Rechtshoogeschool te Batavia
Rechtshoogeschool te Batavia[note 2] (Sekolah Tinggi Hukum) biasa disingkat menjadi RH te Batavia, RH te Weltevreden, atau RHS yang dibuka sejak 28 Oktober 1924 di Batavia (sekarang Jakarta), adalah perguruan tinggi hukum pertama dan lembaga pendidikan tinggi kedua di Hindia Belanda setelah empat tahun sebelumnya THS Bandung dibuka.[note 3] Pada tahun 1950, RHS resmi berganti nama menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Latar belakangPendidikan hukum secara formal mulai dikenal masyarakat Indonesia pada tahun 1909 dengan dibukanya Rechtsschool (Sekolah Hukum) oleh Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz dan dioperasikan dengan memberlakukan Reglement voor de Opleiding voor Inlandsche Rechtskundigen (Reglemen untuk Sekolah Pendidikan Ahli Hukum Pribumi), diundangkan dalam Stb.No. 93/1909. Rechtsschool bukanlah perguruan tinggi, melainkan setingkat Sekolah Menengah Kejuruan, lebih tepatnya penggabungan SMP 3 tahun + SMK 3 tahun. Atas dasar Ethische Politiek dan perkembangan ekonomi Belanda yang memaksa pemerintah Belanda membuka wilayah jajahannya untuk penanaman modal swasta, pembentukan Rechtsschool itu dimaksudkan untuk mendidik orang-orang Indonesia agar dapat menjadi hakim Landraad yang merupakan pengadilan sehari-hari (tingkat pertama) bagi golongan pribumi dan yang disamakan. Jadi, tujuan pendidikannya adalah untuk menghasilkan teknisi atau ahli hukum (terdidik). Namun makna atau tujuan politik pendirian Rechtsschool pada dasarnya adalah demi kepentingan Belanda sendiri yang memerlukan terpeliharanya ketertiban dan keamanan (rust en orde) di wilayah jajahannya untuk melancarkan penanaman modal dan mengembangkan industri.[4] Masa studi Rechtsschool adalah 6 tahun yang terbagi dalam 2 bagian, yakni bagian "Persiapan" (voorbereidende afdeeling) selama 3 tahun, dan bagian "Keahlian Hukum" (rechtskundige afdeeling) untuk masa 3 tahun berikutnya. Yang dapat diterima menjadi murid Rechtschool adalah lulusan HIS (Sekolah Dasar pada masa kolonial) yang harus masuk bagian "Persiapan" terlebih dahulu. Bagi lulusan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO - Sekolah Menengah Pertama pada masa kolonial), dan Sekolah Menengah Pamong Praja atau MOSVIA dapat langsung diterima pada bagian "Keahlian Hukum". Pada bagian "Persiapan" diberikan mata pelajaran: Bahasa Belanda, Bahasa Prancis, Sejarah Umum, Matematika, dan Pengetahuan Alam (seperti pelajaran pada tingkat MULO/SMP). Pada bagian "Keahlian Hukum" diberikan mata pelajaran: Pengantar Ilmu Hukum, Tata Negara Belanda, Tata Negara Hindia Belanda, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Rakyat atau Volksrecht, Hukum Adat, Hukum Acara, Bahasa Melayu, dan Bahasa Belanda.[4] Sebagai gambaran berikut adalah kesetaraan tingkat pendidikan pada masa itu:
Sampai sekitar tahun 1910, hampir semua pihak sepakat bahwa belumlah perlu untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Hindia Belanda. Baru pada permulaan abad ke-20 masalah pendirian perguruan tinggi di Hindia Belanda menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan elite Belanda dan para pemuka bumiputera. Kenyataan itu menunjukkan bahwa ada keraguan dan kebimbangan di pihak pemerintah kolonial untuk mendirikan suatu perguruan tinggi di Hindia Belanda.[3] Pada tanggal 8 Maret 1910[5] pemerintah kolonial menyetujui pendirian Indische Universiteit Vereeniging (IUV) – Perhimpunan Universitas Hindia Belanda yang dalam statutanya menyebutkan IUV bertujuan memajukan, mendirikan, dan mengurus sekolah-sekolah tinggi Hindia Belanda.[3] Namun hingga tahun 1912 Minister van Kolonien (Menteri Urusan Daerah Jajahan) belum memikirkan rencana pendirian suatu universitas di Hindia Belanda. Seandainya ada masyarakat Hindia Belanda yang berminat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka lebih baik mereka dikirim ke universitas di Negeri Belanda, dengan bantuan dana dari pemerintah Hindia Belanda.[3] Pada tahun 1918, Dr. Abdul Rivai (lulusan STOVIA dan orang bumiputera pertama yang meraih gelar Doctor in de Medicijnen, Chirurgie en Verloskunde dari Universiteit Gent Belgia – 23 Juli 1908) bersama 14 anggota Volksraad mengusulkan rencana pembentukan suatu universitas di Hindia Belanda. Pada kesempatan itu perdebatan mengenai batasan kata universiteit dan hooger onderwijs tidak terelakkan. Berdasarkan Hoogeronderwijswet (Undang-Undang Pendidikan Tinggi) Staatsblaad Koninklijk der Nederlanden No. 181 ditetapkan tanggal 6 Juni 1905 dinyatakan bahwa suatu universitas harus memiliki lima fakultas (Pasal 76) yaitu:
Sepertinya persyaratan ini cukup berat, karena untuk mendirikan ke lima fakultas tersebut tentunya membutuhkan sumber daya yang besar. Ditambah lagi dihadapkan pada kenyataan lain bahwa sampai saat itu sekolah setingkat SMA Umum hanya HBS (Hoogere Burgerschool)[note 2], itupun tidak banyak. AMS (Algemeene Middelbare School)[note 2] pertama di Indonesia (sekolah setingkat SMA sekarang) baru dibuka tahun 1919 di Yogyakarta[6] , padahal suatu universiteit dan hooger onderwijs mensyaratkan lulusan HBS sebagai sumber mahasiswanya dan bukan sekadar lulusan MULO (setingkat SMP) atau HIS/Inlandsche School (setingkat SD). Oleh karena itu masih jauh kiranya untuk mendirikan sekolah tinggi atau universitas.[3] Hingga Pemerintah Kolonial Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, belum ada universitas yang didirikan di Hindia Belanda. Dengan adanya Perang Dunia I (1914-1918), lulusan HBS di kawasan Nusantara saat itu tidak bisa melanjutkan kuliahnya ke Negeri Belanda, demikian juga sebaliknya, sarjana lulusan Belanda yang dibutuhkan di Hindia Belanda sulit dipenuhi karena terganggunya hubungan antara negeri Belanda dan wilayah jajahannya di kawasan Nusantara, sebagai akibat pecahnya perang tersebut. Walaupun Belanda dan negara jajahannya tidak terlibat dalam perang itu, hubungan perdagangan yang pada waktu itu hanya melalui laut menjadi sukar; bertambah lagi setelah Jerman menyatakan perang kapal selam tak terbatas dalam tahun 1917.[2] Setelah pada tanggal 3 Juli 1920 Technische Hoogeschool te Bandoeng (Sekolah Tinggi Teknik di Bandung) dibuka, maka pada tanggal 28 Oktober 1924 pemerintah Hindia Belanda membuka Rechtshoogeschool te Batavia (RHS - Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta). Pembukaan RHS BataviaUndang-Undang Perguruan Tinggi 1924Sehubungan dengan pengambil-alihan THS oleh negara (Sabtu, 18 Oktober 1924) dan pembukaan RHS (Selasa, 28 Oktober 1924), maka kedua sekolah tinggi tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pendidikan/perguruan tinggi di Hindia Belanda yang selanjutnya disebut Hooger Onderwijs Wet 1924 Ordonnantie 9 Oktober 1924 No.1 (Stb. No. 457/1924) yang di antaranya mengatur:[7]
Dengan dikeluarkannya UU tersebut pada tahun 1924, semakin kuatlah dasar pijakan bagi Sekolah Tinggi Teknik di Bandung THS dan Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta RHS. Tiga tahun ke depan, tepatnya tahun 1927, bertambah lagi sekolah tinggi di negeri ini, yaitu Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta GHS. Pengurus dan staf pengajar pertamaBerdasarkan Besluit tanggal 21 Oktober 1924 ditunjuk sebagai Dewan Kurator RHS:[8]
Susunan guru besar tetap (gewoon hoogleraar):[8]
Susunan guru besar luar biasa (buitengewoon hoogleraar):[8]
Susunan lektor luar biasa (buitengewone lector):[8]
Hari-hari terakhir RHPada awal bulan Desember 1941, para mahasiswa RH relatif tetap tenang, tetapi tidak demikian dengan sebagian penduduk Batavia, terutama para ibu rumah tangga yang menjadi panik. Mereka berusaha menimbun sebanyak mungkin bahan makanan dan juga pakaian. Sebagian lagi sibuk membentuk organisasi seperti COVIM (Corps Vrouwen in Mobilisatietijd) dan Luchtbeschermingsdienst (LBD - dinas pertahanan sipil untuk menghadapi kemungkinan serangan udara), banyak pula wanita yang mengambil kursus pertolongan pertama. Sementara itu polisi semakin sering menangkap orang-orang yang berhubungan dengan pihak Jepang. Para dosen Belanda sekarang dimobilisasi, baik sebagai Stadwacht (barisan penjaga kota yang dibentuk pemerintah Belanda di Indonesia menjelang pendudukan Jepang) maupun Landwacht (korps cadangan angkatan darat), yang memberi kuliah dengan berseragam tentara, bersepatu bot sambil membawa helm. Ruang kelas F (ruang kelas terbesar), memiliki tempat di bawah tangga di mana kursi-kursi ditempatkan, sebagai tempat perlindungan ketika ada peringatan serangan udara. Dinding darurat juga dibangun pada bagian kiri bangunan untuk melindungi dinding luar ruang para guru besar. Tentara Jepang melaju dengan cepat, dengan menduduki Menado, Ambon, terus menuju hutan-hutan Malaya, membombardir Balikpapan dan bahkan Surabaya. Suasana itu membuat banyak orang Belanda maupun segelintir orang pribumi panik, lalu mengungsi ke bungalow-bungalow mereka di pegunungan luar kota. Sayangnya mereka juga membawa serta barang-barang berharga, emas, kain dan baju-baju mahal. Sangat ironis, alih-alih takut kepada tentara Jepang, banyak di antara pengungsi kaya tersebut dirampok dan dijarah para pencuri, perampok, dan pembunuh, pada hari-hari pertama pendudukan Jepang. Sebaliknya, orang-orang yang tetap tinggal di Batavia aman, karena di sana terdapat tentara Jepang yang menjaga ketertiban dan keamanan. Pada bulan Februari kampus hampir selalu sepi, namun tetap ada kegiatan akademik. Para mahasiswa mulai menghilang, terutama mahasiswi. Perkuliahan hanya dihadiri paling banyak sepuluh mahasiswa. Namun menjelang akhir bulan Februari 1942 sudah mulai banyak guru besar yang berhenti mengajar. Tanggal 1 Maret 1942, suasana sangat menakutkan, sirene sudah tidak lagi bersuara. Batavia sudah dinyatakan sebagai “kota terbuka”. Tentara Belanda sudah ditarik ke luar kota. Hanya Stadswacht yang tinggal di kota untuk melindungi daerah-daerah yang dihuni para wanita dan anak-anak bangsa Belanda, sementara wilayah-wilayah yang dihuni bangsa pribumi tak terlindungi. Tanggal 5 Maret 1942, jalan-jalan sepi, tidak terlihat seorangpun serdadu di mana-mana. Di kampus RH, buku-buku perpustakaan telah diamankan ke suatu ruang di gedung utama yang berdinding batu. Para profesor Belanda telah mengangkat staf pengajar dari kalangan pribumi sebagai pengganti mereka. Para mahasiswa tingkat V (tingkat akhir) RH telah mendapatkan “ijazah darurat” – diluluskan sebagai Meester in de Rechten – tanpa melalui ujian akhir. Seluruh guru besar Belanda dan para koleganya bergabung di Stadswacht. Jepang sudah menduduki Banten dan terus melaju ke Batavia hingga dapat tiba kapanpun juga. Prof. Dr. Soepomo, guru besar hukum adat, memakai pakaian Jawa, bersarungkan batik, dengan topi ala Barat – sekarang dialah satu-satunya representasi para guru besar RH (Fakultas Hukum) dan Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat). Sebuah truk bermuatan orang-orang berseragam tampak di lapangan di sebelah kanan depan gedung utama RH, di mana para guru besar dan pengajar RH ada di dalamnya. Itulah saat terakhir mereka ada di kampus RH pada masa kolonial. Pada sore hari siaran radio mengumumkan berulang kali bahwa Batavia sudah dinyatakan sebagai “kota terbuka”, di mana tentara Jepang dipersilahkan masuk ke kota, namun dengan permintaan agar tidak perlu terjadi pertumpahan darah. Dengan jatuhnya Batavia, RH pun ditutup dan tidak pernah dibuka lagi di lokasi yang sama.[9] Catatan
Referensi
Pranala luar
|