Mohammad Yamin
Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (24 Agustus 1903 – 17 Oktober 1962) adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang memengaruhi sejarah persatuan Indonesia.[1][2] Latar belakangMohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 24 Agustus 1903. Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungkannya karena ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.[3][4] KesastraanMohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik. Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan. Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928.[5] Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama. Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore. Pada awal 1930-an, Yamin aktif di kalangan jurnalis, bergabung dengan dewan redaksi surat kabar Panorama, bersama Liem Koen Hian, Sanusi Pane dan Amir Sjarifuddin.[6][7] Pada pertengahan tahun 1936, bersama rekan-rekannya Liem, Pane dan Sjarifuddin, Yamin memulai surat kabar lain, Kebangoenan (1936–1941), yang—seperti halnya Panorama—diterbitkan oleh Siang Po Printing Press milik Phoa Liong Gie.[6] PolitikKarier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[8] dan menyusun ikrar Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia. Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adnan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).[9] Tujuan Gerindo adalah untuk meningkatkan kesadaran publik akan ide-ide nasionalis dengan mengorganisir rakyat. Akan tetapi, pendirian Gerindo juga mencerminkan keinginan yang semakin besar di pihak banyak nasionalis sayap kiri untuk bekerja sama dengan Belanda. Kesediaan ini muncul baik dari keputusasaan atas prospek untuk mengorganisir perlawanan nasionalis yang efektif dalam menghadapi kekuatan militer dan polisi Belanda dan dari keyakinan bahwa kolaborasi melawan fasisme (terutama fasisme Jepang) memiliki prioritas tertinggi dalam urusan dunia. Gerindo berharap melalui kerjasama itu Belanda akan membentuk badan legislatif tersendiri di wilayah jajahan. Yamin dikeluarkan dari organisasi pada tahun 1939 karena melanggar peraturan, termasuk berkampanye melawan calon Gerindo lainnya dalam pemilihan dewan kotamadya Batavia. Ia kemudian mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo). Dari tahun 1938 (atau 1939) hingga 1942, Yamin menjadi anggota Volksraad pada tahun 1939, sebuah badan penasihat yang dibentuk pada tahun 1917 oleh Belanda di Hindia Belanda.[3][10] Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara.[11] Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda.[12] Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya. Yamin kemudian mengklaim bahwa pada tanggal 29 Mei 1945 ia menyampaikan pidato tentang dasar filosofis dan politik tertentu untuk negara baru yang diusulkan dan menyebutkan lima prinsip bangsa, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila dan kemudian dimasukkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ini akan menjadi dua hari sebelum pidato Soekarno menguraikan Pancasila pada 1 Juni.[13][14] Klaim kepenulisan Yamin atas Pancasila dipertanyakan oleh Dr. Mohammad Hatta, Mr. Soebardjo, Mr. A. Maramis, Prof. A.G. Pringgodigdo, Prof. Sunario dan semua anggota BPUPK yang masih hidup yang kemudian diwawancarai. Namun, fakta bahwa Yamin tampaknya satu-satunya orang yang memiliki catatan lengkap tentang sidang-sidang BPUPK, yang ia gunakan untuk buku terbitan tahun 1959 Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Yamin adalah anggota Panitia Sembilan yang bertugas mulai merancang undang-undang dasar. Panitia ini menghasilkan Pembukaan, yang memuat intisari pidato Soekarno 1 Juni. Yamin, yang banyak bekerja dalam menghasilkan rancangan ini, menyebutnya Piagam Jakarta.[15] Ketika BPUPK bertemu untuk sidang kedua, mulai 10 Juli, sebuah komite yang terdiri dari 19 anggota, dengan Soepomo memainkan peran utama, menghasilkan rancangan konstitusi selama tiga hari. Yamin kecewa karena tidak ditunjuk dalam komite ini, dan menolak untuk menerima pengangkatannya di komite lain yang membahas masalah keuangan. Ketika rancangan undang-undang itu divoting pada 16 Juli, Yamin mengkritiknya dan menjadi satu-satunya anggota BPUPK yang tidak langsung menerimanya. Yamin kemudian mengklaim bahwa ia telah menghasilkan rancangan undang-undang yang sangat mirip dengan versi Soepomo, tetapi tidak ada bukti untuk ini, dan Hatta secara khusus membantah bahwa Yamin telah menyerahkan dokumen semacam itu kepada BPUPK.[16][17] Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan keesokan harinya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bertemu dan menugaskan komisi tujuh: Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo, Soebardjo, Otto Iskandardinata, Yamin dan Wongsonegoro untuk menghasilkan versi final UUD.[18] Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancangan Nasional; dibantu 3 Wakil Ketua, yaitu Ukar Bratakusumah, Soekardi & Sakirman melalui UU No. 80 tahun 1958[19] (1958–1963), Menteri Sosial dan Kebudayaan (1959–1960), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962–1963). Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin diwarisi untuk mengurusi tujuh belas ribu (17.000) tahanan dari kabinet sebelumnya. Kebanyakan dari tahanan itu adalah Tahanan Politik yang ditahan tanpa melalui proses hukum atau proses pengadilan sejak tahun 1949 karena dicap komunis atau sosialis. Kala itu, Yamin membebaskan 950 tahanan politik tersebut yang memunculkan kontrovesi karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menentang akan keputusan tersebut. Ada kalimat tegas dari Yamin yang yang mengatakan "Saya tanggung jawab". Pada akhirnya, tanpa grasi atau remisi, Yamin membebaskan orang-orang yang tidak bersalah itu. Lalu, Pada saat menjabat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Yamin banyak mendorong pendirian universitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Di antara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat dan Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Jawa Barat yang awal didirikan bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). KeluargaPada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.[20] Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan dengan Gusti Raden Ayu Retno Satuti, putri tertua dari Mangkunegara VIII.[21] Rahadian dan Satuti kemudian dikaruniai dua anak laki-laki, KRMH Roy Rahajasa Yamin, dan BRM Riano Jayanegara Yamin[22]. Salah satu keturunan Mohammad Yamin, cicit pertamanya dari KRMH Roy Rahajasa Yamin, Rania Maheswari Yamin adalah publik figur lulusan S1 Sastra Indonesia dari Universitas Indonesia yang aktif membagikan kesehariannya dengan menggunakan kebaya dan kain batik, serta kerap membagikan kunjungannya ke Pura Mangkunegaran untuk menghadiri beberapa acara penting seperti Kirab 1 Suro[23]. WafatYamin meninggal di Jakarta pada 17 Oktober 1962. Sebagai pencetus ide-ide penting, Yamin mendominasi sejarah politik dan budaya Indonesia modern. Ide-idenya berkontribusi pada kebangkitan politik dan gelora kebanggaan nasional di Indonesia.[24] Pada tahun 1973, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.[4] Karya-karyanya
Penghargaan
Lihat pulaCatatan kaki
Rujukan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Mohammad Yamin.
|