Zhou Enlai
Zhou Enlai (Hanzi: 周恩来; Wade–Giles: Chou En-lai; (5 Maret 1898 – 8 Januari 1976) adalah seorang negarawan penting di Tiongkok yang menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok Pertama dari sejak berdirinya negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 1949 sampai dengan sepeninggalnya. Zhou bertugas di bawah Ketua Mao Zedong dan berperan penting dalam perjalanan Partai Komunis Tiongkok (PKT) menjadi partai penguasa, kemudian mengonsolidasikan kendalinya, membentuk kebijakan luar negeri, serta mengembangkan ekonomi Tiongkok. Seorang diplomat yang cakap dan handal, Zhou juga pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok Pertama dari tahun 1949 hingga 1958. Mendukung perdamaian dan hidup berdampingan dengan Blok Barat setelah Perang Korea, ia berpartisipasi dalam Konferensi Jenewa 1954 dan Konferensi Asia-Afrika 1955, serta membantu mengatur kunjungan Nixon ke Tiongkok 1972. Dia juga membantu menyusun kebijakan untuk mengatasi perselisihan yang getir dengan Amerika Serikat, Taiwan, perpecahan Tiongkok-Soviet, India dan Vietnam. Zhou selamat dari pembersihan para pejabat tinggi PKT selama masa Revolusi Kebudayaan. Sementara Mao mendedikasikan sebagian besar tahun-tahun terakhirnya untuk perjuangan politik dan menjalankan ideologinya, Zhou adalah kekuatan pendorong utama dalam urusan negara selama masa Revolusi Kebudayaan. Usahanya untuk mengurangi tindakan perusakan yang dilakukan oleh Pengawal Merah dan upayanya untuk melindungi orang-orang dari amukan para Pengawal Merah tersebut membuatnya sangat populer di tahap akhir masa Revolusi Kebudayaan. Ketika kesehatan Mao mulai menurun pada tahun 1971-1972 dan setelah kematian jenderal Lin Biao yang dinyatakan sebagai seorang pengkhianat, Zhou terpilih menjadi Wakil Ketua Partai Komunis Tiongkok oleh Komite Tetap Politbiro Partai Komunis Tiongkok ke-10 pada tahun 1973 dan dengan demikian ditunjuk sebagai penerus Mao, tetapi ia masih tetap harus berjuang melawan Kelompok Empat secara internal perihal kepemimpinan Tiongkok. Penampilan terakhirnya di depan umum adalah pada pertemuan pertama Kongres Rakyat Nasional ke-4 tanggal 13 Januari 1975, di mana ia mempresentasikan laporan kerja pemerintah. Setelah itu ia menjauh dari publik karena perlu mendapat perawatan medis sehubungan dengan penyakit kankernya dan meninggal satu tahun kemudian. Kesedihan publik yang begitu besar di Beijing berubah menjadi kemarahan terhadap Kelompok Empat, yang memicu terjadinya Insiden Tiananmen 1976. Meskipun Zhou kemudian digantikan oleh Hua Guofeng, namun sekutu Zhou: Deng Xiaoping dapat mengalahkan Kelompok Empat secara politis dan menggantikan Hua sebagai Pemimpin Tertinggi Tiongkok pada tahun 1978. Masa awal kehidupanMasa mudaZhou Enlai lahir di prefektur Huai'an, provinsi Jiangsu pada tanggal 5 Maret 1898, putra pertama dari silsilah keluarga Zhou. Keluarga Zhou berasal dari Shaoxing di provinsi Zhejiang. Selama akhir Dinasti Qing, Shaoxing terkenal sebagai rumah keluarga seperti keluarga Zhou ini, yang anggota keluarganya kebanyakan bekerja sebagai pegawai pemerintah (師爷, shiye) dari generasi ke generasi.[3] Untuk naik jabatan dalam dinas sipil, orang-orang di keluarga ini sering harus berpindah kota, dan pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaan dinasti Qing, keluarga Zhou Enlai pindah ke Huai'an. Bahkan setelah pindah pun, keluarga itu masih menganggap Shaoxing sebagai rumah leluhurnya.[4] Kakek Zhou bernama Zhou Panlong, dan saudara kakeknya yang bernama Zhou Jun'ang, adalah anggota keluarga pertama yang pindah ke Huai'an. Panlong tampaknya lulus ujian provinsi, dan Zhou Enlai pernah mengatakan bahwa Panlong menjabat sebagai hakim di wilayah Huai'an.[5] Ayah Zhou bernama Zhou Yineng, adalah anak kedua dari empat putra Zhou Panlong. Ibu kandungnya bermarga Wan, yang adalah putri seorang pejabat penting di Jiangsu.[note 1] Sama seperti orang lain pada umumnya, kekayaan keluarga besar Zhou yang kebanyakan bekerja sebagai pejabat pemerintahan, menjadi hancur karena terkena dampak resesi ekonomi besar yang melanda Tiongkok pada akhir abad ke-19. Zhou Yineng terkenal karena kejujuran, kelembutan, kecerdasan, dan kepeduliannya terhadap orang lain, tetapi dia juga dianggap lemah dan kurang dalam hal disiplin dan tekad. Dia tidak berhasil dalam kehidupan pribadinya, pernah merantau ke berbagai kota di Tiongkok untuk bekerja dalam berbagai bidang di Beijing, Shandong, Anhui, Shenyang, Mongolia Dalam dan Sichuan. Zhou Enlai mengingat bahwa ayahnya selalu jauh dari rumah dan secara umum tidak mampu menghidupi keluarganya.[7] Tidak lama setelah lahir, Zhou Enlai diadopsi oleh adik bungsu ayahnya bernama Zhou Yigan, yang menderita TBC. Tampaknya adopsi sudah diatur sedemikian rupa karena keluarga khawatir Yigan akan meninggal tanpa ahli waris.[note 2] Zhou Yigan kemudian meninggal setelah adopsi tersebut, dan Zhou Enlai dibesarkan oleh janda Yigan, yang nama keluarganya adalah Chen. Nyonya Chen berasal dari keluarga terpelajar dan mengenyam pendidikan sastra tradisional. Menurut kisah Zhou sendiri, dia sangat dekat dengan ibu angkatnya dan memperoleh minat yang mendalam pada sastra dan opera Tiongkok dari ibu angkatnya itu. Nyonya Chen mengajari Zhou baca tulis sejak usia dini, dan Zhou kemudian mengklaim telah membaca novel terkenal Perjalanan ke Barat dalam bahasa daerah pada usia enam tahun.[8] Pada usia delapan tahun, ia membaca berbagai novel tradisional Tiongkok lainnya, termasuk Batas Air, Kisah Tiga Negara , dan Impian Paviliun Merah .[6] Ibu kandung Zhou, Wan, meninggal pada tahun 1907 ketika Zhou berusia 9 tahun, dan ibu angkatnya Chen meninggal pada tahun 1908 ketika Zhou berusia 10 tahun. Ayah Zhou bekerja di Hubei, jauh dari Jiangsu, sehingga Zhou dan dua adik lelakinya kembali ke Huai'an dan tinggal bersama adik laki-laki ayahnya yang masih tersisa bernama Yikui selama dua tahun.[9] Pada tahun 1910, paman Zhou yang bernama Yigeng, kakak lelaki ayahnya yang tinggal dan bekerja di kantor pemerintahan di kota Shenyang, pada waktu itu masuk wilayah Manchuria, menawarkan diri untuk mengasuh Zhou. Keluarga Zhou di Huai'an menyetujuinya dan mengirim Zhou ke sana.[note 3] PendidikanDi Shenyang, Zhou sekolah di Dongguan Model Academy, sebuah sekolah bergaya modern. Pendidikan sebelumnya diperoleh seluruhnya dari sekolah rumah. Selain mata pelajaran baru seperti bahasa Inggris dan sains, Zhou juga terpengaruh oleh tulisan-tulisan dari para kaum reformis dan radikal seperti Liang Qichao, Kang Youwei, Chen Tianhua, Zou Rong dan Zhang Binglin.[10][11] Pada usia empat belas tahun, Zhou menyatakan bahwa motivasinya mengejar pendidikan adalah untuk "menjadi orang hebat yang akan memikul tanggung jawab berat negara di masa depan."[12] Pada tahun 1913, paman Zhou dipindahkan ke Tianjin, tempat Zhou masuk sekolah terkenal Sekolah Menengah Atas Tianjin Nankai. Sekolah Menengah Atas Tianjin Nankai didirikan oleh Yan Xiu, seorang sarjana dan dermawan terkemuka, dan dipimpin oleh Zhang Boling, salah seorang pendidik Tiongkok terpenting di abad ke-20.[13] Metode pengajaran Nankai tidak umum menurut standar Tiongkok kontemporer. Pada saat Zhou mulai sekolah di sana, model pendidikan yang digunakan diadopsi dari sekolah Phillips Academy Andover, Massachusetts, Amerika Serikat.[14] Reputasi sekolah, dengan rutinitas harian yang "sangat disiplin" dan " standar moral yang ketat",[15] menarik banyak siswa yang di kemudian hari menjadi orang-orang terkemuka dalam kehidupan publik. Teman-teman dan teman sekelas Zhou sendiri seperti Ma Jun (seorang pemimpin masa awal komunis Tiongkok yang dieksekusi pada tahun 1927) dan Wu Guozhen atau yang akrab disapa K. C. Wu (wali kota Chongqing dan Shanghai kemudian gubernur Taiwan di bawah Partai Nasionalis).[16] Bakat Zhou juga menarik perhatian Yan Xiu dan Zhang Boling. Yan khususnya sangat memikirkan Zhou, dia bahkan membayarkan biaya sekolahnya di Jepang dan kemudian Prancis.[17] Yan sangat terkesan dengan Zhou sehingga dia mendorong Zhou untuk menikahi putrinya, tetapi Zhou menolak. Zhou kemudian mengungkapkan kepada teman sekelasnya Zhang Honghao, alasan keputusannya untuk tidak menikahi putri Yan. Zhou mengatakan bahwa dia menolak pernikahan tersebut karena dia takut prospek keuangannya tidak akan menjanjikan, dan bahwa Yan, sebagai ayah mertuanya, kelak akan mendominasi hidupnya.[18] Zhou berhasil dalam sekolahnya di Nankai, dia unggul dalam mata pelajaran bahasa Tionghoa, memenangkan beberapa penghargaan di klub pidato sekolah, dan menjadi editor koran sekolah pada tahun terakhirnya. Zhou juga sangat aktif dalam akting dan memproduksi serta bermain drama di Nankai; banyak siswa yang sebelumnya tidak mengenalnya kemudian mengenalnya melalui aktingnya.[19] Nankai masih menyimpan sejumlah esai dan artikel yang ditulis oleh Zhou sampai saat ini, dan hal ini mencerminkan disiplin, pelatihan, dan kepedulian terhadap negara yang coba ditanamkan oleh pendiri Nankai kepada para siswa mereka. Saat upacara kelulusan angkatan ke-10 sekolah itu pada bulan Juni 1917, Zhou adalah satu dari lima siswa penyandang predikat lulusan terbaik pada upacara tersebut, dan salah satu dari dua pembaca pidato perpisahan.[20] Pada saat ia lulus dari Nankai, ajaran Zhang Boling tentang gong (semangat publik) dan neng (kemampuan) sangat berkesan baginya. Partisipasinya dalam acara debat dan melakoni pertunjukan drama di atas panggung teater telah berkontribusi besar pada kefasihan dan keterampilannya dalam hal membujuk. Zhou meninggalkan Nankai dengan keinginan besar untuk menjadi seorang pelayan publik, dan berusaha memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk menjadi seorang pelayan publik.[21] Mengikuti banyak teman sekelasnya, Zhou pergi ke Jepang pada Juli 1917 untuk belajar lebih lanjut. Selama dua tahun di Jepang, Zhou menghabiskan sebagian besar waktunya di Sekolah Persiapan Tinggi Asia Timur, sebuah sekolah bahasa untuk para mahasiswa Tiongkok. Sekolah Zhou didukung oleh pamannya, dan juga oleh Yan Xiu pendiri Nankai, tetapi dana mereka terbatas dan selama periode itu Jepang menderita inflasi yang parah.[22] Zhou awalnya berencana memenangkan salah satu beasiswa yang ditawarkan oleh pemerintah Tiongkok, beasiswa ini mewajibkan siswa Tiongkok untuk lulus ujian masuk di universitas Jepang. Zhou mengikuti ujian masuk untuk setidaknya di dua sekolah, tetapi gagal diterima.[23] Zhou menceritakan kegelisahannya pada saat itu yang diperparah oleh kematian pamannya, Zhou Yikui, ketidakmampuannya untuk menguasai bahasa Jepang, dan sauvinisme budaya Jepang akut yang diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa. Pada saat Zhou kembali ke Tiongkok pada musim semi 1919, dia menjadi sangat kecewa dengan budaya Jepang, menolak gagasan bahwa model politik Jepang relevan dengan Tiongkok dan merendahkan nilai-nilai elitisme dan militerisme yang dia pelajari.[24] Buku harian dan surat-surat Zhou pada saat di Tokyo menunjukkan minatnya yang mendalam pada politik dan peristiwa terkini saat itu, khususnya Revolusi Rusia tahun 1917 dan kebijakan baru Bolshevik. Dia mulai rajin membaca majalah Chen Duxiu yang progresif dan majalah yang condong "kiri", New Youth.[25] Dia mungkin membaca beberapa karya penulis Jepang awal tentang Karl Marx, dikabarkan bahwa dia bahkan menghadiri kuliah Hajime Kawakami di Universitas Kyoto. Kawakami adalah tokoh penting dalam sejarah awal Marxisme di Jepang, dan terjemahan serta artikelnya mempengaruhi generasi komunis Tiongkok.[26] Namun, sekarang sepertinya tidak mungkin Zhou pernah bertemu dengannya atau menghadiri kuliahnya pada waktu itu.[27] Buku harian Zhou juga menunjukkan keprihatinannya terhadap aksi mogok mahasiswa Tiongkok di Jepang pada Mei 1918, ketika pemerintah Tiongkok gagal mengirimkan beasiswa kepada para mahasiswanya, tetapi tampaknya ia tidak terlibat dalam aksi tersebut. Peran aktifnya dalam gerakan politik dimulai setelah ia kembali ke Tiongkok. Kegiatan politik awalZhou kembali ke Tianjin sekitar musim semi 1919. Sejarawan tidak setuju bahwa ia pernah ikut berpartisipasi dalam Gerakan Empat Mei yang terjadi pada bulan Mei hingga Juni 1919. Biografi Zhou versi resmi dari pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa ia adalah pemimpin protes mahasiswa Tianjin dalam Gerakan Empat Mei itu,[28] tetapi banyak sarjana modern percaya bahwa Zhou tidak mungkin pernah berpartisipasi dalam gerakan itu, berdasarkan pada kurangnya bukti langsung pada catatan-catatan yang masih bisa diselamatkan pada periode itu.[28][29] Pada bulan Juli 1919, Zhou menjadi editor Buletin Serikat Pelajar Tianjin, tampaknya atas permintaan teman sekelasnya sewaktu di Nankai bernama Ma Jun, seorang pendiri organisasi komunis.[30] Selama keberadaannya yang singkat dari Juli 1919 hingga awal 1920, buletin itu telah dibaca secara luas oleh kelompok mahasiswa di seluruh negeri dan pernah diperingatkan setidaknya satu kali oleh pemerintah nasional sebagai sesuatu hal yang "berbahaya bagi keselamatan publik dan ketertiban sosial."[31] Ketika Sekolah Menengah Atas Tianjin Nankai menjadi Universitas Nankai pada Agustus 1919, Zhou berada di kelas satu, tetapi menjadi seorang aktivis penuh waktu. Kegiatan politiknya terus berkembang, dan pada bulan September, ia dan beberapa siswa lainnya sepakat untuk mendirikan organisasi Awakening Society (Perhimpunan Kebangkitan), sebuah kelompok kecil, tidak pernah berjumlah lebih dari 25 orang.[32] Dalam menjelaskan visi dan misi dari organisasi Perhimpunan Kebangkitan itu, Zhou mengatakan bahwa "segala sesuatu yang tidak sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman sekarang seperti militerisme, borjuis, birokrat, ketidaksetaraan gender antara pria dan wanita, dewa-dewa partai, ide-ide keras kepala, moral usang, etika lama ... harus dihapus atau direformasi", dan menegaskan bahwa tujuan organisasi adalah untuk menyebarkan kesadaran tentang hal-hal tersebut kepada orang-orang Tiongkok. Dalam organisasi inilah Zhou pertama kali bertemu dengan calon istrinya, Deng Yingchao.[33] Dalam beberapa hal, Perhimpunan Kebangkitan ini menyerupai kelompok belajar klandestin Marxis di Universitas Peking yang dipimpin oleh Li Dazhao, di mana para anggota kelompok ini menggunakan angka alih-alih nama mereka untuk menjaga kerahasiaan identitas anggotanya. (Zhou adalah "Nomor Lima", nama samaran yang terus ia gunakan pada tahun-tahun berikutnya.)[34] Tentu saja, segera setelah organisasi itu didirikan, mereka mengundang Li Dazhao untuk memberikan ceramah tentang Marxisme. Beberapa bulan kemudian, Zhou berperan aktif dan lebih menonjol dalam kegiatan politik.[35] Yang terbesar dari kegiatannya saat itu adalah aksi unjuk rasa untuk mendukung boikot nasional terhadap barang-barang produksi Jepang. Ketika boikot terjadi di mana-mana, pemerintah nasional di bawah tekanan Jepang, berusaha untuk meredamnya. Pada tanggal 23 Januari 1920, akibat dari keributan yang terjadi selama berlangsungnya unjuk rasa boikot di Tianjin menyebabkan penangkapan sejumlah orang, termasuk beberapa anggota Perhimpunan Kebangkitan, dan pada tanggal 29 Januari Zhou memimpin pawai di depan Kantor Gubernur Tianjin untuk mengajukan petisi yang menyerukan pembebasan para tahanan. Zhou dan tiga pemimpin lainnya ditangkap. Para tahanan ditahan selama lebih dari enam bulan, selama masa penahanan mereka, Zhou diduga mengorganisir diskusi tentang Marxisme.[36] Dalam persidangan mereka pada bulan Juli, Zhou dan enam lainnya dijatuhi hukuman dua bulan, sisanya ditemukan tidak bersalah. Semua segera dibebaskan karena mereka sudah ditahan selama enam bulan. Setelah Zhou dibebaskan, ia dan Perhimpunan Kebangkitan bertemu dengan beberapa organisasi dari Beijing dan setuju untuk membentuk "Federasi Reformasi", selama kegiatan ini Zhou menjadi lebih akrab dengan Li Dazhao dan bertemu Zhang Shenfu, yang merupakan seorang perantara antara Li Dazhao di Beijing dan Chen Duxiu di Shanghai. Kedua pria itu mengorganisir sel-sel Komunis bawah tanah bekerja sama dengan Grigori Voitinsky,[37] seorang agen Internasionale Ketiga atau Komintern, tetapi Zhou tampaknya tidak bertemu dengan Voitinsky pada saat itu. Segera setelah dibebaskan, Zhou memutuskan pergi ke Eropa untuk belajar. (Dia dikeluarkan dari Universitas Nankai selama masa penahanannya) Meskipun bermasalah dalam hal keuangan, dia menerima beasiswa dari Yan Xiu.[38] Untuk mendapatkan dana yang lebih besar, dia berhasil mendekati koran Tianjin, Yishi bao, untuk bekerja sebagai "koresponden khusus" di Eropa. Zhou meninggalkan Shanghai menuju Eropa pada tanggal 7 November 1920 bersama-sama dengan 196 mahasiswa lainnya yang mengikuti program Gerakan Studi Rajin Bekerja-Hemat, termasuk teman-teman dari Nankai dan Tianjin.[39] Pengalaman Zhou setelah aksi Gerakan Empat Mei tampaknya sangat penting bagi karier Komunisnya. Teman-teman Zhou di organisasi Perhimpunan Kebangkitan juga terpengaruh. 15 anggota kelompok menjadi Komunis setidaknya untuk beberapa waktu, dan setelah itu hubungan sesama anggota kelompok tersebut tetap akrab. Zhou dan enam anggota kelompok tersebut pergi ke Eropa selama dua tahun, Zhou akhirnya menikahi Deng Yingchao yang merupakan anggota termuda dari kelompok itu. Kegiatan di EropaKelompok Zhou tiba di Marseille pada tanggal 13 Desember 1920. Tidak seperti kebanyakan mahasiswa Tiongkok lainnya yang pergi ke Eropa mengikuti program belajar sambil bekerja, dengan mendapat beasiswa dan posisi Zhou di koran harian Yishi bao berarti bahwa ia telah mempersiapkan diri dengan baik dan tidak perlu melakukan pekerjaan seperti mahasiswa lainnya selama dia tinggal di Eropa. Karena keadaan keuangannya, ia dapat mengabdikan dirinya penuh waktu untuk kegiatan revolusioner.[39] Dalam sepucuk surat kepada sepupunya pada 30 Januari 1921, Zhou mengatakan bahwa tujuannya ke Eropa adalah untuk menyurvei kondisi sosial di negara-negara asing dan mengamati metode yang mereka pakai dalam menyelesaikan masalah sosial, supaya bisa diterapkan di Tiongkok setelah ia kembali. Dalam surat yang sama, Zhou mengatakan kepada sepupunya mengenai adopsi ideologi tertentu, "Aku masih menimbang-nimbang."[40] Sewaktu di Eropa, Zhou sering dipanggil dengan nama John Knight, ia mempelajari berbagai pendekatan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar kelas dalam masyarakat yang diadopsi oleh berbagai negara Eropa. Di London pada bulan Januari 1921, Zhou menyaksikan aksi mogok besar yang dilakukan para pekerja tambang dan menulis serangkaian artikel untuk koran "Yishi bao" (umumnya berisi rasa simpati kepada para penambang), mempelajari kasus konflik yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha, dan cara penyelesaian konflik tersebut. Setelah lima minggu di London, ia kemudian pindah ke Paris, minatnya sangat besar terhadap peristiwa Revolusi Oktober di Uni Sovyet 1917. Dalam sepucuk surat kepada sepupunya, Zhou mengidentifikasi ada dua cara reformasi yang bisa diterapkan di Tiongkok: cara "bertahap" seperti di Inggris atau cara "kekerasan" seperti di Uni Sovyet. Zhou menulis bahwa "Saya tidak memiliki preferensi untuk cara Inggris atau Uni Sovyet ... Saya lebih suka sesuatu di tengah-tengah keduanya, daripada salah satu dari dua cara yang ekstrem itu".[40] Karena masih tertarik dengan program akademik, Zhou melakukan perjalanan ke Inggris pada Januari 1921 untuk mengunjungi Universitas Edinburgh. Kuatir dengan masalah keuangan dan persyaratan bahasa, ia tidak jadi mendaftar dan kembali ke Prancis pada akhir Januari. Tidak ada catatan yang mengatakan Zhou pernah memasuki program akademis apa pun di Prancis. Pada musim semi 1921, ia bergabung dengan sel Komunis Tiongkok.[note 4] Zhou direkrut oleh Zhang Shenfu, yang dia temui pada Agustus tahun sebelumnya sewaktu berhubungan dengan Li Dazhao. Dia mengenal Zhang melalui istri Zhang, Liu Qingyang yang juga seorang anggota dari Perhimpunan Kebangkitan. Zhou sering digambarkan "tidak pasti" sikap politiknya pada saat itu,[41] tetapi perpindahannya yang cepat menjadi seorang Komunis mengisyaratkan sebaliknya.[note 5] Sel komunis milik Zhou berpusat di Paris,[42] selain Zhou, ada juga 4 anggota mahasiswa lainnya Zhang, Liu, Zhao Shiyan dan Chen Gongpei. Selama beberapa bulan berikutnya, kelompok ini akhirnya membentuk sebuah organisasi dan bersatu dengan kelompok radikal Tiongkok dari Hunan, yang tinggal di daerah Montargis bagian selatan Paris. Banyak anggota dari kelompok ini yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh penting seperti Cai Hesen, Li Lisan, Chen Yi, Nie Rongzhen, Deng Xiaoping dan Guo Longzhen yang juga anggota dari Perhimpunan Kebangkitan. Tidak seperti Zhou, sebagian besar mahasiswa dalam kelompok ini adalah peserta dalam program belajar sambil bekerja. Serangkaian konflik yang terjadi dengan administrator Tiongkok soal upah yang rendah dan kondisi kerja yang buruk mengakibatkan lebih dari seratus mahasiswa terpaksa menempati kantor program belajar sambil bekerja Sino-French Institute yang ada di kota Lyon pada September 1921. Para mahasiswa, termasuk beberapa orang dari kelompok Montargis ditangkap dan dideportasi. Zhou tampaknya bukan salah satu dari mahasiswa yang menetap dan tinggal di Prancis hingga Februari atau Maret 1922, karena ia pindah bersama Zhang dan Liu dari Paris ke Berlin. Kepindahan Zhou ke Berlin mungkin karena atmosfer politik yang relatif lebih "lunak" di Berlin membuatnya menyukai kota ini untuk dijadikan basis pengorganisasian di Eropa secara keseluruhan.[43] Selain itu, Sekretariat Komintern Eropa Barat juga berada di Berlin dan jelas bahwa Zhou memiliki koneksi-koneksi penting di Komintern, meskipun sifatnya masih diperdebatkan.[44] Setelah memindahkan operasinya ke Jerman, Zhou secara teratur bolak-balik antara Paris dan Berlin. Zhou kembali ke Paris pada bulan Juni 1922, di mana ia adalah salah satu dari dua puluh dua peserta yang hadir di organisasi Liga Pemuda Komunis Tiongkok yang didirikan sebagai cabang Partai Komunis Tiongkok (PKT) di Eropa.[note 6] Zhou membantu menyusun piagam partai dan terpilih menjadi salah satu komite dari tiga anggota komite eksekutif, dia menjabat sebagai direktur propaganda.[45] Dia juga menulis dan membantu mengedit majalah partai, Shaonian (Pemuda) yang kemudian berganti nama menjadi Chiguang (Lampu Merah). Sewaktu menjadi editor umum majalah ini, Zhou pertama kali bertemu dengan Deng Xiaoping yang pada saat itu baru berusia tujuh belas tahun, Zhou kemudian mempekerjakan Deng untuk mengoperasikan mesin stensil (salinan).[46] Partai itu mengalami beberapa kali reorganisasi dan perubahan nama, tetapi Zhou selalu menjadi anggota kunci kelompok itu selama ia tinggal di Eropa. Kegiatan penting lainnya yang dilakukan Zhou termasuk merekrut dan menyediakan transportasi untuk para mahasiswa yang kuliah di Universitas Sun Yat-sen Moskow, serta pembentukan Partai Nasionalis Tiongkok Kuomintang (KMT) cabang Eropa. Pada Juni 1923, Kongres Ketiga PKT menerima instruksi dari Komintern untuk bersekutu dengan KMT, yang pada saat itu dipimpin oleh Sun Yat-sen. Instruksi ini meminta semua anggota PKT untuk bergabung dengan Partai Nasionalis KMT tersebut sebagai "individu", sambil tetap mempertahankan hubungan mereka dengan PKT. Setelah bergabung dengan KMT, mereka akan bekerja untuk memimpin serta mengarahkannya, dan pada akhirnya mengubahnya menjadi kendaraan revolusi bagi komunis. Dalam beberapa tahun, strategi ini akan menjadi sumber konflik serius antara KMT dan PKT.[47] Selain bergabung dengan KMT, Zhou juga membantu mengorganisasi pendirian Partai Nasionalis cabang Eropa pada November 1923. Di bawah pengaruh Zhou, sebagian besar para pejabat Partai Nasionalis cabang Eropa sebenarnya sudah menjadi antek-antek komunis. Koneksi Zhou yang luas dan hubungan pribadi yang terbentuk selama periode ini merupakan pusat kariernya. Para pemimpin penting partai, seperti Zhu De dan Nie Rongzhen, pertama kali diterima masuk ke dalam PKT oleh Zhou. Pada 1924, aliansi Soviet-Nasionalis berkembang pesat dan Zhou dipanggil kembali ke Tiongkok untuk pekerjaan lebih lanjut. Dia meninggalkan Eropa mungkin pada akhir Juli 1924,[note 7] dan kembali ke Tiongkok sebagai salah satu anggota PKT yang paling senior di Eropa. Kerja politik dan militer di WhampoaPendirian di GuangzhouZhou kembali ke Tiongkok pada akhir Agustus atau awal September 1924 guna bergabung dengan Departemen Politik Akademi Militer Whampoa, mungkin karena pengaruh dari Zhang Shenfu, yang sebelumnya telah bekerja di sana.[48] Jabatan apa yang dipegang Zhou serta kapan persisnya tidak ada catatan yang jelas. Beberapa bulan setelah kedatangannya, mungkin Oktober 1924, ia menjadi wakil direktur Departemen Politik Akademi, dan kemudian, mungkin sekitar November 1924, menjadi Direktur Departemen.[note 8] Meskipun secara teknis bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, departemen politik Zhou beroperasi di bawah mandat langsung untuk mengindoktrinasi para taruna Whampoa dengan ideologi KMT guna meningkatkan loyalitas dan moral. Saat ia bertugas di Whampoa, Zhou juga diangkat sebagai sekretaris Partai Komunis Guangdong-Guangxi, dan menjabat sebagai perwakilan PKT dengan pangkat Mayor Jenderal.[50] Pulau Whampoa terletak sepuluh mil (16 Km) ke arah hilir Guangzhou, merupakan jantung dari aliansi Partai Nasionalis-Soviet. Dikenal sebagai pusat pelatihan Tentara Partai Nasionalis, yang kemudian dijadikan sebagai basis pangkalan militer di mana nantinya kaum Nasionalis akan meluncurkan kampanye penyatuan Tiongkok, tempat ini terbagi menjadi lusinan divisi militer. Sejak awal sekolah ini didanai, dipersenjatai, dan sebagian dikelola oleh Uni Soviet.[51] Zhou bekerja pada divisi Departemen Politik, ia bertanggung jawab atas proses indoktrinasi dan pengendalian politik. Tidak heran jika Zhou menjadi sosok yang terkenal pada acara-acara pertemuan di Akademi, ia orang yang paling sering berbicara di akademi setelah komandan Chiang Kai-shek. Dia sangat berpengaruh dalam membangun sistem perwakilan politik / perwakilan partai (komisaris), suatu sistem yang nantinya diadopsi oleh angkatan bersenjata Nasionalis pada tahun 1925.[52] Bersamaan dengan pengangkatannya di Whampoa, Zhou menjadi sekretaris Komite Partai Komunis Provinsi Guangdong, dan di beberapa titik lainnya sebagai anggota Seksi Militer Komite Provinsi.[note 9] Zhou dengan penuh semangat menyebarkan doktrin Komunisme di Akademi ini. Dia segera mengatur sejumlah Komunis terkemuka lainnya untuk bergabung dengan Departemen Politik, termasuk Chen Yi, Nie Rongzhen, Yun Daiying dan Xiong Xiong.[53] Zhou memainkan peranan penting dalam mendirikan Asosiasi Tentara Muda, sebuah kelompok pemuda yang didominasi oleh Komunis, dan Sparks (kelompok garis depan Komunis yang ternyata tidak bertahan lama). Dia banyak merekrut taruna baru dari partai Komunis, dan akhirnya dia mendirikan cabang Partai Komunis terselubung di dalam Akademi itu untuk memberikan arahan lebih lanjut kepada para anggota barunya.[54] Ketika Nasionalis mulai khawatir dengan meningkatnya jumlah anggota dan organisasi Komunis di Whampoa, mereka membentuk organisasi "Perhimpunan Sun Yat-senisme", Zhou berusaha untuk memadamkan organisasi bentukan Nasionalis ini. Konflik yang sering terjadi antara kelompok-kelompok siswa ini yang menjadi latar belakang dikeluarkannya Zhou dari Akademi Militer Whampoa.[55] Kegiatan militerZhou berpartisipasi dalam dua operasi militer yang dilancarkan oleh rezim Nasionalis pada tahun 1925, yang kemudian dikenal sebagai Ekspedisi Timur Pertama dan Kedua. Ekspedisi yang pertama adalah pada Januari 1925 ketika Chen Jiongming, seorang pemimpin militer penting dari Kanton yang sebelumnya diusir dari Guangzhou oleh Sun Yat-sen, sekarang sedang berusaha merebut kembali Guangzhou. Kampanye rezim Nasionalis melawan Chen terdiri dari pasukan Guangdong di bawah pimpinan Xu Chongzhi, dan dua resimen pelatihan Tentara Partai Nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek dan dikelola oleh para perwira dan taruna Akademi Militer Whampoa .[56] [note 10] Pertempuran berlangsung hingga Mei 1925, dengan kekalahan dipihak pasukan Chen, tetapi tidak sampai hancur.[57] Zhou mendampingi para taruna Whampoa dalam ekspedisi ini sebagai perwira politik. Ketika Chen membentuk kembali pasukannya dan menyerang Guangzhou lagi pada bulan September 1925, kaum Nasionalis meluncurkan Ekspedisi Kedua. Pasukan nasionalis pada saat ini telah ditata ulang menjadi lima korps tentara, dan mengadopsi sistem komisaris dengan Departemen Politik dan perwakilan partai Nasionalis di sebagian besar divisinya. Korps Pertama terdiri dari Tentara Partai Nasionalis yang dipimpin oleh lulusan Whampoa dan diperintahkan oleh Chiang Kai-shek, yang secara pribadi menunjuk Zhou sebagai direktur Departemen Politik Korps Pertama.[58] Tidak lama setelah itu, Komite Eksekutif Pusat Partai Nasionalis menunjuk Zhou sebagai perwakilan Partai Nasionalis, sekaligus menjadikan Zhou sebagai komisaris utama Korps Pertama.[59] Dalam pertempuran besar pertama yang terjadi dalam ekspedisi kali ini mereka berhasil menguasai pangkalan Chen yang berada di Huizhou pada 15 Oktober. Kemudian Shantou berhasil direbut pada 6 November, dan pada akhir 1925, kaum Nasionalis menguasai seluruh provinsi Guangdong. Pengangkatan Zhou sebagai komisaris utama Korps Pertama memungkinkan dia untuk menunjuk anggota Komunis sebagai komisaris di empat dari lima divisi Korps yang ada.[60] Akhir dari Ekspedisi ini, Zhou diangkat sebagai komisioner khusus untuk Distrik Sungai Timur, dan memegang kendali administratif sementara dari beberapa county. Zhou rupanya menggunakan kesempatan ini untuk mendirikan cabang partai Komunis di Shantou dan memperkuat pemantauan PKT terhadap kegiatan serikat buruh setempat.[61] Kejadian ini menandai titik puncak prestasi Zhou semasa di Akademi Militer Whampoa. Kegiatan politikSecara pribadi, 1925 merupakan tahun yang penting bagi Zhou. Zhou terus berhubungan dengan Deng Yingchao, yang pernah ia temui di Perhimpunan Kebangkitan saat masih di Tianjin dulu. Pada Januari 1925, Zhou meminta dan langsung menerima izin dari otoritas PKT untuk menikahi Deng. Keduanya menikah di Guangzhou pada 8 Agustus 1925.[62] Pekerjaan Zhou di Whampoa berakhir ketika terjadi "Insiden Kapal Perang Zhongshan" pada tanggal 20 Maret 1926, di mana ada sebuah kapal perang yang awaknya sebagian besar adalah anggota Komunis, bergerak pindah dari Whampoa ke Guangzhou tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari Chiang Kai-shek. Peristiwa ini menyebabkan dikeluarkannya Chiang dari Komunis di Akademi Militer Whampoa pada Mei 1926, dan mengakibatkan banyak anggota Komunis yang menduduki posisi tinggi di Partai Nasionalis diganti. Dalam memoarnya, Nie Rongzhen menduga bahwa kapal perang tersebut bergerak sebagai bentuk protes atas penangkapan (singkat) Zhou Enlai.[54] Masa-masa Zhou di Akademi Militer Whampoa adalah periode penting dalam kariernya. Pekerjaan permulaannya sebagai perwira politik di militer membuatnya menjadi seorang pakar penting nantinya di Partai Komunis dalam bidang utama ini di mana sebagian besar kariernya berpusat pada urusan militer. Pekerjaan Zhou di Bagian Militer Komite Regional PKT Guangdong adalah ciri khas dari kegiatan terselubungnya pada periode itu. Bagian itu adalah kelompok rahasia yang terdiri dari tiga anggota Komite Pusat Provinsi, dan tugas utamanya adalah bertanggung jawab untuk mengorganisir dan memberi arahan kepada anggota-anggota inti PKT di dalam pasukan itu sendiri. Para anggota inti ini yang telah diorganisir di tingkat resimen dan di atasnya, adalah ilegal, yang berarti mereka dibentuk tanpa sepengetahuan atau otorisasi Nasionalis. Bagian ini juga bertanggung jawab untuk mengatur anggota-anggota inti serupa di kelompok bersenjata lainnya, termasuk perkumpulan rahasia dan pelayanan publik utama seperti jalur kereta api dan saluran air. Zhou melakukan pekerjaan yang luas di bidang-bidang ini sampai terjadi perpecahan partai Nasionalis dengan partai Komunis dan berakhirnya aliansi Soviet-Nasionalis pada tahun 1927.[63] Perpecahan Nasionalis-KomunisTingkat Kerja samaApa kegiatan Zhou setelah dipindahkan dari Akademi Militer Whampoa belum ada informasi yang pasti. Seorang penulis biografi sebelumnya mengklaim bahwa Chiang Kai-shek menempatkan Zhou sebagai penanggung jawab di "pusat pelatihan lanjutan untuk para anggota PKT dan para komisaris yang ditarik dari ketentaraan".[64] Sumber-sumber Komunis Tiongkok baru-baru ini mengatakan bahwa Zhou memiliki peranan penting dalam mengamankan kendali Komunis terhadap Resimen Independen yang dipimpin oleh Ye Ting. Resimen Independen ini dan Ye Ting nantinya akan memainkan peranan utama dalam pertempuran besar Komunis yang pertama dalam perang saudara melawan pihak Nasionalis yaitu pada Pemberontakan Nanchang.[54] Pada Juli 1926, kaum Nasionalis meluncurkan Ekspedisi Utara, suatu upaya militer besar-besaran untuk menyatukan Tiongkok. Ekspedisi ini dipimpin oleh Chiang Kai-shek dan Tentara Revolusioner Nasional (TRN), sebuah pasukan militer campuran karena anggotanya terdiri dari berbagai macam profesi. TRN ini mendapat bimbingan yang signifikan dari penasihat militer Uni Sovyet dan anggotanya banyak yang Komunis, baik komandan maupun pejabat politik. Dengan keberhasilan awal Ekspedisi ini, segera terjadi perlombaan antara Chiang Kai-shek yang memimpin "sayap kanan" Partai Nasionalis dan Komunis yang berlari di dalam "sayap kiri" kaum Nasionalis, terutama untuk menguasai wilayah selatan seperti kota-kota Nanking dan Shanghai. Pada saat itu kota Shanghai dibagi-bagi wilayahnya oleh pihak asing yang disebut konsesi, wilayah Shanghai yang milik Tiongkok dikuasai oleh Sun Chuanfang, salah satu militeris yang menjadi target operasi Ekspedisi Utara ini. Terganggu oleh pertempuran dengan TRN dan banyak pasukannya yang membelot, Sun mengurangi kekuatan pasukannya di Shanghai. Dan cabang partai Komunis di Shanghai mengambil kesempatan dengan melakukan tiga kali aksi pemberontakan untuk menguasai kota itu, yang kemudian disebut "Tiga Pemberontakan Shanghai" yang terjadi pada bulan Oktober 1926, Februari 1927 dan Maret 1927. Kegiatan di ShanghaiZhou dipindahkan ke Shanghai untuk membantu pemberontakan tersebut, mungkin pada akhir 1926. Tampaknya ia tidak hadir pada pemberontakan pertama pada 23-24 Oktober,[65] tetapi ia pasti berada di Shanghai pada Desember 1926. Pada catatan sebelumnya, Zhou dipuji karena berhasil mengoordinasikan serikat buruh di Shanghai setelah kedatangannya, atau lebih kredibel jika dikatakan dengan kalimat: "bekerja untuk memperkuat indoktrinasi kepada para pekerja politik yang ada di serikat buruh dan menyelundupkan senjata kepada para pelaku aksi mogok kerja." [66] Catatan yang mengatakan bahwa Zhou "mengorganisir" atau "memerintahkan" pemberontakan kedua dan ketiga pada 20 Februari dan 21 Maret terlalu membesar-besarkan peranannya. Karena setiap keputusan besar selama periode ini dibuat oleh seorang kepala cabang Komunis di Shanghai, Chen Duxiu adalah seorang sekretaris jenderal Partai Komunis, dengan komite khusus beranggotakan delapan pejabat partai yang mengoordinasikan tindakan Komunis di Shanghai. Komite juga berkonsultasi erat tentang keputusan dengan perwakilan Komintern di Shanghai yang dipimpin oleh Grigori Voitinsky.[67] Catatan terpisah yang ada untuk periode ini menunjukkan bahwa Zhou mengepalai Komisi Militer Komite Pusat Partai Komunis di Shanghai.[68] Dia berpartisipasi dalam aksi Februari dan Maret, tetapi bukan sebagai penggerak di kedua aksi itu, melainkan bekerja sama dengan A.P. Appen seorang penasihat militer Soviet untuk Komite Sentral, guna melatih Serikat Buruh Umum menjadi prajurit. Serikat ini adalah organisasi buruh Komunis yang dikendalikan di Shanghai. Zhou juga bekerja untuk membuat serikat buruh ini menjadi pasukan yang lebih kuat dan efektif. Ketika Komunis mengumumkan aksi Teror Merah setelah pemberontakan Februari yang gagal; pasukan serikat buruh ini berhasil membunuh dua puluh tokoh "anti-serikat", melakukan penculikan, pemukulan, serta intimidasi terhadap orang lain yang terkait dengan kegiatan anti-serikat.[69] Pemberontakan Komunis ketiga di Shanghai terjadi pada 20-21 Maret. Di mana 600.000 pemberontak yang terdiri dari para anggota serikat buruh yang sudah terlatih memutuskan aliran listrik dan telepon, menyita kantor pos, markas polisi, dan stasiun kereta api setelah terjadi pertempuran hebat. Dalam pemberontakan kali ini, para pemberontak diperintahkan dengan tegas untuk tidak menyakiti orang-orang asing, dan mereka mematuhi perintah itu. Pasukan Sun Chuanfang mundur dan pemberontakan kali ini berhasil meskipun dengan jumlah pasukan bersenjata yang lebih sedikit. Pasukan Nasionalis pertama memasuki kota pada hari berikutnya.[70] Ketika Komunis sedang mencoba mendirikan wilayah pemerintahan kota Uni Soviet di Shanghai, konflik mulai terjadi antara pihak Nasionalis dengan Komunis. Dan pada 12 April pasukan Nasionalis, termasuk anggota mafia Geng Hijau dan tentara di bawah komando jenderal Nasionalis Bai Chongxi menyerang Komunis dan dengan cepat mengalahkan mereka. Pada malam sebelum Komunis diserang, Wang Shouhua yang merupakan ketua Komite Buruh PKT dan Ketua Komite Buruh Umum pergi menerima undangan makan malam dari Si Kuping Besar Du (Du Yuesheng), seorang gangster di Shanghai. Wang Shouhua dicekik sampai mati ketika dia baru saja tiba. Zhou sendiri juga hampir terbunuh dengan perangkap yang sama, ketika dia ditangkap setelah tiba di tempat perjamuan makan malam yang diadakan di markas besar Si Lie, seorang komandan Nasionalis Angkatan Darat ke-26 yang dipimpin Chiang Kai-shek. Terlepas dari isu bahwa Chiang menetapkan harga yang tinggi untuk kepala Zhou, ia dengan cepat dibebaskan oleh pasukan Bai Chongxi. Alasan pembebasan Zhou yang tiba-tiba itu mungkin karena Zhou pada saat itu adalah seorang Komunis paling senior di Shanghai, bahwa upaya Chiang untuk membasmi Komunis Shanghai bersifat sangat rahasia pada saat itu, jika Zhou dieksekusi maka akan dianggap sebagai pelanggaran perjanjian kerja sama antara PKT dan KMT (yang secara teknis masih berlaku). Zhou akhirnya dibebaskan setelah intervensi dari perwakilan Angkatan Darat ke-26, Zhao Shu yang mampu meyakinkan para komandannya bahwa penangkapan Zhou adalah sebuah kesalahan.[71] Penerbangan dari ShanghaiSetelah melarikan diri dari Shanghai, Zhou pergi ke Hankou (sekarang masuk dalam wilayah Wuhan), dan menjadi peserta Kongres Nasional ke-5 PKT di sana dari 27 April hingga 9 Mei. Pada akhir Kongres, Zhou terpilih menjadi anggota Komite Sentral Partai dan kembali memimpin departemen militer.[72] Setelah penindasan Chiang Kai-shek terhadap Komunis, Partai Nasionalis terbelah dua. "Sayap Kiri" Partai Nasionalis dipimpin oleh Wang Jingwei yang mengendalikan pemerintahan di Hankou, dan partai "Sayap Kanan" dipimpin oleh Chiang Kai-shek yang membentuk pemerintahan saingan di Nanking. Masih mengikuti instruksi Komintern, Komunis tetap sebagai "blok di dalam" Partai Nasionalis, berharap untuk terus memperluas propaganda komunisme mereka secara diam-diam melalui kaum Nasionalis.[73] Setelah diserang oleh seorang panglima perang yang bersahabat dengan Chiang, pemerintahan "Sayap Kiri" Wang Jingwei hancur pada Mei 1927, dan pasukan Chiang mulai melakukan pembersihan terhadap anggota Komunis secara terorganisir di wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Wang.[74] Pada pertengahan Juli, Zhou terpaksa melakukan gerilya bawah tanah.[73] Karena ditekan oleh penasihat Komintern, dan mereka sendiri juga yakin bahwa "gelombang pasang revolusioner" telah tiba, Komunis memutuskan untuk melancarkan serangkaian pemberontakan militer.[75] Yang pertama adalah Pemberontakan Nanchang. Zhou dikirim untuk mengawasi aksi tersebut, tetapi tokoh yang bergerak tampaknya Tan Pingshan dan Li Lisan, sementara tokoh militer utamanya adalah Ye Ting dan He Long. Dalam istilah militer, pemberontakan adalah bencana, dan pada pemberontakan kali ini pasukan Komunis hancur berantakan.[76] Zhou sendiri terjangkit malaria selama pemberontakan itu, dan diam-diam dikirim ke Hong Kong oleh Nie Rongzhen dan Ye Ting untuk mendapatkan perawatan medis. Setelah tiba di Hong Kong, Zhou menyamar sebagai pengusaha bernama "Li", dan kemudian mendapatkan perawatan medis dari Komunis setempat. Dalam pertemuan Komite Sentral PKT berikutnya, Zhou disalahkan atas kegagalan pemberontakan Nanchang dan untuk sementara waktu diturunkan jabatannya sebagai anggota Politbiro alternatif.[77] Kegiatan selama Perang Saudara TiongkokKongres Partai KeenamSetelah kegagalan Pemberontakan Nanchang, Zhou pergi ke Uni Soviet untuk menghadiri Kongres Partai Nasional Keenam Partai Komunis Tiongkok (PKT) di Moskwa pada Juni – Juli 1928.[78] Kongres Keenam harus diadakan di Moskwa karena situasi di Tiongkok dianggap berbahaya. Pengawasan yang dilakukan KMT (Kuomintang) begitu ketat sehingga banyak delegasi Tiongkok yang menghadiri Kongres Keenam terpaksa melakukan perjalanan dengan menyamar. Zhou sendiri menyamar sebagai kolektor barang antik.[79] Pada Kongres Keenam ini, Zhou menyampaikan pidato yang panjang dengan menegaskan bahwa kondisi di Tiongkok tidak menguntungkan jika dilakukan revolusi dalam waktu dekat ini, dan bahwa tugas utama PKT harus mengembangkan momentum revolusioner dengan memenangkan dukungan dari massa yang ada di pedesaan serta membangun Rezim Soviet di Tiongkok selatan, mirip seperti yang sedang dilakukan Mao Zedong dan Zhu De yang sudah mulai membangun di sekitar Jiangxi. Kongres pada umumnya menerima masukan dari Zhou dan dianggap cukup akurat. Xiang Zhongfa diangkat menjadi sekretaris jenderal Partai, tetapi ternyata dia tidak mampu menjalankan tugasnya, sehingga Zhou tampil menggantikannya sebagai pemimpin PKT secara de facto. Zhou baru berusia tiga puluh tahun pada saat itu.[79] Selama Kongres Keenam ini, Zhou terpilih sebagai Direktur Departemen Organisasi Komite Sentral. Sekutunya, Li Lisan mengambil alih pekerjaan propaganda. Zhou akhirnya kembali ke Tiongkok pada tahun 1929, setelah lebih dari setahun berada di luar negeri. Pada Kongres Keenam di Moskwa, Zhou menyampaikan data bahwa pada tahun 1928, kurang dari 32.000 anggota serikat buruh yang tetap setia kepada Komunis, dan hanya 10% dari anggota Partai Komunis adalah kaum proletar. Pada 1929, hanya 3% dari anggota Partai Komunis yang proletar.[80] Pada awal 1930, Zhou mulai tidak setuju dengan Li Lisan mengenai kapan saatnya untuk menjalankan strategi membela para petani kaya dan mengonsentrasikan pasukan militer yang akan menyerang pusat-pusat kota. Zhou tidak secara terang-terangan menolak gagasan yang ortodoks ini, ia sendiri juga bahkan mencoba menerapkannya pada tahun 1931 di Jiangxi.[81] Ketika agen Soviet Pavel Mif tiba di Shanghai untuk memimpin Komintern di Tiongkok pada Desember 1930, Mif mengkritik strategi Li Lisan sebagai "petualangan sayap kiri". Ia juga mengkritik Zhou karena mau berkompromi dengan Li Lisan. Zhou "mengakui" kesalahannya telah berkompromi dengan Li pada Januari 1931 dan mengajukan pengunduran diri dari Politbiro, tetapi dia dipertahankan. Sementara para pemimpin senior PKT lainnya, termasuk Li Lisan dan Qu Qiubai, dipindahkan. Sama seperti yang dipahami Mao selama ini tentang Zhou, Mif juga memahami bahwa pelayanan Zhou sebagai pemimpin Partai sangat diperlukan, dan bahwa Zhou akan bersedia untuk bekerja sama dengan siapa pun yang memegang kekuasaan.[82] Kerja bawah tanah: pendirianSetelah tiba di Shanghai pada tahun 1929, Zhou mulai bergerilya di bawah tanah, membangun dan mengawasi jaringan sel-sel Komunis yang independen. Bahaya terbesar Zhou dalam pekerjaan bawah tanahnya ini adalah jika diketahui oleh polisi rahasia KMT, yang didirikan pada 1928 dengan misi khusus untuk mengidentifikasi dan melenyapkan anggota Komunis. Supaya tidak terdeteksi oleh polisi rahasia, Zhou dan istrinya berpindah tempat tinggal setidaknya sebulan sekali, dan menggunakan berbagai nama samaran. Zhou sering menyamar sebagai pengusaha dan terkadang mengenakan jenggot palsu. Zhou harus berhati-hati dan hanya ada dua atau tiga orang saja yang tahu keberadaannya. Zhou menyamarkan semua nama kantor PKT yang ada di perkotaan, memastikan kantor PKT tidak menempati gedung yang sama dengan KMT jika keduanya memiliki kantor-kantor cabang dalam satu kota yang sama, dan mengharuskan semua anggota PKT menggunakan kata sandi untuk mengidentifikasi satu sama lain. Zhou membatasi semua pertemuannya baik sebelum jam 7 pagi atau setelah jam 7 malam. Zhou tidak pernah menggunakan transportasi umum dan menghindari terlihat di tempat-tempat umum.[83] Pada November 1928, PKT juga mendirikan agen intelijennya sendiri "Bagian Layanan Khusus Komite Pusat", atau "Zhongyang Teke" (中央特科), sering disingkat menjadi "Teke" saja, yang dikendalikan oleh Zhou. Letnan utama Zhou adalah Gu Shunzhang, yang memiliki koneksi luas dan kuat dengan organisasi perhimpunan rahasia Tiongkok serta anggota alternatif Politbiro, selain itu ada juga Xiang Zhongfa. "Teke" memiliki empat bagian operasional: 1. Melindungi dan menjaga keselamatan anggota Partai, 2. Mengumpulkan data intelijen, 3. Memfasilitasi komunikasi internal, 4. Eksekutor pembunuhan, sebuah tim yang dikenal sebagai Tentara Merah (红队).[84] Fokus utama Zhou dalam menjalankan "Teke" adalah untuk membangun jaringan anti-spionase yang efektif di dalam polisi rahasia KMT. Dalam waktu singkat kepala bagian intelijen 'Teke', Chen Geng, berhasil menanam jaringan besar di dalam Bagian Investigasi Departemen Operasi Pusat di Nanking yang merupakan pusat intelijen KMT. Tiga agen paling sukses yang digunakan oleh Zhou untuk menyusup ke polisi rahasia KMT adalah Qian Zhuangfei, Li Kenong, dan Hu Di, yang disebut Zhou sebagai "tiga agen intelijen PKT yang paling terkenal" pada tahun 1930-an. Para agen yang ditanam di dalam berbagai kantor KMT kemudian terbukti menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup PKT karena berhasil membantu PKT lolos dari Kampanye Pengepungan Chiang Kai-shek.[85] Respons KMT terhadap pekerjaan intelijen ZhouPada akhir April 1931, seorang pembantu Zhou dalam urusan keamanan, Gu Shunzhang, ditangkap oleh KMT di Wuhan. Gu adalah mantan pengurus buruh dan memiliki koneksi yang kuat dengan mafia tetapi komitmennya lemah terhadap PKT. Di bawah ancaman penyiksaan berat, Gu memberikan informasi kepada polisi rahasia KMT data terperinci tentang organisasi-organisasi PKT bawah tanah yang ada di Wuhan, sehingga mengakibatkan penangkapan dan eksekusi lebih dari sepuluh pemimpin senior PKT di kota itu. Gu juga menawarkan untuk memberikan informasi kepada KMT tentang rincian kegiatan PKT di Shanghai, tetapi dengan syarat ia sendiri yang menyampaikan informasi tersebut secara langsung kepada Chiang Kai-shek.[86] Salah satu agen Zhou yang bekerja di Nanking, Qian Zhuangfei, mendapat sebuah telegram yang isinya meminta instruksi lebih lanjut dari Nanking tentang bagaimana cara melanjutkan kerja dan hidup mereka setelah meninggalkan kedok penyamaran mereka, dan memperingatkan Zhou akan adanya tindakan keras dan ancaman terhadap dirinya. Gu memerlukan waktu dua hari untuk tiba di Nanking guna bertemu dengan Chiang secara langsung, hal ini memberi kesempatan bagi Zhou untuk mengevakuasi sebanyak mungkin anggota Partai Komunis dan mengubah kode komunikasi yang digunakan oleh para Teke, karena kode sebelumnya sudah dibocorkan oleh Gu. Setelah bertemu singkat dengan Chiang di Nanking, Gu tiba di Shanghai dan membantu polisi rahasia KMT menyerbu kantor dan tempat tinggal para anggota PKT, menangkapi para anggota PKT yang belum sempat dievakuasi. Eksekusi yang dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai anggota Partai Komunis tersebut mengakibatkan jumlah korban tewas merupakan yang terbesar sejak Pembantaian Shanghai tahun 1927.[87] Reaksi Zhou terhadap pengkhianatan Gu sangat ekstrem. Lebih dari lima belas anggota keluarga Gu, beberapa di antaranya juga bekerja sebagai "Teke", dibunuh oleh Tentara Merah dan dimakamkan di daerah perumahan Shanghai yang tenang. Tentara Merah kemudian membunuh Wang Bing, seorang anggota terkemuka dari polisi rahasia KMT yang dikenali karena berpatroli di sekitar Shanghai dengan mengayuh becak tanpa perlindungan pengawal. Sebagian besar anggota PKT yang masih hidup dipindahkan ke pangkalan Komunis di Jiangxi. Karena sebagian besar identitas staf senior sudah dibocorkan oleh Gu, maka sebagian besar agen terbaiknya juga dipindahkan. Ajudan Zhou yang paling senior yang belum terdeteksi, Pan Hannian diangkat menjadi direktur "Teke".[88] Malam sebelum dijadwalkan meninggalkan Shanghai pada Juni 1931, Xiang Zhongfa salah satu agen Zhou yang paling senior, memutuskan untuk bermalam di sebuah hotel bersama kekasihnya, mengabaikan peringatan Zhou tentang adanya ancaman. Di pagi hari, seorang informan KMT yang telah membuntuti Xiang melihatnya ketika ia meninggalkan hotel. Xiang segera ditangkap dan dipenjara di wilayah Konsesi Prancis. Zhou berusaha untuk mencegah Xiang diekstradisi ke bagian kota Shanghai yang masuk wilayah Tiongkok yang dikuasai oleh KMT dengan meminta agennya menyuap kepala polisi yang bertugas di wilayah Konsesi Prancis tersebut, tetapi otoritas KMT mengajukan banding langsung ke otoritas Konsesi Prancis, dan memastikan bahwa kepala polisi tidak dapat melakukan intervensi. Harapan Zhou bahwa Xiang akan dipindahkan ke Nanking, supaya nanti bisa menculik Xiang dari sana, juga sia-sia. Prancis setuju untuk memindahkan Xiang ke Markas Besar Garnisun Shanghai, di bawah komando Jenderal Xiong Shihui, Xiang disiksa dan diinterogasi tanpa henti. Setelah memastikan dan yakin bahwa Xiang telah memberikan semua informasi kepada para penyiksanya, Chiang Kai-shek kemudian memerintahkan Xiang untuk dieksekusi.[89] Zhou Enlai kemudian secara diam-diam berhasil membeli salinan catatan interogasi Xiang. Catatan tersebut menunjukkan bahwa Xiang telah mengungkapkan segalanya kepada otoritas KMT sebelum dieksekusi, termasuk lokasi kediaman Zhou. Penangkapan dan eksekusi lainnya dilakukan secara bergiliran setelah penangkapan Xiang, tetapi Zhou dan istrinya berhasil melarikan diri dari penangkapan itu karena telah meninggalkan apartemen mereka pada pagi hari saat Xiang ditangkap. Setelah membentuk Komite Tetap Politbiro di Shanghai, Zhou dan istrinya pindah ke pangkalan Komunis di Jiangxi pada akhir tahun 1931.[89] Pada saat Zhou meninggalkan Shanghai, statusnya adalah: salah satu lelaki yang paling dicari di Tiongkok.[90] Soviet JiangxiSetelah Pemberontakan Nanchang dan Pemberontakan Panen Musim Gugur yang gagal pada tahun 1927, Komunis mulai fokus untuk membangun serangkaian basis operasi di daerah pedesaan di Tiongkok selatan. Sebelum pindah ke Jiangxi, Zhou sebenarnya sudah pernah terlibat dalam politik yang berbasis operasi di pedesaan. Mao, mengklaim perlunya untuk menghapus kontra-revolusioner dan Anti-Bolshevik yang beroperasi di dalam tubuh PKT, memulai pembersihan ideologi-ideologi tersebut dari penduduk yang ada di dalam wilayah Jiangxi Soviet. Zhou juga setuju untuk melakukan kampanye terorganisir guna mengungkap rencana subversi di dalam tubuh PKT sendiri, karena sebelumnya dia sangat berpengalaman menanam sel-sel intelijen di dalam partai KMT, dan mendukung kampanye tersebut sebagai pimpinan de facto PKT.[91] Upaya Mao segera berkembang menjadi kampanye tanpa ampun yang didorong oleh sifatnya yang paranoid, tidak hanya ditujukan pada mata-mata KMT saja, tetapi juga terhadap siapa saja yang memiliki pandangan ideologi yang berbeda dengan dirinya. Para tersangka biasanya akan disiksa sampai mereka mengakui kesalahan dan kejahatan mereka, kemudian menyebut teman-temannya yang melakukan kesalahan dan kejahatan serupa sehingga pada akhirnya semua anggota kelompok itu akan ditangkap. Para istri dan kerabat yang menanyakan tentang mereka yang disiksa itu juga akan ditangkap dan disiksa dengan lebih kejam lagi. Upaya Mao untuk membersihkan Tentara Merah dari mereka yang mungkin berpotensi menentangnya membuat Chen Yi seorang komandan komunis dan komisaris politik Wilayah Militer Jiangxi dituduh Mao sebagai seorang kontra revolusi dan yang memprovokasi reaksi kekerasan untuk melawan kekejaman yang dilakukan oleh Mao. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai "Insiden Futian" pada Januari 1931. Mao akhirnya berhasil menguasai Tentara Merah, mengurangi jumlahnya dari empat puluh ribu menjadi kurang dari sepuluh ribu. Kampanye berlanjut sepanjang tahun 1930 dan 1931. Sejarawan memperkirakan jumlah total yang meninggal karena penganiayaan Mao di semua daerah basis operasi di pedesaan sekitar seratus ribu orang.[92] Seluruh kampanye terjadi ketika Zhou masih di Shanghai. Meskipun ia telah mendukung penghapusan kontra-revolusioner, Zhou tetap aktif berkampanye ketika ia tiba di Jiangxi pada Desember 1931, mengkritik "kelebihan, kepanikan, dan penyederhanaan yang berlebihan" yang dipraktikkan oleh para pejabat setempat. Setelah menyelidiki orang-orang yang dituduh Anti-Bolshevisme, dan orang-orang yang menganiaya mereka, Zhou mengajukan laporan yang mengkritik kampanye ini karena memfokuskan pada cara-cara penganiayaan sempit terhadap orang-orang yang anti-Maois demikian juga mereka yang anti-Bolshevis, membesar-besarkan ancaman terhadap Partai dan ia mengutuk penyiksaan sebagai teknik investigasi. Resolusi Zhou disahkan, lalu diadopsi pada 7 Januari 1932, dan kampanye secara bertahap mereda.[93] Zhou pindah ke daerah basis Komunis di Jiangxi dan melakukan pendekatan yang bersifat propaganda untuk melaksanakan aksi revolusi dengan menuntut agar angkatan bersenjata di bawah kendali Komunis benar-benar digunakan untuk memperluas basis mereka, bukan hanya sekedar untuk mengendalikan dan mempertahankannya saja. Pada Desember 1931, Zhou mengganti Mao Zedong dengan Xiang Ying sebagai Sekretaris Tentara Front Pertama, dan Zhou mengangkat dirinya sendiri sebagai komisaris politik Tentara Merah menggantikan Mao. Liu Bocheng, Lin Biao dan Peng Dehuai semua mengkritik taktik Mao pada saat Konferensi Ningdu, Oktober 1932.[94][95] Setelah pindah ke Jiangxi, Zhou bertemu Mao untuk pertama kalinya sejak 1927, dan memulai hubungannya dengan Mao sebagai atasannya. Dalam konferensi Ningdu, Mao diturunkan pangkatnya menjadi tokoh dalam wilayah pemerintahan Soviet. Zhou yang datang untuk menghargai strategi Mao setelah serangkaian kegagalan militer yang dilakukan oleh para pemimpin Partai lainnya sejak 1927, Zhou membela Mao, tetapi tidak berhasil. Kelak ketika Mao berkuasa, ia membersihkan atau menurunkan orang-orang yang telah menentangnya pada tahun 1932, tetapi Mao mengingat Zhou karena pernah membelanya terhadap kebijakannya.[96] Kampanye Pengepungan ChiangPada awal 1933, Bo Gu tiba bersama penasihat Komintern Otto Braun dan mengambil kendali atas urusan partai. Zhou pada saat ini, dengan dukungan yang kuat dari Partai dan kolega militer, mengatur ulang dan menstandarkan Tentara Merah. Di bawah Zhou, Bo, dan Braun, Tentara Merah berhasil mengalahkan Kampanye Pengepungan dengan Empat Serangan yang dilancarkan oleh pasukan Nasionalis Chiang Kai-shek.[97] Struktur militer yang membuat Komunis menang adalah:
Kampanye kelima Chiang yang diluncurkan pada September 1933, jauh lebih sulit untuk dikendalikan. Chiang menggunakan taktik benteng stelsel dengan jumlah pasukan yang lebih besar memungkinkan pasukannya maju terus ke wilayah Komunis, dan mereka berhasil merebut beberapa benteng utama Komunis. Bo Gu dan Otto Braun mengadopsi taktik ortodoks untuk menghadapi Chiang. Dan Zhou, meskipun secara pribadi menentang mereka, tetap menjalankan taktik ortodoks tersebut. Setelah kekalahan mereka berikutnya, Zhou dan para pemimpin militer lainnya disalahkan.[98] Meskipun pendekatan militer Zhou yang berhati-hati tidak dipercaya oleh garis keras, dia kembali diangkat ke posisi wakil ketua Komisi Militer. Zhou diterima sebagai pemimpin terutama karena bakat organisasinya dan komitmen pengabdiannya untuk bekerja, selain itu karena ia tidak pernah menunjukkan ambisinya secara terbuka untuk mengejar kedudukan tertinggi di dalam Partai. Dalam beberapa bulan, taktik ortodoks yang berkelanjutan dari Bo dan Braun menyebabkan kekalahan yang serius bagi Tentara Merah, dan memaksa para pemimpin PKT mempertimbangkan secara serius juga untuk meninggalkan pangkalan-pangkalan mereka yang ada di Jiangxi.[99] Mars PanjangSetelah keputusan untuk meninggalkan Jiangxi diumumkan, Zhou ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi logistik penarikan mundur pasukan Komunis. Zhou membuat rencana yang sangat rahasia, bahkan para pemimpin senior dari gerakan kelompok juga tidak diberitahu, dan ia menunggu hingga detik terakhir baru mengumumkan rencana rahasianya tersebut. Tujuan Zhou adalah untuk menerobos pengepungan musuh dengan korban sedikit mungkin, dan sebelum pasukan Chiang mampu sepenuhnya menduduki semua basis pangkalan Komunis . Tidak diketahui kriteria apa yang digunakan untuk menentukan siapa yang harus tetap tinggal dan siapa yang boleh pergi, tetapi 16.000 tentara dan beberapa komandan Komunis yang terkenal pada saat itu (termasuk Xiang Ying, Chen Yi, Tan Zhenlin, dan Qu Qiubai) dibiarkan membentuk barisan belakang untuk mengalihkan perhatian dan kekuatan utama pasukan Nasionalis Chiang yang sedang fokus memperhatikan penarikan mundur pasukan Komunis.[100] Penarikan mundur 84.000 tentara dan warga sipil dimulai pada awal Oktober 1934. Para agen intelijen Zhou berhasil mengidentifikasi bagian besar dari garis pertahanan Chiang diawaki oleh pasukan di bawah Jenderal Chen Jitang, seorang panglima perang Guangdong yang Zhou ketahui lebih suka menjaga kekuatan pasukannya daripada melakukan pertempuran. Zhou mengirim Pan Hannian untuk bernegosiasi dengan Jenderal Chen, yang kemudian mengizinkan Tentara Merah untuk melewati wilayah yang ia kendalikan tanpa pertempuran.[101] Setelah berhasil melewati tiga dari empat benteng pertahanan stelsel yang dibutuhkan untuk melarikan diri dari pengepungan Chiang, Tentara Merah akhirnya dicegat oleh pasukan reguler Nasionalis, dan mengakibatkan banyak memakan korban. Dari 86.000 Komunis yang berusaha mundur dari Jiangxi, hanya 36.000 yang berhasil lolos. Kehilangan ini menjatuhkan mental beberapa pemimpin Komunis, khususnya Bo Gu dan Otto Braun tetapi Zhou tetap tenang dan mempertahankan perintahnya.[101] Selama Mars Panjang, terjadi banyak perselisihan tingkat tinggi mengenai arah yang harus diambil oleh Komunis, dan tentang penyebab kekalahan Tentara Merah. Selama perebutan kekuasaan yang terjadi, Zhou secara konsisten mendukung Mao Zedong melawan kepentingan Bo Gu dan Otto Braun. Bo dan Braun kemudian disalahkan atas kekalahan Tentara Merah, dan mereka berdua akhirnya dipindahkan dari posisi mereka.[102] Akhirnya Komunis berhasil membangun kembali sebuah pangkalan di utara Shaanxi pada 20 Oktober 1935, dengan hanya sekitar 8.000-9.000 anggota yang tersisa.[103] Posisi Zhou dalam PKT berubah beberapa kali selama Mars Panjang. Pada awal 1930-an, Zhou diakui sebagai pemimpin PKT "de facto", dan memiliki pengaruh yang lebih besar daripada anggota PKT lainnya bahkan ketika berbagi kekuasaan dengan Bo dan Braun.[104] Dalam bulan Januari 1935 setelah Konferensi Zunyi, di mana Bo dan Braun dipindahkan dari posisi senior, Zhou berhasil mempertahankan posisinya karena ia menunjukkan kegigihan dan tanggung jawab, karena taktiknya dalam mengalahkan Kampanye Pengepungan|Kampanye Pengepungan dengan Empat Serangan diakui sebagai sebuah keberhasilan, dan karena dia mendukung Mao Zedong, yang mendapatkan pengaruh di dalam Partai: setelah Konferensi Zunyi, Mao menjadi asisten Zhou.[105] Setelah Komunis mencapai Shaanxi dan menyelesaikan Mars Panjang, Mao secara resmi mengambil alih posisi pimpinan Zhou di PKT, sementara Zhou mengambil posisi sekunder sebagai wakil ketua. Mao dan Zhou akan mempertahankan posisi mereka di dalam PKT sampai kematian mereka pada tahun 1976.[106] Insiden Xi'anSelama kongres ketujuh dari Komintern, yang diadakan pada bulan Agustus 1936, Wang Ming mengeluarkan manifesto anti-Fasis, yang menunjukkan bahwa kebijakan PKT sebelumnya "menentang Chiang Kai-shek dan melawan Jepang" harus diganti oleh kebijakan "bersatu dengan Chiang Kai-shek untuk melawan Jepang". Zhou berperan penting dalam menjalankan kebijakan ini. Zhou melakukan kontak dengan salah satu komandan KMT paling senior di barat laut, Zhang Xueliang. Pada 1935, Zhang terkenal karena sentimen anti-Jepang dan meragukan Chiang akan bersedia menentang Jepang. Disposisi Zhang membuatnya mudah dipengaruhi oleh Zhou yang menyatakan bahwa PKT akan bekerja sama untuk berperang melawan Jepang.[107] Pertemuan pertama antara Zhou dan Zhang terjadi di dalam sebuah gereja pada 7 April 1936. Zhang menunjukkan minat besar dalam mengakhiri perang saudara, menyatukan negara, dan memerangi Jepang, tetapi memperingatkan bahwa Chiang memegang kendali penuh atas pemerintahan nasional, dan tujuan-tujuan ini akan sulit dicapai tanpa kerja sama Chiang. Kedua belah pihak mengakhiri pertemuan mereka dengan kesepakatan untuk menemukan cara bekerja sama secara diam-diam. Pada saat yang sama ketika Zhou menjalin kontak rahasia dengan Zhang, Chiang menjadi curiga terhadap Zhang, dan menjadi semakin tidak puas dengan kelambanan Zhang memberantas Komunis. Untuk menipu Chiang, maka Zhou dan Zhang mengerahkan unit militer tiruan untuk memberi kesan bahwa Tentara Timur Laut dan Tentara Merah terlibat dalam suatu pertempuran.[108] Pada bulan Desember 1936, Chiang Kai-shek terbang ke markas Nasionalis di Xi'an untuk menguji kesetiaan pasukan militer KMT lokal di bawah Marsekal Zhang Xueliang, dan secara pribadi memimpin pasukan ini dalam serangan terakhir di pangkalan Komunis di Shaanxi, yang diperintahkan Zhang untuk dihancurkan. Karena bertekad untuk memaksa Chiang mengerahkan pasukan Tiongkok melawan Jepang (yang telah mengambil wilayah Zhang di Manchuria dan sedang mempersiapkan invasi yang lebih luas), pada 12 Desember Zhang dan para pengikutnya menyerbu markas Chiang, membunuh sebagian besar pengawalnya, dan menangkap sang Generalissimo Chiang Kai-shek yang kemudian dikenal sebagai Insiden Xi'an.[109] Reaksi terhadap penculikan Chiang di Yan'an beragam. Beberapa orang, termasuk Mao Zedong dan Zhu De, melihatnya sebagai kesempatan untuk membunuh Chiang. Yang lainnya, termasuk Zhou Enlai dan Zhang Wentian, melihatnya sebagai kesempatan untuk mencapai kebijakan front persatuan melawan Jepang, yang akan memperkuat posisi keseluruhan PKT.[110] Perdebatan di Yan'an berakhir ketika sebuah telegram panjang dari Joseph Stalin tiba, mendesak PKT untuk bekerja membebaskan Chiang, menjelaskan bahwa membentuk front persatuan adalah jalan terbaik untuk melawan Jepang, dan hanya Chiang yang memiliki kharisma dan kekuasaan untuk melaksanakan rencana semacam itu.[111] Setelah komunikasi awal dengan Zhang mengenai nasib Chiang, Zhou Enlai sebagai kepala negosiator Komunis tiba di Xi'an pada 16 Desember, dengan pesawat yang secara khusus dikirim oleh Zhang Xueliang. Pada awalnya, Chiang menentang negosiasi dengan delegasi PKT, tetapi menarik kembali tentangannya ketika dijelaskan bahwa kehidupan dan kebebasannya sebagian besar tergantung pada niat baik Komunis terhadap dirinya. Pada 24 Desember, Chiang menerima Zhou untuk bertemu, pertama kali keduanya bertemu sejak Zhou meninggalkan Akademi Militer Whampoa lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Zhou memulai pembicaraan dengan mengatakan: "Dalam sepuluh tahun sejak terakhir kita bertemu, tampaknya Anda hanya bertambah tua sedikit saja." Chiang mengangguk dan berkata, "Enlai, kamu adalah bawahanku. Kamu harus melakukan apa yang aku katakan." Zhou menjawab bahwa jika Chiang mau menghentikan perang saudara dan melawan Jepang, maka Tentara Merah akan dengan sukarela menerima perintah Chiang. Pada akhir pertemuan ini, Chiang berjanji untuk mengakhiri perang saudara dan bersama-sama melawan Jepang, serta mengundang Zhou ke Nanking untuk pembicaraan lebih lanjut.[110] Pada 25 Desember 1936, Zhang membebaskan Chiang dan menemaninya ke Nanking. Selanjutnya, Zhang diadili di pengadilan militer dan dijatuhi hukuman tahanan rumah, dan sebagian besar anak buah Zhang yang berpartisipasi dalam Insiden Xi'an dieksekusi. Meskipun KMT secara resmi menolak berkolaborasi dengan PKT, Chiang mengakhiri aktivitas militernya terhadap pangkalan Komunis di Yan'nan, menyiratkan bahwa ia secara implisit memenuhi janjinya untuk mengubah arah kebijakannya. Setelah berakhirnya serangan KMT, PKT mampu mengkonsolidasikan wilayahnya dan bersiap untuk melawan Jepang.[112] Setelah menerima berita bahwa Zhang telah dikhianati dan ditangkap oleh Chiang, korps perwira tua Zhang menjadi sangat gelisah, dan beberapa dari mereka membunuh seorang jenderal Nasionalis, Wang Yizhe, yang dianggap bertanggung jawab atas kurangnya respon militer. Ketika Zhou masih berada di Xi'an, dia sendiri dikepung oleh sejumlah anak buah Zhang di kantornya, mereka menuduh Komunis sebagai penghasut sehingga terjadi Insiden Xi'an dan mengkhianati Zhang dengan meyakinkannya untuk melakukan perjalanan ke Nanking. Dengan todongan senjata, mereka mengancam akan membunuh Zhou. Pernah menjadi seorang diplomat, Zhou menunjukkan ketenangannya dan dengan fasih mempertahankan posisinya. Pada akhirnya, Zhou berhasil menenangkan para anak buah Zhang, dan mereka pergi, meninggalkannya tanpa cedera. Dalam serangkaian negosiasi dengan KMT yang berlangsung hingga Juni 1937 ketika terjadi Insiden Jembatan Marco Polo, Zhou berusaha membebaskan Zhang, tetapi gagal.[108] Kegiatan selama Perang Dunia IIPropaganda dan intelijen di WuhanKetika ibu kota Nanking jatuh ke tangan Jepang pada 13 Desember 1937, Zhou menemani pemerintahan Nasionalis pindah ke ibu kota sementara Wuhan. Sebagai wakil kepala PKT dalam perjanjian kerja sama nominal KMT-PKT, Zhou mendirikan dan memimpin kantor penghubung resmi KMT-PKT. Saat menjalankan kantor penghubung itu, Zhou juga mendirikan Biro Yangtze dari Komite Sentral. Berkedok hubungannya dengan Tentara Rute Kedelapan, Zhou menggunakan Biro Yangtze untuk menjalankan operasi klandestin di Tiongkok selatan, secara diam-diam merekrut mata-mata Komunis dan membangun struktur Partai Komunis di seluruh wilayah yang dikendalikan KMT.[113] Pada Agustus 1937, PKT diam-diam mengeluarkan perintah kepada Zhou bahwa pekerjaan frontalnya adalah untuk fokus pada infiltrasi dan organisasi Komunis di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat. Zhou menyetujui perintah ini, dan menerapkan bakat organisasinya yang besar untuk menyelesaikannya. Tak lama setelah kedatangan Zhou di Wuhan, ia meyakinkan pemerintah Nasionalis untuk menyetujui dan mendanai penerbitan koran Komunis, Xinhua ribao ("Harian Tiongkok Baru"), yang dikatakan Zhou sebagai alat untuk menyebarkan propaganda anti-Jepang. Padahal koran ini sebenarnya menjadi alat utama untuk menyebarkan propaganda Komunis, dan kaum Nasionalis di kemudian hari mengakui bahwa persetujuan dan mendanai penerbitan koran tersebut sebagai salah satu "kesalahan terbesar" mereka.[114] Zhou berhasil mengorganisasi sejumlah besar cendekiawan dan seniman Tiongkok untuk mempromosikan perlawanan terhadap Jepang. Acara propaganda terbesar yang dipentaskan Zhou adalah perayaan selama seminggu pada tahun 1938, setelah meraih kemenangan dalam Pertempuran Tai'erzhuang. Dalam acara ini, antara 400.000–500.000 orang ambil bagian dalam parade, dan paduan suara lebih dari 10.000 orang menyanyikan lagu-lagu tentang perlawanan. Upaya penggalangan dana selama seminggu berhasil mengumpulkan satu juta yuan lebih. Zhou sendiri menyumbangkan 240 yuan, gajinya sebulan sebagai wakil direktur Departemen Politik.[114] Ketika ia bekerja di Wuhan, Zhou adalah penghubung utama PKT dengan dunia luar, dia bekerja keras untuk membalikkan persepsi publik bahwa Komunis adalah "organisasi bandit". Zhou menjalin dan membina hubungan dengan lebih dari empat puluh jurnalis dan penulis asing, termasuk Edgar Snow, Agnes Smedley, Anna Louise Strong dan Rewi Alley, banyak dari mereka menjadi simpati kepada Komunis dan menuliskan tentang simpati mereka dalam terbitan bahasa asing. Zhou juga bersimpati kepada upaya orang asing untuk mempromosikan PKT ke dunia luar, oleh karena itu Zhou mengatur tim medis Kanada yang dipimpin oleh Norman Bethune untuk melakukan perjalanan ke Yan'an, dan membantu sutradara film Belanda Joris Ivens memproduksi film dokumenter berjudul 400 Juta Orang.[115] Zhou tidak berhasil mencegah pembelotan terang-terangan yang dilakukan oleh Zhang Guotao, salah satu pendiri PKT yang membelot ke KMT. Zhang membelot karena terjadi ketidaksepakatan dengan Mao Zedong mengenai pelaksanaan kebijakan front persatuan, selain itu dia membenci gaya kepemimpinan otoriter Mao. Zhou, dengan bantuan Wang Ming, Bo Gu dan Li Kenong, mencegat Zhang setelah ia tiba di Wuhan, dan terlibat dalam negosiasi yang panjang hingga April 1938, untuk meyakinkan Zhang agar tidak membelot, tetapi negosiasi ini tidak berhasil. Pada akhirnya, Zhang menolak untuk berkompromi dan menempatkan dirinya di bawah perlindungan polisi rahasia KMT. Pada 18 April, Komite Sentral PKT mengusir Zhang dari Partai, dan Zhang sendiri mengeluarkan pernyataan yang menuduh PKT telah melakukan sabotase terhadap upaya untuk menentang Jepang. Episode ini merupakan kemunduran serius bagi upaya Zhou untuk meningkatkan prestise Partai.[116] Strategi militer di WuhanPada bulan Januari 1938, pemerintah Nasionalis menunjuk Zhou sebagai wakil direktur Departemen Politik Komite Militer yang bekerja langsung di bawah Jenderal Chen Cheng. Sebagai negarawan Komunis senior dan berpangkat letnan jenderal, Zhou adalah satu-satunya komunis yang memegang posisi tingkat tinggi dalam pemerintahan Nasionalis. Zhou menggunakan pengaruhnya di dalam Komite Militer untuk mempromosikan para jenderal Nasionalis yang ia yakini mampu, dan untuk mempromosikan kerja sama dengan Tentara Merah.[113] Dalam Pertempuran Taierzhuang, Zhou menggunakan pengaruhnya untuk memastikan bahwa Jenderal Nasionalis yang paling cakap, Li Zongren diangkat sebagai komandan keseluruhan, meskipun Chiang meragukan kesetiaan Li. Ketika Chiang bimbang untuk mengirimkan pasukan guna membela distrik Taierzhuang, Zhou meyakinkan Chiang untuk melakukannya dengan menjanjikan bahwa Angkatan Darat Rute Kedelapan komunis secara serentak akan menyerang Jepang dari utara, dan Angkatan Darat Keempat Baru akan melakukan sabotase jalur kereta api Tianjin-Pukou, memotong pasokan Jepang. Pada akhirnya, dalam Pertempuran Taierzhuang kaum Nasionalis memperoleh kemenangan besar dengan menewaskan 20.000 tentara Jepang dan mendapatkan sejumlah besar persediaan bahan dan peralatan perang.[113] Adopsi anak yatimSaat bertugas sebagai duta besar PKT untuk KMT, Zhou yang tidak memiliki anak bertemu dan berteman dengan banyak anak yatim. Sewaktu di Wuhan, Zhou mengadopsi seorang gadis muda bernama Sun Weishi pada tahun 1937. Ibu Sun membawanya ke Wuhan setelah ayah Sun dieksekusi oleh KMT pada tahun 1927, selama Teror Putih. Zhou mendatangi Sun yang pada saat itu berusia enam belas tahun ketika sedang menangis di luar Kantor Penghubung Angkatan Darat Rute Kedelapan karena izinnya untuk melakukan perjalanan ke Yan'an ditolak, sebab ia masih di bawah umur dan kurangnya koneksi politik. Setelah Zhou membantunya dan mengadopsi dia sebagai putrinya, Sun dapat melakukan perjalanan ke Yan'an. Dia mengejar karier di bidang akting dan sutradara, Sun kemudian menjadi sutradara wanita pertama Tiongkok untuk film drama lisan (huaju).[117] Zhou juga mengadopsi saudara laki-laki Sun bernama Sun Yang.[118] Setelah menemani Zhou ke Yan'an, Sun Yang menjadi asisten pribadi Zhou. Pasca berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Sun Yang menjadi presiden Universitas Renmin.[117] Pada tahun 1938 Zhou bertemu dan berteman dengan seorang yatim piatu lainnya, Li Peng. Li baru berusia tiga tahun ketika pada 1931, ayahnya juga dibunuh oleh Kuomintang. Zhou kemudian merawatnya di Yan'an. Setelah perang, Zhou secara sistematis mempersiapkan Li untuk menjadi seorang pemimpin dan mengirimnya belajar di bidang teknik energi di Moskwa. Penempatan Zhou atas Li dalam birokrasi energi yang kuat melindungi Li dari razia Pengawal Merah selama era Revolusi Kebudayaan, dan pada akhirnya Li Peng juga menjadi Perdana Menteri Tiongkok, suatu hal yang tentunya tidak mengejutkan bagi siapa pun.[119] Penerbangan ke ChongqingKetika tentara Jepang mendekati kota Wuhan, provinsi Hubei pada musim gugur 1938, Tentara Nasionalis terlibat pertempuran dengan tentara Jepang yang mencakup wilayah yang luas di beberapa provinsi seperti Anhui, Henan, Jiangxi, Zhejiang dan di Hubei sendiri yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Wuhan yang berlangsung selama lebih dari empat bulan, hal ini memungkinkan KMT untuk menarik mundur pasukannya lebih jauh ke daerah pedalaman yaitu ke Chongqing dengan membawa persediaan barang-barang penting, aset, dan banyak pengungsi. Ketika ia sedang dalam perjalanan ke Chongqing, Zhou hampir terbunuh dalam peristiwa Kebakaran Besar Changsha yang berlangsung selama tiga hari, menghancurkan dua pertiga kota, membunuh dua puluh ribu warga sipil, dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Kebakaran ini disengaja oleh pasukan Nasionalis yang mundur untuk mencegah kota Changsha direbut pihak Jepang. Karena kesalahan organisasi, kebakaran masal dimulai tanpa peringatan kepada penduduk kota.[120] Setelah melarikan diri dari Changsha, Zhou berlindung di sebuah kuil Buddha di desa terdekat sambil membantu evakuasi penduduk kota. Zhou menuntut agar: penyebab kebakaran diselidiki secara menyeluruh oleh pihak berwenang, mereka yang bertanggung jawab harus dihukum, perbaikan diberikan kepada para korban, kota dibersihkan secara menyeluruh, dan akomodasi disediakan bagi para tunawisma. Pada akhirnya, kaum Nasionalis menyalahkan tiga komandan setempat atas kebakaran dan mengeksekusi mereka. Koran-koran di seluruh Tiongkok menyalahkan para pelaku kebakaran (non-KMT), tetapi kobaran api kebakaran itu sebenarnya berkontribusi juga pada hilangnya dukungan nasional terhadap KMT.[121] Kegiatan awal di ChongqingZhou Enlai mencapai Chongqing pada bulan Desember 1938, dan memulai kembali operasi resmi maupun tidak resmi yang telah ia lakukan di Wuhan pada Januari 1938. Kegiatan Zhou termasuk yang diperlukan sesuai jabatan formalnya dalam pemerintahan Nasionalis selain itu dia juga menjalankan dua surat kabar pro-Komunis, melaksanakan upaya terselubungnya untuk membentuk jaringan intelijen yang andal, dan meningkatkan popularitas organisasi PKT di Tiongkok selatan. Pada masa jayanya, staf yang bekerja di bawahnya dalam menjalankan tugas resmi dan rahasia berjumlah sampai ratusan orang.[122] Setelah mengetahui bahwa ayahnya, Zhou Shaogang, tidak dapat menghidupi dirinya sendiri, Zhou kemudian membawa dan merawat ayahnya sampai meninggal di Chongqing pada tahun 1942.[123] Segera setelah tiba di Chongqing, Zhou berhasil melobi pemerintah Nasionalis untuk membebaskan tahanan politik Komunis. Setelah pembebasan mereka, Zhou sering menugaskan mantan tahanan ini sebagai agen untuk mengorganisasi dan memimpin organisasi Partai di seluruh Tiongkok selatan. Upaya kegiatan rahasia Zhou sangat sukses, keanggotaan PKT di Tiongkok selatan meningkat sepuluh kali lipat dalam beberapa bulan. Chiang sepertinya menyadari adanya kegiatan ini dan mencoba untuk menekannya, tetapi kebanyakan tidak berhasil.[124] Pada Juli 1939, saat berada di Yan'an untuk menghadiri serangkaian pertemuan Politbiro, Zhou mengalami kecelakaan menunggang kuda di mana ia terjatuh dan siku kanannya patah. Karena fasilitas perawatan medis yang tidak lengkap di Yan'an, Zhou pergi ke Moskwa untuk mendapatkan perawatan medis pada sikunya, Zhou menggunakan kesempatan itu untuk memberi tahu Komintern tentang status front persatuan nasionalis-komunis. Tetapi Zhou sudah terlambat untuk memperbaiki fraktur (patah tulang) sikunya, dan lengan kanannya tetap bengkok selama sisa hidupnya. Joseph Stalin sangat tidak senang dengan penolakan PKT untuk bekerja lebih dekat dengan kaum Nasionalis sehingga ia pun menolak bertemu dengan Zhou selama berada di Moskwa.[125] Putri angkat Zhou, Sun Weishi menemani Zhou ke Moskwa. Setelah Zhou pulang, Sun tetap di Moskwa untuk belajar dan berkarier di teater.[117] Pekerjaan intelijen di ChongqingPada 4 Mei 1939, Politbiro menerima hasil evaluasi Zhou bahwa Zhou harus memfokuskan upayanya untuk menciptakan jaringan agen rahasia PKT yang bekerja secara diam-diam untuk waktu yang lama. Komunis diarahkan untuk bergabung dengan KMT, jika hal itu akan meningkatkan kemampuan agen untuk menyusup ke dalam administrasi KMT, pendidikan, ekonomi, dan militer. Memakai Kantor Angkatan Darat Rute Kedelapan (yang kemudian pindah ke gedung megah di pinggiran Chongqing) sebagai kedoknya, Zhou mengadopsi serangkaian langkah untuk memperluas jaringan intelijen PKT.[126] Pada saat Zhou kembali ke Chongqing pada Mei 1940, terjadi keretakan serius antara KMT dan PKT. Pada tahun-tahun berikutnya, hubungan antara kedua partai merosot menjadi penangkapan dan eksekusi antar anggota Partai, upaya rahasia oleh kedua belah pihak untuk saling melenyapkan, upaya propaganda saling serang, dan bentrokan militer besar-besaran. Front persatuan secara resmi dihapus setelah Insiden Anhui pada Januari 1941, ketika 9.000 Angkatan Darat Keempat Baru yang merupakan pasukan komunis disergap, dan para komandannya dibunuh atau dipenjara oleh pasukan pemerintah Nasionalis.[127] Zhou menanggapi keretakan antara KMT dan PKT dengan mengarahkan para pemimpin Partai untuk melakukan operasi mereka secara lebih diam-diam. Dia mempertahankan upaya propaganda melalui surat kabar yang dia jalankan dan tetap berhubungan dekat dengan jurnalis dan duta besar asing. Zhou terus meningkatkan upaya intelijen PKT di dalam KMT, pemerintahan Nanking pimpinan Wang Jingwei, dan Kekaisaran Jepang, serta merekrut, melatih, dan mengatur jaringan besar mata-mata Komunis. Yan Baohang, seorang anggota Partai rahasia yang aktif di lingkaran diplomatik Chongqing, memberi tahu Zhou bahwa Hitler berencana untuk menyerang Uni Soviet pada 22 Juni 1941. Ditandatangani oleh Zhou, informasi ini sampai ke Stalin pada 20 Juni, dua hari sebelum Hitler menyerang Uni Sovyet.[128] Kegiatan ekonomi dan diplomatikTerlepas dari memburuknya hubungan dengan Chiang Kai-shek, Zhou beroperasi secara terbuka di Chongqing, berteman dengan turis asing maupun pengunjung lokal Tiongkok, dan menggelar kegiatan budaya publik, terutama teater Tiongkok. Zhou menjalin persahabatan pribadi yang erat dengan Jenderal Feng Yuxiang, memungkinkan Zhou untuk beredar bebas di antara para perwira Tentara Nasionalis. Zhou juga berteman dengan Jenderal He Jifeng, dan meyakinkan dia untuk diam-diam menjadi anggota PKT selama kunjungan resmi ke Yan'an. Agen-agen intelijen Zhou menembus Jenderal Deng Xihou di Sichuan, sehingga menghasilkan perjanjian rahasia dengan Deng untuk memasok amunisi kepada Tentara Keempat Baru Komunis. Zhou meyakinkan jenderal Sichuan lainnya, Li Wenhui, untuk secara diam-diam memasang pemancar radio yang memfasilitasi komunikasi rahasia antara Yan'an dan Chongqing. Zhou berteman pula dengan Zhang Zhizhong dan Nong Yun, komandan angkatan bersenjata di Yunnan, yang menjadi anggota rahasia PKT, mereka setuju untuk bekerja sama dengan PKT melawan Chiang Kai-shek, dan mendirikan stasiun radio klandestin yang menyiarkan propaganda Komunis dari gedung pemerintah provinsi di Kunming[129] Zhou tetap menjadi wakil utama PKT bagi dunia luar selama di Chongqing. Zhou dan para pembantunya Qiao Guanhua, Gong Peng dan Wang Bingnan senang menerima tamu-tamu asing dan membuat kesan yang baik di antara para diplomat Amerika, Inggris, Kanada, Rusia, dan diplomat negara lainnya. Zhou mengejutkan tamunya sebagai pribadi yang mempesona, sopan, pekerja keras, dan menjalani gaya hidup yang sangat sederhana. Pada tahun 1941, Zhou menerima kunjungan dari Ernest Hemingway dan istrinya, Martha Gellhorn. Gellhorn kemudian menulis bahwa dia dan Ernest sangat terkesan dengan Zhou (dan sangat tidak terkesan dengan Chiang), dan mereka menjadi yakin bahwa Komunis akan mengambil alih Tiongkok setelah bertemu dengannya.[130] Karena Yan'an tidak mampu mendanai seluruh kegiatan Zhou, maka Zhou mendanai kegiatannya melalui sumbangan dari orang asing yang bersimpati, Tionghoa perantauan, dan Liga Pertahanan Tiongkok (didukung oleh janda Sun Yat-sen, Soong Ching-ling). Zhou juga berjanji untuk mulai menjalankan sejumlah bisnis di seluruh Tiongkok yang dikendalikan KMT dan Jepang. Bisnis Zhou mencakup beberapa perusahaan perdagangan yang beroperasi di beberapa kota Tiongkok (terutama Chongqing dan Hong Kong), sebuah toko sutra dan satin di Chongqing, sebuah kilang minyak, dan pabrik-pabrik untuk memproduksi bahan-bahan industri, kain, obat-obatan Barat, dan komoditas lainnya.[131] Di bawah Zhou, pengusaha Komunis mendapat keuntungan besar dalam perdagangan mata uang asing dan spekulasi komoditas, terutama dalam dolar Amerika dan emas. Bisnis Zhou yang paling menguntungkan dihasilkan dari beberapa perkebunan opium yang didirikan oleh Zhou di daerah-daerah terpencil. Meskipun PKT sejak saat berdirinya sudah terlibat dalam pemberantasan merokok opium, Zhou membenarkan produksi dan distribusi opium di daerah yang dikendalikan KMT karena memperoleh keuntungan yang besar dan bisa dimanfaatkan oleh PKT, selain itu efek kecanduan opium pada prajurit KMT dan para pejabat pemerintahan Nasionalis bisa melemahan mereka.[131] Hubungan dengan Mao ZedongPada tahun 1943, hubungan Zhou dengan Chiang Kai-shek memburuk, dan ia kembali secara permanen ke Yan'an. Pada saat itu, Mao Zedong telah muncul sebagai Ketua Partai Komunis Tiongkok, dan sedang berusaha supaya teori politiknya (secara harfiah berarti "Pemikiran Mao Zedong") bisa diterima sebagai dogma Partai. Setelah naik ke tampuk kekuasaan, Mao mengorganisir kampanye Gerakan Pelurusan Yan'an (atau disebut juga Zhengfeng) untuk mengindoktrinasi para anggota PKT. Kampanye ini menjadi dasar dari kultus kepribadian Maois yang kemudian mendominasi politik Tiongkok hingga akhir masa Revolusi Kebudayaan.[132] Setelah kembali ke Yan'an, Zhou Enlai dikritik keras secara berlebihan dalam kampanye ini. Zhou dicap, bersama dengan para jenderal Peng Dehuai, Liu Bocheng, Ye Jianying, dan Nie Rongzhen, sebagai "empiris" karena ia memiliki rekam jejak bekerja sama dengan Komintern dan dengan musuh Mao, Wang Ming. Mao secara terbuka menyerang Zhou sebagai "kolaborator dan asisten dogma ... yang meremehkan studi Marxisme-Leninisme". Mao dan sekutunya kemudian mengklaim bahwa organisasi PKT yang didirikan Zhou di Tiongkok selatan sebenarnya dipimpin oleh agen rahasia KMT, tuduhan yang ditolak Zhou dengan tegas, dan tuduhan itu baru ditarik setelah Mao yakin akan pengabdian Zhou dalam periode terakhir dari kampanye tersebut.[132] Zhou membela diri dengan melakukan serangkaian refleksi publik dan kritik diri yang panjang, ia memberikan sejumlah pidato memuji Mao dan Pemikiran Mao serta menerima tanpa syarat kepemimpinan Mao. Dia juga bergabung dengan sekutu Mao dalam menyerang Peng Shuzhi, Chen Duxiu, dan Wang Ming, yang dipandang Mao sebagai musuh. Penganiayaan terhadap Zhou Enlai membuat Moskwa tertekan, dan Georgi Dimitrov menulis surat pribadi kepada Mao yang mengatakan bahwa "Zhou Enlai ... tidak boleh dipisahkan dari Partai." Pada akhirnya, pengakuan Zhou yang antusias atas kesalahannya sendiri, pujiannya untuk kepemimpinan Mao, dan serangannya terhadap musuh-musuh Mao akhirnya meyakinkan Mao bahwa konversi Zhou ke Maoisme adalah tulus, suatu prasyarat untuk keberlangsungan karier politik Zhou. Pada kongres ketujuh PKT pada tahun 1945, Mao diakui sebagai pemimpin PKT secara keseluruhan, dan dogma Pemikiran Mao Zedong telah tertanam kuat di antara kepemimpinan Partai.[132] Upaya diplomatik dengan Amerika SerikatMisi DixieSetelah Amerika Serikat bergabung melawan Jepang pada tahun 1941, politisi dan penasihat militer Amerika menjadi semakin tertarik untuk berhubungan dengan Komunis guna mengkoordinasikan serangan terhadap Jepang. Pada Juni 1944, Chiang Kai-shek setuju untuk mengizinkan kelompok pengamat militer Amerika, yang dikenal sebagai "misi Dixie", untuk melakukan perjalanan ke Yan'an. Mao dan Zhou menyambut misi ini dan mengadakan banyak pembicaraan untuk mendapatkan akses bantuan dari Amerika. Mereka menjanjikan dukungan untuk setiap tindakan militer Amerika di masa depan di tanah Tiongkok, dan berusaha meyakinkan Amerika bahwa PKT berkomitmen pada pemerintahan KMT-PKT yang bersatu. Sebagai bukti itikad baik, gerilyawan dari Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) diperintahkan untuk membebaskan tentara Sekutu (yang sebagian besar adalah penerbang Amerika) yang ditahan di Tiongkok. Pada saat orang-orang Amerika meninggalkan Yan'an, banyak orang yakin bahwa PKT adalah "sebuah partai yang sedang bertumbuh secara demokratis dengan tertib menuju sosialisme", dan misi tersebut secara formal menyarankan kerja sama yang lebih besar antara PKT dan militer Amerika.[133] 1944–1945Pada tahun 1944, Zhou menulis surat kepada Jenderal Joseph Stilwell seorang komandan Amerika Serikat dalam Palagan Tiongkok Burma India, berusaha meyakinkan Stilwell tentang perlunya orang Amerika memasok persenjataan kepada Komunis, dan keinginan Komunis untuk membentuk pemerintahan Tiongkok yang bersatu setelah perang. Kekecewaan terbuka Stilwell kepada pemerintahan Nasionalis secara umum, dan terhadap Chiang Kai-shek secara khusus, memotivasi Presiden Franklin D. Roosevelt untuk menyingkirkannya pada tahun yang sama, sebelum diplomasi Zhou bisa efektif. Pengganti Stilwell, Patrick J. Hurley, menerima permohonan Zhou, tetapi akhirnya menolak untuk menyelaraskan militer Amerika dengan PKT kecuali PKT membuat konsesi untuk KMT, yang menurut Mao dan Zhou hal itu tidak dapat diterima. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Chiang segera mengundang Mao dan Zhou ke Chongqing untuk hadir dalam konferensi perdamaian yang didukung oleh Amerika Serikat.[134] Negosiasi ChongqingAda kekhawatiran besar di Yan'an bahwa undangan dari Chiang adalah sebuah jebakan, dan bahwa kaum Nasionalis berencana untuk membunuh atau memenjarakan Zhou dan Mao . Zhou mengambil kendali atas detail keamanan Mao, mulai dari pemeriksaan pesawat hingga ke penginapan mereka, namun tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan. Sepanjang perjalanan ke Chongqing, Mao menolak untuk memasuki penginapan sampai mereka secara pribadi diperiksa oleh Zhou. Mao dan Zhou melakukan perjalanan bersama ke resepsi jamuan makan, dan pertemuan publik lainnya. Zhou memperkenalkan Mao kepada banyak selebritas dan para negarawan yang telah berteman dengannya selama dia tinggal sebelumnya di Chongqing.[135] Selama empat puluh tiga hari perundingan, Mao dan Chiang bertemu sebelas kali untuk membahas kondisi pasca-perang Tiongkok, sementara Zhou berupaya untuk mengkonfirmasi perincian perundingan. Pada akhirnya, negosiasi tidak menyelesaikan apa pun. Tawaran Zhou untuk menarik Tentara Merah dari Tiongkok selatan diabaikan, dan ultimatum P.J. Hurley untuk memasukkan PKT ke dalam KMT dianggap menghina Mao. Setelah Mao kembali ke Yan'an pada 10 Oktober 1945, Zhou tetap tinggal untuk memilah-milah rincian resolusi konferensi. Zhou kembali ke Yan'an pada tanggal 27 November 1945, ketika terjadi pertempuran besar antara Komunis dan Nasionalis yang membuat negosiasi di masa depan menjadi sia-sia. Hurley sendiri kemudian mengumumkan pengunduran dirinya, menuduh anggota kedutaan AS telah merusak perundingan tersebut dan memihak Komunis.[136] Negosiasi MarshallSetelah Harry S. Truman menjadi Presiden Amerika Serikat, ia mencalonkan Jenderal George C. Marshall sebagai utusan khususnya ke Tiongkok pada 15 Desember 1945. Marshall ditugaskan untuk menjadi perantara gencatan senjata antara PKT dan KMT, serta mempengaruhi Mao dan Chiang untuk mematuhi perjanjian Chongqing, yang telah ditandatangani oleh keduanya. Para pucuk pimpinan PKT, termasuk Zhou, memandang pencalonan Marshall sebagai perkembangan yang positif, dan berharap bahwa Marshall akan menjadi negosiator yang lebih fleksibel daripada Hurley. Zhou tiba di Chongqing untuk bernegosiasi dengan Marshall pada 22 Desember.[137] Fase pertama pembicaraan berjalan lancar. Zhou mewakili Komunis, Marshall mewakili Amerika, dan Zhang Qun (kemudian digantikan oleh Zhang Zhizhong) mewakili KMT. Pada Januari 1946 kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan permusuhan, dan mengatur kembali pasukan mereka berdasarkan prinsip memisahkan tentara dari partai politik. Zhou menandatangani perjanjian walaupun dia tahu bahwa kedua belah pihak tidak akan dapat menjalankan perubahan ini. Chiang menyampaikan pidato yang menjanjikan kebebasan politik, otonomi daerah, pemilihan umum yang bebas, dan pembebasan tahanan politik. Zhou menyambut pernyataan Chiang dan menyatakan penentangannya terhadap perang saudara.[138] Pimpinan PKT memandang perjanjian ini dengan optimis. Pada tanggal 27 Januari 1946, Sekretariat PKT mengangkat Zhou sebagai salah satu dari delapan pemimpin untuk berpartisipasi dalam pemerintahan koalisi di masa depan (pemimpin lain termasuk Mao, Liu Shaoqi, dan Zhu De). Disarankan agar Zhou dicalonkan sebagai wakil presiden Tiongkok. Mao menyatakan keinginannya untuk mengunjungi Amerika Serikat, dan Zhou menerima perintah untuk memanipulasi Marshall guna memajukan proses perdamaian.[139] Negosiasi Marshall segera memburuk, karena baik KMT maupun PKC tidak mau mengorbankan keuntungan apa pun yang telah mereka peroleh, untuk tidak mempolitisasi tentara mereka, atau mengorbankan tingkat otonomi apa pun di wilayah yang dikuasai oleh masing-masing pihak. Bentrokan militer di Manchuria menjadi semakin sering terjadi pada musim semi dan musim panas 1946, akhirnya memaksa pasukan Komunis untuk mundur setelah beberapa pertempuran besar. Tentara pemerintah meningkatkan serangan mereka di bagian lain Tiongkok.[140] Pada 3 Mei 1946, Zhou dan istrinya meninggalkan Chongqing ke Nanking, tempat ibu kota Nasionalis dikembalikan. Negosiasi memburuk, dan pada 9 Oktober Zhou memberi tahu Marshall bahwa dia sudah tidak yakin terhadap PKT. Pada 11 Oktober, pasukan Nasionalis berhasil merebut kota Zhangjiakou dari tangan Komunis di Tiongkok utara. Chiang, yakin akan kemampuannya untuk mengalahkan Komunis, ia memanggil Majelis Nasional selama sesi perundingan berlangsung tanpa partisipasi PKT dan memerintahkan Majelis Nasional untuk merancang konstitusi pada 15 November. Pada 16 November Zhou mengadakan konferensi pers, di mana ia mengutuk KMT karena "merobek perjanjian dari konferensi konsultatif politik". Pada 19 November Zhou dan seluruh delegasi PKT meninggalkan Nanking ke Yan'an.[141] Dimulainya kembali Perang SaudaraKepala strategi militer dan intelijenMenyusul kegagalan negosiasi, Perang Saudara Tiongkok dilanjutkan dengan sungguh-sungguh. Zhou mengalihkan fokusnya dari urusan diplomatik ke urusan militer, sambil tetap mempertahankan minat utamanya yaitu pekerjaan intelijen. Zhou bekerja secara langsung di bawah Mao sebagai asisten utamanya, sebagai wakil ketua Komisi Militer Komite Pusat, dan sebagai kepala staf umum. Sebagai kepala Komite Pekerjaan Perkotaan Komite Pusat, sebuah lembaga yang didirikan untuk mengoordinasikan pekerjaan di dalam wilayah yang dikendalikan KMT, Zhou terus mengarahkan kegiatan bawah tanah.[142] Pasukan khusus Nasionalis menguasai Yan'an pada bulan Maret 1947, tetapi agen intelijen Zhou (terutama Xiong Xianghui) dapat memberikan rincian kekuatan pasukan tentara KMT termasuk data pendistribusian, posisi, tutup udara, dan tanggal penempatan kepada komandan jenderal Yan'an, Peng Dehuai. Informasi intelijen ini memungkinkan pasukan Komunis untuk menghindari pertempuran besar dan mengajak pasukan Nasionalis melakukan perang gerilya, yang akhirnya menyebabkan Peng mencapai serangkaian kemenangan besar. Pada Februari 1948 lebih dari setengah pasukan KMT di barat laut berhasil dikalahkan atau kelelahan. Pada 4 Mei 1948, Peng mendapat 40.000 seragam tentara dan lebih dari satu juta keping artileri. Pada Januari 1949 pasukan Komunis merebut Beijing dan Tianjin, serta berhasil mengendalikan wilayah Tiongkok utara.[143] DiplomasiPada 21 Januari 1949 Chiang mengundurkan diri sebagai presiden pemerintahan Nasionalis dan digantikan oleh Jenderal Li Zongren. Pada 1 April 1949, Li memulai serangkaian negosiasi damai dengan delegasi PKT yang beranggotakan enam orang. Delegasi PKT dipimpin oleh Zhou Enlai, dan delegasi KMT dipimpin oleh Zhang Zhizhong.[144] Zhou memulai negosiasi dengan bertanya: "Mengapa Anda pergi ke Xikou (tempat Chiang setelah pensiun) bertemu Chiang Kai-shek sebelum meninggalkan Nanking?" Zhang menjawab bahwa Chiang masih memiliki kekuatan, meskipun secara teknis dia sudah pensiun, dan persetujuannya akan diperlukan untuk menyelesaikan perjanjian apa pun. Zhou menjawab bahwa PKT tidak akan menerima perdamaian palsu yang didiktekan oleh Chiang, dan bertanya apakah Zhang datang dengan mandat yang diperlukan untuk mengimplementasikan ketentuan yang diinginkan oleh PKT. Negosiasi berlanjut hingga 15 April, ketika Zhou menghasilkan "versi final" dari "draft perjanjian perdamaian internal", yang pada dasarnya adalah ultimatum untuk menerima tuntutan PKT. Pemerintah KMT tidak menanggapi setelah lima hari, menandakan bahwa mereka tidak siap untuk menerima tuntutan Zhou.[145] Pada 21 April Mao dan Zhou mengeluarkan "perintah kepada tentara untuk kemajuan negara". Pasukan TPR menguasai Nanking pada 23 April, dan merebut benteng pertahanan Li di Guangdong pada Oktober, memaksa Li pergi ke pengasingan di Amerika. Pada bulan Desember 1949, pasukan TPR menguasai Chengdu, kota KMT terakhir di daratan Tiongkok, dan memaksa Chiang untuk mengungsi ke Taiwan.[145] Diplomat dan negarawan RRTSituasi diplomatik RRT pada tahun 1949Pada awal 1950-an, pengaruh Tiongkok di kancah internasional sangat rendah. Pada akhir 1911, citra Dinasti Qing yang seolah-olah menguasai dunia telah hancur oleh serangkaian kekalahan militer dan serangan dari orang-orang Eropa dan Jepang. Pada akhir pemerintahan Yuan Shikai dan Era Panglima Perang, harga diri Tiongkok di mata internasional telah menurun secara drastis menjadi "hampir tidak ada". Dalam Perang Dunia II, peran efektif Tiongkok terkadang dipertanyakan oleh para pemimpin Sekutu lainnya. Pada 1950-1953 terjadi Perang Korea yang semakin memperburuk posisi Tiongkok di dunia internasional dengan mengambil sikap permusuhan terhadap Amerika Serikat, karena AS memastikan bahwa Taiwan akan tetap berada di luar kendali Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan bahwa RRT akan tetap berada di luar PBB untuk masa mendatang.[146] Setelah pendirian RRT pada tanggal 1 Oktober 1949, Zhou diangkat menjadi Perdana Menteri Dewan Administrasi Pemerintah (kemudian diganti menjadi Dewan Negara) dan Menteri Luar Negeri. Melalui koordinasi dua kantor ini dan posisinya sebagai salah satu dari hanya lima orang yang menjadi anggota komite Politbiro, Zhou menjadi arsitek kebijakan luar negeri RRT pada masa awal, menghadirkan Tiongkok sebagai anggota baru, namun bertanggung jawab terhadap komunitas internasional. Pada awal 1950-an, Zhou adalah negosiator berpengalaman dan dihormati sebagai revolusioner senior di Tiongkok.[146] Usaha awal Zhou untuk meningkatkan citra RRT di mata internasional dengan melibatkan perekrutan politisi, kapitalis, cendekiawan, dan pemimpin militer Tiongkok terkemuka yang tidak secara teknis berafiliasi dengan PKT. Zhou berhasil meyakinkan Zhang Zhizhong untuk menerima posisi di dalam RRT pada tahun 1949, setelah jaringan bawah tanah Zhou berhasil mengantar keluarga Zhang ke Beijing. Semua anggota delegasi KMT lain yang telah dinegosiasikan Zhou pada tahun 1949 menerima persyaratan yang sama.[147] Janda Sun Yat-sen, Soong Ching-ling, yang terasing dari keluarganya dan yang telah menentang KMT selama bertahun-tahun, siap bergabung dengan RRT pada tahun 1949. Huang Yanpei , seorang industrialis terkemuka yang selama bertahun-tahun selalu menolak tawaran jabatan di pemerintahan, dibujuk untuk menerima posisi sebagai wakil perdana menteri di pemerintahan baru. Fu Zuoyi, komandan KMT yang telah menyerahkan garnisun Beijing pada tahun 1948, dibujuk untuk bergabung dengan TPR, dan menerima posisi sebagai menteri konservasi air.[148] Diplomasi dengan IndiaKeberhasilan diplomatik pertama Zhou disebabkan oleh hubungan yang hangat, berdasarkan saling menghormati, dengan perdana menteri pertama India pasca-kemerdekaan, Jawaharlal Nehru. Melalui diplomasi, Zhou berhasil membujuk India untuk menerima pendudukan Tiongkok atas Tibet pada tahun 1950 dan 1951. India kemudian dibujuk untuk bertindak sebagai mediator netral dalam perundingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat selama fase-fase sulit negosiasi penyelesaian Perang Korea.[149] Perang KoreaKetika Perang Korea pecah pada tanggal 25 Juni 1950, Zhou sedang dalam proses demobilisasi setengah dari 5,6 juta tentara TPR, di bawah arahan Komite Sentral. Zhou dan Mao membahas kemungkinan intervensi Amerika dengan Kim Il-sung pada bulan Mei, dan mendesak Kim untuk berhati-hati jika ia ingin menyerang dan menaklukkan Korea Selatan, tetapi Kim menolak dan tidak menganggap serius peringatan ini. Pada tanggal 28 Juni 1950, setelah Amerika Serikat mendorong melalui resolusi PBB yang mengutuk agresi Korea Utara dan mengirim Armada Ketujuh untuk "menetralisir" Selat Taiwan, Zhou mengkritik PBB dan Inisiatif AS sebagai "agresi bersenjata di wilayah Tiongkok."[150] Meskipun keberhasilan awal Kim membuatnya memprediksi bahwa ia akan memenangkan perang pada akhir Agustus melawan Korea Selatan, tetapi Zhou dan Mao, serta para pemimpin Tiongkok lainnya lebih pesimistis. Zhou tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan Kim bahwa perang akan berakhir dengan cepat, dan menjadi semakin kuatir bahwa Amerika Serikat akan turun tangan. Untuk menghadapi kemungkinan invasi Amerika ke Korea Utara atau Tiongkok, Zhou mendapatkan komitmen Soviet untuk mendukung pasukan Tiongkok dengan perlindungan udara, dan mengerahkan 260.000 tentara Tiongkok di sepanjang perbatasan Korea Utara, di bawah komando Gao Gang, tetapi mereka diperintahkan secara tegas untuk tidak pindah ke Korea Utara atau melibatkan pasukan PBB atau AS kecuali mereka yang melibatkan diri terlebih dahulu. Zhou memerintahkan Chai Chengwen untuk melakukan survei topografi Korea, dan mengarahkan Lei Yingfu, penasihat militer Zhou di Korea Utara, untuk menganalisa situasi militer di sana. Lei menyimpulkan bahwa jenderal MacArthur kemungkinan besar akan mencoba melakukan pendaratan di Incheon.[151] Pada 15 September 1950 MacArthur mendarat di Incheon, menemui sedikit perlawanan, dan kemudian berhasil menguasai Seoul pada 25 September. Serangan bom menghancurkan sebagian besar tank dan artileri Korea Utara. Pasukan Korea Utara tidak segara mundur ke utara, akibatnya mereka dengan cepat dapat dihancurkan. Pada 30 September, Zhou memperingatkan Amerika Serikat bahwa "orang-orang Tiongkok tidak akan mentolerir agresi asing, dan mereka juga tidak akan mentolerir melihat tetangga mereka diserang oleh negara imperialis secara kejam".[152] Pada ulang tahun pertama RRT 1 Oktober, pasukan Korea Selatan melintasi Paralel KeTiga Puluh Delapan ke Korea Utara. Stalin menolak untuk terlibat langsung dalam perang, dan Kim dengan panik mengirim permohonan kepada Mao untuk memperkuat pasukannya. Pada 2 Oktober, kepemimpinan Tiongkok melanjutkan pertemuan darurat di Zhongnanhai untuk membahas apakah Tiongkok harus mengirim bantuan militer, dan pembicaraan ini berlanjut hingga 6 Oktober. Pada pertemuan itu, Zhou adalah salah satu dari sedikit tokoh partai yang mendukung Mao bahwa Tiongkok harus mengirim bantuan militer, terlepas dari kekuatan pasukan Amerika. Dengan persetujuan Peng Dehuai, pertemuan ditutup dengan resolusi untuk mengirim pasukan militer ke Korea.[153] Untuk mendapatkan dukungan Stalin, Zhou pergi ke resor musim panas Stalin di Laut Hitam pada 10 Oktober. Stalin awalnya setuju untuk mengirim peralatan militer dan amunisi, tetapi memperingatkan Zhou bahwa angkatan udara Uni Soviet membutuhkan waktu dua sampai tiga bulan untuk mempersiapkan operasi dan tidak ada pasukan darat yang dikirim. Dalam pertemuan berikutnya, Stalin mengatakan kepada Zhou bahwa ia hanya akan menyediakan peralatan bagi Tiongkok berdasarkan balas budi saja, dan angkatan udara Soviet hanya akan beroperasi di wilayah udara Tiongkok sampai batas waktu yang belum ditentukan. Stalin masih belum setuju untuk mengirim peralatan militer atau dukungan udara hingga Maret 1951.[154] Setelah kembali ke Beijing pada 18 Oktober 1950, Zhou segera bertemu dengan Mao Zedong, Peng Dehuai, dan Gao Gang, dan kelompok itu memerintahkan 200.000 pasukan Tiongkok di sepanjang perbatasan untuk memasuki Korea Utara, yang mereka lakukan pada 25 Oktober. Setelah berkonsultasi dengan Stalin, pada 13 November, Mao menunjuk Zhou sebagai komandan keseluruhan Tentara Relawan Rakyat (PVA), sebuah unit khusus dari TPR, angkatan bersenjata Tiongkok yang akan melakukan intervensi dalam Perang Korea dan koordinator upaya perang, dengan Peng sebagai komandan lapangan PVA. Perintah yang diberikan Zhou kepada PVA disampaikan atas nama Komisi Militer Pusat.[155] Pada Juni 1951, perang telah mencapai jalan buntu di Paralel KeTiga Puluh Delapan, dan kedua belah pihak sepakat untuk menegosiasikan gencatan senjata. Zhou mengarahkan pembicaraan gencatan senjata, yang dimulai pada 10 Juli. Zhou memilih Li Kenong dan Qiao Guanhua untuk memimpin tim negosiasi Tiongkok. Negosiasi berlangsung selama dua tahun sebelum mencapai kesepakatan gencatan senjata pada Juli 1953, yang secara resmi ditandatangani di Panmunjom.[156] Perang Korea adalah tugas militer terakhir Zhou. Pada tahun 1952, Peng Dehuai menggantikan Zhou dalam mengelola Komisi Militer Pusat (yang dipimpin Zhou sejak 1947). Pada tahun 1956, setelah Kongres Partai kedelapan, Zhou secara resmi melepaskan jabatannya di Komisi Militer dan berfokus pada pekerjaannya di Komite Tetap, Dewan Negara Republik Rakyat Tiongkok dan urusan luar negeri.[157] Diplomasi dengan tetangga komunis TiongkokSetelah Joseph Stalin meninggal pada 5 Maret 1953, Zhou pergi ke Moskwa dan menghadiri pemakaman Stalin empat hari kemudian. Anehnya, Mao memutuskan untuk tidak melakukan perjalanan ke Moskwa, mungkin karena belum ada politisi senior Soviet yang melakukan perjalanan ke Beijing, atau karena Stalin menolak tawaran untuk bertemu dengan Mao pada tahun 1948 (namun demikian, upacara peringatan besar untuk menghormati Stalin diadakan di Lapangan Tiananmen, Beijing dihadiri oleh Mao dan ratusan ribu orang lainnya). Ketika berada di Moskwa, Zhou secara khusus diterima dengan terhormat oleh para pejabat Soviet, diizinkan untuk berdiri dengan para pemimpin baru USSR - Vyacheslav Molotov, Nikita Khrushchev, Georgy Malenkov, dan Lavrentiy Beria - bukannya dengan para pejabat dari negara asing dan orang-orang terkemuka lainnya yang hadir saat itu. Dengan keempat pemimpin ini, Zhou berjalan tepat di belakang kereta meriam yang membawa peti jenazah Stalin. Upaya diplomasi Zhou dalam perjalanannya ke Moskwa dihargai tidak lama setelahnya yaitu ketika pada tahun 1954, di mana Nikita Khrushchev sendiri yang datang mengunjungi Beijing untuk mengambil bagian dalam ulang tahun kelima berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.[158] Sepanjang tahun 1950-an, Zhou bekerja untuk mempererat hubungan ekonomi dan politik antara Tiongkok dan negara-negara Komunis lainnya, mengoordinasikan kebijakan luar negeri Tiongkok dengan kebijakan Soviet yang mendorong solidaritas di antara sekutu politik mereka. Pada tahun 1952, Zhou menandatangani perjanjian ekonomi dan budaya dengan Republik Rakyat Mongolia, memberikan pengakuan kemerdekaan secara de facto dari apa yang dikenal sebagai "Mongolia Luar" di zaman dinasti Qing. Zhou juga membuat perjanjian dengan Kim Il-sung untuk membantu rekonstruksi ekonomi Korea Utara pasca perang. Mengejar tujuan diplomasi damai dengan tetangga Tiongkok, Zhou mengadakan pembicaraan damai dengan perdana menteri Burma, U Nu, dan mempromosikan upaya Tiongkok untuk mengirim pasokan ke Ho Chi Minh seorang pemberontak Vietnam yang dikenal sebagai Vietminh.[146] Konferensi JenewaPada April 1954, Zhou pergi ke Swiss untuk menghadiri Konferensi Jenewa, bersidang untuk menyelesaikan Perang Prancis-Vietnam yang sedang berlangsung. Kesabaran dan kelihaiannya dipuji karena membantu negara-negara besar yang terlibat (Soviet, Prancis, Amerika, dan Vietnam Utara) untuk membereskan perjanjian guna mengakhiri perang. Menurut perjanjian perdamaian yang dinegosiasikan, Indochina Prancis harus dibagi menjadi Laos, Kamboja, Vietnam Utara, dan Vietnam Selatan. Pemilihan umum disetujui akan diadakan dalam waktu dua tahun ke depan untuk membentuk pemerintahan koalisi di Vietnam yang bersatu, dan kelompok Vietminh sepakat untuk mengakhiri kegiatan gerilya mereka di Vietnam Selatan, Laos, dan Kamboja.[159] Dalam satu pertemuan awal di Jenewa, Zhou berada di ruangan yang sama dengan sekretaris negara Amerika yang merupakan seorang anti-Komunis yang radikal, John Foster Dulles. Setelah Zhou dengan sopan menawarkan untuk berjabat tangan, Dulles dengan kasar membalikkan punggungnya dan berjalan keluar ruangan, mengatakan "Aku tidak bisa". Zhou dinilai oleh mereka yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut telah berhasil mengubah insiden penghinaan ini menjadi suatu kemenangan kecil ketika Zhou membalas dengan mengangkat bahu "gaya Gallic" atas perlakuan Dulles tadi. Zhou efektif dalam melawan desakan Dulles agar Tiongkok tidak diberi kursi di sesi pertemuan itu. Melanjutkan kesan sopan santun ala Tiongkok, Zhou makan siang dengan aktor Inggris Charlie Chaplin, yang telah tinggal di Swiss sejak masuk daftar hitam di Amerika Serikat karena politik radikalnya.[159] Konferensi Asia-AfrikaPada tahun 1955, Zhou adalah peserta terkemuka dalam Konferensi Asia-Afrika yang diadakan di Indonesia. Konferensi di Bandung adalah pertemuan dua puluh sembilan negara Afrika dan Asia, yang diselenggarakan oleh Indonesia, Burma (Myanmar), Pakistan, Ceylon (Sri Lanka), dan India, sebagian besar diundang untuk mempromosikan ekonomi Afro-Asia dan kerja sama budaya serta menentang kolonialisme atau neokolonialisme oleh Amerika Serikat atau Uni Soviet dalam Perang Dingin. Pada konferensi tersebut, Zhou dengan terampil menyampaikan sikap netral yang membuat Amerika Serikat malah terkesan sebagai ancaman serius bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan itu. Zhou mengeluh bahwa, ketika Tiongkok sedang berusaha menciptakan "perdamaian dunia dan kemajuan umat manusia", "lingkaran agresif" di Amerika Serikat secara aktif membantu Nasionalis di Taiwan dan berencana untuk mempersenjatai kembali Jepang. Komentarnya dikutip secara luas ketika ia berkata bahwa "populasi Asia tidak akan pernah lupa bahwa bom atom pertama kali meledak di tanah Asia." Dengan dukungan dari para peserta konferensi yang merupakan para tokoh terkemuka, konferensi ini menghasilkan deklarasi yang kuat untuk mendukung perdamaian, penghapusan senjata nuklir, pengurangan senjata secara umum, dan prinsip perwakilan universal di PBB.[160] Dalam perjalanannya ke Konferensi Asia-Afrika ini, upaya pembunuhan dilakukan terhadap Zhou ketika sebuah bom ditanam di pesawat Air India Putri Kashmir, yang disewa untuk perjalanan Zhou dari Hong Kong ke Jakarta. Zhou selamat karena ia berganti pesawat pada menit terakhir, tetapi 11 penumpang lainnya tewas, dan hanya tiga orang anggota awak pesawat yang selamat dari kecelakaan itu. Sebuah penelitian baru-baru ini menyalahkan "salah satu agen intelijen dari KMT."[161] Jurnalis Joseph Trento juga menuduh bahwa ada upaya pembunuhan kedua pada saat Zhou mengikuti konferensi di Bandung berupa "semangkuk nasi yang telah diracuni dengan racun reaksi lambat."[162] Menurut satu laporan berdasarkan penelitian baru-baru ini, Zhou mengetahui tentang bom pada Putri Kashmir setelah diperingatkan tentang adanya rencana pembunuhan terhadap dirinya oleh perwira intelijennya sendiri dan tidak berusaha untuk menghentikannya karena ia menganggap mereka yang meninggal sebagai "yang dapat dibuang": wartawan internasional dan kader tingkat rendah. Setelah kecelakaan itu, Zhou menggunakan insiden itu untuk memperingatkan Inggris tentang operasi intelijen KMT yang aktif di Hong Kong dan menekan Inggris Raya untuk melumpuhkan jaringan intelijen Nasionalis yang beroperasi di sana (dengan dirinya sendiri yang berperan sebagai pendukung). Dia berharap bahwa insiden itu akan meningkatkan hubungan Inggris dengan RRT, dan merusak hubungan Inggris dengan ROC (Taiwan).[163] Penjelasan resmi untuk ketidakhadiran Zhou dalam penerbangan tersebut karena Zhou dipaksa mengubah jadwal penerbangannya karena Zhou baru selesai menjalani operasi radang usus buntu.[164] Setelah konferensi Bandung, kondisi politik Tiongkok di kancah internasional mulai membaik secara bertahap. Dengan bantuan dari banyak kekuatan yang tidak bersekutu yang hadir dalam konferensi tersebut, negara-negara yg didukung Amerika Serikat secara ekonomi dan politik yang memboikot RRT mulai terkikis, meskipun tekanan Amerika terus berlanjut terhadap negara-negara tersebut untuk tetap mengikuti arahan Amerika. Pada tahun 1971 RRT mendapat kursi di PBB.[165] Posisi di TaiwanKetika RRT didirikan pada 1 Oktober 1949, Zhou memberi tahu semua pemerintahan bahwa negara mana pun yang ingin melakukan hubungan diplomatik dengan RRT harus mengakhiri hubungan mereka dengan para pemimpin rezim lama di Taiwan, dan mendukung RRT untuk mendapat kursi di PBB. Ini adalah dokumen kebijakan luar negeri pertama yang dikeluarkan oleh pemerintahan baru. Pada tahun 1950 RRT mampu memperoleh hubungan diplomatik dengan negara-negara komunis lainnya dan dengan tiga belas negara non-komunis, tetapi pembicaraan dengan sebagian besar pemerintah Barat tidak berhasil.[166] Zhou tampil setelah menghadiri Konferensi Bandung (Konferensi Asia-Afrika) dengan reputasi sebagai negosiator yang fleksibel dan berpikiran terbuka. Menyadari bahwa Amerika Serikat akan mendukung kemerdekaan Taiwan secara de facto yang dikendalikan oleh ROC dengan kekuatan militer, Zhou membujuk pemerintahnya untuk berhenti membombardir Quemoy dan Matsu, dan menyelesaikan masalah melalui jalur diplomatik. Dalam pengumuman resmi pada bulan Mei 1955, Zhou menyatakan bahwa RRT akan "berjuang untuk pembebasan Taiwan dengan cara damai sejauh mungkin."[167] Setiap kali pertanyaan tentang Taiwan diajukan oleh negarawan asing, Zhou menjawab bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok, dan penyelesaian konflik dengan pihak berwenang Taiwan merupakan masalah internal.[168] Pada tahun 1958, jabatan Menteri Luar Negeri dipegang oleh Chen Yi, seorang jenderal dengan sedikit pengalaman diplomatik sebelumnya. Setelah Zhou mengundurkan diri dari kantornya di Luar Negeri, korps diplomatik RRT berkurang secara drastis. Beberapa dipindahkan ke berbagai departemen budaya dan pendidikan untuk menggantikan kader-kader terkemuka yang telah diberi label "kanan" dan dikirim untuk bekerja di kamp-kamp kerja paksa.[169] Komunike ShanghaiPada awal 1970-an, hubungan diplomatik Tiongkok-Amerika Serikat mulai membaik. Para pekerja Mao di industri perminyakan, salah satu dari sedikit sektor ekonomi Tiongkok yang tumbuh pesat pada saat itu, memberi tahu Ketua Mao bahwa untuk mencapai pertumbuhan pada tingkat yang diinginkan oleh kepemimpinan Partai, impor besar-besaran teknologi Amerika dan keahlian teknis sangat penting. Pada Januari 1970, Tiongkok mengundang tim tenis meja Amerika Serikat untuk melakukan tur keliling Tiongkok, yang menandai dimulainya era "diplomasi ping-pong".[170] Pada tahun 1971, Zhou Enlai bertemu secara diam-diam dengan penasihat keamanan Presiden Nixon, Henry Kissinger, yang terbang ke Tiongkok untuk mempersiapkan pertemuan antara Richard Nixon dan Mao Zedong. Selama pertemuan ini, Amerika Serikat setuju untuk mengizinkan transfer uang Amerika ke Tiongkok (kelihatannya dari para kerabat yang ada di Amerika Serikat), sehingga memungkinkan kapal-kapal milik Amerika melakukan perdagangan dengan Tiongkok (di bawah bendera asing), dan Tiongkok bisa ekspor ke Amerika Serikat untuk pertama kalinya sejak Perang Korea. Pada waktu itu, negosiasi ini dianggap sangat sensitif sehingga disembunyikan dari publik Amerika, Departemen Luar Negeri, menteri luar negeri Amerika, dan semua pemerintah asing.[170] Pada pagi hari 21 Februari 1972, Richard Nixon tiba di Beijing, di mana ia disambut oleh Zhou, dan kemudian bertemu dengan Mao Zedong. Substansi diplomatik dari kunjungan Nixon diselesaikan pada 28 Februari dalam Komunike (pernyataan resmi) Shanghai, yang merangkum posisi kedua belah pihak tanpa berusaha menyelesaikannya. "Pihak AS" menegaskan kembali posisi Amerika bahwa keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam yang berkelanjutan bukan merupakan "intervensi luar" dalam urusan Vietnam, serta menyatakan kembali komitmennya pada "kebebasan individu", dan berjanji akan terus mendukung Korea Selatan. "Pihak Tiongkok" menyatakan bahwa "di mana pun ada penindasan, pasti ada perlawanan", bahwa "semua pasukan asing harus ditarik ke negara asalnya masing-masing", dan bahwa Korea harus dipersatukan sesuai dengan tuntutan Korea Utara. Kedua belah pihak sepakat untuk tidak setuju tentang status Taiwan. Bagian penutup Komunike Shanghai mendorong pertukaran diplomatik, budaya, ekonomi, jurnalistik, dan ilmiah, serta mendukung niat kedua belah pihak untuk bekerja menuju "relaksasi ketegangan di Asia dan dunia." Resolusi Komunike Shanghai mewakili perubahan kebijakan utama bagi Amerika Serikat dan Tiongkok.[171] Lompatan Jauh ke DepanPada tahun 1958, Mao Zedong memulai program Lompatan Besar ke Depan, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi Tiongkok di bidang industri dan pertanian dengan target yang tidak realistis. Sebagai administrator yang populer dan praktis, Zhou mempertahankan posisinya melalui program ini. Zhou digambarkan oleh setidaknya satu sejarawan sebagai "bidan" dari Lompatan Besar ke Depan,[172] mengubah teori Mao menjadi kenyataan tetapi dalam prosesnya menyebabkan kematian jutaan orang.[173] Pada awal 1960-an, kharisma Mao tidak sehebat dulu lagi. Kebijakan ekonomi Mao pada 1950-an telah gagal, gaya hidupnya membuatnya tidak berhubungan lagi dengan banyak kolega tuanya. Di antara kegiatan yang bertentangan dengan citra populernya selama ini misalnya berenang di kolam renang pribadinya di Zhongnanhai, ia naik kereta api pribadi untuk mengujungi vila-vilanya yang ada di Tiongkok, membaca deretan buku-buku koleksi pribadinya, berteman dengan para wanita muda yang ia temui dalam acara tari mingguan di Zhongnanhai atau dalam perjalanannya dengan kereta api. Kombinasi dari pribadinya yang eksentrik dan kegagalan kebijakan industrialisasinya dikritik oleh para revolusioner veteran seperti Liu Shaoqi, Deng Xiaoping, dan Chen Yun. Zhou Enlai juga semakin jarang menunjukan antusiasmenya dalam berbagi visi dan misinya tentang perjuangan revolusioner yang berkelanjutan.[174] Revolusi KebudayaanUpaya awal Mao dan LinUntuk meningkatkan citra dan kekuatannya, Mao dengan bantuan Lin Biao, melakukan sejumlah upaya propaganda publik di awal 1960-an. Di antara upaya Mao dan Lin untuk meningkatkan citra Mao di awal 1960-an misalnya ketika Lin mempublikasikan "Buku Harian Lei Feng" yang ternyata dipalsukan dan kompilasi "Kutipan dari Ketua Mao Zedong".[175] Yang terakhir dan paling sukses dari upaya ini adalah Revolusi Kebudayaan. Apa pun penyebab lainnya, Revolusi Kebudayaan yang dideklarasikan pada tahun 1966, secara terang-terangan pro-Maois, dan memberi Mao kekuatan dan pengaruh untuk membersihkan Partai dari musuh-musuh politiknya di tingkat pemerintahan tertinggi. Bersamaan dengan penutupan sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Tiongkok, desakan orang-orang Tionghoa muda untuk menghancurkan gedung-gedung tua, kuil, seni, dan menyerang guru "revisionis" mereka, administrator sekolah, pemimpin partai, dan orang tua.[176] Setelah Revolusi Kebudayaan diumumkan, banyak anggota PKT yang paling senior berdiskusi tentang keraguan Zhou dalam mengikuti arahan dari Mao, termasuk Presiden Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, mereka segera melepaskan jabatan mereka, dan bersama keluarga mereka, semuanya menjadi sasaran kritik dan penghinaan massal.[176] Kelangsungan hidup politikTidak lama setelah mereka dipindahkan, Zhou berdebat bahwa Presiden Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping "harus diizinkan untuk kembali bekerja", tetapi hal ini ditentang oleh Mao dan juga Lin Biao, Kang Sheng serta Chen Boda. Chen Boda bahkan mengatakan bahwa Zhou sendiri mungkin dianggap "kontra-revolusioner" jika dia tidak mau mengikuti aturan Maois.[177] Karena adanya ancaman terhadap dirinya dan para sahabatnya juga akan terkena imbasnya jika dia tidak mendukung Mao, Zhou menghentikan kritiknya dan mulai bekerja lebih dekat dengan Ketua Mao dan kelompoknya. Zhou memberikan dukungan kepada pembentukan organisasi Pengawal Merah Republik Rakyat Tiongkok pada Oktober 1966 dan bergabung dengan Chen Boda serta Jiang Qing guna melawan apa yang mereka anggap sebagai kelompok "kiri" dan "kanan" dari Faksi Pengawal Merah. Ini membuka jalan bagi serangan terhadap Liu Shaoqi, Deng Xiaoping, dan Tao Zhu pada Desember 1966 dan Januari 1967.[178] Pada September 1968, Zhou dengan gamblang menggambarkan strateginya untuk mempertahankan kelangsungan hidup politiknya kepada anggota parlemen Jepang dari Partai Demokratik Jepang yang berkunjung ke Beijing: "pendapat pribadi seseorang harus maju atau mundur disesuaikan dengan arahan mayoritas."[179] Ketika dia dituduh kurang antusias dalam mengikuti kepemimpinan Mao, ia menyalahkan dirinya sendiri karena "kurang memahami" teori Mao, memberikan kesan telah berkompromi dengan kelompok yang diam-diam dibencinya dan secara pribadi kelompok itu disebut sebagai "neraka"-nya.[180] Mengikuti logika untuk bertahan dalam kehidupan politiknya, Zhou bekerja untuk membantu Mao, dan membatasi kritiknya dalam percakapan pribadi. Meskipun Zhou sendiri bisa lolos dari penganiayaan secara langsung, ia tidak dapat menyelamatkan orang-orang terdekatnya yang hancur kehidupannya akibat dari Revolusi Kebudayaan. Sun Weishi, putri angkat Zhou, meninggal pada tahun 1968 setelah tujuh bulan disiksa, dipenjara, dan diperkosa oleh pasukan Maois Pengawal Merah. Pada tahun 1968, Jiang juga menyuruh putra angkatnya (Sun Yang) disiksa dan dibunuh oleh Pengawal Merah. Setelah berakhirnya Revolusi Kebudayaan, drama-drama Sun kembali dipentaskan sebagai cara mengkritik Kelompok Empat, yang oleh banyak orang dianggap bertanggung jawab atas kematiannya.[181] Sepanjang dekade berikutnya, Mao yang mengembangkan kebijakannya sementara Zhou yang melaksanakannya, berusaha memoderasi beberapa efek dari Revolusi Kebudayaan, seperti mencegah Beijing dinamai "Timur Merah" (Hanzi: 东方红市; Pinyin: Dōngfānghóngshì)) dan patung singa penjaga Tiongkok yang ada di depan Lapangan Tiananmen diganti dengan patung Mao.[182] Zhou juga memerintahkan batalion PLA untuk menjaga Kota Terlarang dan melindungi artefak tradisionalnya dari perusakan oleh Pengawal Merah.[183] Meskipun telah berusaha keras, ketidakmampuan untuk mencegah banyak peristiwa kekejaman selama Revolusi Kebudayaan merupakan pukulan besar bagi Zhou. Selama dekade terakhir hidupnya, kemampuan Zhou sangat mumpuni untuk menerapkan kebijakan Mao dan menjaga keselamatan negara dalam masa-masa sulit, sehingga kepentingan praktisnya saja sudah cukup untuk menyelamatkannya (dengan bantuan Mao) setiap kali Zhou terancam secara politis.[184] Saat tahap terakhir dari Revolusi Kebudayaan, pada tahun 1975, Zhou mendorong "Empat Modernisasi" untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh kebijakan Mao. Selama tahap akhir Revolusi Kebudayaan, Zhou menjadi sasaran kampanye politik yang diatur oleh Ketua Mao dan Kelompok Empat. Kampanye "Kritik Lin, Kritik Konfusius" 1973 dan 1974 diarahkan ke Perdana Menteri Zhou karena ia dianggap sebagai salah satu lawan politik utama Kelompak Empat. Pada tahun 1975, musuh Zhou memprakarsai kampanye bernama "Mengkritik Song Jiang, Mengevaluasi Batas Air", yang mendorong penggunaan istilah kata 'Zhou' sebagai contoh seorang pecundang politik.[185] KematianPenyakit dan kematianMenurut biografi terbaru Zhou oleh yang ditulis oleh Gao Wenqian, seorang mantan peneliti di Kantor Penelitian Dokumen Partai PKT, Zhou pertama kali didiagnosis kanker kandung kemih pada November 1972.[186] Tim medis Zhou melaporkan bahwa dengan perawatan ia memiliki peluang pemulihan 80 hingga 90 persen, tetapi perawatan medis untuk anggota partai yang berpangkat paling tinggi harus disetujui oleh Mao. Mao memerintahkan agar Zhou dan istrinya tidak diberi tahu tentang hasil diagnosa tersebut, tidak ada operasi yang harus dilakukan, dan tidak boleh dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.[187] Pada tahun 1974, Zhou mengalami pendarahan yang signifikan di urinnya. Setelah mendapat tekanan dari para pemimpin Tiongkok lainnya yang mengetahui kondisi Zhou, Mao akhirnya memerintahkan operasi pembedahan dilakukan pada Juni 1974, tetapi pendarahan kembali terjadi beberapa bulan kemudian, menunjukkan metastasis kanker ke organ tubuh yang lain. Serangkaian operasi selama setengah tahun berikutnya gagal mengatasi penyebaran kanker.[188] Zhou terus bekerja selama ia di rumah sakit, dengan Deng Xiaoping, sebagai Wakil Perdana Menteri Pertama, menangani sebagian besar masalah Dewan Negara yang penting. Penampilan terakhirnya di hadapan publik adalah pada saat pertemuan pertama Kongres Rakyat Nasional ke-4 tanggal 13 Januari 1975, di mana ia mempresentasikan laporan kerja pemerintah. Setelah itu ia tidak pernah lagi kelihatan di depan publik karena menjalani perawatan medis lebih lanjut.[189] Zhou Enlai meninggal karena kanker jam 09:57 tanggal 8 Januari 1976, berusia 77 tahun. Tanggapan MaoSetelah kematian Zhou, Mao tidak mengeluarkan pernyataan yang mengakui prestasi atau kontribusi Zhou dan tidak mengirim belasungkawa kepada janda Zhou, yang juga seorang pemimpin senior Partai.[190] Mao melarang stafnya mengenakan ban lengan berkabung hitam seperti kebiasaan tradisional orang Tionghoa.[191] Mao tidak menghadiri pemakaman Zhou, yang diadakan di Balai Agung Rakyat, karena Mao sendiri dalam kondisi kesehatan yang sangat buruk.[191] Namun Mao mengirim karangan bunga ke pemakaman.[191] Mao mengkritik usulan agar Zhou secara terbuka dinyatakan sebagai seorang Marxis yang hebat, menolak permintaan agar dia mau hadir sebentar di pemakaman Zhou. Mao memerintahkan keponakannya, Mao Yuanxin, untuk menjelaskan bahwa dia tidak bisa hadir karena jika ia hadir maka itu akan dianggap sebagai pengakuan publik bahwa ia dipaksa untuk "memikirkan kembali soal Revolusi Kebudayaan", karena pada tahun-tahun terakhir Zhou telah dikaitkan erat dengan membalikan dan memoderasi ekses-ekses dari Revolusi Kebudayaan tersebut. Mao khawatir bahwa ekspresi berkabung publik nantinya akan diarahkan terhadap diri dan kebijakannya, serta mendukung kampanye "Lima Tidak" untuk menekan ekspresi berkabung publik kepada Zhou setelah kematian Perdana Menteri tersebut.[192] MemorialApa pun pendapat Mao tentang Zhou, ada rasa dukacita di masyarakat. Koresponden asing melaporkan bahwa Beijing tampak seperti kota hantu tak lama setelah kematian Zhou. Tidak ada upacara penguburan, karena Zhou telah berwasiat agar abunya disebar melintasi bukit dan sungai di kota asalnya, daripada disimpan di mausoleum. Dengan kepergian Zhou, menjadi jelas bagaimana orang-orang Tiongkok menghormatinya, dan bagaimana mereka memandangnya sebagai simbol stabilitas dalam periode sejarah yang kacau.[193] Kematian Zhou juga menjadi berita dukacita di berbagai negara di seluruh dunia. Wakil Perdana Menteri Deng Xiaoping menyampaikan pidato kematian di pemakaman kenegaraan Zhou pada 15 Januari 1976. Meskipun dalam pidatonya berisikan kata-kata dan kalimat dari pernyataan resmi yang dibuat oleh Komite Sentral segera setelah kematian Zhou, dan menceritakan tentang karier politik Zhou yang luar biasa, pada bagian akhir pidato dia menyampaikan penghormatan pribadi kepada karakter Zhou, berbicara dari hati sambil menjaga protokol yang biasa berlaku pada acara-acara kenegaraan.[194] Deng menyatakan bahwa:
Spence percaya pada saat itu pernyataan Deng sebagai kritik halus terhadap Mao dan para pemimpin Revolusi Kebudayaan lainnya, yang tidak mungkin dipandang atau dipuji sebagai seorang yang "terbuka dan tulus", "pandai menyatukan massa kader", untuk menampilkan "kehangatan", atau untuk kesederhanaan, kehati-hatian, atau kemudahan didekati. Terlepas dari niat Deng, Kelompok Empat dan kemudian Hua Guofeng, meningkatkan kezhalimannya terhadap Deng tak lama setelah ia menyampaikan pidato ini.[194] Penindasan perkabungan publikSetelah upacara peringatan resmi Zhou pada 15 Januari, musuh-musuh politik Zhou di dalam Partai secara resmi melarang mempertontonkan lebih lanjut dukacita publik. Peraturan paling terkenal yang melarang penghormatan kepada Zhou adalah "Lima Tidak" yang dipatuhi dengan buruk dan ditegakkan dengan buruk juga: tidak mengenakan ban lengan hitam seperti lazimnya tradisi kuno Tiongkok, tidak ada karangan bunga dukacita, tidak ada gedung dukacita, tidak ada kegiatan hari peringatan kematian, dan tidak ada foto-foto Zhou. Kebencian selama bertahun-tahun atas Revolusi Kebudayaan, penganiayaan publik terhadap Deng Xiaoping (yang dalam persepsi publik sangat terkait dengan Zhou), dan larangan berkabung untuk Zhou secara terbuka menjadi terkait satu sama lain tak lama setelah kematian Zhou, yang menyebabkan ketidakpuasan rakyat terhadap Mao dan penggantinya terutama Hua Guofeng dan Kelompok Empat.[195] Upaya resmi untuk menegakkan "Lima Tidak" termasuk menghapus peringatan publik dan menghancurkan poster-poster untuk memperingati prestasi Zhou. Pada 25 Maret 1976, sebuah surat kabar terkemuka di Shanghai,Wenhui Bao, menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan bahwa Zhou adalah "antek kapitalis di dalam Partai yang ingin membantu antek kapitalis yang tidak mau insaf (maksudnya:Deng) mendapatkan kembali kekuatannya". Upaya propaganda ini dan cara-cara lainnya untuk menyerang citra Zhou malah semakin memperkuat kenangan publik akan sosok Zhou.[196] Antara Maret dan April 1976, sebuah dokumen palsu beredar di Nanjing yang diklaim sebagai wasiat terakhir Zhou Enlai. Surat wasiat itu menyerang Jiang Qing dan memuji Deng Xiaoping. Pemerintah kemudian membalasnya dengan melancarkan propaganda yang lebih gencar lagi.[197] Insiden TiananmenBeberapa bulan setelah kematian Zhou, salah satu peristiwa spontan paling luar biasa dalam sejarah RRT terjadi. Pada tanggal 4 April 1976, pada malam tahunan Festival Qingming, di mana orang Tiongkok secara tradisional memberi penghormatan kepada leluhur mereka yang telah meninggal, ribuan orang berkumpul di sekitar Monumen Pahlawan Rakyat yang ada di Lapangan Tiananmen untuk memperingati kehidupan dan kematian Zhou Enlai. Pada kesempatan itu, orang-orang di Beijing menghormati Zhou dengan meletakkan karangan bunga, spanduk, puisi, plakat, dan bunga di bawah Monumen.[198] Tujuan yang paling jelas dari peringatan ini adalah untuk memuji Zhou, tetapi Jiang Qing, Zhang Chunqiao dan Yao Wenyuan juga diserang karena tuduhan kejahatan terhadap mantan Perdana Menteri itu. Sejumlah kecil slogan yang tersisa di Tiananmen bahkan juga menyerang Mao, dan Revolusi Kebudayaannya.[199] Lebih dari dua juta orang mungkin telah mengunjungi Lapangan Tiananmen pada tanggal 4 April.[199] Pengamatan langsung dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di Lapangan Tiananmen pada tanggal 4 April melaporkan bahwa semua lapisan masyarakat, dari petani yang paling miskin hingga anggota TPR dan anak-anak kader yang berpangkat tinggi terwakili dalam kegiatan tersebut. Mereka yang berpartisipasi karena termotivasi oleh perpaduan antara kemarahan atas perlakuan terhadap Zhou, pemberontakan terhadap Mao dan kebijakannya, kekhawatiran akan masa depan Tiongkok, serta penolakan terhadap mereka yang berusaha menghukum publik karena kegiatan memperingati Zhou. Tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa peristiwa ini dikoordinasi oleh pihak tertentu, peristiwa ini merupakan demonstrasi spontan yang mencerminkan sentimen publik yang luas. Deng Xiaoping tidak terlihat di sana, dan ia memerintahkan anak-anaknya untuk tidak berada di Lapangan Tiananmen.[200] Pada pagi hari tanggal 5 April, masyarakat berdatangan dan berkumpul di sekitar tugu peringatan, tetapi tempat itu sudah dibersihkan oleh polisi pada malam harinya, membuat mereka marah. Upaya untuk menekan kedatangan masyarakat yang ingin menyampaikan rasa simpati dan dukacita menyebabkan kerusuhan hebat, di mana mobil polisi dibakar dan kerumunan lebih dari 100.000 orang memaksa masuk ke beberapa gedung pemerintahan yang ada di sekitar alun-alun itu.[198] Pada pukul 18:00, sebagian besar kerumunan telah bubar, tetapi sekelompok kecil tetap ada di sana sampai pukul 22:00, ketika pasukan keamanan memasuki Lapangan Tiananmen dan menangkapi mereka. Angka yang dilaporkan dari mereka yang ditangkap adalah 388 orang, tetapi dikabarkan sebenarnya jauh lebih banyak lagi. Kebanyakan dari mereka yang ditangkap kemudian dijatuhi hukuman "pengadilan rakyat" di Universitas Peking, atau dijatuhi hukuman di kamp kerja penjara. Insiden serupa dengan yang terjadi di Beijing pada 4 dan 5 April terjadi juga di Zhengzhou, Kunming, Taiyuan, Changchun, Shanghai, Wuhan, dan Guangzhou. Mungkin karena hubungannya yang dekat dengan Zhou, sedangkan Deng Xiaoping secara resmi dilucuti dari semua posisi "di dalam dan di luar Partai" pada 7 April, setelah kejadian Insiden Tiananmen ini.[198] Setelah mengusir Hua Guofeng dan mengambil alih kendali Tiongkok pada tahun 1980, Deng Xiaoping membebaskan mereka yang ditangkap di Insiden Tiananmen sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk membalikkan efek Revolusi Budaya. Warisan
—Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger, On China (2011)[201] Pada akhir masa hidupnya, Zhou secara luas dipandang mewakili moderasi dan keadilan dalam budaya populer Tiongkok.[195] Sejak kematiannya, Zhou Enlai telah dianggap sebagai negosiator yang terampil, master dalam mengimplementasikan kebijakan, seorang revolusioner yang setia, dan negarawan pragmatis dengan perhatian yang tidak biasa pada detail dan nuansa. Ia juga dikenal karena etos kerjanya yang tak kenal lelah, berdedikasi tinggi, dan daya tarik serta ketenangannya yang luar biasa di depan umum. Ia konon adalah birokrat Tiongkok terakhir dalam tradisi Konfusianisme. Perilaku politik Zhou harus dilihat berdasarkan filosofi politiknya dan juga kepribadiannya. Untuk sebagian besar orang, Zhou melambangkan paradoks yang melekat dalam diri seorang politisi Komunis dengan pendidikan tradisional Tiongkok sekaligus konservatif dan radikal, pragmatis dan ideologis, dimiliki oleh kepercayaan, ketertiban dan harmoni serta keyakinan, yang ia kembangkan secara bertahap seiring dengan berjalannya waktu, dalam kekuatan progresif pemberontakan dan revolusi. Meskipun sangat percaya pada cita-cita Komunis di mana Republik Rakyat Tiongkok didirikan, Zhou secara luas diyakini telah memoderasi efek kebijakan radikal Mao dalam batas kekuasaannya.[202] Diasumsikan bahwa ia berhasil melindungi beberapa situs kekaisaran dan agama yang memiliki makna budaya seperti Istana Potala di Lhasa dan Kota Terlarang di Beijing dari amukan Pengawal Merah, dan melindungi banyak pemimpin tingkat atas, termasuk Deng Xiaoping, serta banyak pejabat, akademisi, dan seniman dari pembersihan.[202] Deng Xiaoping seperti yang dikutip pernah mengatakan bahwa Zhou "'kadang-kadang dipaksa untuk bertindak melawan hati nuraninya untuk meminimalkan kerusakan"yang berasal dari kebijakan Mao.[202] Sementara banyak pemimpin Tiongkok sebelumnya yang saat ini menjadi sasaran kritik di Tiongkok, sedangkan citra Zhou tetap positif di kalangan orang Tiongkok kontemporer. Banyak orang Tiongkok terus memuliakan Zhou sebagai pemimpin yang paling manusiawi di abad ke-20, dan PKT saat ini mempromosikan Zhou sebagai pemimpin berdedikasi tinggi serta rela berkorban dan tetap menjadi simbol Partai Komunis.[203] Bahkan sejarawan yang membuat daftar kesalahan Mao umumnya mengaitkan kualitas yang berlawanan dengan Zhou: Zhou beradab dan berpendidikan sedangkan Mao kasar dan sederhana; Zhou konsisten ketika Mao tidak stabil; Zhou sangat tabah ketika Mao paranoid.[204] Namun, kritik akademis baru-baru ini terhadap Zhou berfokus pada hubungan terakhirnya dengan Mao, dan kegiatan politiknya selama Revolusi Kebudayaan, dengan alasan bahwa hubungan antara Zhou dan Mao mungkin lebih kompleks daripada yang biasanya digambarkan. Zhou digambarkan sebagai orang yang tunduk tanpa syarat dan sangat loyal kepada Mao dan sekutunya, berusaha mendukung atau mengizinkan penganiayaan terhadap teman dan kerabat untuk menghindari pengutukan politis sendiri. Setelah berdirinya RRT, Zhou tidak mampu atau tidak mau melindungi para mata-mata yang telah ia pekerjakan dalam Perang Saudara Tiongkok dan Perang Dunia Kedua, yang dianiaya karena berhubungan dengan musuh-musuh PKT selama masa perang. Di awal Revolusi Kebudayaan, dia mengatakan kepada Jiang Qing, "Mulai sekarang kamu yang membuat semua keputusan, dan aku yang akan memastikan semua keputusan itu dijalankan," dan secara terbuka menyatakan bahwa kawan lamanya, Liu Shaoqi, "pantas untuk mati" karena menentang Mao. Dalam upaya untuk menghindari penganiayaan karena menentang Mao, Zhou bersikap pasif dan membiarkan banyak orang mengalami penganiayaan politik, termasuk saudaranya sendiri.[204][205][206] Sebuah pepatah populer di Tiongkok pernah membandingkan Zhou dengan sebuah budaoweng[note 11], yang menyiratkan bahwa dia adalah seorang oportunis politik. Beberapa pengamat mengkritiknya sebagai orang yang terlalu diplomatis: menghindari pendirian yang jelas dalam situasi politik yang kompleks dan malahan menjadi sulit dipahami secara ideologi, ambigu, dan membingungkan.[202][203] Beberapa penjelasan telah disampaikan untuk menjelaskan kegigihannya. Dick Wilson, mantan pemimpin redaksi Far Eastern Economic Review, menulis bahwa satu-satunya pilihan Zhou "adalah berpura-pura mendukung gerakan Revolusi Kebudayaan, sambil berusaha keras membelokkan keberhasilannya, menumpulkan kekacauan yang dihasilkannya dan mengobati luka yang ditimbulkannya."[207] Penjelasan mengenai pribadi Zhou yang sukar dimengerti ini juga bisa diterima secara luas oleh banyak orang Tionghoa setelah kematiannya.[202] Wilson juga menulis bahwa Zhou "akan dipaksa keluar dari jabatannya, dihapus dari kendali Pemerintah jika dia membuat sikap dan menuntut agar Mao membatalkan kampanye atau memaksa Pengawal Merah.[207] Keterlibatan Zhou dalam Revolusi Kebudayaan dibela oleh banyak orang dengan alasan bahwa ia tidak punya pilihan lain selain menjadi martir politik. Karena pengaruh dan kemampuan politiknya, seluruh pemerintahan bisa saja runtuh jika tidak bekerjasama dengannya. Mengingat suhu politik di dasawarsa terakhir kehidupan Zhou, tidak mungkin ia bisa selamat dari pembersihan jika tidak menerima dukungan dan bantuan aktif dari Mao.[184] Zhou menerima banyak pujian dari negarawan Amerika yang bertemu dengannya pada tahun 1971. Henry Kissinger menulis bahwa ia telah sangat terkesan dengan kecerdasan dan karakter Zhou, menggambarkannya sebagai "setara dalam hal filsafat, kenangan, analisis historis, penyelidikan taktis, tanggapan lucu ... (dan) dapat menunjukkan keanggunan pribadi yang luar biasa." Kissinger menyebut Zhou "salah satu dari dua atau tiga pria paling mengesankan yang pernah saya temui,"[208] menyatakan bahwa "keyakinannya tentang fakta-fakta, khususnya pengetahuannya tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Amerika dan dalam hal ini, dengan latar belakang saya sendiri, sangat menakjubkan."[209] Dalam memoarnya, Richard Nixon menyatakan bahwa ia terkesan dengan "kecemerlangan dan dinamika" Zhou yang luar biasa.[204] Setelah berkuasa, Deng Xiaoping mungkin terlalu menonjolkan prestasi Zhou Enlai untuk menjauhkan Partai Komunis dari program Mao Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan, yang keduanya mengakibatkan citra Partai menurun secara serius. Deng mengamati bahwa kebijakan-kebijakan Mao yang berakhir jadi bencana tidak bisa lagi mewakili masa kejayaan Partai, tetapi warisan dan karakter Zhou Enlai bisa. Selanjutnya, Deng menerima pujian ketika memberlakukan Empat Modernisasi, suatu kebijakan ekonomi yang berhasil yang pada awalnya diusulkan oleh Zhou.[210] Dengan secara aktif dikaitkan dengan Zhou Enlai yang sudah populer, warisan Zhou mungkin telah digunakan (dan mungkin sudah diputarbalikan faktanya) sebagai alat politik Partai setelah kematiannya.[184] Zhou tetap menjadi tokoh yang diperingati secara luas di Tiongkok saat ini. Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Zhou memerintahkan kota kelahirannya Huai'an untuk tidak mengubah rumahnya menjadi peringatan dan tidak perlu menjaga makam keluarga Zhou. Perintah ini ditaati ketika Zhou masih hidup, tetapi sekarang rumah keluarga dan sekolah keluarga tradisionalnya telah direnovasi, dan dikunjungi oleh banyak wisatawan setiap tahunnya. Pada tahun 1998, Huai'an, dalam rangka memperingati ulang tahun keseratus Zhou, membuka sebuah taman peringatan yang luas dengan museum yang didedikasikan untuk menceritakan masa hidupnya. Taman itu mencakup replika Xihuating, rumah dan tempat kerja Zhou sewaktu di Beijing. Kota Tianjin mendirikan museum untuk Zhou dan istrinya Deng Yingchao, dan kota Nanjing juga telah mendirikan tugu peringatan untuk memperingati negosiasi Komunis pada tahun 1946 dengan pemerintah Nasionalis yang menampilkan patung perunggu Zhou.[211] Perangko yang memperingati setahun kematian Zhou diterbitkan pada tahun 1977, dan pada tahun 1998 diterbitkan Perangko untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-100. Pada tahun 2013 dirilis sebuah Film The Story of Zhou Enlai yang menceritakan tentang perjalanan Zhou Enlai pada Mei 1961 selama era Lompatan Jauh ke Depan, ketika ia menyelidiki situasi pedesaan di distrik Huaxi, Guiyang dan bekas markas revolusioner di kota Boyan, Hebei. Catatan
ReferensiKutipan
Sumber
Pranala luar
Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Zhou Enlai.
|