Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955
Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955 (biasa dikenal dengan Pemilu 1955) adalah pemilihan umum Indonesia yang diadakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilu ini merupakan pemilu pertama yang pernah diadakan sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 257.[1] Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri, dan pada saat pemungutan suara kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Pemilu ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif. Beberapa daerah mengalami kekacauan oleh gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosoewirjo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga ikut memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan, digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya-pun berlangsung aman. Pemilihan umum legislatif 1955 ini dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Latar belakangPemilihan pertama awalnya direncanakan pada bulan Januari 1946. Tetapi karena Revolusi Nasional Indonesia masih berlangsung, hal ini tidak memungkinkan. Setelah perang, setiap kabinet memasukkan pemilihan umum dalam programnya. Pada bulan Februari 1951 kabinet Natsir memperkenalkan RUU pemilu, tetapi kabinet ini jatuh sebelum hal ini diperdebatkan dalam parlemen. Kabinet berikutnya yang dipimpin oleh Sukiman, berhasil mengadakan beberapa pemilihan regional.[2] Akhirnya pada bulan Februari 1952, kabinet Wilopo memperkenalkan RUU untuk pendaftaran pemilih. Diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak dimulai sampai September karena berbagai keberatan dari partai politik. Menurut Feith, ada tiga faktor penyebab hal ini terjadi. Pertama, para legislator khawatir kehilangan kursi mereka; kedua, mereka khawatir tentang kemungkinan ayunan untuk partai-partai Islam; dan ketiga, sistem pemilihan sesuai dengan Konstitusi Sementara tahun 1950 sehingga akan berarti lebih sedikit perwakilan untuk daerah di luar Jawa.[3] Mengingat kenyataan bahwa kabinet itu jatuh setelah memperkenalkan langkah-langkah kontroversial, ada keengganan untuk memperkenalkan RUU pemilu dan ada kekhawatiran tentang kemungkinan konflik politik yang disebabkan oleh pemilihan.[4] Meskipun demikian, banyak pemimpin politik menginginkan pemilihan umum karena legislatif yang ada pada saat itu didasarkan pada kompromi dengan Belanda (yang sebelumnya merupakan kekuasaan kolonial) dan karena itu dianggap memiliki sedikit otoritas rakyat. Mereka juga percaya bahwa pemilu akan membawa stabilitas politik yang lebih besar.[5] Hal ini semakin diperkuat oleh "Peristiwa 17 Oktober 1952", ketika tentara bersenjata di depan istana menuntut pembubaran badan legislatif, menyebabkan tuntutan yang lebih besar dari semua pihak untuk pemilihan awal. Pada 25 November, RUU Pemilu telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah 18 minggu perdebatan dan 200 usulan amandemen, RUU tersebut akhirnya disahkan pada 1 April 1953 dan menjadi hukum pada 4 April. RUU ini menetapkan jumlah keanggotaan legislatif dimana satu anggota legislatif untuk 150.000 penduduk dan memberikan hak untuk memilih bagi semua orang yang berusia di atas 18 tahun, atau yang pernah atau sudah menikah.[6] Begitu RUU itu disahkan, kabinet mulai menunjuk anggota Komite Pemilihan Pusat. Hal ini dilakukan untuk memiliki satu anggota dari setiap partai pemerintah dan ketua independen. Namun, Partai Nasional Indonesia (PNI) memprotes bahwa mereka tidak memiliki anggota dalam komite, dan perselisihan ini masih belum terselesaikan ketika kabinet itu jatuh pada 2 Juni.[7] Pada tanggal 25 Agustus 1953, perdana menteri baru, Ali Sastroamidjojo, mengumumkan jadwal persiapan untuk pemilihan selama 16 bulan mulai bulan Januari 1954. Pada tanggal 4 November, pemerintah mengumumkan Komite Pemilihan Pusat baru yang diketuai oleh anggota PNI S. Hadikusomo dan termasuk semua partai yang diwakili di pemerintahan yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh, Barisan Tani Indonesia (BTI), serta beberapa partai pendukung pemerintah, seperti Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).[8] Persiapan dan hari pemilihanMeskipun pada bulan April 1954 Panitia Pusat Pemilihan telah mengumumkan bahwa pemilihan akan diadakan pada tanggal 29 September tahun berikutnya, pada bulan Juli dan awal Agustus, persiapan telah terlambat dari jadwal. Pengangkatan anggota panitia TPS yang direncanakan dimulai pada 1 Agustus tidak dilakukan oleh sebagian besar daerah dan mereka baru memulainya pada 15 September. Dalam pidato hari kemerdekaan pada 17 Agustus, Presiden Sukarno mengatakan bahwa siapa-pun yang menghalangi pemilu adalah "pengkhianat revolusi". Pada 8 September, Menteri Penerangan Sjamsuddin Sutan Makmur mengatakan bahwa pemilihan akan diadakan pada 29 September kecuali di beberapa daerah yang persiapannya belum selesai. Akhirnya, sebagai hasil dari "kesibukan" (kerja keras) mereka, panitia TPS siap pada hari pemilihan.[9] Menjelang hari pemungutan suara, rumor menyebar, termasuk ketakutan akan keracunan yang meluas di Jawa. Ada juga penimbunan barang. Di berbagai bagian negara juga diberlakukan jam malam spontan dan tidak diumumkan selama beberapa malam sebelum hari pemungutan suara. Pada hari pemungutan suara itu sendiri, banyak pemilih yang menunggu untuk memberikan suara pada pukul 7 pagi. Hari itu damai karena orang-orang menyadari tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Sebanyak 87,65% pemilih memberikan suara sah dan 91,54% memberikan suara. Dengan mengesampingkan jumlah kematian antara pendaftaran dan pemungutan suara, hanya sekitar 6% yang tidak memilih.[10] Hasil
Dekret PresidenPemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekret Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Kemudian pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak melalui Dekret 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden. Rujukan
Daftar pustaka
|