Pemilihan umum Presiden Indonesia 2004
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004 yang diselenggarakan untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk periode tahun 2004 hingga 2009. Pemilihan umum ini adalah yang pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pemilihan umum ini diselenggarakan selama 2 putaran pada 5 Juli dan 20 September 2004, dan dimenangkan oleh pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Presiden petahana, Megawati Soekarnoputri menduduki jabatan presiden setelah pemakzulan pendahulunya, Abdurrahman Wahid dari posisi tersebut. Pencalonan Megawati dalam pemilihan presiden diikuti oleh empat kandidat lain termasuk wakil presiden petahana, Hamzah Haz. Pada putaran pertama, mantan menteri kabinet dan purnawirawan jenderal Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan hasil terbanyak, diikuti oleh Megawati. Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mengalahkan Megawati dengan persentase suara 60.62% dari seluruh surat suara sah pada putaran kedua. Ia kemudian dilantik sebagai presiden keenam Indonesia pada 20 Oktober 2004. PeraturanPasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum legislatif. Untuk dapat mengusulkan, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh sekurang-kurangnya 5% suara suara secara nasional atau 3% kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Apabila tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Latar BelakangPada pemilihan umum legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangkan kursi terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan menjadi fraksi terbesar di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), badan legislatif yang bertanggung jawab untuk memilih presiden Indonesia. PDI-P dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, putri dari presiden pertama Indonesia, Soekarno. Pendukung Megawati memperkirakan bahwa Megawati akan dipilih sebagai presiden oleh MPR, namun Megawati gagal untuk merebut suara dari partai-partai lain kecuali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Lawan dari Megawati pada saat itu adalah Presiden B. J. Habibie, yang menjabat sebagai presiden pada Mei 1998, namun membatalkan pencalonannya pada pemilihan tahun 1999 dikarenakan pidato kebangsaannya ditolak oleh MPR. PKB, yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU), telah menyatakan dukungannya untuk mendukung Megawati sebagai Presiden. Namun, semakin terlihat bahwa Megawati tidak memiliki dukungan yang cukup terhadap pencalonannya. Ditambah, ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais dan koalisi Poros Tengahnya yang berisi partai reformasi dan partai Islam, mulai mendorong pencalonan Gus Dur.[1] Gus Dur pada akhirnya memenangkan pemilihan presiden, sementara Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden.[2] Sebagai presiden, Gus Dur mencabut banyak peraturan yang disahkan pada masa Orde Baru yang mendiskriminasi Orang Tionghoa Indonesia. Peraturan-peraturan yang dicabut diantaranya adalah larangan penggunaan Aksara Han dan gambar pajangan terkait pada kebudayaan Tiongkok. Akibat dari pencabutan peraturan-peraturan tersebut, banyak partai politik mulai mencoba meraup dukungan dari Orang Tionghoa Indonesia dengan menampilkan Aksara Han pada bahan kampanye mereka.[3] Setelah pemakzulan Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Juli 2001, MPR menaikkan posisi Megawati sebagai presiden. Megawati ditugaskan untuk menyelesaikan masa tugas lima tahun Gus Dur yang berakhir pada Oktober 2004.[2] Pada sidang tahunan masa 2002, MPR menambahkan beberapa amandemen pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,[4] termasuk menghapus 38 kursi khusus untuk militer di DPR, dan amandemen untuk memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden. Proses pemilihan presiden akan melibatkan partai politik yang mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan opsi terdapat putaran kedua.[5] KandidatKandidat yang mendaftarPada Desember 2003 International Foundation for Electoral Systems (IFES) memulai survei pelacakan untuk menilai popularitas kandidat potensial. Survei tersebut berlanjut hingga awal putaran pertama pemilihan pada 5 Juli dan memasukkan tiga belas kandidat calon presiden. Survei IFES pertama mengindikasikan Presiden Megawati Soekarnoputri akan memperoleh suara terbanyak. Namun, pada Pemilihan umum legislatif pada April 2004, purnawirawan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono memimpin setelah Ia mundur dari kabinet Megawati pada bulan Maret. Kandidat potensial lainnya termasuk Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Akbar Tanjung dan Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwana X.[7] Hasil dari pemilihan legislatif menunjukkan partai politik mana saja yang dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hanya partai politik dengan suara minimal 5% atau kursi di DPR sebanyak 3% (17 dari 550 kursi) yang diperbolehkan mencalonkan pasangan calon. Partai politik yang tidak memenuhi kriteria tersebut harus berkoalisi dengan partai lain untuk memenuhi salah satu syarat tersebut. Terdapat tujuh partai politik yang memenuhi kriteria, diantaranya: Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat (PD), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). PKS merupakan satu-satunya partai yang tidak mencalonkan pasangan calon, namun kemudian memberikan dukungannya kepada PAN.[8] Sebanyak 6 pasangan calon yang mendaftarkan diri diantaranya adalah:
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan daftar final para pasangan calon pada 13 Mei. Setelah pengumuman tersebut, seluruh kandidat diwajibkan untuk menjalani pemeriksaan medis. Pada 22 Mei, KPU mengumumkan bahwa pasangan calon dari PKB, mantan Presiden Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud dinyatakan tidak lolos dari pemeriksaan medis dikarenakan Abdurrahman Wahid gagal pada pemeriksaan kesehatan. Awalnya Ia meminta pendukungnya untuk tidak memilih pada hari pemilihan presiden namun memutuskan untuk meralat pernyataan tersebut setelah adanya desakan dari partai.[9][10] Kandidat resmiWiranto dan Salahuddin Wahid
Golkar sebelumnya telah memenangkan pemilihan legislatif setelah kalah dari PDI-P lima tahun sebelumnya. Golkar mencalonkan Jenderal purnawirawan Wiranto dan Salahuddin Wahid, anggota MPR dan wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pasangan calon tersebut mendapatkan nomor urut 1 pada surat suara.[11] Wiranto merupakan Ajudan mantan Presiden Soeharto di tahun 1989-1993. Pada masa tersebut, Wiranto secara cepat naik pangkat hingga mendapatkan pangkat Jenderal dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).[12] Ketika kerusuhan terjadi di seluruh penjuru negeri di tahun 1998 terhadap kepemimpinan Soeharto, Wiranto menolak untuk mengambil alih kendali untuk menghindari kematian dari para pelajar perguruan tinggi yang sedang berdemonstrasi. Di tahun 1999m selagi Timor Timur mengadakan referendum secara independen, Wiranto dituduh terlibat dalam kekerasan antar warga Timor Timur bersama para perwira lainnya; namun, Interpol tidak pernah mengeluarkan surat penangkapan terhadap Wiranto.[13] Di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, Wiranto menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan namun kemudian diberhentikan. Pada 20 April 2004, Konvensi Golkar memilih untuk mencalonkan Wiranto dibandingkan Ketua DPR Akbar Tanjung dalam pemungutan suara putaran kedua.[12] Pada 9 Mei, Golkar memilih Salahuddin Wahid (yang juga dikenal sebagai Gus Sholah) sebagai calon wakil presiden setelah didukung oleh kakaknya, Abdurrahman.[14] Dikarenakan Salahuddin juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Nahdlatul Ulama (NU), banyak anggita NU mengkritisi pencalonan Salahuddin yang tidak sesuai dengan khittah NU, yang memastikan status NU sebagai organisasi non politik.[15] Dengan pencalonan tersebut, pimpinan PKB secara resmi mendukung pasangan Wiranto-Salahuddin pada pemilihan presiden.[12] Posisi Salahuddin dalam Komite Nasional Hak Asasi Manusia juga membantu reputasi Wiranto. Namun, karena kedua calon berlatar belakang Jawa, mereka tidak diharapkan dapat menarik banyak pemilih yang bukan orang Jawa.[12] Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi
Presiden petahana Megawati Soekarnoputri merupakan kandidat terkuat PDI-P. Megawati dipasangkan dengan calon wakil presiden Hasyim Muzadi, ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Pasangan calon tersebut mendapatkan nomor urut 2 pada surat suara.[11] Menurut laporan yang dirilis oleh National Democratic Institute for International Affairs, Megawati memiliki "beban unik karena menjadi satu-satunya kandidat dalam pemilu yang bertanggung jawab atas situasi saat ini yang tidak disukai oleh sebagian besar pemilih" walaupun beberapa calon lain juga merupakan bagian dari pemerintahan tersebut.[16] Namun, ketidakpuasan masyarakat terhadap kepresidenannya terutama disebabkan oleh kegagalan pemerintah mengkomunikasikan pencapaian Megawati dibandingkan dengan keadaan negaran itu sendiri.[17] PDI-P berada di posisi kedua perolehan suara terbanyak pada pemilihan legislatif dengan 18.5% suara, berkurang setengah dari 33.7% yang PDI-P raih di tahun 1999.[18] Hasyim Muzadi sebelumnya telah disebut sebagai kandidat pasangan bagi Megawati sejak November 2003.[19] Pencalonan Hasyim secara resmi diumumkan oleh Megawati pada 6 Mei.[20] Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Nahdlalut Ulama, Hasyim juga dikritisi oleh banyak anggota NU karena tidak patuh terhadap khittah organisasi dan prinsip netralitas NU dalam politik.[15] Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid mendesak Hasyim untuk mundur dari posisi ketua umum setelah pengumuman pencalonannya.[21] Kedua kandidat memiliki latar belakang Jawa yang tidak diharapkan dapat menarik banyak pemilih yang bukan orang Jawa.[12] Namun, status pasangan calon sebagai warga biasa menarik dukungan dari masyarakat yang tidak mendukung calon dengan latar belakang militer, dan keduanya diperkirakan dapat menarik suara dari pemilih sekuler dan religius.[22] Amien Rais dan Siswono Yudo Hudono
PAN mencalonkan Amien Rais, ketua MPR, sebagai calon presiden mereka. Amien Rais didampingi oleh Siswono Yudo Husodo. Pasangan calon tersebut mendapatkan nomor urut 3 pada surat suara.[11] Amien Rais sebelumnya pernah menjabat sebagai ketua Muhammadiyah. Tetapi, walaupun dengan latar belakang pernah memimpin organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, PAN yang didirikan oleh Amien Rais setelah pengunduran diri Presiden Soeharto sebagai sebuah partai politik bukan berasaskan keagamaan. Amien Rais kemudian menjadi figur berpengaruh pada awal masa reformasi dan pada akhirnya terpilih untuk memimpin MPR.[23] Diantara para pemilih, Amien Rais dipandang sebagai kandidat yang tidak memiliki hubungan dengan korupsi yang menjadi wabah di dalam pemerintahan Indonesia. Para pemilih juga menganggap Amien Rais sebagai seseorang yang ambisius dan dikenal sebagai seorang orator.[16] Partai PAN pimpinan Amien Rais menerima 6.4% suara pada pemilihan umum legislatif.[18] Di sisi lain, Siswono Yudo Husodo merupakan figur baru dalam dunia politik. Ia menjabat sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan beberapa posisi menteri pada akhir masa kepresidenan Soeharto.[22] Siswono merupakan kandidat dengan kekayaan terbanyak di antara kandidat calon presiden dan wakil presiden menurut laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[24] Seperti Megawati dan Hasyim, Amien dan Siswono tidak diharapkan dapat menarik banyak pemilih yang bukan orang Jawa. Kedua pasangan calon tersebut juga didukung oleh PKS, partai ketujuh yang berhak untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden namun tidak mencalonkan, bersama dengan partai politik kecil lainnya.[22] Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
Partai Demokrat, didukung oleh Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI) dan Partai Bulan Bintang (PBB), mencalonkan Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden. Ia ditemani oleh Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden, dan keduanya mendapatkan nomor urut 4 pada surat suara.[11] Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai menteri pada dua kabinet pemerintahan terakhir. Ketika menjabat sebagai Menteri Politik dan Keamanan di bawah Abdurrahman Wahid, ia menolak perintah untuk mendeklarasikan keadaan darurat yang seharusnya dapat menghentikan proses legislatif untuk memakzulkan Presiden dan berakhir pada pemecatannya.[26] Yudhoyono kemudian dicalonkan sebagai wakil presiden setelah MPR menunjuk Megawati sebagai pengganti Abdurrahman Wahid, namun ia kalah suara dari ketua PPP Hamzah Haz dan Ketua DPR Akbar Tanjung.[27] Ia kembali menduduki posisi sebelumnya di kabinet pada masa pemerintahan Megawati namun mengundurkan diri pada 1 Maret 2004 untuk mencalonkan diri pada pemilihan umum sebagai calon presiden.[22] Partai Demokrat yang didirikan sebagai kendaraan bagi karir politik Yudhoyono oleh tokoh-tokoh nasionalis sekuler yang melihat potensi pada kepemimpinannya,[27] menerima 7.45% suara dan 10% kursi DPR pada pemilihan umum legislatif di bulan April.[18] Yudhoyono berpasangan dengan Jusuf Kalla, seorang pebisnis Bugis dan anggota partai Golkar yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah kepemimpinan Megawati.[28] Ia berhasil melakukan mediasi resolusi damai terhadap konflik antar umat beragama antara umat Kristen dan Muslim di Sulawesi di tahun 2001 dan Maluku di tahun 2002.[29][30] Kalla bergabung pada tahapan seleksi kandidat calon presiden dari partai Golkar pada Agustus 2002 namun menarik pencalonannya beberapa hari sebelum konvensi partai di bulan April.[31][32] Beberapa hari kemudian, ia mundur dari posisi menteri di kabinet dan mengumumkan koalisi dengan Yudhoyono.[28] Kalla sempat berpotensi sebagai kandidat calon wakil presiden mendampingi Megawati.[33] Kombinasi dari dua calon dengan latar belakang yang berbeda menambah ketetarikan dari pasangan calon tersebut. Yudhoyono, yang dibesarkan di daerah padat penduduk di Jawa, dilihat sebagai tokoh sekuler dan memiliki latar belakang militer. Di sisi lain, Kalla merupakan seorang muslim yang taat yang dibesarkan di daerah pinggir provinsi Sulawesi Selatan dan berlatar belakang sipil.[28] Hamzah Haz dan Agum Gumelar
Wakil Presiden Petahana Hamzah Haz dicalonkan sebagai presiden oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia ditemani oleh Menteri Perhubungan Agum Gumelar sebagai calon wakil presiden. Pasangan calon tersebut mendapatkan nomor urut 5 pada surat suara.[11] Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden oleh MPR setelah mengalahkan Ketua DPR Akbar Tanjung ketika MPR memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid dari jabatannya di tahun 2001. Walaupun BBC melaporkan bahwa Hamzah Haz pernah menyatakan bahwa "tidak ada perempuan yang cocok untuk memimpin negara dengan Muslim terbanyak", ia menjabat sebagai wakil dari presiden perempuan Indonesia pertama. Haz menjabat di kabinet Presiden B. J. Habibie dan menjadi menteri pertama yang mengundurkan diri pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hamzah Haz diduga melakukan gratifikasi dan nepotisme namun tidak pernah dilakukan investigasi terhadap tuduhan tersebut.[34] Sebagai Wakil Presiden, Haz menjadi pendukung amandemen Konstitusi yang akan memberlakukan Syariat Islam untuk seluruh Muslim di Indonesia. Namun, partai politik lain dan organisasi Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menolak amandemen tersebut dikarenakan kekhawatiran akan semakin maraknya bentuk Islam ekstrem.[35] Seorang tokoh yang relatif tidak dikenal di kancah politik, Agum Gumelar menjabat sebagai Menteri Perhubungan di bawah Abdurrahman Wahid dan Megawati.[28] Pada September 2003, Agum merekomendasikan Susilo Bambang Yudhoyono atau Jusuf Kalla sebagai pasangan Megawati dalam pemilihan presiden setelah memprediksi bahwa PDI-P akan kehilangan sejumlah suara dalam pemilihan legislatif di bulan April. Namun, kedua kandidat tersebut pada akhirnya mencalonkan diri dengan berpasangan satu sama lain, dan Agum menolak tawaran calon wakil presiden dari Amien Rais agar Agum dapat bertahan di kabinet. Ia pada akhirnya menerima tawaran dari pimpinan PPP untuk berpasangan dengan Haz dan mundur dari pemerintahan Megawati.[36] Kedua kandidat berasal dari luar Jawa; oleh karena itu, mereka berkemungkinan menarik suara dari daerah pemilihan di luar Jawa.[28] Masa kampanyeIsu utamaKorupsi, kolusi, dan nepotisme adalah adalah kekhawatiran yang paling sering disebutkan di kalangan pemilih yang disurvei oleh National Democratic Institute for International Affairs.[16] Jadwal
HasilPutaran pertamaMantan menteri keamanan Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan putaran pertama dengan suara 33%. Presiden Petahana Megawati Soekarnoputri berada di posisi kedua dengan suara 26%, di atas mantan Panglima ABRI Wiranto yang mendapatkan suara 22%. Yudhoyono tidak mendapatkan hasil seperti yang diperkirakan oleh poling pendapat, namun Megawati lebih baik dari poling tersebut. Alasan mengapa hal tersebut terjadi salah satunya disebabkan oleh Yudhoyono yang tidak memiliki mesin partai nasional, seperti Megawati dengan PDI-P dan Wiranto dengan Golkar.[butuh rujukan] Pemilu putaran pertama diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004, dan diikuti oleh 5 pasangan calon. Berdasarkan hasil pemilihan umum yang diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dari 153.320.544 orang pemilih terdaftar, 122.293.844 orang (79,76%) menggunakan hak pilihnya. Jumlah tersebut menjadi tantangan besar bagi penyelenggara, ditambah lagi adanya masalah dengan surat suara. Para pemilih menggunakan hak pilihnya dengan mencoblos surat suara pada foto pasangan calon yang mereka pilih menggunakan paku. Dikarenakan surat suara yang diberikan kepada pemilih dilipat menjadi dua, banyak surat pemilih mencoblos tanpa membuka lipatan surat suara tersebut, menjadikan surat suara tersebut memiliki dua lubang dan tidak sah. Ratusan ribu surat suara tersebut dinyatakan tidak sah sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa surat suara tersebut sah.[40] Adanya situasi tersebut menyebabkan harus dilakukannya penghitungan ulang di banyak tempat, memperlambat penghitungan dan menimbulkan kekhawatiran akan adanya sengketa hasil pemilihan. Hasil NasionalDari total jumlah suara, 119.656.868 suara (97,84%) dinyatakan sah, dengan rincian sebagai berikut:
Hasil Provinsi
Wiranto menolak untuk menerima hasil pemilihan dan melakukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. Wiranto dan Salahuddin berargumen bahwa dikarenakan ketidakcocokan penghitungan surat suara oleh KPU, mereka kehilangan 5,434,660 suara dari dua puluh enam provinsi. Hasil pemungutan suara tersebut akan membuat total suara populer pasangan tersebut lebih tinggi dibandingkan Megawati dan Hasyim, sehingga menempatkan pasangan Wiranto dan Salahuddin pada putaran kedua. Namun, Mahkamah memutuskan pada 10 Agustus tidak ditemukan kejanggalan dan menguatkan penghitungan akhir KPU.[43] Karena tidak ada satu pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, yakni SBY-JK dan Mega-Hasyim. Putaran keduaPemilu putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004 dengan calon pasangan sebagai berikut: Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi
Pada 1 Agustus 2004, PPP yang sebelumnya mengusung pasangan Hamzah-Agum memutuskan untuk mendukung pasangan calon Megawati-Hasyim setelah mereka mengadakan rapat pleno dewan pimpinan pusat partai di Jakarta. Hamzah Haz mengatakan bahwa jika pasangan Mega-Hasyim kalah pada putaran kedua, PPP akan beroposisi, dan tidak akan ada orang PPP yang masuk dalam pemerintahan. KH Alawy Muhammad, petinggi PPP menyatakan bahwa dukungan PPP untuk Megawati memiliki ketentuan. Ketentuan tersebut diantaranya adalah Megawati harus berkomitmen untuk umat Islam, dan mengeluarkan Abu Bakar Ba’asyir sebelum pemilihan presiden putaran kedua dan sebelum ada bukti.[44][45] Dukungan PPP terhadap Mega-Hasyim menuai perpecahan dalam internal pendukung PPP, sebagian kader PPP menolak untuk mendukung Megawati dikarenakan adanya rekomendasi ulama yang mengharamkan memilih pemimpin perempuan.[46] Setelah Wiranto-Wahid hanya mampu memperoleh suara terbanyak ketiga pada pemilihan presiden putaran pertama, dan setelah ditolaknya gugatan sengketa hasil pemilihan presiden putaran pertama oleh Mahkamah Konstitusi. Pada 16 Agustus 2004 Golkar memutuskan untuk bergabung ke dalam koalisi PDI-P dan mendukung pasangan Megawati-Hasyim.[47] Sebelumnya, terjadi perbedaan opini di internal partai untuk mendukung pasangan SBY-JK, di mana Jusuf Kalla merupakan kader dari partai Golkar. Atau mendukung pasangan Mega-Hasyim di mana sebelumnya partai Golkar pernah bekerja sama dengan PDI-P dalam pemerintahan.[48] Koalisi Mega-Hasyim pada pemilihan putaran kedua kemudian dilengkapi oleh Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pada 18 Agustus.[49] Partai Bintang Reformasi (PBR) menyatakan dukungannya kepada Mega-Hasyim pada 20 Agustus 2004 setelah melakukan pemungutan suara pada internal partai.[50] Partai terakhir yang menyatakan dukungannya pada pasangan Mega-Hasyim adalah Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM) yang didirikan oleh adik Mega, Sukmawati Soekarnoputri. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
Setelah kekalahan pada putaran pertama, Amien Rais dan PAN memutuskan untuk bersikap netral pada putaran kedua. Namun ia tidak membantah bahwa sebagian besar kader PAN mendukung pasangan SBY-JK.[51][52] Di sisi lain, PKS dan PBB secara resmi mendukung SBY-JK setelah sebelumnya berkoalisi dengan PAN.[53] PKB, yang sebelumnya diperintahkan oleh Abdurrahman Wahid untuk tidak mendukung salah satu pasangan calon pada pemilihan putaran pertama dikarenakan tidak lolosnya Abdurrahman Wahid sebagai salah satu pasangan calon akibat tidak lolos tes kesehatan, menjadi partai terakhir yang memutuskan sikap untuk mendukung SBY-JK.[53] HasilBerdasarkan hasil pemilihan umum yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004, dari 150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah, dengan rincian sebagai berikut:
Pelantikan presiden dan wakil presiden terpilihBerdasarkan hasil pemilihan umum, pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih. Pelantikannya diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 2004 dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang juga dihadiri sejumlah pemimpin negara sahabat, yaitu: Perdana Menteri Australia John Howard, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, Perdana Menteri Timor Leste Mari Alkatiri, dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, serta 5 utusan-utusan negara lainnya. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri tidak menghadiri acara pelantikan tersebut. Pada malam hari yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan anggota kabinet yang baru, yaitu Kabinet Indonesia Bersatu. Galeri
Referensi
Pranala luar |