empat jam.[103] KPU menyatakan bahwa Jokowi memperoleh 53,15 persen suara (mewakili 70,99 juta pemilih) dan Prabowo memperoleh 46,85 persen suara (62,57 juta pemilih).[101] Kubu Prabowo tetap menolak hitungan KPU dan menyatakan bahwa mereka lebih memercayai hasil yang diberikan PKS ketimbang KPU.[104] Pasca pengumuman, Jokowi mengatakan bahwa seumur-umur hidup di bawah pemerintahan Orde Baru, ia tidak pernah membayangkan seseorang berlatar kelas bawah bisa naik menjadi presiden. The New York Times melaporkan bahwa Jokowi berkata, "Sekarang sudah seperti Amerika. Kita kenal yang namanya impian Amerika, dan di sini ada impian Indonesia".[105] Jokowi adalah presiden Indonesia pertama yang tidak berasal dari kalangan militer atau elit politik yang terkait dengan Soeharto. Pengamat politik Salim Said menyebut Jokowi sebagai "tetangga kita yang memutuskan terjun ke dunia politik dan mencalonkan diri sebagai presiden".[105] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono memberikan ucapan selamat kepada Jokowi sesaat setelah penetapan KPU. Selain itu, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, juga memberikan ucapan selamat di Twitter beberapa menit setelah penetapan tersebut dan berharap kinerja Jokowi selanjutnya dapat memperkuat hubungan antara kedua negara tersebut.[106] Selain Presiden dan Wapres petahana, serta Perdana Menteri Singapura, ucapan selamat kemudian mengalir dari berbagai kepala pemerintahan dan perwakilan berbagai negara di dunia terhadap Presiden dan Wakil Presiden terpilih, di antaranya Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe,[107] dan sebagainya. Hasil resmiHasil resmi memperlihatkan kemenangan pasangan Jokowi - Jusuf Kalla, sekaligus mengkonfirmasi beberapa lembaga yang mengadakan survei, exit poll, dan quick count, serta kelompok-kelompok relawan yang membantu penghitungan real count dengan angka kemenangan 53,15% dan Prabowo - Hatta Rajasa sebesar 46,85% Selain itu angka golput tercatat sebesar 30,42%.
Gugatan Pasca PilpresKubu Prabowo-Hatta Rajasa mengajukan beberapa gugatan atas hasil pemilihan ini, yaitu ke DKPP dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, koalisi merah putih di DPR juga berencana meluncurkan pansus pilpres yang akan memanggil KPU.[111] Namun Kubu Prabowo-Hatta Rajasa membantah bahwa pansus ini digunakan untuk membatalkan hasil pemilihan umum, melainkan memperjuangkan pelaksanaan Pemilu yang lebih baik pada masa depan[112] Selain itu juga ada rencana mengajukan gugatan ke PTUN dan MA jika gugatan ke MK tidak dikabulkan [113] Gugatan ke Mahkamah KonstitusiGugatan ke Mahkamah Konstitusi dimasukkan pada tanggal 25 Juli 2014 dengan klaim kemenangan seharusnya ada di pihak Prabowo dengan 67.139.153 atau 50,25 persen suara dan 66.435.124 atau 49,75 persen suara untuk pasangan nomor urut 2. Selisihnya 704.029 suara [114] Tim Hukum Prabowo juga sempat mengklaim bukti sebanyak 10 truk,[115] yang kemudian berkurang menjadi 15 mobil lapis baja, dan berkurang lagi menjadi 3 bundel[116] Gugatan ini diunggah ke situs Mahkamah Konstitusi sehingga menimbulkan banyak kritikan akibat banyaknya kesalahan ketik, struktur penulisan, dan penjumlahan angka-angka di gugatan tersebut.[117] Pada tanggal 7 Agustus, gugatan tersebut diperbaiki dan dikirimkan ulang kepada MK.[118] Selain itu, bukti-bukti baru juga ditambahkan sebanyak 76 bundel ditambah klaim adanya 2000 saksi.[119] Namun MK membatasi saksi sejumlah 25 di tiap sidang karena keterbatasan waktu.[120] Inti gugatan Prabowo adalah adanya kejanggalan jumlah DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan),[121] pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM),[122] mempermasalahkan sistem noken di Papua,[123] serta hasil penghitungan yang seharusnya memenangkan Prabowo - Hatta sebesar 50,25 persen.[124] Saat memberikan kesaksian, saksi kubu Prabowo juga mengklaim merasa diancam saat Pemilu berlangsung.[125] Pada tanggal 21 Agustus 2014, MK memutuskan "menolak secara keseluruhan" seluruh gugatan tim hukum Prabowo - Hatta.[126][127] Gugatan ke DKPPKubu Prabowo juga mendaftarkan gugatan kepada Dewan Kerhormatan Penyelenggara Pemilu pada tanggal 1 Agustus 2014, dengan mempermasalahkan pembukaan kotak suara oleh KPU pada 30 Juli 2014 sebelum keluarnya persetujuan Mahkamah Konstitusi.[128] Namun Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie menyatakan gugatan ini hanya terkait masalah etika individu di KPU, sehingga tak akan mempengaruhi hasil pilpres.[129] Pada tanggal 21 Agustus 2014, DKPP memutuskan memberi peringatan kepada Ketua KPU karena tidak memimpin rapat dan tidak menandatangani SK No 453/Kpts/KPU/2014 tanggal 31 Mei 2014 tentang penetapan capres dan cawapres,[130] pemecatan 2 komisioner KPU Kabupaten Serang karena menerima suap dari Gerindra,[131] memecat seluruh anggota KPUD Dogiyai karena tidak menindaklanjuti rekomendasi Panwaslu Kabupaten Dogiyai dan menggunakan Form DB-1 untuk Pileg bukan Form DB-1 Pilpres,[132] peringatan keras kepada lima anggota KPU Kabupaten Halmahera Timur karena tidak melakukan sosialisasi dan pemberitahuan kepada masyarakat Desa Soasangaji bahwa akan dilakukan PSU di TPS 1 dan TPS 2 di desa tersebut sehingga masyarakat tidak hadir,[133] memecat dua anggota Panwaslu Banyuwangi karena menggunakan fasilitas negara yang diduga digunakan untuk kegiatan kampanye salah satu kandidat.[134] DKPP juga memecat satu anggota KPU Samosir, satu orang anggota KPU Minahasa Utara, tujuh orang di KPU Kota Tual, dan dua orang di Kota Kendari. Jumlah putusan mencapai 29: empat ketetapan, dan 25 putusan. Sedangkan anggota KPU yang diberi peringatan ada 49 orang, sedangkan 72 lainnya tidak terbukti sehingga masih dilindungi.[135] DKPP memuji Hadar Gumay karena tidak melaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik atas aduan dirinya melakukan pelanggaran etika karena bertemu Trimedya Pandjaitan, yang merupakan tim sukses pasangan calon nomor urut dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla di restoran Sate Senayan pada Sabtu malam, 7 Juni 2014. DKPP juga mengapresiasi Ketua Panwaslu Kabupaten Sukoharjo Subakti yang dianggap merespons cepat terjadinya pelanggaran yang diunggah di Youtube dan menindaklanjutinya.[136] Lihat jugaReferensi
Pranala luar
|