Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo[1] adalah kabinet ketiga setelah pembubaran negara Republik Indonesia Serikat yang diumumkan pada 1 April 1952 dan memerintah pada masa bakti 3 April 1952 hingga 3 Juni 1953. Kabinet tersebut dipimpin oleh Perdana Menteri Wilopo dan Wakil Perdana Menteri Prawoto Mangkusasmito. Kabinet Wilopo didemisionerkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1953 tertanggal 3 Juni 1953. Kabinet ini termasuk kabinet zaken, yang artinya kabinet yang jajarannya diisi oleh para tokoh ahli di dalam bidangnya dan bukan merupakan representatif dari partai politik tertentu. Latar belakangKabinet Soekiman dibubarkan pada Februari 1952 karena adanya kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo dan Duta Besar Amerika Horace Merle Cochran terhadap Mutual Security Act (penerus Marshall Plan). Kerja sama dengan AS tersebut bertentangan dengan kebijakan luar negeri independen yang diusung, terpisah dari dua blok kekuatan Perang Dingin. Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk memberhentikan Soebardjo pada 21 Februari, dan dua hari kemudian seluruh kabinet Soekiman memutuskan untuk mengundurkan diri.[2] Setelah bubarnya kabinet Soekiman, Presiden Soekarno menunjuk dua orang untuk membentuk kabinet baru: Prawoto Mangkusasmito dari Partai Masyumi dan Sidik Djojosukarto dari Partai Nasional Indonesia (PNI).[3] Namun, pada masa pembentukannya, muncul keretakan di dalam partai Masyumi, yang berujung pada perpecahan gerakan Nahdlatul Ulama (dan akhirnya berlanjut sebagai partai baru beberapa bulan kemudian).[4] Hal ini membuat formasi menjadi semakin rumit sehingga keduanya mengembalikan mandat pembentukan kabinet kepada presiden pada tanggal 18 Maret.[3] Soekarno kemudian menunjuk Wilopo dari PNI, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada kabinet sebelumnya, untuk membentuk kabinet koalisi yang baru. Dalam beberapa hari, Wilopo berhasil membentuk koalisi yang terdiri dari PNI Masyumi, kemudian ditambah oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Indonesia Raya (PIR), Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Buruh. Kabinet Wilopo kemudian resmi dilantik serta bertugas pada tanggal 3 April 1952. Pimpinan
AnggotaBerikut ini adalah anggota Kabinet Wilopo.
Program KerjaProgram kerja dari kabinet Wilopo hampir mirip dengan dua kabinet sebelumnya, Natsir dan Soekiman. Program kerja tersebut terdiri dari enam poin diantaranya:[4] Organisasi Negara
Kemakmuran
KeamananMenjalankan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah keamanan dengan kebijaksanaan sebagai negara hukum dan menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara serta mengembangkan tenaga masyarakat untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. PerburuhanMemperlengkapkan perundang-undangan perburuhan untuk meninggikan derajat kaum buruh guna menjamin proses perekonomian nasional PendidikanMempercepat usaha-usaha perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran Luar Negeri
KontroversiProposal Kabinet Wilopo untuk merombak Angkatan Darat untuk menghemat anggaran tidak disukai oleh pihak militer. Kepala Staf Angkatan Darat yang saat itu dijabat oleh Abdul Haris Nasution berseteru dengan parlemen apa yang mereka lihat sebagai campur tangan sipil yang berlebihan dalam urusan militer. Setelah pemecatan seorang perwira pro-pemerintah pada bulan Juli 1952, parlemen mulai menuntut restrukturisasi kepemimpinan angkatan bersenjata secara signifikan, dan setelah tiga bulan ketegangan mencapai puncaknya dengan ribuan demonstran yang dimobilisasi oleh tentara di Jakarta. Presiden Soekarno berhasil meredam para demonstran dan meyakinkan para perwira militer, namun menolak memenuhi tuntutan apa pun. Segera setelah kejadian tersebut, sebagian besar komando tertinggi angkatan darat dimutasi. Pembubaran kabinetBubarnya Kabinet Wilopo diawali oleh peristiwa di desa Tanjung Morawa, Sumatera Utara pada16 Maret 1953. Sebelum Perang Dunia Kedua, terdapat perkebunan besar kelapa sawit, teh, dan tembakau milik Perusahaan Deli. Pada masa pendudukan Jepang, perkebunan diambil alih oleh penduduk lokal, namun berdasarkan Konferensi Meja Bundar tahun 1949 ditetapkan bahwa investor asing diperbolehkan melanjutkan aktivitasnya sebelum perang di Indonesia. Kabinet Wilopo memutuskan untuk menanggapi hal ini dan memerintahkan penduduk lokal untuk meninggalkan perkebunan. Barisan Tani Indonesia (BTI), kelompok aksi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak setuju dan menghasut masyarakat untuk memberontak. Hal ini akhirnya berujung pada bentrokan dengan polisi yang mengakibatkan 6 orang tewas dan 15 orang luka-luka. Menyusul kejadian ini, pihak oposisi mengajukan mosi tidak percaya. Bahkan sebelum pemungutan suara, Kabinet Wilopo memutuskan untuk mengundurkan diri. Sumber
Referensi
Pranala luar
|