Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803–1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087 tahun 1973.[2] Salah satu naskah asli yang memuat riwayat hidup Tuanku Imam Bonjol tersimpan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat.[3] Masa mudaNama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Ahmad Syahab atau Muhammad Syahab, yang lahir di Bonjol pada 1 Januari 1772.[4] Ia merupakan putra dari pasangan Khatib Rajanuddin atau dikenal dengan sebutan Buya Nuddin dan Hamatun.[4] Ayahnya, Khatib Buya Nuddin merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[4][5] Ibunya Hamatun adalah seorang Aljazair yang telah lama bermukim di Maroko, yang kemudian bersama pamannya Syekh Usman merantau ke Ganggo Mudiak, Bonjol.[6] Mereka lalu diterima masuk ke dalam tatanan adat Minangkabau, dimana Syekh Usman menjadi penghulu kaum keturunannya, sebagai bagian klan suku Koto.[7] Setelah dewasa dan menjadi ulama dan pemimpin, Muhammad Syahab mendapat beberapa gelar dari masyarakat setempat, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, Datuk Bagindo Suman,[7] dan terakhir Tuanku Imam.[4][8] Tuanku Imam Bonjol tidak terlibat sejak awal dalam Perang Padri. Ia baru terlibat setelah Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin Harimau Nan Salapan menunjuknya sebagai imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.[4] Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.[4] Perang Padri
Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis di ranah Minangkabau. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803–1821) umumnya yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak. Awal timbulnya peperangan ini didasari keinginan di kalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah). Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi. Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Sebagai kompensasi, Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[9] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini, Belanda beralasan melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat. Perlawanan oleh pasukan Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch lalu mengajak pemimpin Kaum Padri yang kala itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini karena pada saat bersamaan Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa, seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek. Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan rakyat Minangkabau itu sendiri.[10] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an). Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).[10] Kemudian semuanya bersorak "ah, saketek indak baã, iyo biktu awak samo awak badusanak" (Bahasa Indonesia: ah, sedikit tidak apa, iya seperti itu jika kita bersaudara). Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[11] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jenderal Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, dan Pembantu Letnan Satu Steinmetz. Tetapi juga terdapat nama-nama inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero. Pada saat penyerangan pertama, Belanda didukung oleh 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, dan 4.130 tentara pribumi. Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai oleh orang-orang Bugis yang berada di bagian terdepan. Namun karena pertahanan Padri sangatlah kuat, maka didatangkan lagi tambahan pasukan dari Batavia, di mana pada tanggal 20 Juli 1837 mereka tiba di Padang dengan Kapal Perle. Pasukan tersebut terdiri dari Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini merujuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di kawasan yang sekarang bernama Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys yang berdinas dalam ketentaraan Belanda. Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungannya. Di masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit. Namun ia masih terus bertahan tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai tiga kali Belanda mengganti komandan perangnya, barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol -- benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit -- dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.[12] Imam Bonjol dibuang ke ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado.[13] Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi penyesalannya atas kekejaman dalam perang Padri.[12] Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu yang disimpan oleh keturunan Imam Bonjol serta dipublikasikan tahun 1925 di Berkeley[14] dan tahun 2004[15] di Padang.[12] Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[16] sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973. Selain itu, nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran uang Rp5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.[17] KeturunanDiantara anak-anak Tuanku Imam Bonjol, yakni Sutan Chaniago dan Sutan Saidi (lain ibu). Ibu Sutan Chaniago berasal dari Alahan Panjang, sedangkan ibu Sutan Saidi berasal dari Koto Lawas, Koto Tinggi.[18] Selepas Perang Padri, Sutan Chaniago diangkat menjadi Kepala Laras Alahan Panjang (1851–1875), sementara Sutan Saidi dibuang bersama Tuanku Imam Bonjol ke Manado dan kembali ke Bonjol setelah sang ayah meninggal.[19] Putra Imam Bonjol lainnya bernama Mahmud tewas kena tusukan bayonet saat Belanda menaklukkan Benteng Bukit Tajadi pada 1836.[20] Referensi
Lihat jugaPranala luar
|